Menguji nalar “kebenaran”

Saya memulai catatan penutup tahun dengan sebuah duka: belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas keruntuhan nalar kita sebagai bangsa Indonesia. Sesungguhnya saya sudah muak dengan ujian nalar ini, ujian yang bahkan seringkali menjungkirbalikkan nalar kita, atau setidaknya saya, dan celakanya jungkirbalik itu tanpa saya sadari. Pemilihan Presiden 2019 ini membuat kita, saya dan sahabat-sahabat saya, saling terfragmentasi, banal, bahkan nyaris menjijikkan. Pilpress 2019 tidak lain adalah ujian kewarasan saya dalam menghadapi dunia yang semakin tidak waras di sekitar saya, yang merupakan kelanjutan dari ketidakwarasan pada pemilu 2014 silam.

Persoalannya bagi saya sederhana: pemilihan presiden tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang substansial. Tanpa sadar, sesungguhnya pemilihan presiden tahun ini tidak ubahnya seperti kontes pencarian bakat atau drama final sepak bola. Kita, saya dan sahabat-sahabat saya, tidak ubahnya seperti penonton yang saling menjagokan jagoannya masing-masing. Kita merasa senang ketika jagoan kita nampak hebat, bahkan kita merasa senang membantai lawan jagoan kita, seakan-akan itu adalah pertarungan kita sendiri.

Saya tidak bicara soal benar atau salah, pun menang atau kalah. Saya bicara tentang bagaimana kita, sebagai sesama anak bangsa, terperosok pada jebakan yang sama: fanatisme buta yang seringkali melupakan fakta, bahwa kita semua adalah sesama anak bangsa. Kita terbagi dalam dua kelompok yang saling bersinggungan, saling bersitegang, saling menyerang satu sama lainnya. Untuk kali pertama dalam sejarah Pemilihan Umum di Indonesia, kita saling berhadapan, berebut klaim atas kebenaran sebagai justifikasi untuk menjadi pemenang. Atas nama “kebenaran”, kita melacurkan diri dan nalar kita. Adagium yang sering kita dengar, bahwa sejarah ditulis oleh mereka yang menang, barangkali menjadi pemicu bagi kita semua untuk saling menghantam satu sama lain. Atas nama kemenangan, dan hak untuk menulis sejarah, kita seringkali menghalalkan segala cara, bahkan mengesampingkan nalar dan etika. Apa contohnya? Jelas dan terang benderang ada di sekitar saya.

Saya misalnya, ketika menyampaikan kritik saya saat saya menerima kiriman di WA grup, bahwa kiriman tersebut adalah hoax dan fitnah, saya justru dicela habis-habisan oleh para sahabat saya. Menurut mereka, kritik saya “tindakan yang tidak etis” karena tidak membuktikan apa-apa. Saya amat tidak mengerti dengan celaan sahabat-sahabat saya. Siapa yang sesungguhnya tidak etis? Mengapa ketika ada satu informasi dan ketika informasi tersebut dikritik, malah si pengritik yang dituntut kebenaran dari informasi tersebut? Bukankah itu lebih tidak etis? Apa yang dimaksud dengan etis? Atau bahkan, apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri?

Saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, bahwa para sahabat saya seringkali mengabaikan logika mereka sendiri. Ketika saya dicela habis-habisan karena dianggap mempercayai sebuah informasi, yang tentu saja menyudutkan pihak lawan, mereka justru dengan bangga membagikan informasi yang sama tidak jelasnya. Tidak jelas siapa yang menulis, tidak jelas sumbernya. Informasi yang membuat seseorang yang sama sekali tidak dikenal dalam jagat akademik tiba-tiba sangat populer, situs yang bahkan tidak pernah didengar tiba-tiba santer menjadi buah bibir. Saya menyebutnya sebagai anomali kronis. Tiba-tiba seseorang dari dunia antah berantah mendadak jadi pakar komunikasi, pakar politik, pakar psikologi, dan pakar-pakar lainnya. Seseorang yang tidak pernah menulis tiba-tiba dikenal sebagai kolumnis, sejarahwan, pengamat (entah apa yang diamati). Dari sumber anomali inilah seringkali kita meletakkan pondasi apa yang kita sebut sebagai “kebenaran”.

