Mengapa saya mendukung Permendikbud 30/2021 tentang kekerasan seksual di Pendidikan Tinggi, sebuah pledoi

Bismillahirrahmanirrahim

Sebelum saya mulai ngoceh, ada tiga hal yang harus saya perjelas.

Pertama, tulisan ini sepenuhnya adalah respon dan pembelaan saya. Anda tidak perlu berterima kasih, memuji, atau mungkin mencela saya. Saya tidak pernah meminta anda, sebagai pembaca, untuk setuju dengan saya.

Kedua, tulisan ini lumayan panjang. Jika anda kebetulan sedang mengendarai mobil atau mungkin sedang menghadapi hidangan, tunda membaca tulisan ini. Saya tidak bertanggungjawab apapun jika anda kecelakaan atau kehilangan selera makan.

Ketiga, jika anda sudah memiliki preferensi untuk menolak Permen tersebut, yang adalah hak anda sepenuhnya, tidak perlu membuang waktu anda yang berharga untuk membaca tulisan ini. Tulisan ini tidak layak dibaca bagi mereka yang hanya membaca apa yang mereka inginkan.

Nah, saya sudah jelaskan tiga hal. Mari kita berjalan, dan dengarkan saya baik-baik.

Sebelumnya perkenalkan, saya Khaerul Umam Noer. Anda boleh memanggil saya Umam, Khaerul, bapak, mas, oom, oppa, apapun bolehlah. Saya adalah anggota tim Naskah Akademik permen yang saat ini sangat hype sekali. Jika anda mencela habis-habisan Permen ini karena dianggap liberal, radikal, wahyudi, remason, dll, saya dengan senang hati menawarkan diri sebagai pihak yang harus anda salahkan di tempat pertama.

Saya hanya orang yang kebetulan diminta, dan dengan tanpa ampun terseret arus ini. Namun seperti yang akan saya jelaskan kemudian, apa yang terjadi saat ini dan bagaimana saya harus merespon, sejatinya telah saya pertimbangkan sebelum saya mengatakan iya, consensually (terma ini akan terus saya pakai), untuk terlibat dalam Permen ini.

Maka, izinkan saya memulai.

I

Tahukah anda kekerasan seksual di Indonesia datanya terus meningkat? Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2021) mencatat bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus. Data ini dihimpun dari 3 sumber yakni: PN/Pengadilan Agama sejumlah 291.677 kasus, Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 8.234 kasus, dan Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR), satu unit yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan, untuk menerima pengaduan langsung korban, sebanyak 2.389 kasus. Dari jumlah itu, 79% atau 6.480 kasus adalah ranah personal, dan 21 % atau 1.731 kasus adalah ranah komunitas, dengan kasus terbanyak adalah kekerasan seksual, baik berupa pencabulan (sic!), perkosaan, dan pelecehan seksual.

Mari kita lihat data yang lain. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, melalui Simfoni (Sistem Informasi Perempuan dan Anak) pada periode 1 Januari-9 Juni 2021 terjadi 2.319 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengan 2.347 korban dan 3.314 kasus kekerasan terhadap anak dengan 3.683 korban. Bahkan data ini belum 1 tahun berjalan.

Apakah data-data ini adalah data yang sebenarnya? Bahkan KPPPA dan Komnas Perempuan mengakui secara terbuka, bahwa data kekerasan adalah puncak gunung es, terutama di masa pandemi saat ini. Artinya, lebih banyak kasus tidak terlapor.

Pertanyaannya adalah, mengapa orang enggan melapor?

Tahun 2016, Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene.co melakukan survey daring ke 25,214 orang, dan tiba pada konklusi bahwa 93% penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum. Pada 2017, Badan Pusat Statistik merilis hasil survei nasional yang menyebut satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual selama hidupnya.

Ada banyak alasan orang enggan melapor. Jika anda perempuan, kemudian mengalami tindak kekerasan berupa perkosaan, maukah anda melaporkan kasus yang anda alami?

