Dalam membahas soal gender, baik oleh para pemerhati kajian gender maupun awam, seringkali akan bermuara pada satu persoalan klasik: bahwa hanya ada laki-laki dan perempuan. Diskusi soal ini seringkali dimulai dari aspek fundamental, bahwa secara spesies, manusia hanya terdiri dari dua jenis kelamin. Mengingat hanya dua jenis kelamin yang diciptakan Tuhan, meski ada pula interseks tapi tetap saja akan berada entah laki-laki atau perempuan, maka diasumsikan hanya ada dua identitas gender. Pertanyaannya adalah, benarkah sesederhana itu? Tulisan ini tidak ditujukan untuk memberikan persetujuan atas asumsi tersebut, pun tidak dimaksudkan untuk menggurui. Tulisan ini akan memantik beberapa persoalan penting dalam pemahaman kita atas identitas gender, tentu saja, diskusi hangat akan menjadi hadiah tersendiri.
Tulisan ini dimulai dengan sebuah kebingungan. Ketika saya diminta untuk membuat tulisan dalam sebuah seminar yang diadakan oleh para sahabat di Kajian Gender, saya tergagap. Bukan karena saya tidak biasa menulis dengan topik gender, melainkan saya tergagap karena saya menyadari bahwa siapapun yang mendengarkan presentasi dan membaca tulisan ini adalah mereka yang tumbuh dan dibesarkan dengan tradisi kajian gender. Alih-alih memuji atau bercerita mengenai topik penelitian, saya memilih untuk berjalan mundur. Saya tidak meminta anda, para pembaca yang saya hormati, untuk menghabiskan waktu anda membaca coretan dan omong kosong saya; pun saya tidak meminta anda untuk bersepakat dengan saya. Saya justru ingin agar kita bisa beradu argumentasi, bukan untuk mencari siapa yang benar versus siapa yang salah, melainkan untuk mencari satu titik temu – meski titik temu itu boleh jadi adalah sebuah kesepatakan bahwa kita tidak bersepakat.
Menyoal gender sebagai basis penjelasan
Sebelum saya mulai ngoceh tidak jelas, ada dua hal yang ingin saya tanyakan. Pertama, apa yang kita ketahui tentang gender sebagai sebuah konsep? Kedua, benarkah gender sebagai konsep bebas bias dan berlaku secara universal? Kedua pertanyaan tersebut krusial untuk dijawab sebelum saya mencapai pertanyaan mendasar dalam tulisan ini: apa sesungguhnya identitas gender itu dan mengapa kita merasa perlu untuk mendefinisikan identitas gender? Tanpa disadari, para peminat kajian gender seringkali mengabaikan untuk mempertanyakan ulang mengenai definisi dari gender itu sendiri. Sebagai konsep, gender, sama halnya dengan konsep lain seperti globalisasi atau bahkan terorisme, diambil secara kasar, ditelan mentah-mentah, dan kemudian dipakai nyaris sebagai konsep yang tanpa kritik. Para peminat kajian gender terlalu asik bicara soal peliyanan, diskriminasi, dan identitas seakan bahwa hal-hal tersebut adalah persoalan gender secara inheren tanpa terlebih dahulu bertanya, apakah kita memahami konsep gender yang selama ini kita pergunakan.
Titik awal terbaik untuk menjelaskan konsep gender ada pada definisi dari gender. Seringkali kita mengambil definisi dari Shapiro (1981) yang membedakan gender dengan seks. Seks atau jenis kelamin merujuk pada kondisi biologis universal, di mana di dunia ini, hanya ada dua kelamin: laki-laki dan perempuan. Dua kelamin ini memiliki perbedaan secara anatomis dan fisiologis, sehingga ada hal-hal tertentu yang hanya dimiliki oleh perempuan yang tidak tidak dimiliki oleh laki-laki, dan demikian sebaliknya, sedangkan gender merujuk pada interpretasi sosial dan kultural terkait dengan perbedaan antara dua seks. Secara sederhana, seks adalah perbedaan biologis yang mengakibatkan pembedaan sosio-kultural, atau dalam kata lain, gender sebagai konstruksi sosial secara inheren ada dalam diri setiap manusia sebagai spesies.