Saya bahkan seringkali dibully hanya karena komentar saya yang bertanya soal sumber informasi, dan terus terang saja, semakin lama saya semakin imun atas tindakan bully seperti itu. Kita mengabaikan sebuah peringatan yang bahkan sudah kita ketahui bersama: untuk selalu bertabayyun alias mengklarifikasi. Sebagai orang yang dibesarkan dalam tradisi keilmuan kritis, saya tidak akan pernah memamah sebuah informasi mentah-mentah. Saya belajar, bahwa kualitas sebuah informasi sangat bergantung pada sumbernya, dan saya berpegang pada hal itu. Pegangan yang justru menjadi bumerang bagi saya, karena saya dianggap nyinyir, sok tahu, sok intelek, ilmuan kacangan bin abal-abal. Saya dianggap sebagai sosok yang mbalelo terhadap lingkungan sosial, sosok yang dianggap tidak mau mendengar kebenaran.

Maka kita kembali ke topik semula: kebenaran. Apa yang kita maksud dengan kebenaran? Saya tidak bicara mengenai dogma yang bersifat transenden, karena itu saya yakini sebagai kemutlakan. Saya bicara mengenai “kebenaran” yang diperebutkan dalam pemilihan presiden kali ini. Ketika semua media tiba-tiba menelanjangi semua kandidat, baik nomor satu maupun nomor dua, kita menganggap apa kata media sebagai “kebenaran”. Apa menerima mentah-mentah apa kata orang di media sebagai “kebenaran” yang bersifat mutlak dan otoritatif. Namun betulkah itu sebagai kebenaran? Dengan metode apa informasi tersebut dianggap sebagai kebenaran? Atau mungkin, kebenaran bagi siapa?

Bagi saya persoalan mengenai “klaim kebenaran” ini berdampak serius pada bagaimana kita memandang suatu persoalan. Jika saya melakukan suatu penelitian di tahun 2017, sesuai dengan kaidah ilmiah, maka apa yang saya sampaikan adalah fakta yang dapat dikategorikan sebagai “kebenaran”. Namun pada tahun 2018, ada orang lain yang mengkaji persoalan yang sama, di tempat yang sama, dengan mempergunakan kaidah metodologis yang sama, namun kemudian memperoleh hasil yang berbeda, maka milik siapa “kebenaran” itu? Apakah saya serta merta mengklaim bahwa saya paling benar ketimbang orang tersebut atau sebaliknya? Ataukah saya mengklaim bahwa penelitian saya absolut benar sedangkan penelitian lain absolut salah?

Jika saya bertanya soal sumber berita, saya tidak bermaksud untuk mencela apalagi menghakimi bahwa berita tersebut pasti tidak benar. Saya bertanya untuk mengklarifikasi. Apakah ketika saya menyandingkan dua informasi kemudian saya pasti akan secara frontal membenturkan dua informasi tersebut dengan menyatakan bahwa salah satunya pasti palsu? Apakah jika saya bertanya soal sumber kemudian saya menyatakan bahwa sumber-sumber tersebut pasti tidak valid tanpa terlebih dahulu melakukan klarifikasi? Sebagai orang yang dididik dalam tradisi keilmuan, adalah sebuah kehinaan jika saya melakukan hal itu. Persoalan mengenai “klaim atas kebenaran” juga merembet ke persoalan yang lebih riil: karena merasa paling benar, maka kita akan melihat mereka yang tidak setuju dengan kebenaran kita sebagai lawan.