Kalau saya ditanya begini, saya bisa menjawab: bergantung. Bergantung apakah negara dan aparatusnya (dalam hal ini PT) menjamin sepenuhnya laporan saya ditindaklanjuti? Bergantung apakah anonimitas saya terlindungi? Bergantung apakah komunitas tempat saya berada mau melindungi? Jika semua hasilnya negatif, ditambah pula beban atas nama “nama baik keluarga, agama, moralitas, dan institusi”, maka saya memilih bungkam.

Diam.

Berharap semua berlalu, hanya mimpi buruk, dan waktu akan menyembuhkan. Semua akan baik-baik saja.

Pertanyaannya adalah, apakah semua (pada akhirnya) baik-baik saja?

Jika anda feminis, mau mendengarkan narasi yang terliyankan, berempati dan selalu membela yang terpinggirkan, anda akan sepakat dengan saya. Semua tidak pernah baik-baik saja.

II

Satu tahun yang lalu, saya lupa persisnya, mungkin di bulan Juni/Juli, salah satu sahabat saya menghubungi dan meminta kesediaan saya bergabung dalam tim Naskah Akademik yang menjadi justifikasi hadirnya Permen ini. Saya bertanya, siapa saja makhluk-makhluk astral yang menghuni tim ini. Saya melihat daftarnya, dan saya mengangguk setuju. Ini Tim Palugada. Dan saya setuju (consensually) untuk bergabung, meski dengan kesadaran penuh, ini adalah tim paling sinting yang pernah saya, secara sadar sepenuhnya, menceburkan diri.

Mengapa saya bilang sinting? Ada dua alasan.

Pertama, regulasi apapun yang ada kaitannya dengan Kekerasan Seksual pasti mandeg. Ada sejenis kondisi hipokrit yang menyebabkan kemandegan ini. Salah satunya, kita terlalu takut dengan terma seks. Lihat saja RUU PKS, bolak-balik dibahas, ditelikung, dianulir, dikritisi, tambah sana-sini. Bertahun-tahun, dan ribuan orang jadi korban, apakah disahkan? Ga tuh. Seperti yang pernah saya bilang di tim, mungkin perlu mencontoh Kemenag. Tahukah anda Kementerian Agama telah terlebih dahulu mengeluarkan aturan mengenai Kekerasan Seksual sejak tahun 2019, apakah ada yang marah? Ga tuh. Mengapa? Sederhana, sebab di Kemenag bentuknya adalah SK Dirjen Pendis, bukan menterinya langsung. Haqqul yaqin, jika Menag mengeluarkan Permen yang sama, dia akan dibilang kafir liberal murtad wahyudi.  

Kedua, regulasi apapun yang berkaitan dengan kekerasan seksual, membutuhkan daya tahan dan daya lenting tingkat dewa. Jika saja anda tahu berapa kali kami tim harus zoom meeting untuk membahas setiap kata dalam Permen, anda akan tahu mengapa saya (atau kami) mengalami zoom fatigue setiap kali menerima undangan pembahasan Permen. Bahkan ada kalanya kami berdebat berjam-jam hanya untuk redaksi kata dalam sebuah kalimat.

Tapi saya bersedia bergabung, alasannya sederhana: saya ingin negara (dalam hal ini adalah PT) hadir memberikan perlindungan bagi mereka yang membutuhkan.

Semangat utama Permen ini adalah perlindungan dan rasa aman bagi semua orang di Pendidikan Tinggi, yang secara kuantitas, sangat sangat sangat kecil.

Tahukah anda bahwa setiap tahun ada 1,77 juta mahasiswa baru di Indonesia (setidaknya itu data Kemdikbud tahun 2019 silam), dan jumlah ini jauh dibandingkan jumlah peserta didik dari level SD-SMA yang jumlahnya 45,3juta sekian di tahun yang sama. Bahkan jika jumlah SMA dan SMK digabung, totalnya 9,7 juta orang, yang melanjutkan kuliah hanya 1,77. Artinya hanya 1 dari sembilan orang lulusan SMA-SMK yang melanjutkan ke PT.

