Mengapa saya resah dengan feminis muda kelas menengah

Hari ini (31/5) saya menerima sebuah tulisan cukup panjang via whatsapp, judulnya ciamik: membangun daya kritis perempuan melalui ruang baca saudari. Penulisnya, Dea Safira Basori (selanjutnya saya akan menyebut DS), cukup dikenal, meski saya tidak terlalu banyak mengikuti tulisannya. Pada awalnya saya cukup tergugah, tapi karena agenda yang padat, saya baru membaca tulisan tersebut di waktu senggang saya. Tulisannya menarik, teman-teman dapat menemukan tulisannya DI SINI.

Sebelum saya mulai, ada dua hal yang ingin saya garisbawahi. Pertama, tulisan ini adalah respon saya atas tulisan tersebut. Saya tidak berkepentingan apapun selain merespon, dan itupun hanya pada tulisan DS yang ini ya. Kedua, ini adalah pendapat subjektif, sebut saja keresahan saya, sebagai sesama orang yang percaya pada feminisme sebagai pilihan dan cara pandang.

Sehari sebelum saya membaca tulisan DS, saya membaca artikel di Vice tentang bagaimana laki-laki muda, Gen Z, di UK membenci feminisme. Vice menyebutnya sebagai anti-feminis, melalui survey oleh HOPE not Hate ke 2,076 responden Gen Z (rentang usia 16-24 tahun), menemukan fakta bahwa para laki-laki muda ini berpendapat jika feminisme telah bergerak terlalu jauh dan membuat laki-laki semakin sulit untuk sukses. Sehari kemudian, saya membaca tulisan DS, dan hal ini membuat saya berpikir ulang tentang keresahan saya.

Apa yang lebih menyesakkan dari anti-feminis? Bagi saya, feminis yang berasal dari kelas menengah. Mengapa? Izinkan saya menjawab. Dalam banyak hal, cara DS menggambarkan diri dan feminisme sebagai praksis menggambarkan dengan sangat baik keresahan saya. Bagi saya, tulisan DS mengindikasikan dua keresahan saya masih mengakar sangat kuat: bias kelas menengah dan pengabaian terhadap posisi laki-laki.

Jika anda membaca tulisan DS, anda akan menemukan bagaimana bias kelas menengah justru membuat feminisme jalan di tempat. Saya akan kutip lengkap paragraph pertama dan kedua tulisan tersebut.

“Saya selalu ragu ketika saya membuka ruang diskusi yang mana semua orang bisa masuk tanpa terkecuali. Ya tentu saja setiap orang berhak mendapatkan kelompok dukungannya namun sayangnya saya tidak mampu secara psikis dan emosional untuk menampung semua curahan hati perempuan. Akhirnya saya memilih untuk menggunakan format ruang baca atau bedah buku untuk mengumpulkan perempuan yang gelisah dengan masalahnya. Tak disangka format ruang baca ini adalah metode yang tepat untuk membangun kesadaran kritis perempuan …. Dengan modal sewa Zoom sebesar Rp. 45.000 saja, kami mengadakan Ruang Baca tersebut melalui aplikasi Zoom karena kondisi pandemi Covid-19 yang membuat kita harus tetap di rumah.”

Ada masalah? Bagi saya banyak. Bias kelas ini muncul dari bagaimana cara DS memandang diri dan perempuan lain. Bagi saya, cara pandang DS masih meliyankan perempuan, sebab dia memandang dirinya sebagai, mengutip Shiva, mediator pembebasan. Setidaknya ada tiga kali DS menjelaskan posisi tersebut. Mulai dari bagaimana dia melakukan framing bahwa dia tidak sanggup menampung semua curahan hati perempuan (laki-laki ga diajak. Sic!), di paragraph lain dia menjelaskan bagaimana perannya menjelaskan terma-terma ciamik dari buku yang sangat melangit itu dengan cara “menjelaskan dengan bahasa yang awam” sehingga dipahami oleh para audiens, hingga bagaimana – ini kesan saya sih – DS memberikan pencerahan dan motivasi bagi perempuan lain untuk tetap maju apapun risikonya.

Sepintas, kenabian DS agak mirip dengan Pariyem, Dhuh Gusti Nyuwun Ngapura. Saya memang agak keterlaluan. Jika kenabian Pariyem itu sederhana dan membumi, kenabian DS itu banal dan nyaris vulgar. Kenabian DS ini bagi saya hadir, salah duanya, adalah karena latar belakang DS yang berasal dari kelas menengah dan bias kelas yang sayangnya tidak terhindarkan.