Persoalannya adalah, benarkah konsep gender di atas bebas dari bias? Bagi saya, konsep gender telah terdistorsi oleh bias kultural atas perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, dalam konteks spesifik pada reproduksi. Persoalannya, apakah perbedaan biologis ini berlaku secara sinkronis dan diakronis? Dan apakah konsepsi mengenai “laki-laki”, “perempuan”, dan “reproduksi” berlaku sama secara universal? Saya menjawab tidak, bahwa konsepsi mengenai “laki-laki”, “perempuan” dan “reproduksi” sangat erat kaitannya dengan lokus kultural di mana konsepsi itu diletakkan. Saya setuju dengan Scheider (1984) dan Yanagisako dan Collier (2004), bahwa penting bagi para pengkaji gender untuk bisa melihat bahwa konsepsi mengenai “laki-laki”, “perempuan”, dan “reproduksi” harus dilihat terpisah pada setiap kebudayaan. Persoalannya adalah, seringkali para pengkaji gender mencampuradukkan berbagai konsepsi dan secara serampangan mengatakan bahwa pemahaman atas konsep gender telah ada sejak jaman prasejarah dan berlaku secara universal sama.
Menjadi penting untuk diingat bahwa tanpa disadari, kita memungut konsep yang sesungguhnya sangat bias yang diletakkan pada asumsi kultural barat (baca: Eropa). Tentu saja penting bagi kita untuk memahami bagaimana studi gender berkembang terutama pada abad 19 dan 20, yang dalam banyak hal perkembangannya itu memiliki irisan dengan studi feminisme, sosiologi, dan antropologi. Jika kita melihat feminisme misalnya, penekanan pada Gelombang Pertama terletak pada determinisme biologis dalam kaitannya dengan gender, dalam hal ini bahwa akar dari segala persoalan perempuan ada pada diferensiasi seksual. Karena laki-laki dan perempuan dilihat sebagai dua entitas yang berbeda, maka keduanya – perspektifnya sangat Parsonian – akan saling menegasikan satu sama lain, dan akibatnya, benturan antara laki-laki dan perempuan tidak dapat terhindarkan, yang sayangnya dalam perang ini perempuan diposisikan sebagai pihak yang kalah.
Contoh lain, kajian antropologis misalnya, kontruksi gender acapkali muncul dalam kajian-kajian yang berkaitan dengan kinship dan relasi sosial didalamnya. Dalam hal ini bagaimana perempuan dan laki-laki diletakkan dalam satu skema kultural yang bernama kekerabatan, dan dari skema itu pula diatur mengenai hak dan kewajiban setiap orang. Dalam tradisi antropologi, skema ini diperkenalkan oleh Lewis Morgan, yang menyatakan: “the family relationships are as ancient as the family. They exsisted ion virtue of the law of derivation, which expressed by the perpetuation of the species through the marriage relation (Morgan, 1871:10)”. Dengan landasan itu, Morgan kemudian mengambil kesimpulan jika pola kekerabatan adalah genetik dan karenanya pola tersebut berlaku secara sosial di semua tempat karena pada dasarnya setiap orang berbagi gen yang sama melalui proses perkawinan, dan melalui proses perkawinan itulah suatu kebudayaan muncul dan berkembang (lihat Wiesner-Hank 2004). Pertanyaannya adalah, jika benar pola kekerabatan adalah genetik, mengapa antropolog harus repot-repot menjelaskan pola di berbagai wilayah? Di sisi lain, terma “pola” itu sendiri bermasalah dalam terma itu sendiri. Sesuatu tidak dikatakan sebagai pola jika sesuatu itu hanya satu-satunya.
Apa yang ingin saya sampaikan adalah, bahwa determinisme biologis yang menjadi landasan bagi kehadiran gender adalah titik awal dari pembedaan yang ajeg antara laki-laki dan perempuan. Bahwa seseorang dikatakan sebagai laki-laki jika ia “memenuhi persyaratan” anatomis, fisiologis, dan sosio-kultural, demikian pula perempuan. Dalam konteks ini, bahwa ada sosok yang “memenuhi persyaratan” sebagai laki-laki secara anatomis atau fisiologis tapi tidak secara sosio-kultural, maka ia tetap dianggap sebagai laki-laki, hanya saja dia “spesies laki-laki yang menyimpang.” Keajegan ini memberikan kita satu petunjuk yang jelas: siapapun yang memiliki penis, maka dia laki-laki; dan siapapun yang memiliki vagina, maka dia perempuan. Karena jenis kelamin anatomis dan fisiologis amat terang benderang, maka diasumsikan bahwa jenis kelamin sosio-kultural pun sama terangnya. Tidak mungkin ada kesalahan dalam hal itu.
