Pulang

Akhirnya saya pulang.

Tempus fugit. Time flies. Waktu berjalan amat cepat, tidak terasa 18 tahun sudah saya meninggalkan almamater saya, Attaqwa. Sejak lulus dari Pondok Pesantren Attaqwa Putra pada 2003 silam, saya memang belum pernah kembali ke rumah saya. Meski saya merupakan salah satu keluarga yang menyelenggarakan pendidikan Attaqwa, namun saya tidak pernah benar-benar terlibat di dalamnya, apalagi di Yayasan Pusat. Saya memang banyak terlibat, namun secara sepintas lalu.

Ibarat pelaju, saya hanya melihat sebuah bangunan dari jauh, tanpa pernah benar-benar masuk ke dalam, duduk di kursinya, dan berinteraksi dengan para penghuninya. Saya tidak lebih dari turis yang menikmati pemandangan tanpa pernah berpikir panjang tentang apa yang saya amati.

Namun semua berubah total. Hari ini, saya dipercaya sebagai Sekretaris Perguruan Attaqwa. Saya yang selama 18 tahun berkeliaran di luar sistem, melihat dari jauh apa yang terjadi, saat ini dipaksa masuk ke dalam, duduk di dalam, dan dengan seluruh pengalaman saya di luar, diharapkan untuk membongkar ulang sistem yang ada.

Bagi sahabat yang bukan orang Attaqwa, mari saya bercerita sedikit tentang Attaqwa.

I

Sejak kakek saya (terus terang saya jengah menyebut nama kakek saya, tapi apa boleh buat), Almaghfurlah KH. Noer Alie  pulang dari Mekkah pada tahun 1940, beliau melihat bahwa masyarakat di sekitarnya amat membutuhkan pendidikan. Itu sebabnya pada 1954, hal pertama yang beliau lakukan mendirikan masjid Masjid adalah jangkar utama Attaqwa, semua Yayasan dan amal usaha Attaqwa selalu di mulai dari masjid. Tidak cukup dengan masjid, beliau mendirikan Pesantren Islam Bahagia (PIB).

6 Agustus 1956, tepat 65 tahun silam, beliau dan beberapa orang Badan Pendiri mendirikan Jajasan Pembangunan, Pemeliharaan, dan Pertolongan Islam Desa Ujungmalang Tengah. Yayasan ini adalah hulu dari segala hal. Yayasan ini adalah cikal sekaligus milestone terpenting, sebab dari Yayasan ini semua hal tentang Attaqwa dimulai.

Tahun 1962, beliau mendirikan Madrasah Menengah Attaqwa (MMA) yang merupakan perubahan sistem dari Pesantren Islam Bahagia, dan meski kita bisa berdebat di sini apakah PIB atau MMA adalah cikal dari Pondok Pondok Pesantren Attaqwa Putra, namun saya cenderung memilih PIB adalah cikalnya. Tahun 1964, sebuah milestone baru kembali dibangun: Pesantren Albaqiyatussalihat, yang merupakan akar dari Pondok Pesantren Attaqwa Putri.

Pada awalnya, Yayasan ini sepenuhnya bersifat tradisional dan hanya fokus pada penyelenggaraan kegiatan dakwah keagamaan dan pendidikan di Ujungharapan. Tapi perlahan mulai banyak orang-orang yang mewakafkan tanahnya kemudian membentuk lembaga filial dengan Attaqwa. Dan waktu terus berjalan.

17 Desember 1986, berdasarkan Akta Notaris Soedirja, nama Jajasan Pembangunan, Pemeliharaan, dan Pertolongan Islam Desa Ujungmalang Tengah berubah nama menjadi Yayasan Attaqwa. Almaghfurlah mundur secara sukarela, dan proses regenerasi tahap pertama dimulai.

Regenerasi adalah sunnatullah. Dia pasti terjadi, anda suka atau tidak. Semua organisasi pasti melakukan hal itu, cepat atau lambat, sukarela atau dipaksa. Dalam konteks 1986, regenerasi terjadi nyaris alamiah, tidak ada catatan apapun yang menyatakan bahwa kakek saya tidak mampu melanjutkan kepemimpinannya dengan alasan apapun. Beliau fit seratus persen, namun toh menyerahkan tongkat itu ke anaknya, paman saya.

