Ini adalah catatan terakhir saya di 2020.
Sejak pandemi dimulai pada awal 2020, kita dihadapkan pada sebuah paradoks: begitu banyak yang telah berubah di sekitar kita, mulai dari lingkungan hingga kehidupan kita sendiri. Pada saat yang sama, begitu banyak dari kita berada di rumah, menjalani apa yang sering terasa seperti hari yang berulang, terus berulang, hingga kita merasa bosan sepenuhnya. Banyak yang berubah, banyak pula yang bertahan dan menolak untuk berubah.
Sebagai antropolog, saya selalu percaya, bahwa manusia dirancang untuk satu tujuan utama: bertahan hidup. Dan tugas utama untuk mencapau tujuan itu adalah dengan menjaga kewarasan. Tidak aneh sebetulnya, mungkin terdengar sangat Darwin, tapi memang itu realitasnya. Sifat tersebut sangat mendarah-daging, kita menganggap kelangsungan hidup sebagai tindakan, prediksi, dan perencanaan.
Baru-baru ini saya membaca artikel VOX, Dean Buonomano adalah ahli saraf dan peneliti di UCLA yang mempelajari bagaimana otak kita berhubungan dengan waktu. Waktu sangat penting karena, dalam banyak hal, fungsi terpenting otak adalah untuk memprediksi masa depan. Karena sejauh mana seekor hewan memprediksi di mana akan ada makanan atau di mana akan ada predator atau di mana akan ada air atau di mana ia akan menemukan pasangan menentukan keberhasilan hewan itu. Otak adalah perangkat prediksi.
Covid-19, dan efek yang ditimbulkannya pada hidup kita, telah melumpuhkan naluri ini. Bahkan memikirkan tentang masa depan hanya memunculkan blok aneh dan kabur karena kita tidak tahu kapan ini akan berakhir atau betapa berbedanya dunia kita akan terlihat ketika itu berakhir.
Contoh sederhana. Ketika kami belum dikaruniai anak, waktu sangat mudah dirancang. Saya dan istri merencanakan banyak hal, namun ketika istri saya hamil dan anak kami lahir, apa yang kami rencanakan semula tidak ada satupun yang terlaksana. Kami merencanakan segala hal, mulai dari A sampai Z, namun tidak ada satupun yang terlaksana sebagaimana yang kami inginkan.
Tahun 2020 adalah paradoks terbesar dalam hidup kami: senang sekaligus susah. Tawa sekaligus tangis.
Maka yang kami lakukan adalah menunggu. Menunggu. dan Menunggu.
Sayangnya. Waktu tidak pernah berhenti sejenak, memberi kesempatan bagi kami untuk menunggu dan memahami apa yang terjadi sesungguhnya.
Adalah penting untuk memahami bagaimana pengalaman kita tentang waktu. Terutama bagaimana pengalaman tersebut berubah dalam waktu yang sangat simngkat. Pada tingkat paling mendasar, jika kita menggunakan perspektif ruang Euklides, alam semesta memiliki tiga dimensi ruang, ditambah dengan waktu sebagai dimensi keempat. Waktu adalah cara bagi kita untuk mengetahui di mana kita berada.
Otak memberitahu waktu, seperti bagaimana kita secara naluriah tahu kapan itu siang atau malam. Para akademisi menyebutnya sebagai ritme sirkadian – cara tubuh kita secara intuitif tahu untuk mengantuk setelah matahari terbenam, dan mengapa sinar matahari atau cahaya terang mengingatkan otak kita untuk bangun.
Tentu manusia bukanlah satu-satunya makhluk hidup yang mengetahui waktu seperti ini. Hampir semua hewan perlu tahu kapan siang versus malam. Hewan nocturnal yang berburu setelah gelap secara naluriah tahu untuk tidur di siang hari. Tumbuhan juga memiliki jam sirkadian – mereka tahu untuk tidak berfotosintesis di malam hari. Banyak bakteri juga mengikuti ritme ini karena sinar UV dari matahari sangat berbahaya bagi mereka.
