Pengantar: tulisan ini adalah perluasan dari tulisan dengan judul yang sama ditulis oleh Sulistyowati Irianto di Kompas 11 November 2021. Atas izin dari penulis, esai ini diperluas cakupannya. Tulisan ini dipublikasikan dalam buku MEMBONGKAR KEKERASAN SEKSUAL DI PENDIDIKAN TINGGI: PEMIKIRAN AWAL (Obor, 2022)
Universitas di Indonesia tidak henti-hentinya dirundung malang. Belum selesai urusan semakin merosotnya kebebasan akademik dan demokrasi di kampus dengan segala dampaknya, sekarang semakin mencuat isu kekerasan seksual yang korban umumnya adalah para perempuan. Lembaga paling terhormat, penjaga gerbang kebenaran di hati masyarakat, ternyata menyimpan kejahatan yang paling memalukan: kekerasan seksual, yang begitu disembunyikan, tertutup rapat bisa puluhan tahun. Mengapa? Pelakunya umumnya adalah dosen pengajar, pembimbing skripsi atau disertasi, pembimbing akademik, termasuk Profesor. Mereka memiliki kuasa amat besar terhadap mahasiswa, bisa menentukan kelulusan dan berapa nilai yang diperoleh oleh mahasiswa tersebut. Mahasiswa ini bisa S1, S2 bahkan S3, bisa perempuan, laki-laki, bahkan penyandang disabilitas.
Lalu apakah para pelaku ada yang dihukum atas perbuatannya? Amat jarang, bahkan yang sampai ke meja hijau hampir tidak ada. Mengapa? Karena tidak ada instrumen hukum yang mengaturnya. Secara politik, pengakuan terhadap terjadinya kekerasan seksual di kampus bisa memalukan institusi. Menyembunyikan dan membiarkan adalah jalan aman yang umumnya ditempuh. Para orang tua menguliahkan anaknya agar menjadi pintar, tetapi ada saja yang malah menjadi korban. Ternyata kampus bukan tempat aman bagi para mahasiswa. Survei Jakarta Post 2019 menunjukkan 96% korban adalah perempuan. Predator seksual ada di setiap sudut kumpus, bersembunyi dalam selubung etika moralitas yang palsu dan hipokrit.
Negara adalah institusi yang paling bertanggungjawab melindungi korban kekerasan seksual, termasuk para mahasiswa di kampus. Sampai sekarang tidak ada perlindungan hukum yang memadai bagi korban. Hukum pidana tidak cukup, karena menempatkan kekerasan seksual hanya sebagai tindak kejahatan kesusilaan. Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan karena korbannya bisa kehilangan nyawa, cacat atau trauma seumur hidup. Hukum Acara Pidana tidak mendukung korban, membebankan pembuktian kepadanya; dan sulit dipenuhi karena korban biasanya baru berani melapor lama sesudah kejadian, dan bukti sudah hilang. Terdapat ribuan korban setiap tahun, dan Komnas Perempuan melaporkan tahun 2020 saja terdapat sekitar 8000 kasus – yang tidak dilaporkan jauh lebih banyak. Sekitar 5000 diantaranya dilakukan pelaku yang seharusnya melindungi korban, seperti ayah, abang, paman, (incest), guru sekolah, guru agama, dosen, dan polisi. Masa pandemi korban incest meningkat.
Hadirnya Permendikbud 30/2021 adalah angin segar yang bertujuan melindungi para mahasiswa dari kekerasan seksual. Kondisi zero tolerance kekerasan seksual di kampus, yang digagas Permendikbud ini sangat ditunggu. Setidaknya tahun 2019, terdapat 174 kasus di 79 kampus di 29 provinsi. Pelakunya adalah dosen, mahasiswa, staff, tokoh agama di kampus, dokter di klinik kampus, dan warga lain. Korbannya 96 % adalah mahasiswi. Sebanyak 20 % tidak melapor dan 50 % tidak menceritakan kepada siapapun (Vice Indonesia, Tirto & Jakarta Post, 2019).
Namun apa yang terjadi? Ada saja yang menolak Permendikbud ini, yang adalah salah satu perisai hukum bagi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi, disamping UU TPKS yang menjadi payung hukum yamng lebih tinggi. Penolakan atas Permen ini nampak digemakan disertasi tafsir dan sentimen politik identitas yang merugikan korban.