Persoalannya adalah, pemahaman atas pembedaan yang ajeg dan rigid tersebut jelas sangat bias, sebab pandangan mengenai dua jenis kelamin biologis yang terpisah secara ajeg satu sama lain tidak kita temukan dalam konteks kultural Indonesia. Jika para pengkaji gender mau sedikit menoleh pada masa klasik Hindu-Buddha misalnya, mengenal perpaduan Siwa dan Parvati dalam satu sosok yang dinamai Ardhanarisvara, lalu apakah kita mengatakan bahwa itu adalah dewa atau dewi? Contoh lainnya, jika kita mengatakan, karena berdasarkan seks manusia hanya ada laki-laki dan perempuan, maka secara otomatis hanya ada dua gender, laki-laki dan perempuan, lalu bagaimana dengan konsepsi kultural masyarakat Bugis yang mengenal lima gender: laki-laki, perempuan, calabai, calalai, dan bissu. Bagaimana menjelaskan keberadaan calabai, calalai, dan bissu? Kita mengenal pula istilah tomboy maupun lembeng (kemayu), bagaimana menjelaskan dua hal ini? Apakah kita akan mengatakan bahwa tomboy dan lembeng adalah deviasi dari gender? Tidakkah kita hanya melarikan diri – untuk tidak mengatakan mengabaikan – dari usaha untuk memberikan penjelasan yang lebih?
Gender binari, benarkah sejelas itu?
Bagi saya, adalah penting bagi para pengkaji gender untuk memahami bahwa konsepsi kita atas gender tidak bebas bias, dan dengan memahami itu, kita bisa beranjak ke satu persoalan lain yang lebih krusial: oposisi biner. Dapat dipastikan, bahwa setiap pengkaji gender selalu menikmati topik ini : dikotomi privat versus publik, nature versus culture, dan produksi versus reproduksi. Ada baiknya kita membuka kembali tulisan Rosaldo (1974), Ortner (1974), dan Harris dan Young (1981) yang menyatakan bahwa dikotomi ini adalah hubungan struktral antara laki-laki dan perempuan di setiap masyarakat, dan karena ini ada di semua tempat, maka dikotomi ini menawarkan sebuah penjelasan logis dan universal atas satu gagasan pokok: sexual inequalities.
Gagasan pokok dari ketidaksetaraan adalah bahwa ada satu titik yang dianggap setara, sebut saja equilibrium, yang persoalannya titik tersebut tidak pernah terjadi. Selalu ada dalam masyarakat, di mana pun dan kapan pun, kondisi yang menciptakan ketidaksetaraan. Selalu ada hubungan struktural yang timpang yang secara langsung ataupun tidak langsung meneguhkan ketidaksetaraan. Dari sudut pandang tersebut, tentu saja dapat dibenarkan. Bahwa terma struktural mempersyaratkan adanya struktur, dan dimanapun kata struktur muncul, maka kata itu mempersyaratkan adanya jenjang yang tidak setara alias asimetris. Maka menjadi logis, jika untuk mencapai kondisi yang setara, target utamanya adalah pada struktur itu sendiri, dan genderang perang dimulai dengan memerangi konsep mengenai struktur yang mudah dilihat, dirasakan, dan paling seksi untuk didiskusikan: pembagian area sosio-kultural yang lebih dikenal sebagai rumah (ber)tangga (Budiman 2006)
Dikotomi nature versus culture, atau domestik versus publik, atau produksi versus reproduksi dalam gatra rumah(ber)tangga, merujuk pada Ortner dan Whitehead (1981), muncul dari perspektif sosiologis bahwa ada ruang-ruang yang didominasi (atau setidaknya secara dominan diasosiasikan) oleh laki-laki dan ada ruang-ruang yang didominasi (atau setidaknya secara dominan diasosiasikan) oleh perempuan, dan untuk alasan itu maka ruang-ruang tersebut secara kultural dianggap memiliki nilai yang berbeda. Hipotesisnya sederhana: bahwa dikotomi ini muncul pada asosiasi simbol pada nilai yang dianggap lebih rendah, dalam hal ini nature, ketimbang nilai yang dianggap lebih tinggi, dalam hal ini culture, dan bahwa asosiasi simbolik ini menjadi awal devaluasi universal atas posisi perempuan versus laki-laki.
