Sejak publikasi penelitian kolaborasi antara saya, Titiek Kartika (Universitas Lambung Bengkulu), Lidwina Inge Nurtjahyo (Universitas Indonesia), dan Varinia Pura Damaiyanti (Universitas Lambung Mangkurat) dengan tajuk Membongkar Kekerasan Seksual di Pendidikan Tinggi: Pemikiran Awal (Obor, 2022), ada beberapa pertanyaan yang masuk: apakah UMJ sudah memiliki Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS)? Sayangnya belum. Atau mungkin saya kurang update. Posisi UMJ baru sebatas Unit Layanan Kekerasan Seksual dan Perundungan yang dibuat berdasarkan keputusan Rektor UMJ 942/2021 tertanggal 19 Agustus 2021. Apakah cukup? Belum tentu. Ada sejumlah masalah krusial di sini.
Nah, sebelum saya beranjak, ada satu hal yang perlu saya perjelas: tulisan ini sepenuhnya adalah seruan sebagai tanggungjawab moral saya sebagai anggota tim naskah akademik sekaligus penyusun Permendikbud 30/21.
Jika menilik pada SK tersebut, UMJ jelas sudah berjalan lebih dahulu ketimbang Permendikbud 30/21 yang disahkan pada akhir September 2021. Tentu hal ini patut diapresiasi. Namun apakah UMJ satu-satunya kampus yang memiliki unit khusus yang lebih dahulu ketimbang Permen? Sayangnya tidak. Beberapa kampus, misalnya UI dan UGM, telah terlebih dahulu memiliki unit tersendiri, yang dengan hadirnya Permen, kemudian mengubah kebijakan mereka. Sepengetahuan saya, UMJ belum melakukan revisi apapun terkait keputusan Rektor mengangkat tim Unit Layanan.
Jika mengikuti alur Permen, Rektor harus membuka rekrutmen Panitia Seleksi Tim Satgas PPKS. Pansel ini harus berisikan tiga unsur: pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Pansel ini harus disahkan melalui SK Rektor dan harus mengikuti sejumlah training yang dilaksanakan oleh Pusat Pengembangan Karakter (Puspeka) Kemdikbud. Apa tujuannya? Sederhana saja: memastikan bahwa Pansel memiliki perspektif gender dan perspektif korban. Setelah Pansel dinyatakan lulus oleh Puspeka, maka Pansel harus membuka rekrutmen untuk Satgas, yang lagi-lagi harus berisikan pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa.
Keberadaan elemen dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa dalam tim panitia seleksi dan satuan tugas menjadi kata kunci penting. Berdasarkan pengalaman, mahasiswa akan lebih mudah bercerita tentang kekerasan seksual yang dia alami atau dia dengar kepada mahasiswa lain, ketimbang menceritakan itu kepada dosen, bahkan jika dosen tersebut adalah kepala program studi. Demikian pula sebaliknya. Keberadaan tiga elemen kunci ini adalah bagian untuk menjamin bahwa proses pembentukan dan pelaksanaan PPKS di kampus menjadi komitmen dan tanggungjawab semua pihak.
Dalam prosesnya, akan dilaksanakan uji publik, sehingga tim satgas yang terbentuk adalah betul orang yang tepat. Setelah Satgas terbentuk, maka Rektor akan mengeluarkan SK dan melaporkan ke Inspektorat Jenderal Kemdikbud bahwa UMJ sudah memiliki Tim Satgas PPKS. Satgas kemudian akan secara berkala melaporkan kepada Inspektorat Jenderal Kemdikbud, bahkan jika tidak ada kasus yang ditangani.
Saya enggan masuk pada persoalan sanksi administratif akreditasi, namun lebih pada substansi. Mengapa perlu UMJ secara serius membentuk Satuan Tugas yang berperan vital dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual? Alasannya sederhana. Sebab kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan. Untuk mencapai kampus merdeka dari kekerasan seksual, diperlukan sejumlah langkah taktis dan strategis.
Satu hal yang harus digarisbawahi, pembentukan Satgas PPKS adalah langkah awal, bukan tujuan dari Permen itu sendiri. Satgas PPKS adalah organ yang secara khusus bertanggungjawab langsung kepada Rektor dan memiliki mandat untuk melakukan tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus, dan untuk melakukan itu, maka pembentukan Satgas saja tidak cukup. Rektor harus pula mengeluarkan Peraturan Rektor tentang PPKS sebagai payung hukum, lalu tim Satgas PPKS akan menurunkan peraturan tersebut ke dalam SOP yang setidaknya dibagi dalam tiga bagian: pencegahan, penanganan, dan koordinasi lintas sektor.
