I
Dalam satu ceramah di konferensi di akhir tahun 2019, Menteri Riset dan Teknologi pernah menyampaikan secara terbuka, bahwa kesenjangan hasil riset dan kebijakan masih sangat lebar. Dua tahun sebelumnya, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, menyatakan bahwa berbagai hasil penelitian terkait perempuan dan anak tidak bisa digunakan sebagai acuan kebijakan. Menurutnya, hal ini disebabkan karena tidak adanya jembatan antara hasil penelitian di berbagai perguruan tinggi dengan kementerian yang terpusat di Jakarta.
Hal ini sesungguhnya tidak mengherankan, dan sudah banyak dikeluhkan. Yang menjadi persoalan adalah, bahwa hanya mengeluh tanpa melihat akar masalah jelas tidak menyelesaikan apa-apa. Padahal jika kita merujuk pada mesin pencari dan indeksasi ilmiah misalnya, sepanjang 2015-2020, terdapat 17.500 hasil yang muncul hanya dengan kata kunci “kekerasan pada perempuan dan anak”. Jika kita berasumsi bahwa 17.500 hasil yang muncul seluruhnya adalah artikel ilmiah, maka setiap tahunnya terdapat 3000 penelitian yang berfokus pada kekerasan pada perempuan dan anak. Dengan begitu banyak penelitian, maka penting untuk menjadi bertanya: kemana saja hasil riset itu? Mengapa kebijakan perlindungan perempuan dan anak di Indonesia masih jalan di tempat? Jawaban paling sederhana adalah hasil riset hanya berakhir menjadi artikel ilmiah, namun tulisan ini tidak berhenti disana. Untuk menjawab pertanyaan itu, tulisan ini akan menengok salah satu aktor yang paling terabaikan: Pusat Studi Wanita/Gender dan Perlindungan Anak. Pusat studi ini punya sejarah yang panjang, sejalan dengan perkembangan kajian gender di Indonesia. Dengan berfokus pada PSW, tulisan ini akan melakukan dua hal sekaligus: Pertama, melacak jejak sejaran PSW dan bagaimana PSW pernah berperan dalam membentuk lanskap kebijakan di Indonesia. Kedua, memetakan persoalan-persoalan yang dihadapi PSW saat ini, dan mengapa kemunduran PSW berdampak erat dengan diskoneksi antara penelitian dan kebijakan di Indonesia.
II
Pertumbuhan, perkembangan, dan diskoneksi
Keterlibatan secara formal Pusat Studi Wanita/Gender dan perlindungan anak pada isu gender dan anak sesungguhnya bukan barang baru. Perhatian terhadap perempuan dan anak telah muncul sejak berdirinya Menteri Muda Urusan Peranan Wanita pertama, Ny. Lasijah Soetanto pada 1978. Meski pada perkembangan selanjutnya, berbagai pusat studi ini baru muncul pada satu dekade kemudian, pada 1988 di bawah Sulasikin Moerpratomo.
Perhatian terhadap persoalan perempuan dan anak di Indonesia erat kaitannya dengan perkembangan model pembangunan di dunia. Kajian-kajian perempuan dan anak muncul sejak periode 1960an, ketika berbagai proyek pembangunan dunia mulai memasukkan perempuan dan anak sebagai bagian dari pembangunan, hal ini ditandai dengan dimulainya era Women in Development (WID). WID merupakan model yang berkembang di dekade 1960an sampai 1970an. Titik berangkatnya ada pada kritik atas “pendekatan kesejahteraan” yang menempatkan perempuan sebagai ibu dan istri. Dalam hal ini, berbagai program kesejahteraan yang digaungkan lebih banyak berfokus pada persoalan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak dalam keluarga. Perempuan dilihat dalam kapasitas reproduksinya, dan anak hanya dilihat sebagai komponen dari keluarga. Pendekatan WID cukup berhasil dalam meningkatkan kondisi material namun tidak berhasil meningkatkan keberdayaan ekonomi dan sosial. Perempuan dan keluarga memang memperoleh bantuan, namun bantuan yang bersifat parsial hanya mengentaskan sebagian problem kemiskinan. Sebab ketika bantuan dihentikan, maka si penerima bantuan dipastikan kembali miskin.