Persoalan dikotomi ini seringkali dianggap penting pada dikotominya, bukan pada landasan dari terbentuknya dikotomi itu sendiri. Jika kita membaca buku Nature, Culture and Gender (McCormack dan Strathern 1980) misalnya, kita bisa melihat bahwa persoalan dikotomi itu sendiri tidak mutlak universal. Dikotomi privat versus publik misalnya, bagaimana kita menjelaskan fenomena sosial menguasaan perempuan atas perdagangan di pasar-pasar tradisional Jawa (lihat Alexander 1999, Newberry 2013)? Apakah kita mengatakan bahwa penguasaan pasar di Jawa oleh perempuan adalah persoalan privat versus publik? Ataukah kita mengatakan bahwa pasar adalah ruang yang egaliter yang memberikan ruang bagi perempuan? Jika kita mengatakan bahwa pasar adalah ruang egaliter. Jika pasar dikatakan sebagai ruang egaliter bagi kedua gender, bagaimana kita bertahan pada dikotomi yang sangat kental perspektif struktural yang meniadakan adanya ruang lain? Di sisi inilah para pengkaji gender lagi-lagi secara serampangan mengambilalih konsep dikotomi untuk menjelaskan fenomena sosial yang ingin dicermati.
Jebakan lainnya terletak pada keengganan untuk mengakui bahwa isi kepala peneliti dipengaruhi perspektif Parsonian. Ada dua persoalan. Pertama, ada kecenderungan para pengkaji gender sangat mahir dalam teori, utamanya dalam menjelaskan dikotomi-dikotomi ini namun mengabaikan bagaimana persinggungan dalam teori terhadap dikotomi-dikotomi itu sendiri. Kedua, ada kecenderungan untuk berusaha sebaik yang dia bisa, untuk membuktikan adanya dikotomi-dikotomi itu sendiri. Alih-alih menjelaskan bagaimana gender berperan dalam kehidupan, banyak di antara pengkaji yang terlalu asik, untuk tidak mengatakan terjebak dalam romantisme kajian gender, dan bicara mengenai dikotomi, seakan tidak ada hal lain yang lebih krusial ketimbang dikotomi itu sendiri. Barangkali gejalanya lebih parah, bahwa untuk membuktikan bahwa dikotomi itu benar ada dan universal, para pengkaji tanpa sadar melakukan seleksi, terjebak para scoptoma, kondisi di mana mata kita melihat apa yang ingin kita lihat. Tanpa disadari, semangat untuk melihat dikotomi dan menjelaskannya sesuai dengan teori menjadikan realitas sebagai sasaran tembak, yang sayangnya tembakannya amat membabi-buta.
Saya tidak mengatakan bahwa dikotomi-dikotomi semacam itu tidak penting sebagai pisau analisis, namun menjadi sangat penting untuk memahami bagaimana dikotomi-dikotomi ini, sebagai konsep, muncul, berkembang, dan saling bersinggungan dalam suatu realitas sosial. Persoalannya, barangkali karena para pengkaji gender ini sudah terlalu mahir, atau mungkin saja dikejar tenggat waktu, sehingga seringkali melewatkan hal-hal kecil, sesuatu yang dianggap remeh, yang justru amat penting. Atau barangkali pula, karena teori terlalu didewakan, sehingga para pengkaji gender memaknai teori sebagai pisau segala macam. Dengan pisau itulah kita membuat irisan gender binari menjadi jelas, sejelas langit tanpa awan di siang yang kering kerontang.
Akui sajalah, anda itu homo atau hetero? Asli apa palsu?
