Aruna

Mari kita cerita tentang tahun ini

Ini adalah catatan terakhir saya di tahun 2020.

Apa ya yang akan saya ingat tentang tahun ini? Banyak hal sesungguhnya.

Hal pertama yang akan selalu saya ingat adalah betapa Allah memberikan hadiah terindah pada kami berdua: Aruna. Anak pertama kami lahir di tahun ini. Ketika saya bertekad melamar perempuan yang akan menjadi sahabat terbaik saya seumur hidup di 2015 silam, tidak terbayangkan bahwa kami menempuh begitu banyak jalan untuk memperoleh hadiah ini.

Anak adalah hadiah dari tuhan. Karena hadiah, dia hanya bisa diminta, tidak bisa dipaksa. Seorang anak tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari orangtua yang mana, tapi orangtua dapat memilih untuk membentuk anak seperti apa. Saya percaya itu hingga saat ini.

Ketika kami menikah di awal 2016, seperti orang kebanyakan, kami berharap untuk segera memiliki momongan. Namun Allah punya kehendak lain. Empat tahun pertama kehidupan kami, praktis hanya saya dan istri berdua. Kami sering membayangkan nanti anak kita kayak siapa ya mukanya, rambutnya, kulitnya, segalanya.

Satu tahun terlewati, rasanya seperti mimpi. Saya yang biasanya riset lapangan ke berbagai daerah luntang-lantung sendiri, paling males ngirim kabar ke orangtua, paling cuma ngabarin ke ibu klo saya udah di bandara, siap takeoff, atau sudah mendarat. Udah itu aja.  Secara ya saya anak bontot, jd tinggal di rumah bersama ibu saya. Setelah menikah, saya menghentikan semua proyek riset yang mengharuskan saya ke luar kota. Menikmati waktu bersama pasangan. Kami ga pacaran, waktu perkenalan kami terbilang singkat, jadi kami baru pacaran setelah menikah. Keluyuran dari satu mall ke mall lain, makan dari satu warung ke warung lain, nonton film ga jelas. Menyenangkan.

Satu tahun berikutnya, kami memutuskan untuk jalan-jalan ke luar pulau. Mungkin kami butuh break dari rutinitas. Keluyuran bersama istri memang menyenangkan, tapi ada yang kurang dalam hidup kami berdua. Make no mistake. Bukan berarti kami ga bersyukur lho ya, hanya memang di tahun kedua kami mulai merasa kekosongan itu.

Apa yang selama ini saya dengar dari teman-teman yang menikah dan menunggu cukup lama untuk memiliki momongan kini mulai menghantui saya kemanapun. Saya cukup berani untuk menegakkan kepala dan bersikap cuek kepada siapapun yang bertanya mengapa kami belum juga memiliki anak. Namun tidak dengan sahabat baik saya. Tidak terhitung berapa kali kami berdebat, saling diam, kemudian menangis bersama. Tidak terhitung berapa banyak pelukan untuk saling menguatkan. Maka kami memutuskan mulai promil, urut dan pijat sana sini, minum ramuan ini itu, cek lab apapun yang diminta. Semua kami lakukan hingga dua tahun.

Di tahun ketiga saya mulai kehilangan kendali itu. Secara terbuka saya mohon maaf kepada para sahabat yang merasakan betul betapa temperamentalnya saya sepanjang 2018. Belum lagi promil yang belum menampakkan hasil. Akhirnya di pertengahan tahun kami memutuskan untuk break. Di tahun keempat, saya memutuskan untuk break jalan-jalan lagi. Entah bagaimana, menjadi semacam tradisi dua tahun sekali untuk keluyuran yang jauh. Kali ini kami ke benua tetangga. Lagi-lagi hanya saya dan sahabat terbaik saya. Namun perjalanan ini boleh jadi adalah titik balik dalam kehidupan kami. Pulang dari Aussie, kami melanjutkan program yang terlewat nyaris 1 tahun. Kami mulai mengumpulkan kembali kepingan harapan dan doa-doa yang dipanjatkan.

Tahun kelima tiba. 2020. Doa kami akhirnya tercapai. Februari menjadi bulan paling menyenangkan, sebab kabar baik itu tiba. Mulai dari Februari hingga September adalah masa penantian panjang, melelahkan, namun menyenangkan. Bolak-balik kontrol ke dokter, cek lab ini-itu, USG, akupuntur, dll. Saya mulai tradisi baru, membacakan buku cerita ke calon anak dalam kandungan setiap malam. Mulai dari buku dongeng, fabel, al Quran, hingga koran. Apa saja.

Namun di tahun ini pula sesuatu menghantam kehidupan kita. Pandemi mengubah keinginan kami sepenuhnya. Hal pertama yang paling signifikan adalah bagaimana kelahiran anak kami sama sekali tidak didampingi oleh orangtua. Bahkan saya sendiri tidak bisa masuk ke dalam ruang operasi. Anak kami lahir normal via SC. Saya menolak asumsi bahwa hanya melalui vagina yang dikatakan normal, sedangkan lainnya bukan persalinan normal. Bagi saya, semua persalinan adalah normal. Anak kami lahir lebih cepat dari perkiraan, baru 36 week. Sejak control terakhir, dokter memang sudah memperkirakan jika harus SC. Harus. Bukan kami yang mau. Seringkali orang gagal memahami bahwa Tindakan SC adalah maunya orangtua, karena SC dianggap lebih ringan.