Namun pemahaman hewan dan tumbuhan tentang waktu tidak sama dengan pemahaman manusia tentang waktu. Meski hewan dan manusia adalah bagian dari kingdom yang sama, namun konsepsi kita tentang waktu tidak ada pada DNA kita, melainkan pada proses enkulturasi. Manusia belajar mengenai konsep waktu. Waktu muncul pada tingkat sel dasar sehingga, seperti darah yang mengalir melalui kita, mudah untuk tidak menyadarinya. Dan lebih mudah bagi kita untuk menyia-nyiakannya.
Manusia mengukur waktu dalam kaitannya dengan bintang. Kita tahu bahwa dibutuhkan 365 hari bagi kita untuk menyelesaikan satu putaran mengelilingi matahari dan dibutuhkan 24 jam bagi planet kita untuk menyelesaikan satu putaran di sekitar porosnya. Selama ribuan tahun, manusia telah menggunakan jam matahari untuk mengukur bagaimana cahaya matahari berubah di langit sepanjang hari – faktanya, bayangan setengah lingkaran yang dibuat pengukuran ini di tanah adalah alasan mengapa jam berbentuk bulat.
Waktu adalah panah maju.
Itu disebut panah waktu. Kita tahu bahwa waktu bergerak maju karena beberapa alasan, yang paling jelas adalah kita dapat mengingat masa lalu dan bukan masa depan, dan bahwa kita tidak menjadi lebih muda, kita bertambah tua. Tetapi alam semesta berjalan maju karena suatu proses yang disebut entropi. Entropi pada intinya adalah ukuran kualitas yang oleh fisikawan disebut sebagai gangguan. Dan kekacauan hanyalah cara lain untuk memikirkan perubahan.
Entropi muncul di sekitar kita, sepanjang hari, dengan cara yang begitu mendasar sehingga bahkan panas infra merah yang dikeluarkan tubuh Saya saat ini adalah suatu bentuk entropi. Tetapi untuk benar-benar memahami panah waktu, mari kita membuat secangkir teh yang sangat aneh dan tidak efisien. Saat saya mengeluarkan es batu dari freezer, es tersebut dalam keadaan teratur – keadaan entropi rendah – karena molekulnya dingin dan tidak bergerak. Namun, saat es batu mencair, ia memasuki keadaan entropi yang lebih tinggi. Molekul-molekulnya mengalir bebas dan kurang teratur, dan jika saya memilih untuk merebus es batu yang meleleh, air mendidih akan menghasilkan uap. Keadaan entropi yang sangat tinggi untuk air, uap mengirimkan molekul terbang ke semua tempat, ke dinding dan langit-langit dan di bawah celah di bawah pintu
Saya tidak akan pernah bisa menemukan semuanya dan memasukkannya kembali ke dalam es batu. Saya tidak bisa kembali ke masa lalu, alih-alih kembali, justru sekarang ada lebih banyak kekacauan di dapur. Itu adalah panah waktu. Waktu bergerak maju, persetan dengan siapapun. Waktu tidak pernah menunggu.
Manusia adalah satu-satunya spesies yang selalu berpikir untuk menghadapi masa depan. Bahkan ingatan kita dirancang untuk membantu kita memprediksi masa depan. Manusia memiliki ruang penyimpanan pengalaman masa lalu yang, pada tingkat biologis, dirancang untuk menginformasikan keputusan di masa depan. Jika Saya pernah menyentuh oven panas dan membakar tangan sendiri, maka saya belajar dan tahu untuk tidak melakukannya lagi. Bagaimana jika hal itu terjadi? Boleh jadi itu adalah ketololan mendasar kita: belajar tapi menolak untuk belajar. Manusian mengulangi kesalahan yang sama, lagi dan lagi.
Ini bertentangan dengan cara kita memahami ingatan kita. Manusia menganggapnya sebagai sesuatu yang hanya dimiliki oleh masa lalu, atau mungkin masa kini. Tapi ingatan kita, di atas segalanya, bukanlah tentang masa lalu, melainkan untuk masa depan. Itu sebabnya saya selalu percaya bahwa dengan memahami masa lalu, kita bisa meramalkan kepastian masa depan.