Sebagaimana telah saya jelaskan bahwa para pengkaji gender terlanjur memahami dikotomi nature versus culture, privat versus publik, dan produksi versus reproduksi itu menyiratkan satu hal: bahwa dikotomi ini hanya dapat dipergunakan bagi dua gender. Karena sejak awal sudah bicara dengan kaca mata kuda tentang dikotomi, maka para pengkaji gender mengabaikan satu fakta mendasar, bahwa gender adalah konstruksi sosial dengan fluiditas tinggi. Maka menarik untuk dipertanyakan, bagaimana dengan orang-orang yang tidak masuk ke dalam dua kotak gender tersebut? Jika kita mengasumsikan, meminjam istilah Dede Oetomo (2010), bahwa ada kotak-kotak yang dipergunakan untuk membagi setiap orang di bumi berdasarkan gender, maka akan selalu ada orang-orang yang terpaksa memilih atau dipaksa memilih untuk masuk ke dalam kotak tersebut, meski kotak tersebut sama sekali tidak sesuai dan akurat. Di sinilah letak masalahnya, bahwa salah satu efek paling serius dari otak kotak-kotak adalah keinginan yang begitu kuat untuk membagi manusia ke dalam dua kutub ekstrem: hetero atau homo dan asli atau palsu.
Pemahaman orientasi seksual adalah oposisi binari lain yang muncul karena pemahaman bahwa segala sesuatu itu berbeda satu sama lain. Berbeda itu hetero, maka sangat logis jika pemahaman atas gender yang serampangan mendorong pemahaman atas heteronormativitas (lihat Wiegman 2007). Lalu apa hubungan antara gender dan heteronormativitas? Rasanya amat jelas, bahwa gender adalah efek sekaligus alat bagi heteronormativitas. Sebagai alat, hal itu dapat dilihat bagaimana tubuh dinaturalisasi menjadi dua bagian, di mana setiap bagiannya memiliki seperangkat aturan (mencakup segala hal) dan renjana (saya suka kata ini, mencakup emosi, cinta, hasrat, birahi) yang saling bertaut satu sama lain. Artinya jelas, bahwa untuk mentaati aturan, menyalurkan hasrat, atau apapun namanya, hanya dapat dilakukan dalam satu konteks utama: laki-laki dan perempuan.
Chrys Ingraham (1994) menyebutnya sebagai “heterogender”, bahwa ada kumpul kebo antara gender dan heteronormativitas. Konsekuensinya gender adalah alibi dari kekerasan yang didasarkan pada norma heteroseksual sekaligus menjadi alasan bagi semua disiplin sosial, mulai dari pembagian kerja berdasarkan seks hingga pengaturan atas tubuh dan aktivitas seksual itu sendiri (lihat Foucault 1978, Brooks 2006, Swenson 2010). Dengan kata lain, bahwa pemahaman atas konsepsi yang gender yang rigid, alih-alih membebaskan, justru membelenggu semua orang, termasuk di sini adalah pada orientasi seksual.
Dalam konsepsi yang rigid ini, setiap orang harus masuk ke dalam satu kotak, entah itu heteroseksual atau homoseksual, dan karena gender telah berselingkuh dengan heteronormativitas, maka satu-satunya jalan keselamatan adalah heteroseks. Di sisi lain, ada asumsi yang amat brutal yang mengandaikan kepunahan manusia sebagai spesies jika semua manusia adalah homoseksual (barangkali si pelontar asumsi ini lupa, kalau manusia sangat mahir dalam urusan beranak-pinak), asumsi ini bahkan diperparah dengan anggapan bahwa homoseksual adalah “produk impor” dari “barat” (itupun kalau kita bisa bersepakat dengan terma barat atau timur itu sendiri yang seringkali menyesatkan). Tentu saja menarik untuk dipertanyakan, apakah seseorang itu benar-benar heteroseks atau benar-benar homoseks sepanjang hidupnya? Atau dengan kata lain, apakah seseorang itu 100 persen hetero atau 100 persen homo? Saya meragukan jika para pengkaji gender, yang amat saya hormati, pernah secara serius berpikir soal itu. Alih-alih berpikir, dengan serampangan para pengkaji gender kemudian memaksa seseorang untuk “mengakui dosa” sebagai heteroseks atau homoseks sepanjang hidup mereka.
