Mereka yang keluar dari rumahnya: pengalaman perempuan Madura di Bekasi

Catatan: naskah ini sudah diterbitkan dalam Jurnal Inada 1(1):55-74. Saya berterima kasih kepada sahabat dari UKI untuk kesempatannya mempublikasikan tulisan tersebut.

Sebagai salah satu etnis di Indonesia yang cukup banyak dikaji terkait dengan mobilitas penduduknya, perempuan Madura pun dikenal sebagai sosok yang memiliki mobilitas tinggi. Makalah ini mengkaji tentang migrasi yang dilakukan oleh perempuan Madura secara individual tanpa mengikutsertakan anggota keluarga mereka di Kabupaten Bekasi. Mengambil subjek sebanyak sepuluh orang, dan berfokus pada mereka yang berprofesi sebagai Pekerja Rumah Tangga, pedagang maupun buruh pabrik yang tersebar di beberapa tempat sebagai informan, di mana seluruh subjek penelitian berasal dari golongan yang mampu secara ekonomi namun berpendidikan rendah. Secara umum dapat dikatakan bahwa migrasi yang dilakukan oleh perempuan Madura di Bekasi mengikuti tiga pola umum, yaitu: (1) bermigrasi ke tempat di mana terdapat anggota keluarga, (2) bermigrasi ke tempat yang tidak ada anggota keluarga namun memiliki kelompok etnis yang sama, atau (3) bermigrasi ke tempat yang benar-benar baru. Sebagai usaha untuk mendalami fenomena migrasi individual, maka penulis memfokuskan pada point ketiga. Alasan utama perempuan Madura melakukan migrasi adalah untuk mencari kehidupan yang lebih baik dan mencari kesempatan kerja yang lebih terbuka ketimbang di daerah asal mereka. Persoalannya adalah, banyak migran yang tidak memiliki kemampuan yang memadai, sehingga mereka justru lebih banyak berprofesi sebagai PRT maupun buruh. Meskipun demikian, pekerjaan tersebut tetap diambil sebagai kesempatan untuk memperoleh penghasilan, baik untuk dirinya sendiri maupun sebagai remiten. Dalam beberapa kasus, para migran ini justru tidak lagi kembali ke Madura namun memilih untuk menetap di Bekasi. Hal inilah yang coba untuk dieksplorasi lebih lanjut, yakni alasan untuk melakukan migrasi dan strategi adaptasi mereka di daerah migrasi yang baru bagi mereka.

Kata kunci: Perempuan, Migrasi, Ekonomi

Pendahuluan

Madura merupakan salah satu etnis di Indonesia yang banyak dikaji dari berbagai perspektif. Diantara kajian-kajian tersebut menitikberatkan pada elite agama dan politik (Bruinessen 1995, Mansurnoor 1995, Rozaki 2004, Karim 2004, Julijanti 2009), kebudayaan Madura (lihat Niehof 1992, Bouvier 2002, Wiyata 2002, Rifai 2007, de Jonge 2011)  stereotipe oreng Madura (de Jonge 1995), historisitas (de Jonge 1989, Kuntowijoyo, 2002, Kasdi 2003) dan migrasi (Sudagung 2001, Fathony 2009, Yogaswara 2012). Sebagai etnis yang banyak dikaji, ada satu persoalan yang mengganjal, utamanya pada kajian migrasi: mengapa wajah migrasi manusia Madura selalu berwajah laki-laki?

Disadari atau tidak, sangat minim – untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali – kajian migrasi yang berfokus pada migrasi perempuan Madura. Kajian-kajian mengenai migrasi yang dilakukan pun umumnya lebih banyak berbicara pada domain migrasi yang dilakukan oleh laki-laki untuk mencari nafkah atau penghidupan yang lebih baik bagi dirinya maupun keluarganya, padahal perempuan dan migrasi adalah dua sisi dari mata koin yang sama. Berawal dari hal itulah tulisan ini dibuat dengan mengambil fokus pada migrasi yang dilakukan oleh perempuan Madura di wilayah Kabupaten Bekasi. Secara khusus, tulisan ini memiliki dua tujuan: Pertama, sebagai kritik atas berbagai kajian migrasi yang melupakan perempuan Madura sebagai pelaku migrasi. Kedua, sebagai upaya untuk mendedahkan lebih lanjut bahwa migrasi yang dilakukan oleh para subjek adalah tipe migrasi yang unik yang belum mendapat perhatian serius bagi para peminat kajian migrasi maupun kajian Madura.