Apakah saya membenci kelas menengah? Sama sekali tidak. Toh saya lahir dan dibesarkan dalam kelas menengah. Apakah saya membenci feminis yang berasal dari kelas menengah? Tidak juga.Saya harus mengakui secara terbuka, bahwa sahabat feminis saya sebagian besarnya adalah kelas menengah. Saya menduga, ada alasan sederhana tentang itu. Apa yang sesungguhnya adalah inti narasi DS: daya kritis.

Daya kritis bikin pemberian Tuhan. Meski Tuhan memberikan akal budi bagi semua orang, namun daya kritis tidak bisa ujug-ujug hadir. Ada banyak faktor mengapa daya kritis antara setiap orang dapat sangat berbeda. Pendidikan salah satunya. Meski tidak mutlak dan tidak selalu sebangun, pendidikan mendorong hadirnya daya kritis. Dan hal ini yang agaknya dilihat oleh DS, bahwa salah satu kunci penting pendidikan adalah literasi. Voila. Mengapa kita tidak membuat semacam bedah buku yang memberikan pencerahan bagi banyak orang? Dengan media apa? Apalagi zaman pandemi seperti ini? Maka pada teknologi lah DS berpaling.

Di sini letak masalahnya. DS memilih menggunakan teknologi zoom, teknologi andalan di zaman pandemi. Masalahnya adalah, teknologi ini meski menyiratkan emansipasi dan demokrasi, sesungguhnya sangat bias kelas. Siapa sih yang bisa mengakses zoom? Saya tidak bisa membayangkan si mbak yang bekerja di rumah saya dapat mengikuti zoom. Saya tidak bisa membayangkan perempuan, ibu rumah tangga, dengan balita dan tanpa ART dapat mengikuti zoom. Saya tidak bisa membayangkan perempuan yang bekerja sebagai pengemudi ojek online atau taksi atau apapun itu dapat mengikuti zoom. Saya tidak bisa membayangkan perempuan buruh dan petani dapat mengikuti zoom. Tidak, saya tidak bias kelas. Saya justru ingin meletakkan titik argumentasi pada zoom sebagai metode yang digunakan.

Logikanya sederhana: hanya mereka yang memiliki waktu luang yang dapat mengikuti pencerahan yang diinisiasi oleh DS.

Apakah salah? Sama sekali tidak. Saya tidak dalam posisi membenarkan atau menyalahkan. Yang ingin saya garis bawahi adalah kecenderungan yang berlaku sangat umum di kalangan sahabat feminis saya, yang berasal dari kelas menengah, bahwa satu-satunya jalan selamat adalah mengikuti jalannya. Bahwa dirinya, dengan memandang kualitas diri dan keterbatasan waktu (sic!) yang ia miliki, maka dengan bantuan teknologi, simsalabim, dia bisa memberikan pencerahan bagi sebanyak-banyaknya orang.

Di sini letak masalahnya, atau ironinya? Dalam forum ini DS menjelaskan bagaimana kapitalime menegasikan perempuan, namun dia lupa, bahwa teknologi ini sangat kapitalis, terutama jika dikaitkan dengan waktu luang. Mengutip Wang, terdapat hubungan tidak terlihat antara waktu luang, konsumsi, dan kapitalisme. Waktu luang adalah kelonggaran yang tidak dimiliki oleh semua orang. Itu adalah privilege yang tidak disadari. Demikian pula dengan konsumsi. Pilihan zoom sebagai teknologi perantara dengan demikian adalah pilihan yang boleh jadi dianggap strategis, namun sejatinya adalah kesadaran palsu.

Saya tidak mengatakan bahwa mereka yang berpartisipasi sama sekali tidak diuntungkan dalam kegiatan tersebut, namun saya dapat memprediksi, bahwa mereka yang ikut, para audiens jika menggunakan kerangka DS, adalah sama-sama kelas menengahnya.

Apakah saya menolak cara DS? Sama sekali tidak. Saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa cara DS bukan satu-satunya, bahkan bukan cara terbaik untuk dilakukan. Mengapa? Nah, di sini letak masalah berikutnya.

Sependek pengalaman hidup saya, membangun daya kritis tidak bisa dengan cara ­hit-and-run. Anda tidak bisa berharap menikmati buah jika anda hanya menanam pohon, sekali disiram, kemudian anda tinggal. Logika sederhana saja. Saya sudah berkali-kali menyaksikan bagaimana proyek atas nama kesadaran dan emansipasi gagal di lapangan karena model hit-and-run seperti ini.