Persoalan orientasi seksual ini menarik sebab variasinya nyaris tanpa batas. Jika seorang laki-laki, taat beragama, sudah menikah dengan perempuan, memiliki anak, dan pada suatu masa dalam hidupnya ia kemudian melakukan aktivitas seksual dengan laki-laki lain, dan secara sadar laki-laki tersebut menikmatinya, maka dalam kotak apa laki-laki tersebut akan dimasukkan? Apakah akan dimasukkan ke dalam kotak heteroseks, karena toh si laki-laki sudah menikah dan punya anak pula; ataukah dia akan dimasukkan ke dalam kotak homoseks, karena toh dia menikmati aktivitas seksual tersebut; atau barangkali dia ditempatkan di kotak biseksual? Jika laki-laki tersebut dimasukkan ke dalam kotak biseksual, tidakkah itu akan semakin membingungkan, sebab jika kita memahami gender secara rigid, yang kemudian berimbas pada pemahaman kita atas orientasi yang kaku, maka kotak biseksual adalah sesat pikir. Bagaimana mungkin ada kotak dalam wilayah abu-abu dalam satu konstruksi pemikiran yang menginginkan segala sesuatu berwarna hitam-putih?
Konsekuensi yang tidak kalah berbahaya, dari pemikiran gender yang rigid adalah pada kesimpulan bahwa hanya ada dua gender: laki-laki dan perempuan (atau sebaliknya, sama saja). Kita perlu melihat adanya gender lain di luar dua gender arus utama, apa yang seringkali disebut sebagai “gender ketiga”. Meskipun sebetulnya saya tidak setuju dengan istilah “gender ketiga”, karena secara tersirat akan mendorong pertanyaan apa atau siapa yang kita letakkan sebagai gender pertama dan gender kedua. Terma “gender ketiga” sesungguhnya lebih banyak digaungkan oleh para sahabat yang bergerak di isu LGBT dengan penekanan dasar pada transeksual. Secara sederhana, kehadiran gender ketiga adalah perlawanan atas mindset masyarakat Indonesia yang sangat heteronormatif dengan landasan oposisi binari yang kuat, yang celakanya seringkali dilandaskan pada persoalan determinisme biologis.
Dengan landasan determinisme biologis kita meletakkan kerangka sosio kultural yang kemudian beralih pada persoalan politik dan administratif. Dalam kerangka inilah terma gender ketiga muncul dan mempertanyakan kembali asumsi kita tentang makna dari gender itu sendiri. Di sisi ini, saya sepenuhnya setuju dengan teman-teman di LGBT, bahwa ada persoalan mendasar mengenai keberadaan transgender sebagai gender ketiga. Secara konseptual, transgender belum menarik perhatian serius dari para pengkaji gender, sebab seringkali terjadi kesalahpahaman bahwa istilah transgender secara identik sama dengan operasi kelamin. Saya setuju dengan teman-teman transeksual, bahwa istilah operasi kelamin keliru dipahami, bahkan oleh para pengkaji gender. Istilah yang lebih tepat adalah “penyesuaian kelamin”.
Persoalannya adalah, terma penyesuaian kelamin pun bermasalah, setidaknya bagi saya. Teman-teman transgender keliru ketika menjelaskan bahwa transgender adalah kondisi di mana seseorang memiliki “identitas gender” yang berlawanan dengan “tubuh biologisnya”. Dengan mengatakan bahwa transgender adalah orang yang menghayati dirinya dalam gender lain yang berbeda sepenuhnya dengan seks biologisnya, maka sesungguhnya teman-teman transgender tanpa sadar (atau mungkin sadar tapi tidak mempunyai pilihan lain) mempergunakan determinisme biologis sebagai sumber justifikasinya. Dengan demikian, transgender tidak memerdekakan diri mereka sendiri, sebab mereka masih terikat pada satu determinisme biologis.