Tahukah anda, bahwa ada kekosongan hukum yang melindungi mahasiswa ini. Bagi peserta didik di level SD-SMA, jika terjadi kekeran seksual, pelaku dapat dijerat UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Nah, celakanya, para mahasiswa ini bukan lagi masuk dalam kategori anak. Di sisi lain, RUU PKS yang diharapkan menjadi payung hukum tidak kunjung muncul.

Di sisi lain, sivitas akademika PT bukan hanya mahasiswa, namun juga dosen dan tenaga kependidikan. Maka dengan kesadaran semacam ini, menjadi sangat penting untuk membentuk perlindungan dan rasa aman bagi semua orang.

Itu semangat utamanya. Perlindungan dan rasa aman.

Apakah kampus tempat anda saat ini aman? Mungkin iya, mungkin tidak. Permen ini menjejak lebih dalam: bahwa kampus HARUS aman.

Pertanyaannya adalah, bagaimana mewujudkan rasa aman?

III

Ada banyak cara mewujudkan rasa aman. Sebagian besar orang berharap pada teknologi CCTV. Logikanya sederhana: pasang CCTV, semua orang takut melakukan kejahatan, maka rasa aman muncul. Sangat Foucault (jika anda tahu yang saya maksud). Pertanyaannya, adakah hal ini benar-benar terjadi?

Kesalahan utama terletak pada pemahaman, bahwa kekerasan seksual itu harus ada kaitannya dengan esek-esek. Sejenis sesat pikir yang umum terjadi. Kekerasan seksual tidak harus berupa kontak fisik. Catcalling, sindiran, hinaan, adalah kekerasan seksual.

Setidaknya terdapat 174 kasus kekerasan seksual di PT yang muncul pada 2019, tersebar di 79 kampus, di 29 kota. Dan ini lagi-lagi adalah puncak gunung es. Jika anda mau meluangkan waktu dan pulsa untuk berselancar di dunia maya, anda akan tahu bahwa kampus-kampus tempat di mana kekerasan terjadi sangat terkenal. Apakah kampus-kampus tersebut begitu miskinnya sampai tidak bisa beli CCTV? Jelas tidak.

Karena masalahnya adalah relasi yang timpang, yang terkubur rapat dalam menara gading pengetahuan, maka solusinya bukan CCTV. Karena masalahnya ada pada kebungkaman dan pembungkaman atas dasar nama baik kampus, maka semua kekerasan seksual harus disimpan di bawah karpet. Itu sebabnya cara paling aman (baca: untuk PT) adalah membuat sesat pikir, kemudian menyebarkan sesat pikir itu (dan celakanya mulai perocaya bahwa sesat pikir itu benar), bahwa kekerasan seksual hanya berupa tindakan fisik.

Jika anda membaca definisi kekerasan seksual dalam Permen ini, maka definisinya luas sekali. Tidak hanya kontak fisik. Saya kutip lengkap.

Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

Terdapat dua inti dari definisi ini.

Pertama, kekerasan seksual harus dilihat dalam perspektif relasi kuasa yang timpang. Jika anda memahami hal ini, maka anda tidak akan mengacaukan logika berpikir anda bahwa Permen ini mendorong orang berbuat zina. Period.

Contohnya bagaimana?

Saya dosen, saya punya enam orang mahasiswa bimbingan saya. Si A, si B, si C, si D, si E, dan si F. Pada suatu hari, saya menghubungi A untuk menghadap ke ruangan atau tempat manapun saya mau. Dengan alasan untuk bimbingan. Kemudian saya rayu dia, saya goda dia, saya jamah dia (anda boleh berfantasi apakah mahasiswa itu perempuan atau laki-laki, monggo saya nunut aja, toh itu fantasi anda), dan akhirnya A itu setuju untuk melakukan seks dengan saya.