Jika saya adalah korban pemukulan oleh pasangan, lalu anda datang, memberikan sedikit rasa tenang, membuat saya nyaman kemudian mengorek cerita dan nestapa saya, membuat saya tersedu berlinang air mata, lalu anda bilang bahwa saya harus terus maju, tak gentar melawan pasangan saya, kemudian anda pergi. Dan saya melakukan apa yang anda sarankan, dan kemudian saya dipukul hingga mati. Apakah saya salah meminta tanggungjawab moral anda di akhirat nanti? Apakah tindakan perlawanan saya menandakan jika saya sudah memiliki daya kritis? Sampai di titik mana kita bisa mengatakan seseorang tidak memiliki daya kritis atau sudah memiliki daya kritis? Apa ukurannya? Lebih krusial, apakah ukuran daya kritis anda harus anda paksakan sama ke saya? Adilkah anda memaksakan sepatu anda ke kaki saya? Dan jika tidak muat anda memaki saya karena kaki saya terlalu besar?

Di sini kritik yang selalu saya sampaikan, para sahabat feminis terkasih saya. Sebagaimana globalisasi sebagai mantra kita pungut tanpa pikir panjang, demikian pula terma daya kritis. Jika saya mampu berpikir kritis, maka sebelum saya mengajak orang lain, berceramah dan memberikan sabda kepada orang lain untuk melakukan hal yang sama, penting bagi saya untuk berkaca terlebih dahulu. Bagaimana daya kritis saya muncul? Saya laki-laki, muslim, dosen, lulusan S3 kampus PTN terkenal, kelas menengah. Artinya? Setidaknya saya punya lima lapis identitas. Dalam hal ini, sebelum saya meminta anda berpikir kritis, saya perlu mempertimbangkan, apa yang disebut Crenshaw sebagai interseksionalitas.

Tapi interseksionalitas saja tidak cukup. Saya harus memahami konteks dan mitigasi risiko dari, mengutip DS, audiens saya. Jika saya berperan sebagai ustaz dan ceramah di majelis taklim, kemudian salah satu audiens saya bertanya soal KDRT misalnya, saya tidak bisa ujug-ujug bilang lawan saja, kalau masih terjadi juga, gugat cerai saja. Jika saya perempuan, muslim, dosen, berpendidikan, kelas menengah, punya pekerjaan dan penghasilan tetap, mungkin saya dapat menerima saran itu. Tapi bagaimana jika saya perempuan, tidak lulus SD, tidak punya pekerjaan, dan memiliki lima anak? Akankah saya berani melawan suami dan menggugat cerai dia?

Daya kritis adalah kata kunci penting dalam feminis. Betul. Mulai dari gelombang pertama sampai keempat, kritis adalah kunci. Namun anda tidak bisa semena-mena memungut terma itu, menjadikannya sebagai mantra yang dapat menyelesaikan semua masalah tanpa pandang bulu.

Di titik ini saya sebetulnya ingin bertanya ke DS, senaif itukah praksis feminis dalam pikiran dia? Apakah mengundang orang sebagai audiens zoom, mendengarkan pemaparan, QnA, refleksi, dan kemudian daya kritis tiba-tiba berkembang? Pertanyaan ini sesungguhnya tidak hanya untuk DS, namun untuk semua orang yang mengklaim diri sebagai feminis. Bagaimana kita menjadikan feminisme sebagai praksis, sebagai cara pandang sekaligus strategi. Sebab yang kita lawan bukan individu yang jika dibunuh kemudian masalah selesai.

Bias kelas menjadi bias yang seringkali tidak terhindarkan. Kita mengabaikan fakta mendasar: tidak semua orang memiliki pra-kondisi yang sama dengan kita. Kita terkadang lupa diri, lebih celaka, diri lupa pada bias yang ada. Saya dosen, antropolog yang dalam kapasitas saya berkelindan teori yang ciamik dengan kata-kata yang melangit. Ketika saya menjelaskan persoalan kepada orang lain, saya tidak berpikir bahwa mereka awam. Karena cara pandang seperti itu meliyankan orang lain. Anda menganggap diri anda superior sehingga anda merasa perlu memberikan penjelasan yang sederhana kepada orang lain agar mengerti apa yang ingin ada sampaikan.

Kita seringkali lupa, bahwa di balik kerja-kerja feminis yang kita lakukan terdapat orang-orang yang menjadi sistem pendukung kita. Sudah kah kita menjadikan mereka sebagai subjek yang mampu berbicara untuk diri mereka sendiri? Atau jangan-jangan kita masih menempatkan mereka sebagai objek dan liyan yang lain?

