Kemarin, seorang teman mengirimkan sebuah email, yang bagi saya seh lucu. Email tersebut menyertakan gambar2 para calon anggota legislatif (dalam istilah kerennya ‘caleg’), tapi ko rasanya aneh ya, masa saya mo berbego ria dengan memilih caleg kayak gitu. Jika anda pun mendapat email yang sama, anda pun akan berpikir “wah, orang kayak gini aja bisa jadi caleg…”, saya bahkan memiliki pikiran yang lebih ajaib lagi “barangkali partai politik udah keabisan stok orang, sehingga orang kayak gini ko bisa jadi caleg”. Bayangkan, seorang caleg yang ‘kebetulan’ anaknya artis, begitu mengeksploitasi anaknya, seperti ‘bapaknya Chintia Lamusu (eh bener ga ya ejaannya), bagi saya ini error, masa yang terkenal anaknya eh si bapak dompleng ketenaran anaknya.
Bagi saya, sebuah kompetisi dalam dunia politik harus berlandaskan pada kapabilitas pribadi, bukan pada kemampuan orang tersebut untuk mengambil keuntungan dari ketenaran orang lain. Di wilayah saya (Bekasi) misalnya, banyak caleg yang benar-benar saya ga tau siapa orangnya. Saya pernah berkomentar pada teman saya “Farid who?”, emang siapa si Farid, ga kenal. Barangkali logika sederhana saya berpikir, ah saya mo milih caleg yang saya kenal aja, maka hal tersebut berarti saudara saya atau teman saya, gampang kan? Tapi hati nurani saya (cie…. bukan kampanye lho ya) berkata “ah rupanya saudara saya, yang dulu saya beri amanah dengan memilih dia, toh ternyata sama bejatnya dengan anggota DPRD lainnya”, rupanya gedung dewan mampu mengubah orang yang paling rajin ibadah (sepengetahuan saya) menjadi orang yang mata duitan, apa2 proyek, apa2 harus pake komisi, ga ada tuh bekas dari kata2 da sendiri yang katanya “berpolitik karna Allah ta’ala (Lillahi ta’ala?)”, yang ada cuma tong yang bocor. Saya bahkan pernah berkata pada teman saya (yang juga kebetulan anggota dewan) “barangkali kita semua bakalan masuk neraka, tapi saya bakalan protes ke malaikat k.lo saya duluan yang masuk”, lha teman saya berkata “emang kenapa?”, saya pun dengan entengnya menjawab “ya karna dosa saya lebih sedikit”, dia pun kembali bertanya “ko bisa?”, dan saya pun membalas “ya iya lah, orang yang saya tipu jauh lebih sedikit ketimbang para pejabat, sebab mereka ga cuma menipu diri sendiri, tapi juga masyarakat luas, itu sebabnya saya bakalan protes k.lo masuk neraka duluan”, dan dia pun cuma tersenyum simpul (terserah mo pake tambang ato tali rapia hehehehe).
Kembali ke soal popularitas, banyak caleg yang pada dasarnya bukan lah orang terkenal, berbeda dengan para caleg yang memang dasarannya public figure. Para artis yang dengan senang hati terjun ke dunia politik boleh jadi mendapat keuntungan, meskipun saya kecewa berat dengan partai politik yang dengan seenak hati menerima para artis sebagai caleg. Dulu, ketika saya tau Qomar bakalan jadi caleg, saya bertanya, apa iya DPR segitu lucunya sehingga artis lawak merasa bahwa panggung lawak kalah lucu? Lha apa yang bakalan terjadi k.lo artis komedi pada masuk DPR? Barangkali cuma jadi panggung lawak, cuma dengan setting lokasi yang berbeda. Saya pun kembali merenung (ah…. sok bijak), alasan apa yang menyebabkan saya bosan dengan partai politik dan dunia politik? Saya bahkan bertanya balik ke teman saya yang anggota partai dan jadi caleg “tolong beri saya tiga alasan kenapa saya harus tidak bosan dengan partai politik dan memilih anda sebagai anggota legislatif?”, dan saya kecewa berat dengan jawaban yang dia kasih “1. karna gue temen lo, 2. karna kita saudara, dan 3. karna gue tau lo bakalan milih gue”. Alamak… apa jadinya k.lo saya beneran milih dia, apa kata dunia….
Saya mengecam setiap caleg yang menjadikan popularitas orang lain menjadi ladang persemaian bagi popularitas dirinya sendiri, lihat aja caleg yang ngaku anak kiai terkenal, ada yang ngaku cucu dari ulama ternama, ada pula yang nagku masih berdarah biru dan memiliki hubungan dekat dengan keraton, padahal siapa yang berani menjamin bahwa mereka memiliki kapabilitas yang sama dengan orang tuanya. Kata orang, buah jatuh ga jauh dari pohonnya, tapi apa iya hal yang sama juga bisa dilakukan dalam dunia politik? K.lo iya, saya pun barangkali bisa melamar jadi caleg dengan memanfaatkan popularitas orang tua saya, tapi ko rasanya ga tega ya, masa saya mau merusak nama baik orang tua saya (yang saya tahu dibangunnya selama puluhan tahun) dan rusak hanya karna tingkah laku saya yang begajulan (ya walopun saya juga sadar perilaku saya ga baik2 amat).
Saya rasa, kebosanan utama saya justru terletak pada kondisi yang saya alami, dalam terminologi ilmu sosial (cie….), saya mengalami suatu kondisi yang bernama deprivasi relatif, yakni apa yang saya harapkan dari sebuah partai politik ternyata tidak mampu dipenuhi oleh partai politik tersebut, ibarat kata ‘jauh panggang dari api’. Ibu saya pernah bilang “apa bukan karena harapannya yang terlalu tinggi?”, dan saya pun berpikir, ah barangkali ibu saya benar, masa berharap yang kelewat tinggi terhadap partai politik, dalam artian, bahwa kesalahan saya lah yang mengharapkan sesuatu yang lebih hebat dari partai politik yang bejat, tapi apa salah jika saya berharap bahwa partai politik mau mengubah diri mereka dengan menjadi ‘penyambung lidah rakyat’ yang sebenarnya. Harapan tersebut, lagi2 kata ibu saya, cuma mimpi si siang bolong, ampe kiamat juga partai politik tidak akan mencapai harapan yang saya gantungkan. Persoalannya adalah: apa iya partai politik serusak itu sehingga harapan yang saya miliki adalah suatu mimpi di siang bolong? Barangkali iya.
Barangkali bahwa harapan tersebut toh cuma dalam mimpi. Artinya, apa gunanya saya mikirin partai politik yang sama sekali ga pernah mikirin saya, rugi waktu dan tenaga. Bayangkan berapa banyak produktif yang dapat saya lakukan ketimbang mikirin mereka, ga penting banget. Namun satu hal yang pasti, saya minta maaf yang sebesar2nya kepada anda, sebab saya menyita begitu banyak waktu anda untuk membaca tulisan ini. Bayangkan berapa banyak hal produktif yang dapat anda lakukan ketimbang membaca unek2 saya yang juga ga penting ini. Ah…. ko jadi sentimentil begini ya……