Pertanyaannya, apakah yang saya lakukan itu kekerasan seksual atau zina? Mari kembali ke motif.

Kekerasan seksual bicara soal relasi kuasa. Menjadi pertanyaan, apakah si mahasiswa bisa menolak keinginan saya? Anda boleh bilang, BISA. HARUS BISA. Pertanyaannya, apakah betul bisa? Berbagai laporan kekerasan seksual di PT selalu berawal dari satu hal: relasi kuasa. A mungkin bisa menolak, dengan risiko bahwa saya mungkin enggan menandatangani tugas akhirnya. Yang berakibat kuliah dia mandeg. A bahkan mungkin bisa melapor ke Kaprodi atau Dekan atau Rektor, yang mungkin akan menyebabkan saya dipanggil oleh Fakultas. Pertanyaan berikutnya, suara siapa yang lebih didengar? Suara saya (sebagai dosen) atau suara si A? Jika anda berpikir semua orang pasti mendukung A, maka anda jelas salah negara atau sedang dalam halusinasi tingkat dewa.

Ada yang bilang jika Permen ini tidak sesuai dengan nilai-nilai moralitas (baca: Islam) karena menekankan pada persetujuan. Misal, bagaimana jika saya (dosen) menunjukkan kelamin saya ke A (mahasiswa), dan A setuju. Saya kutip “bukankah memperlihatkan alat kelamin yang tidak pada tempatnya adalah bentuk kejahatan dan dosa? … kalau semua bentuk kejahatan seksual (perzinahan atau yang menjurus pada perzinahan) itu dilakukan dengan persetujuan … tidak dimasukkan dalam kategori “kekerasan seksual”.

Apakah yang kami lakukan itu zina? Nah, saya tidak mau masuk terlalu dalam. Meski sering dicap liberal, radikal, Marxian, Kantian, atau apapun itu, biar begini saya lulusan pesantren dan masih bisa baca kitab kuning. Anda boleh cek kitab fikih manapun. Jumhur ulama menyatakan bahwa aktivitas seksual baru disebut zina karena dua hal: ada dua orang, dan ada konsensual di antara keduanya. Bahwa saya dan A betul-betul sadar melakukan seks, suka sama suka, tanpa paksaan, tanpa tekanan. Hanya hasrat. Zina mutlak bersifat konsensual. Jika A tidak melakukannya dengan sukarela, maka aktivitas tersebut tidak dapat disebut zina, melainkan perkosaan. Sesederhana itu.

Ada sesat pikir disini. Slipery Slope. Asumsinya, jika saya menunjukkan kelamin saya, anda setuju, maka saya dan anda pasti melakukan seks. Slipery Slope, jika A dilakukan, maka pasti B. Jika Permen tidak bicara soal zina, maka pasti Permen ini pro zina. Permen ini tidak mengatur soal zina, bukan berarti Permen ini mendukung zina. Salah satu alasan paling logis mengapa Permen ini tidak bicara soal zina, karena – setidaknya saya – percaya bahwa sebagai sivitas akademika, kita memiliki nilai moral yang sama. Bahwa saya, dengan muruah yang saya punya, tidak mungkin melakukan aktivitas seksual dengan kolega dosen, mahasiswa, atau tendik. Permen ini mencoba mencegah hal itu, yang celakanya sering muncul di lapangan.

Contoh lain. Misalnya saya Dekan, saya kemudian meminta dosen baru untuk masuk ke dalam ruangan saya, kemudian saya mencium dia. Apakah si dosen bisa berteriak? Bisa saja. Apakah dia mau berteriak? Belum tentu. Persoalannya bukan Permen ini membolehkan saling jamah, sentuh, rayu goda, dan seks asal dasar suka sama suka. Saya yakinkan anda, dalam konteks PT, tidak ada seorangpun yang mau melakukan itu atas dasar suka sama suka.