Di bagian pencegahan, Satgas tidak hanya berperan dalam melakukan sosialisasi PPKS di semua fakultas, namun dapat pula memiliki peran untuk mendorong masuknya muatan PPKS ke dalam struktur kurikulum. Misalnya, peluang masuknya materi kekerasan seksual dapat diintegrasikan dengan matakuliah kewarganegaraan atau AIK yang merupakan materi wajib. Satgas PPKS dapat pula dibentuk di level fakultas, meski agaknya hal ini belum diperlukan. Pencegahan juga harus secara berkala disosialisasikan kepada pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Sosialisasi ini bukan hanya sebatas memasang spanduk atau membagikan flyer, namun dapat diintegrasikan ke dalam sistem penerimaan mahasiswa baru. Satgas juga harus bekerjasama dengan BEM UMJ maupun Hima, atau bahkan Biro SDI untuk memastikan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan memahami mengenai kekerasan seksual.
Tantangan di level pencegahan adalah bagaimana menjelaskan persoalan kekerasan seksual ke publik, terutama dengan hadirnya Permendikbud 30/21 dan UU 12/22 tentang TPKS. Dalam hal ini, pencegahan lebih ditekankan pada upaya memberikan pemahaman tentang apa itu kekerasan seksual, bentuk-bentuk kekerasan seksual, dan bagaimana mekanisme pelaporan jika terjadi kekerasan seksual.
Di level penanganan, dengan hadirnya Satgas PPKS dan payung hukum, maka Rektor wajib menyediakan ruang aman bagi pelapor, baik itu korban ataupun pendamping (bystander). Di titik ini menjadi sangat penting bahwa tim Satgas PPKS harus lolos uji publik dan mengikuti serangkaian pelatihan yang dilaksanakan oleh Kementerian. Kekerasan seksual bukan kejahatan ringan. Kita tentu tidak berharap seseorang yang tidak memiliki empati dan perspektif yang kuat untuk menjadi Satgas PPKS, sebab bagaimana mungkin korban mau melapor dan bercerita tentang kekerasan seksual yang dialami jika orang yang dia hadapi adalah pelaku kekerasan atau tidak memiliki empati dan perspektif korban.
Di bagian ini tugas Satgas PPKS menjadi sangat krusial, sebab Satgas PPKS harus bertindak independent dan imparsial. Tidak menutup kemungkinan, pelaku kekerasan seksual adalah kolega atau pejabat di level dekanat atau rektorat. Peran Satgas PPKS dalam memeriksa laporan kekerasan seksual akan menghasilkan rekomendasi, baik itu pemulihan korban maupun sanksi kepada pelaku. Perlu juga diingat, jika pelaporan ternyata tidak terbukti, maka Satgas PPKS memiliki wewenang untuk merekomendasikan pemulihan nama baik terlapor. Artinya, ketika terjadi pelaporan kekerasan seksual, tidak secara otomatis terlapor adalah pelaku kekerasan seksual. Ada mekanisme verifikasi yang harus dilakukan secara hati-hati oleh Satgas PPKS. Rekomendasi dari Satgas PPKS harus ditetapkan oleh Rektor yang kemudian disampaikan kepada Inspektur Jenderal Kemdikbud.
Di titik ini seharusnya sudah jelas, mengapa SK Rektor 942/2021 tidak cukup. Area tugas Satgas PPKS sangat tidak ringan dan membutuhkan kewenangan yang cukup. SK Rektor hanya mengangkat tiga orang dosen, tanpa ada perwakilan tendik dan mahasiswa. Bahkan SK ini tidak memiliki payung hukum turunan, tentang bagaimana Unit Layanan ini harus bekerja, apa kewenangan yang dimiliki, dan bagaimana pertanggungjawabannya. Menjelang akhir tahun 2022, saya berharap Rektor UMJ berkenan meninjau ulang SK tersebut dan mengikuti tahapan yang sesuai dengan regulasi yang ada. Terlepas dari pro-kontra Permendikbud 30/21, kekerasan seksual adalah masalah serius. Mungkin saja saat ini UMJ tidak memiliki kasus kekerasan seksual, sebagaimana harapan kita semua, namun tindakan pencegahan tetap harus dilakukan. Keberadaan Satgas PPKS adalah tanggungjawab moral yang harus dipenuhi oleh UMJ untuk melindungi semua sivitasnya dari kekerasan seksual.