Migrasi perempuan dan pencarian kesempatan kerja

Dalam banyak kajian, migrasi yang dilakukan oleh perempuan lebih disebabkan oleh terbatasnya kesempatan kerja maupun penyusutan lapangan kerja yang ada (Hugo 1992). Revolusi hijau yang digaungkan oleh pemerintah Indonesia dituding sebagai penyebab menurunnya kesempatan kerja yang miliki oleh perempuan. Collier (1974) misalnya, menuduh revolusi hijau menjadikan perempuan di pedesaan Jawa telah kehilangan pekerjaan mereka, karena pekerjaan mereka justru diambil alih oleh mekanisasi pertanian. Migrasi yang dilakukan, bukan hanya oleh laki-laki namun juga perempuan, di berbagai pedesaan di Jawa nampaknya terkait erat dengan involusi pertanian sebagaimana yang dikemukakan oleh Geertz (1983). Involusi pertanian secara signifikan telah mengubah berbagai pola kerjasama pertanian di pedesaan Jawa, seperti perubahan sistem bawon ke tebasan, perubahan sistem tumbuk ke huller, maupun perubahan sistem maro ke kedokan. Faktor lainnya adalah menurunnya upah di sektor pertanian yang disebabkan kesenjangan antara tekanan penduduk terhadap tanah dengan terbatasnya kesempatan kerja di luar sektor pertanian (Kasryno 1983, Soelistiono 1990).

Berbagai faktor tersebut merupakan penyumbang bagi pengambilan keputusan orang untuk melakukan migrasi. Tampak bahwa tidak ada perbedaan alasan maupun tujuan untuk melakukan migrasi, baik yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan (Hugo 1992). Soeharso (1975) pernah membedakan antara tujuan migrasi yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan. Laki-laki umumnya bermigrasi untuk mencari pekerjaan (64,5%), mengikuti orang tua (11,8%), menempuh pendidikan (10,1%), dan mengikuti keluarga (5%); sedangkan perempuan melakukan migrasi dengan tujuan untuk mengikuti suami (48,8%), mencari pekerjaan (21,5%), mengikuti keluarga (13,5%), dan mengikuti orang tua (10,1%). Meskipun demikian, tetap saja muncul pertanyaan, apakah data yang dikemukakan oleh Soeharto masih relevan hingga saat ini atau malah sebaliknya?

Perempuan dan migrasi pada dasarnya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (Chant dan Radcliffe 1992). Sebagai sutu sarana mobilitas penduduk, migrasi tidak dapat dilihat hanya dari sudut pandang ekonomi sebagai faktor utama, namun juga harus mempertimbangkan aspek sosial, budaya, bahkan politik (Haris 2002). Migrasi yang dilakukan oleh perempuan umumnya dipicu oleh minimnya kesempatan kerja di daerah asal, atau meminjam istilah Mantra (1989), bahwa besarnya perbedaan tingkat kefaedahan antarwilayah mendorong seseorang untuk melakukan migrasi, baik melalui saluran-saluran yang resmi maupun yang tidak resmi. Tentu saja adanya kesenjangan ini mendorong perempuan untuk berusaha lebih mandiri untuk memperbaiki kehidupannya.

Di titik ini kita harus melihat pada kondisi ekonomi dan politik yang mendorong terjadinya migrasi perempuan, khususnya perempuan Madura di Kabupaten Bekasi. Jika melihat data migrasi perempuan Madura yang saya miliki, kuat dugaan bahwa kedatangan para perempuan migran dari Madura di Kabupaten Bekasi terjadi pada medio 1960an sampai akhir 1970an. Hal ini dapat dilihat bahwa pada era 1970-an, partisipasi angkatan kerja dapat dikatakan mencapai (46,8%), dan semakin meningkat pada tahun 1990 menjadi (53%). Menurut Tjiptoherijanto (1997:7), peningkatan ini terjadi karena dua hal, yaitu: (1) adanya perubahan struktur umur penduduk, dan (2) peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan. Lalu pertanyaannya adalah, mengapa Bekasi?