Konsent disini seringkali disalahpahami sebagai bentuk dorongan. Ada adagium, assukut yadullu ala ridha. Jika saya diam, maka saya rela. Lalu dikaitkan dengan seks. Hilih kintil. Mengutip dosen saya dulu, ada lompatan logika yang luar biasa di sini. Jika anda mahasiswa saya, lalu saya sentuh anda, dan anda diam, lalu saya anggap anda setuju, kemudian kita berdua melakukan seks. Lalu anda bilang itu akibat dari konsensual? Bukan. Itu perkosaan.

Titik tekannya ada pada relasi kuasa. Siapa yang memiliki kekuasaan lebih, siapa yang dikuasi sebagai subordinat. Jika anda secara sosial dan kultural di bawah saya, jika hidup anda di tangan saya, maukah anda menolak perintah saya? Jelas tidak.

Kedua, dan ini konsekuensi, bahwa tindakan apapun itu yang kemudian berdampak pada korban, baik itu fisik, psikis, atau kesempatan untuk melaksanakan pendidikan, adalah bentuk kekerasan seksual.

Artinya, tindak kekerasan seksual bukan hanya kelebat potret, hanya sebuah peristiwa di tempat kejadian. Kekerasan seksual berlanjut pada tahap berikutnya: dampak atas kekerasan seksual itu sendiri, baik langsung atau tidak langsung.

Ada pula yang berkomentar bahwa Permen ini penuh muatan LGBTIQ. Dan saya hanya bisa meringis, ngeri-ngeri sedap logika berpikirnya. Anda boleh membaca semua isi Permen, dan anda akan menemukan bahwa komentar itupun sesat pikir. Burden of proof. Anda yang menuduh, dan ketika saya membenarkan, anda bilang ke saya, buktikan kalau saya salah. Halo. Kita sama-sama akademisi, tolonglah bernalar sedikit. Permen ini mencegah tindak kekerasan dari dosen ke mahasiswa atau tendik, vice versa. Dari laki-laki ke perempuan, atau dari laki-laki ke laki-laki, atau dari perempuan ke perempuan.

Sahabat saya ini rada ngeyel dan bilang, ga mungkin perempuan melakukan kekerasan seksual pada perempuan lainnya? Saya hanya bilang, yakin? Tidakkah anda bias kelas menengah? Tanyakan pada pelaju di komuter, apakah mereka pernah menjadi korban kekerasan seksual dari sesama jenis. Jangan berpikir bahwa hanya kelompok LGBTIQ saja yang menjadi pelaku kekerasan seksual, karena secara statistik ini kelompok ini sangat kecil jumlahnya. Siapa yang paling banyak? Heteroseksual. Dan anda berpikir kaum hetero ini anti kekerasan seksual?

Ini bukan soal LGBTIQ atau apapun, ini soal perlindungan dan rasa aman, pada siapapun. Persetan jenis kelamin, ras, tingkat ekonomi, atau bahkan orientasi seksual.

Jadi definisi kekerasan seksual harus dilihat dalam tiga level: level interrelasi, level aksi, dan level reaksi.

Maka Permen ini bukan soal esek-esek, bukan pula soal liberalisme. Permen ini soal perlindungan dan rasa aman. Jika anda masih beranggapan kampus adalah tempat paling aman, maka anda perlu berbincang dengan mereka yang mendampingi korban. Tidak ada tempat aman, bahkan kampus sekalipun. Saya tidak mengatakan bahwa kampus tidak aman sama sekali, namun menitikberatkan rasa aman hanya pada teknologi sekaligus pada kesadaran moral setiap individu adalah tindakan pragmatis dan sia-sia. Sebab fakta bicara hal yang berbeda.

Saya boleh bilang, dengan bangga, Permen ini adalah regulasi paling religius yang dibuat oleh (mungkin) orang paling sekuler. Lupakah soal zina, jika Permen ini betul dilakukan, jelas zina (setidaknya yang mereka pahami) hanya akan terjadi di ruang dosen atau ruang kelas. Dan jika hal itu terjadi, maka mutlak terjadi kebejadan yang tidak ada taranya. Tapi kekerasan seksual bukan soal zina, melainkan soal relasi yang timpang dan penyalahgunaan kekuasaan, yang sayangnya bisa terjadi di mana saja. Permen ini justru mencoba membatasi ruang geraknya.