Geliat WID menguat pasca dikeluarkannya kesepakatan global World Plan of Action, United Nation Decade for Women 1976-1985 di Meksiko. Perubahan paling signifikan dari WID adalah penekanan pada fakta bahwa perempuan memiliki peran tidak hanya dalam ranah domestik dalam pengasuhan anak. Maka muncul gagasan untuk meningkatkan produktivitas perempuan dengan mengintegrasikan perempuan dalam proyek pembangunan. Asumsi dasarnya: dengan mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan, maka pendidikan dan kesehatan anak pasti akan ikut naik. Bagaimana caranya? Partisipasi perempuan dalam pembangunan harus ditingkatkan. Sayangnya, WID masih menempatkan perempuan sebagai bumbu yang dimasukkan ke dalam resep pembangunan. Perempuan memang diperhitungkan, tapi metode dan hasilnya tetap sama, meski dalam beberapa hal mulai menunjukkan perubahan. Perempuan masih dilihat dari fungsi reproduksinya, dan anak masih dilihat hanya sebagai komponen kecil dari keluarga.
Sejak tahun 1975, data statistik mulai menunjukkan perbaikan: kesenjangan akses pendidikan menurun, affirmative action dalam pemilihan umum, meningkatnya jumlah perempuan di parlemen, namun tidak satupun gender equality yang tercapai. Di sisi lain, angka partisipasi sekolah anak memang meningkat, namun jika angka tersebut dipilah berdasarkan segregasi gender, nampak angka yang meningkat hanya pada anak laki-laki, anak perempuan cenderung jalan di tempat, untuk tidak mengatakan berkurang secara drastis. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa agenda perempuan dan pemenuhan hak anak tetap terpinggirkan di tengah kebijakan dan prioritas pembangunan, program masih berupa “tempelan” tanpa substansi. Perempuan masih terikat dalam rumahnya, dan anak tidak lebih dari variable tempelan yang tidak punya peran signifikan.
Kegagalan WID dalam meningkatkan dan mendorong kesetaraan gender dan perlindungan pada hak anak membawa dampak serius, dalam hal ini bahwa politik peningkatan akses dalam WID belum berdampak signifikan pada menurunnya kesenjangan. Hingga di era 1980an berkembang “wacana gender” sebagai kritik yang menghasilkan mantra baru: redistribusi kekuasaan dalam relasi sosial. Maka Women In Development berubah menjadi Gender And Development (GAD). Upaya utama GAD adalah pemberdayaan perempuan, pentingnya analisis gender, gerakan perempuan, dan agency perempuan sebagai motor perubahan, dalam hal ini GAD sebagai gender mainstreaming yg lebih radikal, dalam transformasi penyusunan agenda pembangunan yang berpihak pada perempuan dan anak.
Upaya ini semakin dipertegas pada Second World Conference on Women tahun 1980 di Copenhagen, dan Third World Conference on Women tahun 1985 di Nairobi. Lalu apa hubungannya dengan Indonesia? Pasca konferensi tahun 1985, berbagai negara di dunia mulai mendirikan biro dan kementerian yang mengurus isu perempuan di seluruh dunia. Tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, GAD membawa sejumlah perubahan, utamanya di tingkat nasional.
Sejak tahun 1980an, bersamaan dengan arusutama perubahan dari WID ke GAD, berkembang satu diskursus akademik baru tentang studi perempuan mendapat perhatian di perguruan tinggi di Indonesia. Kelompok-kelompok studi yang melakukan penelitian terhadap isu perempuan mulai bermunculan pada masa itu. Para akademisi tidak hanya membuat lembaga kajian dan advokasi saja, namun juga menciptakan kurikulum baru yang mengembangkan isu perempuan dengan perspektif perempuan dalam berbagai disiplin ilmu. Pada masa itu, juga terbuka suatu babak baru untuk pengembangan kajian perempuan di Universitas Indonesia.