Jika catatan pertama saya bicara pada bias kelas, catatan kedua saya terletak pada cara pandang DS terhadap laki-laki. Saya belum bisa secara yakin jika DS adalah misandri, namun dari cara pandang DS rasa-rasanya dugaan saya tidak keliru. Tapi ada yang perlu saya tekankan, feminisme tidak sama dengan misandri. Ada beberapa kalimat DS yang bisa dirujuk, mulai dari pilihannya harus perempuan yang perempuan yang telah memiliki daya kritis dan mampu membangun agensi sesama perempuan (sic!), bahwa kegiatan tersebut hanya bagi perempuan karena asumsinya jika ada laki-laki maka dipastikan laki-laki tersebut akan merebut dan mendominasi ruang bicara perempuan, hingga laki-laki untuk laki-laki lainnya, atau dalam istilah DS, jika kegiatan serupa diselenggarakan, maka pembicaranya juga harus laki-laki yang memiliki kesadaran tentang itu.

Ada masalah? Banyak. Salah satu masalah utama adalah mindset tentang agensi dan ruang. Beberapa tahun ini saya banyak bicara bukan lagi bagaimana mendorong perempuan masuk ruang publik, melainkan bagaimana laki-laki masuk ke ruang privat. Masalahnya adalah, sahabat feminis saya jarang sekali ada yang mau secara serius bicara soal itu. Yang diributkan adalah rasio angkatan kerja, diskriminasi pengupahan dll. Tentu saja itu penting, namun berfokus hanya ke titik sana melupakan satu fakta fundamental: jika kita terus bicara soal perempuan di ruang publik, maka selamanya kita akan ribut soal beban ganda.

Bagaimana mungkin kita bisa berhenti ngomong soal beban ganda, jika perempuan dipaksa melangkah ke luar sedangkan laki-laki tidak pernah dipaksa masuk ke dalam?

Di titik ini sesat pikir yang dilakukan oleh DS. Menganggap bahwa hanya perempuan yang memiliki kesadaran dan agensi, bahwa  rata-rata laki-laki bajingan yang mendominasi, tidak memiliki daya kritis, dan/atau sudah memiliki agensi. Atau mungkin saya terlalu cepat mengambil konklusi, namun dari premis yang digunakan DS, rasanya konklusi saya tidak keliru-keliru amat.

Bagi saya, pelibatan laki-laki adalah bagian tidak terpisahkan, setidaknya dalam praksis feminis yang saya lakukan. Adalah tindakan naif mendorong agensi perempuan tanpa melibatkan laki-laki didalamnya. Adalah sia-sia meminta setiap perempuan memiliki daya kritis tanpa mempertimbangkan aspek laki-laki didalamnya. Saya punya segudang bukti bagaimana kebijakan pemerintah gagal total, ambruk dan bangkrut karena hanya fokus ke satu jenis kelamin dan meliyankan yang lainnya.

Tapi rasanya saya melewatkan sesuatu. Boleh jadi, cara pandang DS terkait laki-laki ini erat kaitannya dengan bias lingkungan sosial tempat DS berada, atau mungkin DS belum terlalu jauh mainnya. Jika iya, maka argumentasi perlunya berjejaring mungkin tidak bisa lagi sebatas retorika semu. Secara pribadi saya terbuka saja jika DS mau ngobrol dengan kami di Kajian Gender UI, ada banyak sekali laki-laki feminis yang bisa memperluas horizon tentang kelas, tentang daya kritis, dan tentang emansipasi yang emansipatoris.

Lalu apa urusannya dengan tulisan Vice yang sebelumnya saya singgung? Terang saja saya resah dan kuatir. Saya kuatir praksis feminis khas kelas menengah hanya akan membuat orang semakin jengah. Apa bedanya praksis feminis dengan arisan sosialita? Saya kuatir, dengan membatasi hanya pada perempuan berpendidikan yang sudah memiliki kesadaran, lalu apa yang akan anda sampaikan? Jika saya boleh mengutip Shelly Adelina, tidakkah tindakan itu semacam masturbasi intelektual yang nyaris tidak ada manfaatnya. Saya resah dan kuatir, jika praksis feminis yang dilakukan dengan model gebyah-uyah apalagi sama sekali tidak melibatkan laki-laki didalamnya, hanya akan menghasilkan generasi yang tidak hanya apatis, namun anti terhadap feminisme di Indonesia. Bagi saya, setiap orang yang mengaku diri sebagai feminis bertanggungjawab melanjutkan perjuangan, setidaknya untuk tidak membuat orang antipati dan antagonis.

Disclaimer: catatan ini sebetulnya pengingat untuk saya juga. Untuk selalu menjejak dan mendengar, baru kemudian melihat dan berkomentar. Terima kasih atas waktunya. Jangan lupa ngopi 🙂