Karena tahu sejak awal SC, saya mulai menyiapkan mental. Bahwa tidak satupun dari keluarga yang bisa menemani di ruang tunggu, ruang operasi, bahkan kamar rawat. Ya, SOP RSIA Bunda memang luar biasa ketat. Swab wajib dilakukan bukan hanya pada istri, namun juga saya. Tidak boleh ada satupun penjenguk, artinya hanya saya dan istri di ruangan, menunggu, dan menikmati hari-hari pertama kami menjadi orangtua. Dibilang sedih, ya sedih lah. Dua orang kakak saya ketika lahiran didampingi oleh orangtua. Bahkan ibu saya bisa menjenguk setiap hari, dari pagi sampai petang hari. Giliran saya, jangankan menunggu, bahkan membesuk saja tidak diizinkan.

Saya ingat, sore itu saya masih ngobrol dengan istri, hingga lepas magrib. Namun istri saya mengalami rasa tidak nyaman sepanjang haru, dan baru bilang setelah salat magrib. Akhirnya saya kontak dokter dan langsung diminta ke RS untuk CTG. Saya langsung membawa tas, ke RS, CTG, dan hasilnya keluar: anak kami harus segera dilahirkan.

Maka pada 10 September, lahirlah anak kami. Anak perempuan itu kami beri nama Aruna Nismara.

Aruna yang berarti fajar dan Nismara yang berarti tenang. Berbeda dengan tradisi yang berlaku di keluarga, baik keluarga saya dan istri, cenderung memberi nama anak yang diambil dari Bahasa Arab atau serapannya. Anak kami mengambil Bahasa Sanskrit dan turunannya. Hanya nama Noer, yang diambil dari nama kakek saya yang diambil dari Bahasa Arab. Anak kami lahir di pagi hari, memang bukan tepat fajar, tapi bagi kami Aruna adalah fajar baru dalam kehidupan kami.

Kehadiran Aruna dalam hidup mengubah banyak hal. Meski baru 3 bulan dia hadir, namun banyak hal dalam hidup saya yang berubah. Saya mulai menemukan kembali pijakan dalam hidup saya, melanjutkan kembali semua niatan, dan merangkai kembali mimpi-mimpi. Saya tipe orang yang suka merencanakan segala sesuatu hingga detail terkecil, dan kehadiran Aruna membuat saya semakin serius merancang masa depan.

Di sisi lain, pandemi mengubah banyak hal dalam kehidupan, termasuk kehidupan kami. Sebelum hamil dan melahirkan, kami sudah membayangkan, keluyuran sama anak, naik kereta atau pesawat, berburu kuliner dan jajanan, cuci mata di mall. Namun sejak kehamilan di Februari, tidak ada satupun rencana kami yang berjalan baik. Satu-satunya tempat yang kami datangi secara berkala ya rumah sakit. Kami terlalu kuatir dengan janin yang sedang tumbuh, itu sebabnya lebih banyak di rumah saja. Setelah lahir, lagi-lagi tidak ada satupun rencana keluyuran yang terlaksana.

Tidak masalah sebetulnya, meski dilanda kebosanan luar biasa, kami mencoba menikmati waktu di rumah, mengurus Aruna berdua. Hingga hari ini kami tidak pernah mengizinkan siapapun untuk menggendong Aruna, hanya kami dan orangtua. Tidak bibi ataupun supir. Anak pertama kami tumbuh di bawah pengawasan kami sepenuhnya. Mungkin efek orangtua baru, tapi bodo amat. Saya suka. Istri suka. Meski sedih juga karena tidak ada satupun yang menjenguk, karena memang tidak kami izinkan. Tentu saya berterima kasih dengan seluruh doa yang dipanjatkan atas kelahiran putri kami.

Di akhir tahun 2020, sebagaimana terjadi di awal tahun, kami lebih banyak berdiam, berkontempelasi dan menikmati waktu yang ada. Bahkan ketika catatan ini dibuat, Aruna sedang tidur pulas di samping saya, dan tidak pernah sedikitpun dalam benak saya untuk berhenti bersyukur. Allah telah menitipkan seorang anak (dan anak-anak lain di masa mendatang) untuk kami besarkan, maka saya ambil tanggungjawab itu sepenuh hati, meninggalkan semua urusan kantor dan kampus untuk mendahulukan anak kami di atas segalanya.

Dokter kandungan kami menyebutnya sebagai kabar baik di tahun 2020. Ya, dr. Nando memang benar. Ini kabar baik di tahun 2020. Dengan segala persoalan yang muncul di tengah pandemi, ini kabar baik. Saya berharap tahun 2021 akan jauh lebih baik.