Pada tahun 1979, Kelompok Studi Wanita Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (KSW FISIP UI), adalah kelompok pertama yang menanggapi pengetahuan baru ini, sebagai kelanjutan dari kegiatan Women International Year tahun 1975. KSW FISIP UI bekerjasama dengan Vrouwen en Autonomy (VENA) Univesiteit Leiden mengembangkan satu kegiatan yang bertajuk Program Pengembangan Peningkatan Peran Wanita Dalam Pembangunan yang bertujuan untuk merespon kebutuhan ahli atau pakar studi wanita yang mendukung, baik langsung maupun tidak langsung, kebijakan perempuan dalam pembangunan yang dikelola oleh Kementerian Negara Urusan Peranan Wanita. Pada saat itu, terbuka peluang bagi para akademisi muda untuk mengikuti beberapa kursus dan pendidikan formal tentang kajian perempuan yang diselenggarakan di Negeri Belanda.
Program tersebut adalah program non gelar. Dampak paling menarik dari program tersebut adalah lahirnya berbagai Pusat Studi Wanita di berbagai universitas di Indonesia. Tidak mengherankan memang, sebab embrio Pusat Studi Wanita sudah muncul sejak dekade sebelumnya. Pada saat itu, Sulasikin Murpratomo menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita meminta lembaga pendidikan tinggi untuk mendirikan Pusat Studi Wanita di berbagai universitas, di mana hasil riset dipergunakan untuk kebijakan pembangunan pada masa itu.
Dampak paling signifikan dari hadirnya perspektif perempuan dan anak dalam berbagai kajian lintas disiplin adalah hadirnya kajian mengenai hak anak secara lintas disiplin pula. Kedua hal ini, kajian perempuan dan kajian anak adalah bagian yang berdiri sendiri namun saling terkait satu sama lain. Kajian mengenai perempuan sedikit-banyak bersinggungan dengan kajian mengenai anak, sebab kedua entitas ini sejak awal memang dilihat sebagai dua variable yang terpisah namun saling bergantung satu sama lain.
Pada era 1980an hingga medio 1990an, tidak kurang terdapat 189 pusat riset yang tersebar di berbagai universitas di Indonesia. Pusat-pusat riset ini, sebagian besarnya berdiri di universitas negeri, mendapat sokongan penuh dari pemerintah untuk melakukan penelitian dengan isu perempuan dan keluarga. Berbagai hasil penelitian ini secara aplikatif dipergunakan di berbagai instansi pemerintah, terutama di dinas perempuan di provinsi dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Menarik untuk diamati lebih jauh, bahwa pada periode ini berbagai penelitian memang difokuskan untuk masalah kependudukan, seperti perkawinan, perceraian, pengasuhan anak, maupun perubahan sosial yang muncul sebagai akibat dari pembangunan.
Hal ini agaknya berkaitan erat dengan model kebijakan pembangunan Indonesia, melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang berfokus pada upaya mengubah wajah agraris Indonesia menjadi pembangunan industri. Kebijakan ini membawa pengaruh luar biasa di pedesaan, dan untuk mengamati sekaligus menjelaskan dinamika yang terjadi di desa, maka pusat-pusat studi ini melakukan penelitian di berbagai pedesaan di Jawa. Tidak mengherankan jika pada era itu dikenal istilah social engineering, sebuah upaya rekayasa sosial yang dilandaskan pada hasil-hasil penelitian.
Pada era 1990, terdapat pergeseran penelitian. Jika sebelumnya kajian perempuan selalu dikaitkan dengan anak, namun sejak 1985-1990 terdapat pemisahan yang cukup jelas antara penelitian gender dan penelitian anak. Perubahan ditandai dengan berdirinya Program Studi Kajian Wanita di Universitas Indonesia pada 1990, dan Convention Watch UI pada 1993. Hal ini agaknya terkait dengan erat perubahan di tingkat global dengan pemisahan isu perempuan dan isu anak sebagai persoalan yang terpisah satu sama lain.
Di tingkat global, keterpisahan ini diawali melalui CEDAW yang lahir pada 1979 dan diadopsi sebagai International Bill of Rights of Women pada 1981. Pada dekade berikutnya, menguat menjadi Gender Mainstreaming yang secara formal diadopsi dalam Beijing Platform for Action pada Konferensi PBB untuk Perempuan IV di tahun 1995. Sedangkan persoalan anak muncul sebagai Konvensi Hak-hak Anak atau lebih dikenal sebagai UN-CRC (United Nations Convention on the Rights of the Child) yang disahkan pada tahun 1989 oleh PBB dan diratifikasi oleh Indonesia pada 1990.