Dapat dikatakan bahwa Bekasi merupakan salah satu penyangga Ibu Kota Jakarta, dengan demikian, dinamika kependudukan di Jakarta akan turut berdampak pada dinamika kependudukan di wilayah penyangganya, termasuk diantaranya adalah Bekasi. Jakarta telah menjadi pusat dari migrasi yang dilakukan oleh penduduk Indonesia, di mana pada tahun 1990, 39,9% penduduknya adalah migran (Tjiptoherijanto, 1997:12).  Sebagai salah satu penopang Jakarta, tidak mengherankan jika Bekasi turut terimbas dengan pertambahan penduduk, hanya saja, sangat disayangkan tidak terdapat data yang pasti mengenai pertumbuhan penduduk Bekasi, terutama jumlah migran yang masuk ke wilayah Bekasi.

Migrasi perempuan madura di Bekasi

Dalam kajian yang dilakukan oleh Noer (2006), diketahui bahwa perempuan Madura yang melakukan migrasi tidak datang ke Bekasi sebagai tujuan pokok mereka. Mereka umumnya terlebih dahulu datang ke Jakarta, namun seiring dengan semakin sedikitnya kesempatan kerja yang terbuka bagi mereka, akhirnya mereka beralih ke daerah penyangga Jakarta, seperti Depok, Bogor dan Bekasi. Sebagai daerah pusat ekonomi dan pemerintahan, Jakarta merupakan pusat urbanisme di Indonesia (Evers dan Korff 2002), di mana hal ini merupakan magnet yang sangat kuat bagi terjadinya migrasi rural-urban. Munculnya berbagai kota besar di Indonesia pada dasarnya memiliki masalah klasik yang sama, yakni pertumbuhan kota yang sangat pesat ditandai dengan masuknya para migran dari daerah pedesaan (Kanto 2006).

Kedatangan mereka umumnya disertai dengan keluarga mereka, baik itu mereka mengikuti suami atau mengajak anak mereka untuk tinggal bersama dengan mereka. Dalam kajian Noer (2006) diketahui bahwa migrasi yang dilakukan oleh perempuan umumnya ke wilayah yang terdapat sanak keluarga perempuan itu, baik itu ke tempat suami bekerja, atau ke wilayah yang lebih dahulu didatangi oleh anggota keluarga yang menetap di wilayah itu. Penelitian Hanafi (2005) mendapatkan pola lain, bahwa ada pula perempuan yang melakukan migrasi ke Bekasi bukan ke wilayah yang terdapat anggota keluarganya, namun ke daerah yang memiliki etnis yang sama, di mana mereka umumnya mengikuti teman yang sudah terlebih dahulu bekerja di suatu wilayah. Pola ketiga muncul dari Noer (2007, 2014) yang mendapatkan adanya perempuan yang datang ke wilayah Bekasi, bukan ke wilayah yang terdapat anggota keluarganya maupun ke wilayah yang terdapat orang dengan etnis yang sama, namun justru ke tempat yang benar-benar baru.

Dengan demikian, terdapat tiga pola dasar yang dapat ditemukan pada para perempuan yang bermigrasi ke Bekasi, yaitu: (1) mereka bermigrasi ke wilayah yang terdapat sanak saudara maupun suami, (2) mereka yang bermigrasi ke wilayah yang tidak terdapat sanak saudara namun terdapat sejumlah orang yang berasal dari etnis dan/atau wilayah desa asal yang sama, dan (3) mereka yang bermigrasi ke wilayah yang tidak terdapat sanak saudara maupun orang-orang dengan etnis dan/atau daerah asal yang sama, atau mereka yang bermigrasi ke wilayah yang benar-benar baru. Berdasarkan jumlah orang yang melakukan migrasi, setidaknya terdapat dua macam migran, yaitu: (1) mereka yang bermigrasi secara bersama-sama, atau mereka yang bermigrasi ditemani oleh satu orang teman atau lebih (Hanafi 2005), dan (2) mereka yang bermigrasi secara individual (Noer 2007, 2014). Jika dikaitkan pola laju migrasi, maka didapati bahwa seluruh migran yang datang ke Bekasi adalah migran yang semi menetap (pulang ke kampung halaman setiap enam bulan sampai satu tahun sekali) dan migran menetap (pulang kampung lebih dari tiga tahun sekali).