Marilah kita membaca apa yang dirumuskan dalam peraturan ini. Kita mulai dari pengertian dasar kekerasan seksual di Pasal 1(1) dan penjelasan rinci tindak kejahatan kekerasan sekssual itu di Pasal 5 (1-5)
Pasal 1 (1) merumuskan kekerasan seksual sebagai : “setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal”
Definisi ini menjelaskan dengan sangat terang tindakan kekerasan seksual, yaitu (a) merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, danAtau fungsi reproduksi seseorang, (b) dalam kondisi ketimpangan relasi kuasa atau ketimpangan gender, (c) berakibat menderitakan korban secara psikis, fisik, mengganggu kesehatan reproduksi dan kesempatan belajar dengan aman dan optimal. Definisi ini nampak dikonsepkan berdasarkan berbagai kasus dan pengalaman korban di lapangan, yang jumlahnya ribuan itu.
Berikutnya adalah Pasal 5 (1-5) yang memuat soal (a) ruang linkup, (b) rincian tindak kekerasan seksual, dan (c) kondisi ketika tindak kekerasan seksual harus tetap dianggap sebagai kejahatan dengan mengabaikan unsur consent ketika korbannya di bawah umur, sakit, tidak berdaya, rentan karena berbagai alasan yang dijelaskan.
Pertama, tindakan mencakup kekerasan verbal, non-fisik, fisik, dan yang dilakukan melalui teknologi digital di Pasal 5 (1). Kedua, rincian tindakan kekerasan seksual di Pasal 5 (2) meliputi: (a) menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban; (b) memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban; (c) menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban; (d) menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman; (e) mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban; (f) mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; (f) mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; (e) menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; (f) mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi; (g) membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban; (h) memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual; (i) menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban; (j) membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban; (k) memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual; (l) mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual; (m) melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi; (o) melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin; (p) memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi; (q) memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil; (q) membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau (r) melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
Menjadi sangat jelas bahwa rincian tindakan yang dirumuskan dalam Pasal 5 (1) dan Pasal 5 (2 huruf (a-r) didasarkan pada kasus-kasus nyata pengalaman korban. Berbagai penolakan yang muncul atas Permen ini, dengan alasan moralitas, menjadi absurd. Ada yang mengatakan bahwa Permen ini secara langsung mengizinkan seks bebas bahkan mempromosikan LGBT, dengan alasan jika Pasal 5 ini dilakukan suka sama suka. Argumentasi ini jelas mengabaikan syarat utama kekerasan seksual: adanya relasi kuasa yang timpang. Jika seorang professor meminta mahasiswanya untuk melakukan hubungan seks dengannya, lalu dinyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah suka sama suka, maka hal ini sama saja membuang nalar dan rasionalitas ke kubangan. Atas dasar apa seorang mahasiswa mau melakukan hubungan seks dengan professor jika bukan karena rasa takut dan relasi kuasa yang sangat tidak seimbang.
Permen ini bahkan memasukkan perkembangan kejahatan seksual masa kini melalui digital. Di titik ini juga ada masalah menarik. Dalam beberapa diskusi, ada yang mengatakan, bahwa bagaimana jika seseorang salah kirim pesan kepada orang lain, sebab pengiriman pesan seringkali tidak bertanya kepada penerima. Dalam hal salah berkirim pesan di grup WA, tentu sudah biasa terjadi. Tapi jika seseorang mengirimkan gambar yang bernuansa seksual kepada orang lain, bisa dipastikan hal tersebut dilakukan secara sengaja. Sebab tidak mungkin ada orang yang mengirimkan gambar seperti itu tanpa sengaja.
Hadirnya Permen ini menjadi sangat krusial, sebab para pendamping korban, penekun studi perempuan, hukum dan ilmu sosial lain, dokter serta ahli forensik sangat mengerti betul bahwa memang tindakan semacam itulah yang terjadi dan dialami korban. Terutama tentu saja korban dan keluarganya yang dapat merasakan semua penderitaan.
Ketiga, soal persetujuan korban. Diskusi tentang consent atau persetujuan, yang seharusnya diletakkan pada konteks korban, justru ditarik ke arah yang sama sekali berbeda. Arah utama persetujuan direduksi, jika tidak menolak maka dikatakan setuju. Pendapat ini juga membuang nalar. Jika saya tidak setuju terhadap A, tidak berarti secara otomatis saya menyukai A. Persetujuan harus diletakkan pada sisi korban, bukan pelaku. Jika saya diam, tidak berarti saya setuju. Harus dicari alasan atas diamnya korban.