Diskoneksi di tingkat global membawa pengaruh pada perkembangan kajian perempuan dan kajian anak kearah yang sama sekali baru. Jika sebelumnya kajian perempuan lebih banyak berfokus pada persoalan keluarga dan demografi, namun sejak 1990an persoalan perkembang menjadi persoalan perempuan dan kemiskinan, pengembangan komunitas, kekerasan seksual, dan hak asasi perempuan. Demikian pula kajian anak yang berkembang, menjadi kekerasan pada anak, hak anak atas pendidikan, politik dan diskriminasi pada anak, dan anak berhadapan dengan hukum. Berbagai penelitian tentang perempuan dan anak menjadi salah satu acuan utama dalam proses pembuatan kebijakan di tingkat pusat.
Pada tahun 1993-1998, melalui Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, oleh Ny. Mien Soegandi, sesuai amanat Garis Besar Halauan Negara (GBHN), bahwa melalui upaya pembangunan, potensi sumberdaya nasional diarahkan menjadi kekuatan ekonomi, sosial budaya, politik, dan keamanan yang nyata, didukung oleh SDM yang berkualitas, yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemampuan manajemen. Dengan demikian, aspirasi, peranan, dan kepentingan sumber daya manusia – termasuk perempuan – sebagai penggerak pembangunan nasional, dipadukan kedalam gerak pembangunan bangsa melalui peran aktif dalam seluruh kegiatan pembangunan. Hal ini yang menjadi jembatan utama bagaimana hasil-hasil penelitian perempuan dan anak dapat diterima oleh pemerintah sebagai sumber acuan pembuatan kebijakan.
Diskoneksi ini semakin diperparah dengan runtuhnya patron utama kajian perempuan di Indonesia: pemerintah. Runtuhnya Orde Baru membawa perubahan signifikan pada kajian perempuan dan anak di Indonesia. Jika sebelumnya berbagai hasil penelitian memperoleh saluran resmi ke dinas perempuan di berbagai provinsi dan kementerian pemberdayaan perempuan, namun sejak 1998, jalur komunikasi tersebut putus sepenuhnya.
Terdapat dua persoalan yang mendorong perubahan ini. Pertama, karena negara tidak lagi memberikan bantuan pada riset-riset perempuan dan anak, hal ini berdampak pada kuantitas dari riset itu sendiri. Sejak 1998 hingga awal 2000an, banyak pusat riset yang vakum karena tidak ada bantuan terkait riset. Hal ini disebabkan karena berbagai penelitian mengenai perempuan dan anak pada umumnya disponsori oleh negara melalui dinas perempuan dan anak di tingkat provinsi. Kedua, periode 1998 membawa sejarah kelam terhadap perempuan dan gerakan perempuan, munculnya persoalan kekerasan seksual dan pemerkosaan, yang mendorong lahirnya Komnas Perempuan, adalah bagian tidak terpisahkan dari dinamika kajian perempuan dan anak di Indonesia. Sejarah ini mengubah wajah gerakan perempuan menjadi aktivisme yang lebih fokus pada perubahan ketimbang melacak akar-akar masalah.
Di sisi lain, perkembangan kajian perempuan dan kajian tidak dapat dilepaskan dari peran lembaga donor asing. Lembaga donor ini tidak hanya memberikan bantuan dalam penelitian, namun juga beasiswa pendidikan yang banyak berperan dalam mendorong kajian-kajian perempuan dan anak di tingkat universitas. Namun sejak awal 1998, ketika Indonesia masuk ke dalam krisis keuangan, berdampak pada terputusnya kontrak-kontrak penelitian dan bantuan pendidikan, yang mendorong berkurangnya kajian perempuan dan kajian di Indonesia.