Para pelaku migrasi individual

Cukup sulit untuk menemukan para perempuan yang menjadi subjek kajian ini, yakni mereka yang melakukan migrasi individual ke tempat yang benar-benar baru bagi mereka. Mayoritas perempuan yang melakukan migrasi selalu ditemani oleh teman atau keluarga, sehingga mencari perempuan Madura yang melakukan migrasi individual seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Mengingat pembatasan yang dilakukan oleh studi ini, maka peneliti mencari migran yang bermukim berdasarkan informasi dari migran lain, dan begitu migran tersebut ditemukan, maka pengecekan latar belakang dan kondisi lingkungan sekitar menjadi keharusan untuk dilakukan untuk membuktikan bahwa migran tersebut termasuk dalam kriteria ini. Meskipun demikian, sekurangnya terdapat sepuluh orang perempuan yang melakukan migrasi tipe ini, dan karena mereka bermigrasi ke tempat di mana tidak ada yang berhubungan saudara atau orang dengan etnis yang sama, maka lokasi kajian ini sangat tersebar di Kabupaten Bekasi. Dari sepuluh orang subjek kajian, tiga orang saat ini menetap di Kecamatan Babelan, satu orang menetap di Kecamatan Cikarang Barat, satu orang di Kecamatan Cikarang Timur, dua orang di Kecamatan Tambun, dua orang di Kecamatan Cibitung, satu orang di Kecamatan Setu. Kesepuluh orang tersebut adalah Wardah dari Arosbaya, Bangkalan; Atikah dari Arosbaya, Bangkalan; Maimunah dari Geger, Bangkalan; Sariyah dari Konang, Bangkalan; Mariatun dari Kokop, Bangkalan; Supini dari Tanah Merah, Bangkalan; Saminah dari Pegantenan, Pamekasan; Rukoyah dari Tlanakan, Pamekasan; Jakiyah dari Dungkek, Sumenep; dan Syarifah dari Kalianget, Sumenep.[1]

Migrasi perempuan: faktor-faktor penting

Sepuluh subjek penelitian ini menggambarkan adanya suatu pola yang bersifat khusus, yakni sebagian dari mereka berasal dari Bangkalan, dan sisanya berasal dari Pamekasan. Mayoritas subjek berasal dari Bangkalan, hal ini menggambarkan bahwa adanya akses yang lebih mudah terhadap transportasi mendorong terjadinya migrasi. Sebagai daerah yang pasti dilalui ketika akan menyebrang ke Surabaya, Bangkalan menjadi kabupaten di Madura yang memiliki sarana transportasi yang paling memadai, hal ini dapat dilihat dengan subjek yang datang dari Bangkalan. Hampir seluruh subjek sepakat, bahwa menemukan orang Madura yang berasal dari Bangkalan di Jakarta dan sekitarnya lebih mudah ketimbang yang berasal dari Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Hal ini tentunya sangat mudah mengaitkan antara mobilitas penduduk dengan sarana pendukung mobilitas tersebut. Sebagai daerah yang terjauh, bukannya tidak ada migran yang berasal dari Sumenep, hanya saja jumlahnya sangat sedikit.

Dari beberapa kantung migran Madura yang berada di wilayah Kabupaten Bekasi misalnya, hanya terdapat tiga wilayah yang dihuni oleh migran Sumenep, hal ini jauh berbeda jika dibandingkan yang berasal dari Bangkalan yang mencapai sekurangnya lima belas lokasi, sedangkan yang berasal dari Sampang berjumlah delapan lokasi, dan Pamekasan sebanyak sepuluh lokasi (Hanafi 2005, Noer 2006, 2007). Poin lainnya yang cukup menarik adalah, belum ditemukannya migran perempuan yang melakukan migrasi individual yang berasal dari Sampang. Menurut penuturan Atikah, dahulu ia memiliki teman migran yang berasal dari Sampang, hanya saja ia kemudian menikah dengan laki-laki yang juga berasal dari Sampang kemudian dibawa ke rumah suaminya. Wilayah Sampang merupakan wilayah yang cukup banyak mengirimkan migran ke wilayah Kabupaten Bekasi, hanya saja, berdasarkan pengamatan, laki-laki lebih mendominasi secara kuantitas ketimbang perempuan. Hal ini berbeda dengan lokasi tempat tinggal migran yang berasal dari Bangkalan, di mana jumlah laki-laki dan perempuan secara kuantitas seimbang. Saya harus mengakui bahwa tidak ada data resmi yang menyebutkan berapa jumlah pasti migran berdasarkan jenis kelamin maupun daerah asal, namun setidaknya dapat ditarik suatu kesimpulan berdasarkan pengamatan yang berasal dari masing-masing lokasi permukiman migran.