Maka sejak 1986, Yayasan Attaqwa berada di bawah komandan baru. Setidaknya terdapat dua kali restrukturisasi, pada 14 Oktober 2002 dan 16 Mei 2014. Saya mau fokus ke tahun 2014 saja, di tahun itu, struktur Yayasan Attaqwa dirombak sepenuhnya. Sebelumnya hanya ada Badan Pendiri dan Badan Pengurus, namun sesuai amanat UU Yayasan, Yayasan Attaqwa membentuk tiga badan utama: Badan Pembina, Badan Pengurus, dan Badan Pengawas. Jika organisasi dianaloggkan sebagai tubuh, Badan Pembina adalah kepala yang mengarahkan segala sesuatunya.

Dan Badan Pembina lah yang memaksa saya pulang ke Attaqwa.

Pandemi yang menghantam pada 2020 hingga saat ini secara langsung, frontal, dan banal memaksa Attaqwa untuk mengakselerasi laju perubahan. Keluarga kami, anak-anak Almgahfurlah KH. Noer Alie, hanya punya dua orang anak laki-laki, paman tertua saya (KH. Moh. Amin Noer) memimpin Yayasan Attaqwa, dan paman lainnya (KH. Nurul Anwar) memimpin Pondok Pesantren Attaqwa Putra. Berpulangnya KH. Nurul Anwar pada Oktober 2020 membuka kotak pandora itu.

Attaqwa memang belum pernah secara serius membicarakan soal regerenasi. Alasannya sederhana: sungkan.

Saya punya cerita sendiri di sini. Ketika saya menyelesaikan pendidikan pascasarjana saya tahun 2009 silam, KH. Nurul Anwar pernah meminta saya untuk pulang dengan mengajar di Attaqwa Putra. Tawaran yang saya tolak dengan halus karena dua hal. Pertama, saya tahu persis jika saya iyakan, maka saya mungkin akan keteteran dalam studi ke depan, sebab saya sudah berniat akan melanjutkan ke jenjang doktoral. Kedua, pada saat tawaran itu tiba, saya sedang terlibat dalam project riset. Maka dengan alasan sulit untuk membagi waktu dan karena Attaqwa Putra punya cukup banyak guru, saya menolak tawaran tersebut. Paman saya hanya tertawa dan mengiyakan. Saya masih ingat kata-katanya, iya dah, ntar juga kalau saatnya tiba saya pasti pulang.

Tak lama berselang, paman tertua saya juga berpulang. Secara kelembagaan, Attaqwa masih berdiri, namun secara psikologis, Attaqwa mengalami guncangan. Hanya dalam waktu kurang dari satu tahun, kedua jangkar itu putus. Attaqwa harus segera berbenah, siap atau tidak. Maka Badan Pembina, yang diamanatkan sebagai kepala organisasi harus segera memutuskan.

Andaikan beliau tahu, bahwa kepulangannya membuat saya dipaksa pulang, mungkin beliau akan kembali tertawa senang.

II

6 Agustus 2021, tepat 65 tahun setelah Jajasan P3I berdiri, Yayasan Attaqwa kembali mengalami regenerasi berikutnya. Di titik ini saya terlibat, diceburkan lebih tepatnya.

Regenerasi kembali terjadi. Jika pada 1986, ketika KH. Moh. Amin Noer naik ke tampuk kepemimpinan Attaqwa, Almaghfurillah masih hidup dan dapat memberikan arahan; maka ketika KH. Irfan Mas’ud naik ke tampuk kepemimpinan, KH. Moh. Amin Noer telah moksa dan tidak mampu memberikan arahan apa-apa. Meski demikian, Alhamdulillah Badan Pembina masih ada, yang mampu memberikan arahan mau ke mana Attaqwa.

Nah, itu dia. Mau ke mana Attaqwa? Atau lebih tepatnya, dalam konteks saya, mau ke mana Perguruan Attaqwa?

Perguruan Attaqwa adalah unit amal usaha yang paling banyak dimiliki oleh Yayasan Attaqwa. Hingga tahun 2021, tercatat 171 unit pendidikan di Perguruan Attaqwa, tersebar di Yayasan Attaqwa Pusat dan Cabang, di wilayah Bekasi, Karawang, Jakarta, hingga Kalimantan Barat. Secara data, terdapat 44 unit RA/TK, 61 unit MI/SD, 36 unit MTs/SMP, 23 unit MA/SMA/SMK, 4 unit Pondok Pesantren, dan 2 unit PT.