Meski penelitian perempuan dan anak mengalami stagnasi, namun pada pertengahan tahun 2000, para masa Abdurrahman Wahid, persoalan perempuan menemukan momentumnya. Di Indonesia, PUG diadopsi secara resmi melalui Inpres No. 9/2000. Tujuan uatamanya adalah memposisikan pemerintah sebagai agen perubahan yang adil gender, dan melakukan intervensi terhadap semua tahap proses atau siklus pembangunan. Beberapa tahun kemudian, pada 2002 pemerintah Indonesia mengeluarkan UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menjadi landasan hukum penyelenggaraan perlindungan anak sesuai dengan Konvensi Hak Anak PBB tahun 1990. PUG dan PUHA masih menjadi mantra penting dalam pembangunan di Indonesia. Prasyarat implementasi PUG dan PUHA dijalankan di dua tingkatan: tingkat institusional (kebijakan, struktur, sistem, dan prosedur) dan tingkat operasional dengan menekankan pada tiga prinsip dasar: menempatkan perempuan dan anak sebagai aktor, demokrasi, dan pemerataan, penegakan hukum dan kesetaraan. Meskipun diposisikan sebagai mantra penting, PUG dan PUHA memiliki sejumlah persoalan, antara lain penekanan pada enabling tools/technical tools: dukungan politik, kebijakan, sumber daya, sistem data dan informasi, alat analisis gender, dan dukungan masyarakat sipil dan lembaga riset.
III
Fragmentasi
Meski telah lama dinantikan, namun Instruksi Presiden tentang gender mainstreaming datang di waktu yang tidak tepat. Berbagai pusat riset perempuan telah layu sebelum berkembang. Beberapa telah ditinggalkan oleh anggotanya, sebagiannya bubar, dan sebagian lainnya vakum hingga tidak diketahui. Tidak hanya di tingkat pusat riset, bahkan di tingkat program studi, yang menawarkan jenjang pendidikan yang lebih terarah, sebagian besarnya mati. Pada awalnya, Indonesia memiliki tiga program studi kajian wanita, yakni di Universitas Indonesia, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Brawijaya. Namun sejak 2000an, hanya program studi yang di Universitas Indonesia yang masih aktif. Meski saat ini telah hadir juga program studi Islam dan Kajian Gender di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Jika program studi relatif diketahui nasibnya, namun tidak dengan pusat riset dan berbagai riset dengan isu perempuan dan anak. Hal ini yang menjadi persoalan krusial berikutnya: fragmentasi yang muncul, entah itu di dalam pusat-pusat riset itu sendiri maupun penelitian dengan fokus perempuan dan anak. Fragmentasi dapat dilihat dalam tiga hal: jumlah pusat penelitian maupun hasil penelitian yang secara kuantitas semakin berkurang, hasil penelitian yang secara kualitas terlalu mikro sehingga tidak bisa diacu sebagai landasan kebijakan, dan tidak ada kolaborasi antar pusat riset untuk menghasilkan penelitian payung yang dapat dipakai sebagai kerangka kebijakan.
Fragmentasi pertama terletak di tingkat pusat riset. Adalah fakta yang menggelisahkan, bahwa mayoritas pusat riset gender dan anak hanya diisi oleh perempuan. Hal ini menandakan bahwa isu gender maupuan pusat riset gender secara kelembagaan masih dilihat sebagai isu khas perempuan. Persoalan krusialnya adalah, kita masih belum beranjak kemana-mana ketika bicara mengenai gender sebagai kajian akademik. Persoalan kajian gender saat ini adalah ketidakmampuan komunitas ini untuk meyakinkan kepada publik yang lebih luas, bahwa gender bukan hanya soal perempuan dan anak saja, melainkan persoalan masyarakat sepenuhnya.
Hal ini sejatinya tidak terlalu mengherankan, terlebih jika kita melihat posisi kajian gender dalam peta ilmu pengetahuan di Indonesia. Kajian gender belum dilihat sebagai kajian yang otonom. Jika kita melihat Daftar Rumpun Ilmu yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan, kajian gender dan kajian anak mungkin masuk dalam nomor 624 alias “bidang sosial lain yang belum tercantum”. Diskriminasi ini menyedihkan. Di UI, Kajian Gender adalah kajian yang multidisiplin, bersamaan dengan Kajian Wilayah (Amerika, Jepang, Timur Tengah, Eropa), Kajian Ketahanan Nasional, dan Kajian Ilmu Kepolisian. Sayangnya, jika Kajian Wilayah sudah mendapat nomor 614, Kajian Ketahanan Nasional sudah mendapat nomor 603, dan Kajian Kepolisian sudah mendapat nomor 604. Lalu apa pentingnya nomor-nomor ini? Keberadaan nomor ini, meskipun fokus utamanya pada kepentingan administratif, namun jelas mengabaikan kajian gender dan kajian anak sebagai kajian yang otonom.