Dapat dilihat bahwa mereka seluruhnya keluar dari Madura pada usia yang relatif muda dan masih dalam usia produktif. Sebagian dari mereka berstatus belum menikah, sedangkan lainnya berstatus janda. Status menjadi point penting, di mana status yang ‘bebas’ menjadi pendorong yang sangat efektif bagi perempuan mengambil pilihan untuk melakukan migrasi (Chant dan Radcliffe 1992). Nampaknya bukan hanya status yang menjadi pendorong bagi terjadinya migrasi, namun juga pekerjaan yang semula mereka tekuni. Sebagai seorang istri, Wardah, Atikah, Maimunah, Mariatun, Rukoyah, Jakiah, dan Syarifah bertugas mengurusi tanean – termasuk mengolah ladang – yang dimiliki oleh keluarganya. Sebagai seorang peladang, maka pendapatan yang mereka peroleh sangat fluktuatif, apalagi jika sang suami tidak memiliki pekerjaan tetap. Maka dengan pendapatan yang sedikit dan tidak menentu, mereka harus memutar otak agar rumah tangga mereka tetap dapat berjalan. Berbeda halnya dengan Sariyah, Supini, dan Saminah yang belum menikah. Seluruh subjek merasakan betul betapa terbatasnya lapangan pekerjaan yang mereka miliki, terutama jika dikaitkan dengan jenis kelamin dan status yang mereka miliki.

Salah satu persoalan utama ketika membahas migrasi perempuan adalah akses terhadap ekonomi. Migrasi jelas tidak hanya membutuhkan niat maupun keberanian, namun juga membutuhkan ekonomi sebagai penopang. Dalam hal ini, faktor akses terhadap ekonomi dikaitkan dengan dua faktor penting, yaitu: biaya perjalanan dan biaya hidup di daerah tujuan. Masalah biaya perjalanan mungkin dapat ditangani dengan mudah, namun biaya untuk hidup lah yang harus dicermati. Seluruh subjek yang datang jelas memiliki kemampuan ekonomi. Para migran yang berstatus sebagai janda cerai mendapatkan kemampuan ekonomi berdasarkan harta gono-gini atau harta perkawinan, sedangkan yang berstatus janda mati mendapatkan harta waris dari suaminya meskipun jumlahnya tidak seberapa. Satu hal yang menarik diperhatikan, bahwa para migran yang sudah menikah ini telah mempersiapkan ‘bekal’ mereka sebelum mereka menjanda. Dalam hal ini mereka telah menyisihkan sebagian kecil uang belanja mereka dalam tabungan pribadi, karena mereka menyadari sepenuhnya bahwa mereka suatu saat akan berpisah dengan suaminya, sehingga ketika mereka benar-benar menjanda dan mendapatkan sejumlah harta dari pihak suami dan keluarganya, mereka sudah benar-benar siap. Berbeda halnya dengan para migran yang belum menikah, di mana menopangkan kehidupannya pada orang tuanya. Pada kasus Supini, yang menopang adalah ayahnya; sedangkan Sariyah dan Saminah yang pergi karena akan dijodohkan oleh ayah tirinya, maka sang ibu yang menjadi penopang ekonomi, baik untuk biaya transportasi maupun untuk biaya hidup selama beberapa waktu sampai sang anak mampu untuk mencari nafkah sendiri.