Otak kita tahu untuk melakukan apapun yang kita bisa untuk tetap hidup, sementara juga merencanakan langkah selanjutnya. Dari semua hal yang diambil Covid-19, mungkin secara abstrak, menjadi salah satu sumber masalah: kita tidak hanya kehilangan saat ini, tetapi juga perasaan kepastian di masa depan. Sebelum covid, saya tahu betul apa yang saya inginkan dan bagaimana saya melakukan itu. Namun sepanjang 2020, bahkan saya tidak tahu apa yang saya inginkan, terlebih cara mencapai keinginan tersebut.
Saat ini waktu sebagian besar waktu dihabiskan dalam kekacauan dengan jam internal yang terasa sangat absolut. Pada awalnya, jam sirkadian saya mungkin masih berjalan relatif normal, tidur di malam hari, dan terjaga di siang hari. Namun pandemi mengubah jam sirkadian tersebut. Karena tidak tahu apa yang akan dilakukan di siang hari, maka tidur siang perlahan menjadi keniscayaan yang berubah jadi rutinitas absolut. Mungkin itu sebabnya mengapa satu bulan terasa seperti setahun lamanya, dan bagaimana juga tiba-tiba sekarang sudah Desember, padahal saya sama sekali tidak ingat apa yang sudah saya lakukan di bulan April atau Juli. Sama absurdnya dengan mengingat kalau hari ini hari selasa, dan saya sama sekali tidak yakin apa yang saya lakukan pada selasa minggu lalu. Tidak ada bedanya hari selasa dan hari minggu. Setahun silam, saat waktu masih berjalan normal, setiap selasa subuh saya sudah jalan ke Ciputat untuk mengajar. Namun saat ini, setiap waktu saya di rumah, ditambah PJJ dan WFH, maka gambaran rutinitas subuh menembus tol terasa sangat absurd.
Buonomano menyebutnya sebagai waktu retrospektif. Kondisi di mana bagi orang-orang selama Covid, waktu terasa seperti berjalan lambat pada tingkat hari ke hari, tetapi dengan cepat pada minggu ke minggu atau bulan ke bulan. Waktu retrospektif, jelasnya, adalah bukan tentang waktu, tetapi tentang memori, tentang item dalam memori. Jadi, jika saya memiliki satu bulan di mana saya tidak memiliki banyak pengalaman baru – misalnya saya tidak kemana-mana dan berjumpa orang baru atau tidak memiliki hobi – kemungkinan besar saya tidak memiliki jangkar atau menyimpan banyak kenangan jangka panjang. Jadi secara retrospektif, itu menciptakan pengalaman subjektif waktu mengalir dengan cepat. Itu sebabnya mereka yang pengangguran tidak pernah merasa waktu berjalan cepat.
Penjelasan yang sangat ciamik, sayang tidak banyak manfaatnya untuk mengusir kebosanan saya.
Saat hari-hari individu kita tidak selaras dengan jam internal, dan peristiwa eksternal dunia, kebingungan aneh ini berkuasa. Saya bahkan tidak bisa memahami apa yang saya lakukan hari ini.
Pada titik tertentu, kita mengembangkan kemampuan, tidak hanya untuk memprediksi masa depan tetapi juga untuk melakukan perjalanan waktu secara mental ke masa depan, yang memungkinkan kita untuk melakukan sesuatu yang sangat radikal: menciptakan masa depan. Apa yang disampaikan Buonomano sangat hiperbolik. Tapi Buonomano bukan satu-satunya yang hiperbolik. Jared Diamond dan Yuval Harari juga sama saja. Alih-alih mencoba memprediksi di mana kita bisa menemukan tanaman dan makanan, manusia mulai menanam benih dengan mengetahui bahwa itu bukan untuk kepuasan instan tetapi untuk kelangsungan hidup jangka panjang. Sifat kita adalah menciptakan masa depan. Itu adalah salah satu keterampilan dan keinginan kita yang paling melekat, namun pada saat ini telah direnggut paksa.