Selain transgender, ada pula interseks, yakni seseorang yang dilahirkan dengan dua kelamin atau ambigous genitalia. Secara sederhana, jika transgender muncul dalam “kondisi psikis”, maka interseks adalah “kondisi medis”. Di sisi berbeda, tidak semua transgender ataupun interseks kemudian memilih untuk menjadi transeksual. Dalam hal ini mereka yang memilih untuk menjadi transeksual dikatakan sebagai orang yang mengalami gender dysphoria, atau kondisi tidak nyaman bahkan hingga tindakan membenci tubuhnya karena tidak sejalan dengan identitas gendernya. Banyak kasus di antara transgender seperti streess, depresi, hingga percobaan bunuh diri karena gender dysphoria ini.
Persoalan gender ketiga ini menarik untuk dicermati, bukan hanya karena secara sosiokultural sesungguhnya kita sudah sangat familiar dengan teman-teman transgender, dalam hal ini waria (meskipun sering muncul kesalahpahaman bahwa waria identik dengan pekerja seks komersial), melainkan juga pada ambiguitas yang inheren ada pada transgender secara konseptual. Di satu sisi, terma gender ketiga merupakan perlawanan atas hegemoni (jika kita menyebutnya sebagai hegemoni) heteronormativitas dan oposisi binari, di sisi lain, untuk menjelaskan justifikasinya, gender ketiga masih tersandera pada konsep identitas gender bias. Maka menjadi persoalan serius, apakah transgender harus selalu dikaitkan pada persoalan identitas gender versus determinisme biologis? Apakah pemahaman determinisme biologis itu tertanam atau ditanamkan?
Saya tidak bermasalah sama sekali jika pemahaman atas determinisme biologis “tertanam”, sebab bagi saya pemahaman itu muncul dalam dirinya sendiri. Si individu lah yang merasa bahwa dirinya tidak sesuai dengan tubuhnya. Persoalannya adalah, bagaimana jika pemahaman itu ditanamkan? Bahwa individu atas dorongan di luar tubuhnya mulai bertanya mengenai friksi antara diri dan tubuhnya. Persoalannya menjadi lebih pelik manakala kita, sebagai pengkaji gender, turut pula membentuk pemahaman itu. Para pengkaji gender meletakkan satu kata kunci utama dalam menjelaskan friksi tersebut: identitas gender, dan celakanya justru memberikan justifikasi bahwa terjadi ketidaksesuaian antara tubuh biologis dengan identitas gender.
Menyoal identitas di tengah air keruh diskursus gender
Saya senang sekali dengan analog Dede Oetomo soal kotak-kotak. Setelah membaca kusutnya pikiran saya, dan sebelum saya menutup coretan saya, ada dua pertanyaan yang harus dijawab: Pertama, mengapa saya harus masuk ke dalam kotak? Kedua, jika saya tidak memilih, mengapa ada yang begitu repotnya memaksa saya untuk masuk ke dalam satu kotak yang – mungkin saja – bukan kotak pilihan saya? Masing-masing pertanyaan memiliki konsekuensi sendiri.
Pertanyaan pertama memiliki mengasumsikan bahwa setiap manusia, termasuk saya dan anda, memiliki kebebasan untuk memilih kotak, dan dengan alasan kebebasan itu pula saya dapat masuk ke satu kotak dan keluar dari kotak tersebut (apapun motifnya) untuk beralih ke kotak lain. Tidak ada paksaan, sebab kata mengapa merujuk pada kepentingan pribadi. Bahwa pilihan untuk masuk atau keluar dari satu kotak adalah mutlak keputusan individu tanpa ada kaitan maupun intervensi oleh pihak lain. Bagaimana jika saya menolak untuk masuk ke kotak manapun? Jika perspektifnya disetujui, maka tidak ada masalah sama sekali – paling mungkin saya ditanya apakah saya manusia atau bukan.
Pertanyaan pertama mengisyaratkan bahwa identitas adalah sesuatu yang cair, sesuatu yang dimunculkan oleh seseorang dalam satu konteks ruang dan waktu tertentu, termasuk dalam cakupan itu adalah identitas gender. Saya misalnya, dalam konteks apa saya mempergunakan identitas saya sebagai laki-laki, muslim, lulusan pesantren? Apakah konteks yang sama memunculkan identitas saya sebagai laki-laki, terpelajar (maaf kalau anda mual-mual), dan ketua pusat kajian (UI pula)? Jelas tidak. Identitas bukanlah selembar kertas bernama KTP yang sejak awal ditulis sampai saya mati tidak akan berubah (memang bisa berubah dengan sedikit pelicin). Fluiditas itu menciptakan politik identitas, bahwa identitas adalah sesuatu yang politis, sesuatu yang muncul atau tidak sesuai situasi di mana identitas tersebut dimunculkan.