Persoalan lain terletak dengan tidak diketahui dengan pasti berapa jumlah PSW di Indonesia. Kuat dugaan, bahwa tidak adanya data yang valid mengenai jumlah PSW barangkali dapat dilacak dari kemunculan PSW itu sendiri yang sporadik. Sederhananya, kemunculan PSW pada dasarnya ada karena kebutuhan, dalam hal ini kebutuhan untuk memasukkan perempuan sebagai bagian dari kebijakan nasional. Dengan demikian, untuk menjawab kebutuhan tersebut membuka peluang lahirnya PSW di berbagai universitas. Saat ini memang ada upaya untuk membuat asosiasi pusat studi wanita, namun asosiasi itu sendiri itu sangat problematic karena bermain di dua kaki: pusat studi secara kelembagaan sekaligus orang-orang yang punya minat terhadap kajian gender dan kajian anak meski orang tersebuit tidak tergabung dalam PSW.
Persoalan lain di tingkat PSW adalah gejala universal bahwa pusat studi wanita dan anak lebih didominasi oleh figure tertentu dan anggota kelompok internalnya sendiri. Banyak PSW yang tidak aktif karena mandegnya regenerasi dari PSW itu sendiri. Satu hal yang harus diakui secara terbuka di dunia akademik, bahwa berbagai lembaga masih berpegang pada individu-individu, bukan pada sistem rekrutmen. Lembaga riset, termasuk PSW didalamnya masih berupa one (wo)man show, bahwa si pemimpin adalah pendiri, patron, sekaligus pengurus dari lembaga itu. Lembaga, disadari atau tidak, dibuat terikat dan tergantung pada sosok pendiri. Konsekuensi logis dari ketergantungan ini adalah, ketika si individu tidak lagi sanggup mengurus lembaga, maka lembaga tersebut ikut mati bersama kematian individu tersebut.
Ada banyak faktor yang menyebabkan mandegnya regenerasi di PSW. Saya pikir persoalannya bukan hanya PSW sebagai panggung individu, namun juga ketidakmampuan PSW untuk menarik para dosen untuk bergabung. Saya banyak menemui PSW yang “dikuasai” oleh jurusan/departemen tertentu. Sebagai panggung individu, dapat dimengerti jika dosen-dosen yang merasa tidak cocok dengan “penguasa” PSW kemudian enggan masuk dan bergabung dalam PSW. Hal mana sangat disayangkan, bahwa PSW seharusnya merupakan ruang terbuka untuk semua orang yang berminat pada kajian gender secara lintas disiplin keilmuan. Akibat dari tidak bergabungnya dosen-dosen, terutama dosen muda, ke dalam PSW menyebabkan PSW mengalami anemia akut dan menjadi monodisplin. Tidak adanya dosen muda yang bergabung menjadikan PSW sekarat dan hanya tinggal menunggu ajal, nasib paling bagus adalah PSW menjadi panti lansia
Fragmentasi kedua adalah penelitian tentang gender dan anak cakupannya sangat mikro. Hanya di dinas A, di desa B, atau paling besar di Kota C. Secara metodologis, tidak ada yang salah dengan model penelitian ini. Namun secara hasil justru sangat merugikan. Hal ini menyebabkan gender dan anak hanya dilihat sebatas isu, bukan kajian, dan karena itu, berbagai penelitian berhenti hanya pada menjelaskan fenomena tanpa mengeksplorasi lebih lanjut mengapa fenomena itu terjadi dan apa solusinya.
Dalam banyak kasus, banyak penelitian justru memberikan rekomendasi yang sangat bias gender dan tidak mempertimbangkan aspek kedirian anak. Beberapa penelitian mengenai perkawinan anak misalnya, gagal melihat bahwa perkawinan anak bukan hanya sebatas persoalan kemiskinan, bahwa anak yang dikawinkan akan membantu menyelamatkan perekonomian keluarga. Alih-alih berkurang, beban keluarga justru semakin bertambah dan membuat kemiskinan keluarga semakin akut. Beberapa penelitian cenderung tendensius dengan menyatakan bahwa perkawinan di usia anak terjadi karena orangtua justru memilih sebagai buruh migran, melupakan sama sekali faktor kemiskinan dan kebijakan structural yang mendorong perempuan menjadi buruh migran. Contoh lain, penelitian mengenai kekerasan seksual pada remaja lebih banyak fokus pada persoalan peer group dan pergaulan, melupakan fakta mendasar bahwa ada hubungan tidak setara antara remaja laki-laki dan perempuan. Beberapa penelitian tendensius dengan menyatakan bahwa kekerasan pada remaja perempuan dilakukan karena perempuan itu sendiri membuka peluang terjadinya tindak kekerasan, misalnya dengan gaya pakaian maupun tingkahlaku yang dianggap mengundang.