Contoh, lihat Pasal 6 ayat 3 hurup D, bahwa PT harus membatasi pertemuan antara Mahasiswa dengan Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan di luar jam operasional kampus dan/atau luar area kampus. Lihat pula Pasal 7 ayat 1 hurup A, bahwa saya sebagai dosen tidak boleh mengadakan pertemuan pribadi dengan mahasiswa di luar area kampus, di luar jam operasional, di luar soal pembelajaran tanpa seizin kaprodi. Artinya apa, jika saya tetap melakukan itu, maka Kaprodi bisa ikut diseret sebagai antek-antek saya. Kalau ini bukan bagian dari upaya “mencegah mendekati zina”, maka saya ga tahu lagi ini apa namanya.

IV

Pertanyaan lanjutan: bagaimana mencegah, menangani, dan memulihkan korban?

Permen ini mewajibkan PT untuk membentuk Satgas, yang didahului dengan Panitia Seleksi. Nah, Satgas ini menjadi bola panas, sebab ada lima kriteria, mulai dari pernah melakukan pendampingan korban, pernah melakukan kajian tentang kekerasan seksual, pernah terlibat dalam organisasi di bidang gender, memiliki minat dan kemampuan, serta (ini buat saya paling penting) tidak pernah terbukti melakukan kekerasan termasuk kekerasan seksual.

Ada yang bilang kalau syarat ini sangat berbau feminis, feminis radikal pula.

Maka saya bertanya, apa salahnya menjadi feminis?

Jika anda membaca Sirah Nabawiyah dengan benar, anda pasti setuju dengan klaim saya bahwa Nabi Muhammad adalah feminis. Feminis yang saya maksud bukan hanya teori, melainkan praksis.

Saya punya banyak contoh orang yang mengklaim diri sebagai feminis, namun hanya pada tataran teoritik, bukan praksis. Perempuan yang menindas laki-laki dan perempuan lainnya. Tidak berarti anda perempuan, berpendidikan, wira-wiri diundang atau nulis tentang gender, lalu otomatis anda feminis.

Feminisme adalah tentang daya nalar, kritisisme atas situasi dan kondisi yang timpang, serta penolakan untuk diam dan bungkam. Feminis memiliki epistemologi tersendiri yang berpijak pada penalaran kritis.

Saya tidak akan terlibat dalam adu jangkrik apakah itu feminis liberal, radikal, marxian, atau apapun. Bagi mereka yang terlibat dalam feminis sebagai praksis akan menyadari, bahwa feminisme itu tidak tunggal dan tidak pernah benar-benar tunggal. Jika anda hanya membaca buku Feminist Thought (itupun jika anda benar-benar membaca, bukan modal kata-katanya), yang diterjemahkan dengan sangat ciamik oleh sahabat saya, kemudian menganggap diri anda khatam soal feminis, so be it. Suka-suka anda saja.

Satu hal yang harus saya garis bawahi, mengapa Satgas ini perlu memiliki kriteria yang lumayan berat adalah karena tugasnya sama sekali tidak ringan. Kembali ke laptop. Jika anda diperkosa, lalu anda harus menceritakan kejadian tersebut ke orang yang tidak memiliki empati, maukah anda bercerita? Saya yakin tidak.

Mereka yang bergerak dalam pergerakan dan isu gender memahami dengan betul, bahwa empati adalah titik berangkat. Tanpa empati, anda tidak akan mau mendengar. Anda hanya jadi penceramah yang hanya mau bersuara tanpa mau mendengar. Celakanya, orang-orang merespon Permen ini adalah tipe-tipe itu. Para penceramah.