Pertanyaan kedua adalah persoalan serius. Dalam konteks kultural misalnya, ketika heteronormativitas berselingkuh dengan gender memunculkan satu pertanyaan abadi yang mengganggu semua manusia yang belum menikah: “Kapan kawin?”, atau “Anak perempuan jangan keseringan main sama laki-laki, nanti sulit dapat jodoh”, atau apapun, variasinya nyaris tanpa batas. Dalam hal ini, adalah politik kebudayaan yang mendorong heteronormativitas, dengan segala macam persuasi bahkan hingga ancaman (mulai dari hal-hal berbau magis sampai ancaman pencoretan dari daftar ahli waris). Bagi saya, hal ini dapat dipahami dengan mudah, bahkan dimaafkan.
Namun ada satu hal yang amat menggangu saya, bagaimana jika paksaan untuk memilih itu datang dalam konteks penelitian? Bahwa paksaan itu justru muncul dari para akademisi maupun aktivis (saya enggan membedakan dua entitas ini yang seringkali dibenturkan tanpa alasan yang logis). Disadari atau tidak, para pengkaji gender, dengan basis keilmuan sebagai justifikasi yang justru mendorong – untuk tidak mengatakan menjerumuskan – seseorang (terserahlah anda sebut itu responden atau informan) untuk masuk ke dalam satu kotak hanya untuk alasan memudahkan analisis. Bagi saya, sebuah kesesatan bahkan pengkhianatan, jika dengan basis teori keilmuan, alih-alih membebaskan, namun justru menjerumuskan dan menghakimi.
Tentu saja ini masalah pribadi saya, bahwa saya seringkali kecewa membaca berbagai hasil penelitian, utamanya ketika bicara mengenai identitas gender, yang justru menjadi justifikasi untuk menghakimi. Penghakiman massal yang justru didorong oleh hasil penelitian yang sesat pikir adalah dosa besar yang menghasilkan bayangan panjang di masa yang akan datang. Bagaimana mungkin para pengkaji gender, yang memahami betul bahwa persoalan gender dan identitas gender tidak dapat dilepaskan dari banyak irisan (sosio, kultural, ekonomi, politik, dll), kemudian tiba pada satu kesimpulan bahwa gender adalah sesuatu yang rigid, beku, kaku, nyaris bebas dari perubahan?
Di sisi yang berbeda, ada satu dosa lain yang seringkali dilupakan, bahkan oleh mereka yang dibesarkan dalam tradisi ilmu sosial: bahwa para subjek adalah manusia. Di titik inilah saya setuju dengan kritik Lila Abu-Lughod (1993), bahwa kecenderungan untuk melakukan penelitian terhadap manusia, alih-alih menjadikan manusia sebagai manusia, justru menjadikan manusia sebagai robot. Lihatlah berbagai hasil penelitian yang kering emosi. Bahwa gender adalah konstruksi, iya benar. Namun keliru jika memandang bahwa manusia adalah subjek pasif atas konstruksi tersebut. Dalam persoalan identitas gender misalnya, banyak kajian hanya berfokus pada bagaimana identitas tersebut dikonstruksikan, bukan dimainkan. Dengan berfokus pada konstruksi, memang hal itu akan membongkar persoalan sosio-kultural, namun justru menjadikan manusia sebagai robot yang bergerak sesuai dengan perintah sistem. Bahwa manusia adalah manusia, yang dapat menginterpretasikan kehidupannya sendiri merupakan persoalan yang terabaikan, dan disinilah letak kritik saya. Bahwa banyak di antara pengkaji gender, barangkali termasuk saya, gagal memahami bahwa diskursus gender tidak seterang siang, yang berimplikasi pada simplifikasi identitas gender – terlebih jika hanya untuk kepentingan analisis semata – adalah sesuatu yang patut disayangkan, disesali, bahkan mungkin dikutuk.