Tanpa sadar kita mengambil posisi siap tempur. Posisi yang membuat semakin abai dan lalai untuk melakukan klarifikasi. Setiap informasi apapun, sepanjang informasi itu semakin membuat jagoan kita semakin mentereng, kita bagikan ke orang-orang tanpa pernah perduli apakah orang yang kita bagikan itu membutuhkan informasi itu atau tidak. Lebih celaka, ketika kita menemukan suatu informasi, sepanjang informasi itu membuat lawan tampak busuk, akan kita bagikan tanpa pernah perduli jika informasi tersebut keliru atau menyinggung sahabat kita sendiri. Atas nama klaim atas kebenaran, kita bertindak egois, kasar, dan memuakkan.

Hal ini tentu semakin menjadi-jadi dalam dunia yang semakin terkoneksi satu sama lain melalui jaringan internet. Akui saja, saya pun mengakui, bahwa saya pernah mengirimkan informasi yang menyanjung jagoan saya ke akun media sosial saya, entah itu facebook atau twitter. Ketika saya menulis status, tanpa sadar saya bersikap sarkastik, dan hal itu memicu ketidaksenangan di pihak lain, utamanya para sahabat saya. Saya kemudian menjadi bangsat yang sok paling benar sejagat facebook tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain, tanpa mempertimbangkan “kebenaran” yang lain. Namun izinkan saya bertanya, jika anda juga melakukan tindakan yang sama, menulis sesuatu yang sarkastik, apakah anda juga menyadari bahwa anda mungkin menyinggung perasaan saya atau mengatakan bahwa “kebenaran” sepenuhnya milik anda?

Okelah barangkali saya terlalu naif ketika menyinggung soal rasa, sebab rasa adalah soal subjektif individu. Namun satu hal yang pasti, bahwa saya, anda, kita semua, masuk dalam sebuah perdebatan – atau lebih tepatnya pertengkaran – yang seringkali tidak substansial. Masalahnya, hal itu seringkali dimulai dari sebuah informasi sumir yang tidak jelas sumbernya. Lebih celaka lagi, bahwa untuk mempertahankan informasi yang tidak jelas itu kita saling menudingkan telunjuk kita ke pihak yang tidak setuju dengan tudingan yang nyaris tidak masuk akal.

Saya sudah kenyang dibilang sebagai antek neolib, antek yahudi, pro korupsi, anti nasionalisasi, sok agamis, sebut saja. Okelah saya bisa menerima tudingan tersebut jika saya benar berada di sisi itu. Persoalannya, saya tidak terima pandangan tersebut hanya karena saya bertanya satu hal yang substansial. Saya sering berkata, dari pada anda promosi yang bahkan menyeret-nyeret nama agama, sebutkan saja referensinya, saya akan cari dan baca referensi tersebut. Namun jangan pernah menyebut saya sok pintar hanya karena saya bertanya, jangan pernah menuduh saya antek yahudi hanya karena saya bertanya, jangan pernah menuduh saya kafir hanya karena saya bertanya. Saya bertanya soal kebenaran. Maka izinkan saya memberikan solusi bagi para sahabat yang sudah muak dengan kenyinyiran saya: cukup unfriend saja. Selesai. Tidak perlu repot-repot mengambil hak Tuhan dengan mengkafirkan saya.

Semakin berkeluh-kesah semakin gila saya dibuatnya. Perebutan tahta RI 1 dan RI 2 rupanya membuat saya menyangsikan akal sehat saya sendiri, menyangsikan apakah kita – sebagai sesama anak bangsa – dapat terus berpikir waras sampai tiba saat pencoblosan, menyangsikan apakah setelah semua ini kita dapat kembali menyatakan bahwa kita adalah bangsa Indonesia. Satu hal yang saya sadari malam ini, bahwa bukan hanya saya yang terluka dalam Bharatayudha (saya enggan menulis siapa Pandawa siapa Kurawa) pilpres tahun ini. Saya, anda, kita semua, terluka. Celakanya, sebagian besar dari kita justru menikmati menikam saudaranya sendiri atas nama “kebenaran” yang tidak dapat dibuktikan validitasnya, dan kemudian dengan “kebenaran” yang picik itu dia menjustifikasi diri untuk tertawa di atas bangkai saudaranya sendiri.