Hal ini bahkan diperkuat, khususnya pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, bahwa persetujuan dianggap tidak sah dalam hal Korban dalam situasi: (a) memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya; (c) mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba; (d) mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur; (e) memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan; (f) mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau (g) mengalami kondisi terguncang.
Bagian ini adalah yang paling menimbulkan kegaduhan. Padahal maksud dari pasal itu adalah tindak kejahatan seksual ini harus tetap dianggap terjadi, dan persetujuan korban harus diabaikan, ketika ia berada dalam kerentanan. Bukankah semua ini memang benar-benar terjadi? Kerentanan korban karena dia di bawah umur atau karena dieksploitasi oleh pelaku yang lebih berkuasa atas dirinya, diancam, dan tidak berdaya karena berbagai tipu daya pelaku, termasuk diberi obat agar mabuk, kehilangan kesadaran, sakit, tertidur, memiliki kondisi fisik dan psikologis rentan, kecacatan sementara, atau dalam kondisi terguncang. Ada begitu banyak laporan dicatat oleh organisasi masyarakat pendamping korban, bantuan hukum, dan tersiar di media masa dan sosial tentang situasi korban ketika tindakan terjadi.
Barangkali yang diinginkan adalah agar peraturan ini dilengkapi dengan larangan terhadap tindakan seksual di luar institusi perkawinan. Tentu saja tidak bisa diatur di sini, karena peraturan ini khusus ditujukan untuk korban kekerasan seksual di kampus. Lagipula tindakan seksual di luar perkawinan sudah lama diatur dalam hukum pidana kita, yang umurnya sudah 150 tahun.
Permen ini bahkan begerak lebih jauh, bahwa tanggungjawab utama dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual tidak hanya pada pemerintah, namun kampus selaku pemangku kepentingan utama. Bahwa kampus harus melindungi semua warganya, baik itu dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan. Bagaimana caranya? Permen ini mewajibkan setiap kampus memiliki tim satuan tugas yang memiliki kewenangan penuh dalam implementasi Permen. Satuan tugas ini berisikan dosen, tenaga kependidkan, dan mahasiswa yang memiliki komitmen dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Komitmen ini sudah diuji sejak awal, bahwa panitia seleksi dan calon tim gugus tugas harus menjalani serangkaian fit and proper test yang bersifat publik, dengan demikian tim ini jelas bukan membeli kucing dalam karung.
Konsekuensi logis dari hadirnya satuan tugas, tidak hanya bahwa kampus membuat tim yang bertugas untuk itu, namun juga memberikan payung hukumnya. Bahwa kampus harus membuat regulasi khusus yang menjadi landasan hukum bagi kerja-kerja tim satuan tugas tersebut. Permen secara eksplisit (Pasal 37) meminta pimpinan kampus untuk meyediakan semua fasilitas yang dibutuhkan, termasuk perlindungan keamanan dan pendampingan hukum.
Lalu bagaimana dengan kampus yang tidak memiliki sumber daya yang cukup? Sebab kita tahu bahwa tidak semua kampus memiliki sumber daya yang cukup dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Permen ini memang tidak secara eksplisit menyatakan bagaimana caranya, namun kampus dapat berjejaring dengan kampus lain maupun dengan dinas perlindungan perempuan di level kabupaten/kota atau provinsi yang memiliki sumber daya untuk itu.
Tidak ada alasan bagi kampus untuk menolak Permen ini, terutama dengan alasan keterbatasan sumber daya. Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan, yang penanganannya harus melibatkan banyak orang. Kampus tidak boleh lagi berlindung di balik selubung moralitas dan menyatakan bahwa kampus tidak mampu. Bukan tidak mampu, melainkan tidak mau.
Di bagian akhir, mari kita bertanya kepada diri masing-masing dengan jujur, apakah kita memerlukan Permendikbud ini untuk tujuan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang menimpa anak-anak kita di kampus? Karena kejahatan ini bisa menimpa siapa saja, termasuk anak-anak dan keluarga kita sendiri setiap saat. Sebagai bangsa beradab dan berkemanusiaan, maka negara dan kita semua wajib melindungi dan memastikan setiap orang bebas dari ancaman dan tindakan kekerasan seksual.