Maka izinkan saya bertanya, apakah anda, yang merasa sebagai penceramah, pernah mendampingi korban? Mendampingi dalam definisi, niat, dan tindakan yang sebenarnya?

Maka dalam diskusi tim naskah akademik, kami berdebat panas organ mana yang diberikan kewenangan untuk menjadi garda terdepan implementasi Permen ini. Saya secara pribadi menolak usulan untuk menjadikan Pusat Studi Gender/Wanita, atau apapun lah namanya sebagai garda terdepan. Alasannya sederhana: tidak semua PT punya PSG/W, pun tidak semua PSG/W punya orang-orang yang betul kapabel dan memiliki empati.

How come? Kok bisa? Ya bisa. Banyak orang mengklaim ahli gender, riset sana-sini, tapi tidak memiliki empati dan perspektif. Di sisi lain, banyak orang yang punya perspektif dan empati, namun enggan masuk dalam struktural (PSG/W itu rata-rata structural di LPPM/DRPM). Para introvert tulen, yang bekerja dalam diam, namun memiliki empati luas dan pendengar handal, itu yang kami cari.

Di sisi lain, tugas satgas ini sangat tidak mudah. Saya tidak pernah harap akan menjadi satgas di kampus saya, sebab saya tahu beban kerjanya amat tidak ringan. Satgas ini tidak hanya mengatur regulasi pencegahan, namun juga mengimplementasikan pencegahan di semua aras. Lebih jauh, satgas ini menangani dan rehabilitasi korban. Memastikan keadilan restoratif terlaksana. Itu sebabnya perspektif, empati, dan pengalaman menjadi sangat krusial.

Maka izinkan saya menggarisbawahi dengan spidol hitam dan stabilo berwarna: bagi orang-orang yang hanya mengejar jabatan struktural dengan alasan gengsi dan gaji, jika masih punya nurani sedikit saja, tolong jangan melamar di satgas ini.

V

Terakhir, salah satu teman bilang, bahwa Permen ini dibuat tanpa kajian ilmiah. Maka saya secara terbuka menyatakan, bahwa menggarap Naskah Akademik Permen ini sama capeknya dengan menggarap disertasi. Jika saya menulis disertasi, dan komite penguji hanya enam-sepuluh orang, maka NA Permen ini komite pengujinya se Indonesia Raya.

Saya yakinkan anda, bahwa kami melakukan kajian mendalam ketika menyusun NA. Saya melakukan wawancara kepada 48 orang, mulai dari ketua atau pengurus Pusat Studi Gender/Anak di PTN/PTS/PTKIN/PTKIS, NGO, CSO, dan individu-individu lain. Mengumpulkan cerita, narasi, gossip, dan lain-lain. Mengumpulkan masukan, kritik, dan permintaan. Tim perumus naskah ini adalah tim paling ciamik soro yang pernah saya ikuti, bahkan setahun setelah NA selesai (NA selesai September 2020), masih harus mengurusi Permen ini.

Apakah pekerjaan selesai? Sayangnya tidak. Saya, kami di tim NA menyadari itu sepenuhnya. Bahkan saya masih harus membuat pledoi untuk menjelaskan di mana saya berdiri.

Secara pribadi, saya berhutang pada sahabat yang sudah mau bercerita dan membantu, mulai dari NA, draft, uji publik hingga akhirnya Permen ini muncul. Dengan kesadaran yang sama saya berdiri membela Permen ini. Permen ini adalah kerja kolektif semua orang yang memiliki kepedulian tentang kekerasan seksual. Jika anda tidak peduli soal kekerasan seksual, monggo saja, itu hak anda. Saya hanya minta, jangan halangi mereka yang percaya untuk melindungi korban (siapapun dia) dan menjaga muruah pendidikan tinggi yang aman dari predator seksual.

Sebagai penutup, saya akan mengutip Dante Alighieri, the darkest places in hell are reserved for those who maintain their neutrality in times of moral crisis.

Tabik,

Khaerul Umam Noer

Alumni Pesantren. Antropolog. Feminis.