Agaknya saya setuju dengan pendapat tiga orang ini. Bahwa kebingungan saya di tahun ini adalah bagian yang inheren dalam pengalaman semua manusia di bumi saat ini.
Sebelum manusia modern memiliki kemampuan untuk menghitung lebih dari 10, usia tidak ada. Konsep mengenai angka, bahkan waktu, belum ada. Meskipun manusia selalu mengamati pergerakan planet di langit dan perubahan musim untuk membantu memahami berlalunya waktu, untuk sebagian besar sejarah manusia, cara kita berhubungan dengannya berbeda.
Pada abad ke-19, dengan penemuan mesin uap, hubungan kita dengan waktu mulai bergeser. Tiba-tiba, waktu menjadi sangat penting, karena operator kereta api perlu memastikan bahwa waktu kedatangan kereta sama dengan jadwal kedatangan. Kita bahkan perlu memastikan bahwa waktu di Jakarta sama dengan waktu di Thailand, terlepas bahwa antara Jakarta dan Bangkok memiliki rentang ruang yang sangat panjang. Keterikatan saya terhadap waktu sama seperti keterikatan anda semua dengan waktu. Perlahan kita memulai kegilaan untuk selalu melihat jam, bahwa membawa jam itu bersama kita setiap hari.
Namun pandemi mengubah cara dan kebiasaan kita. Saat ini bahkan saya lupa di mana jam tangan saya. Jam tangan digital, yang dulu setiap malam harus saya isi ulang, sekarang sudah lama mati. Dan saya tidak peduli lagi. Beberapa jam tangan saya juga mati. Dan saya lagi-lagi tidak peduli. Bukan berarti saya tidak menghargai waktu, namun konsepsi saya tentang waktu yang berubah. Jika dulu saya selalu menunggu kapan saat saya keluar rumah untuk ke kampus, dan kapan saat saya mengajar, kapan saat istirahat, dan kapan saat pulang. Saat ini, konsepsi itu bahkan terdengar absurd. Saya tidak lagi mementingkan kesadaran tentang bagaimana menit-menit berlalu. Entah bagaimana, saya melakukan banyak hal tanpa perduli waktu. Waktu terus berjalan dan tidak pernah menunggu.
Manusia adalah makhluk paling adaptif. Tidak peduli seberapa jauh kita berjalan, selalu ada ruang bagi kita untuk menjalin hubungan baru dengan hal yang paling berharga, paling misterius, dan paling mendasar ini. Seperti dulu dan akan selalu demikian, waktu adalah sebuah paradoks. Manusia melewati waktu dengan keinginan untuk menangkap momen paling berharga manusia. Namun karena kita ada dalam detik-detik itu, begitu kita menyadari detik-detik tersebut, semua terasa fana. Tidak ada guna menyesali apa yang telah lalu, namun mengabaikan masa lalu adalah sebuah ketololan yang bahkan lebih berbahaya.
Saat saya mendekati akhir tahun 2020 dan masuk ke 2021, saya menghadapi tantangan nyata dan niscaya: apa yang telah saya lakukan di 2020? Apa yang telah saya pelajari? Lebih krusial lagi, bagaimana pelajaran tersebut akan membawa saya ke 2021 besok? Bagaimana saya menghadapi sifat yang pada dasarnya adalah kerinduan untuk memprediksi masa depan, dan untuk melindungi serta merencanakannya, sementara kita menghadapi ketidakpastian yang absolut dari hari ke hari? Tahun 2020 adalah tahun paling paradoks dalam kehidupan saya. Sementara saya mencoba memahami apa yang terjadi, waktu terus berjalan. Tiba-tiba sekarang sudah desember, dan saya belum sempat berkontempelasi, apalagi memikirkan mau apa tahun besok. Semua berubah cepat, namun di sisi lain, semua membeku pada tempatnya.