Saya berandai-andai, karena saya tidak tahu persis datanya, jika setiap unit terdapat 200 orang siswa, maka minimal ada 34.200 orang siswa/mahasiswa. Sebab saya tahu persis ada cukup banyak unit pendidikan yang siswanya lebih dari 400 orang, bahkan ada beberapa yang jumlahnya mencapai lebih dari 1000 orang. Jika setiap unit ada 60 orang guru, maka minimal ada 10.260 orang guru. Belum lagi kalau saya menghitung tenaga kependidikan, mencakup laboran, Tata Usaha, staff administrasi, dll dst dsb. Mungkin, mungkin lho ya, ada 45.000 orang yang terlibat di Perguruan Attaqwa

Maka boleh lah saya migrain. Saya yang tidak pernah mengurus begitu banyak orang, apalagi di lembaga riset tempat saya bernaung atau universitas tempat saya bekerja, saya tidak pernah bertanggungjawab pada begitu banyak orang.

Persoalannya adalah, bahkan dalam statistik sederhana, mayoritas stakeholder Perguruan Attaqwa itu ada di pendidikan dasar. Dari 171 unit pendidikan, 101-nya adalah pendidikan dasar, jenjang TK dan SD. Pendidikan Tinggi, area bermain aman saya, hanya kurang dari 8% dari total populasi Perguruan.

Di sisi lain, disparitas antara satu unit pendidikan dengan unit pendidikan lainnya sangat lebar. Di level MI/SD saja, terdapat 61 unit sekolah yang boleh jadi kesenjangannya sangat luas, baik dari sisi fasilitas, kualitas guru, layanan pendidikan, hingga luaran pendidikan. Disparitasnya bahkan bisa diperluas, mulai dari level Taman Kanak-kanak hingga PT dengan segala perincilan dan tetek-bengeknya.

Maka, mau ke mana Perguruan Attaqwa? Ini pertanyaan yang terus saya ajukan sejak 6 Agustus silam. Akan kemana kapal ini saya bawa? Meski secara manajemen strategis bukan saya yang menentukan tujuan kapal ini, melainkan Badan Pembina dan Ketua Yayasan, namun secara opersional saya yang bertanggungjawab mengoperasionalisasi tujuan tersebut. Bukan sekedar mau kemana, melainkan dengan cara apa kita semua sampai di sana. Sekedar menentukan mau kemana itu mudah, namun menentukan strategi untuk tiba di tujuan adalah perkara sulitnya.

Ibarat supir, saya adalah supir baru di tengah jalan yang bercabang. Pemilik mobil sudah menentukan tujuan, maka tugas saya memastikan mobil ini tiba di tujuan. Maka sebelum itu, saya melakukan asesmen terhadap mobil yang akan saya kendarai sebelum menentukan rutenya. Itu yang akan saya lakukan pertama kali.

Kepulangan saya bukan hanya sekedar pulang, ke rumah yang sudah siap pakai. Saya datang tidak membawa kopor apa-apa, sebab bukan menginap di apartemen atau hotel berbintang. Kepulangan saya membawa sekop, arit, dan obor. Kepulangan saya bukan hanya membutuhkan sebongkah keberanian dan sejumput akal sehat, namun juga segerobak kenekatan. Saya datang bukan untuk duduk manis dan ongkang-ongkang kaki, makan gaji buta.

Saya sudah merencanakan banyak hal, dan sudah dapat dipastikan, harus menghadapi banyak hal. Di berbagai organisasi di mana saya terlibat, entah bagaimana, saya selalu ditempatkan sebagai perencana lapangan. Asam garamnya sudah sering saya cicipi. Mungkin ini sebabnya, paman saya yang satu itu dan ibu saya mengikhlaskan saya untuk berkeliaran bebas selama 18 tahun, dan akhirnya saya harus kembali.

Maka saya pulang. Pulang dalam pengertian sebenarnya.

Bismillah. Hanya pada Allah saya berserah.

P.S. Ada alasan khusus mengapa saya jengah (enggan lebih tepatnya) menyebut nama kakek saya. Jika kakek anda adalah pendiri Yayasan, tokoh agama, politisi ulung, lawan tanding yang disegani, yang diganjar gelar pahlawan nasional, anda akan menikmati sejumlah privilege tersendiri. Namun kenikmatan itu semu. Jika anda menikmatinya, ya silahkan saja, tapi saya tidak. Saya akan berdiri di atas kaki saya, bukan kaki kakek saya. Itu sebabnya, sahabat-sahabat yang mengenal saya cukup baik, akan tahu persis bahwa saya enggan menyebut nama keluarga saya.