Dalam hal ini, berbagai penelitian lebih menempatkan persoalan gender dan anak sebagai isu yang sangat tidak strategis. Hanya melihat persoalan A disebabkan oleh B, maka solusinya C. Tidak ada tawaran strategis dari penelitian-penelitian ini. Sayangnya, bahwa penelitian seperti ini justru dilakukan oleh orang-orang yang terlibat di dalam PSW. Beberapa penelitian lebih progresif, dengan melihat banyak faktor, bahwa gender dipergunakan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah praktikal. Misalnya, penelitian mengenai bank sampah dan pemberdayaan perempuan.
Dalam konteks ini, penelitian gender dan anak sesungguhnya membuka peluang besar dalam memberikan masukan rekomendasi kebijakan. Namun ada satu masalah, banyak penelitian bagus berakhir di laporan penelitian dan artikel ilmiah, padahal pemerintah tidak membutuhkan laporan dan artikel, melainkan rekomendasi praktis yang didasarkan pada kajian teoritis. Kegagapan ini tidak pernah terselesaikan, sehingga banyak kajian pada akhirnya sia-sia. Penerima keuntungan terbesar dari penelitian ini adalah peneliti itu sendiri, bukan masyarakat yang menjadi subjek dari penelitiannya.
Fragmentasi terakhir terletak pada tidak ada titik temu antara berbagai PSW di Indonesia. Tidak hanya kajian gender dan anak hanya dianggap sebagai isu perempuan yang tidak strategis, ruwetnya masalah di dalam PSW, diskoneksi antara hasil riset dengan kebijakan, namun juga berbagai pusat studi yang masih hidup tidak saling berjejaring di antara mereka. Jejaring ini penting, sebab ketika penelitian dilakukan di berbagai tempat, sesungguhnya dengan jejaring ini dapat dipetakan berbagai penelitian yang ada untuk dibuat komparasi. Dengan melakukan komparasi di berbagai wilayah, dapat dibuat peta jalan kebijakan yang lebih komprehensif.
Persoalannya terletak pada kebijakan pemerintah terkait dengan perguruan tinggi. Karena beban kerja dosen yang harus melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, alih-alih melakukan penelitian, lebih banyak kolega dosen memilih untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat. Ada sejumlah dugaan mengapa lebih PSW lebih banyak bermain di level pengabdian masyarakat, misalnya karena program pengabdian masyarakat relatif lebih mudah dilakukan – dibandingkan dengan penelitian yang meminta banyak waktu – di tengah beban kerja dosen yang luar biasa padat, boleh jadi juga karena personel yang terbatas menyebabkan pilihan untuk melakukan penelitian menjadi semakin terbatas pula, atau boleh jadi karena ketidakmampuan PSW untuk mengartikulasikan gender maupun kajian anak sebagai kajian yang cross-cutting issues dalam dunia riset yang terus berubah. Dalam banyak wawancara dengan pimpinan maupun anggota PSW, saya melihat adanya kecenderungan PSW untuk berada dalam domain monodisiplin atau hanya fokus pada “area-area yang dekat dengan PSW” ketika melakukan penelitian. Misalnya, PSW lebih banyak berfokus mengenai P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) atau RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak). Konsekuensi serius dari pilihan PSW untuk lebih banyak bermain di pengabdian masyarakat atau memilih riset yang merupakan “area aman” menjadikan PSW tidak lagi mampu menghasilkan terobosan penelitian yang tidak hanya bermanfaat untuk pembuatan kebijakan namun juga bermanfaat untuk pengayaan pengetahuan. Pada akhirnya, PSW tidak lagi mampu menunjukkan posisinya sebagai produsen ilmu pengetahuan, namun lebih sebagai konsumen dari pengetahuan yang sudah ada.