Faktor lain yang juga harus dipertimbangkan dalam mengkaji perilaku migrasi para perempuan adalah informasi yang di dapat mengenai daerah tujuan dan jenis pekerjaan yang tersedia. Sekurangnya terdapat tiga sumber utama, yaitu: (1) tetangga, (2) teman, dan (3) pihak keluarga, apakah itu keluarga suami, kakak kandung, bahkan saudara ipar (lihat Tabel. 1). Selain itu, faktor krusial yang harus dicermati adalah usia para migran yang datang ke wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pekerjaan yang tersedia mempertimbangkan dua aspek penting: pendidikan dan usia kerja. Dari sepuluh subjek, hanya Supini dan Sariyah yang telah menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Wardah dan Saminah berhenti pada kelas II SMP, Mariatun dan Syarifah telah menyelesaikan Sekolah Dasar (SD), Rukoyah dan Maimunah tidak tamat SD, sedangkan Atikah dan Jakiah sama sekali tidak sekolah. Dari sepuluh orang subjek, seluruhnya datang ke Jakarta dan Bekasi pada usia produktif. Atikah barangkali yang paling tua, di mana ia datang ketika berusia 35 tahun; sedangkan Supini berusia paling muda, yakni 22 tahun. Hal ini tentu saja dapat dipahami, terutama jika dikaitkan dengan lokasi di mana mereka bermukim. Seluruh subjek bermukim tidak jauh dari tempat pekerjaan mereka. Wardah, Sariyah, Mariatun, Saminah, dan Syarifah bekerja sebagai buruh pabrik; Supini bekerja sebagai pegawai di sebuah supermarket; Maimunah dan Jakiah bekerja sebagai pedagang sayur dan buah; sedangkan Atikah dan Rukoyah bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga.

Jika diperhatikan dengan seksama, terdapat korelasi antara usia dengan jenis pekerjaan yang ditempuh. Supini yang saat ini baru berusia 28 tahun bekerja sebagai kasir di salah satu supermarket besar di daerah Tambun, sedangkan mereka yang berusia antara 29-37 tahun berprofesi sebagai buruh di beberapa pabrik yang ada di sekitar tempat mereka tinggal, dan antara rentang usia 38-45 tahun bekerja secara paruh waktu. Maimunah menjadi pedangan sayur-sayuran di Pasar Setu pada pagi hari, dengan Jakiyah berdagang sayur dan buah di pasar Babelan pada sore dan malam hari. Atikah dan Rukoyah menjadi PRT paruh waktu, di mana jam kerja mereka hanya dari pagi hingga siang hari, dan sore harinya mereka menjadi kuli cuci pakaian bagi para tetangga sekitarnya.

Usia dalam hal ini menjadi faktor lain yang menjadi pertimbangan para migran untuk melakukan suatu pekerjaan (Chant dan Radcliffe 1992), tentunya faktor lain adalah ketersediaan lapangan pekerjaan. Hampir sebagian besar pabrik yang ada di wilayah Bekasi menjadikan usia sebagai salah satu referensi mereka ketika merekrut pegawai. Menurut pengakuan Sariyah, tempat dia bekerja, yakni sebuah pabrik pengolahan mie instan, tidak menerima pekerja baru yang berusia di atas 30 tahun. Hal sama juga diakui oleh Wardah, menurutnya, pabrik tempat dia bekerja hanya mempekerjakan mereka yang berusia di bawah 35 tahun. Konsekuensinya, sebagaimana yang diakui Wardah, ia harus memikirkan kemana ia akan bekerja setelah kontraknya secara selesai. Setidaknya nasib yang lebih baik diterima oleh Mariatun dan Syarifah, di mana pabrik tempatnya pekerja membatasi usia pekerjanya maksimal 42 tahun. Berbeda dengan mereka yang bekerja sebagai buruh di pabrik, Supini tidak terlalu merisaukan mengenai pekerjaannya, sebab posisinya sebagai kasir dapat dijabatnya sampai ia berusia 30 tahun, dan setelah itu ia masih dapat bekerja di bagian lain sampai berusia 35 tahun. Agaknya yang tidak merisaukan masalah usia dan pekerjaan hanyalah Atikah, Maimunah, Rukoyah, dan Jakiah.

Persoalannya adalah, para migran ini tidaklah mendapatkan penghasilan yang memadai, di mana keadaan ini menggambarkan adanya perbedaan besaran pengahasilan yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin, hal inilah yang membuat posisi perempuan yang berperan dalam dunia ekonomi justru terpinggirkan (Susanti 2005). Mereka yang bekerja sebagai buruh di pabrik mendapatkan gaji pokok (tahun 2012) dengan rentang antara Rp.1.850.000-Rp.2.150.000/bulan, Supini mendapatkan gaji pokok sebesar Rp.1.800.000/bulan, Atikah dan Rukoyah rata-rata mendapatkan gaji dari bekerja sebagai PRT dan kuli cuci sebesar Rp.1.600.000/bulan, sedangkan Maimunah dan Jakiah mendapatkan penghasilan berdagang rata-rata Rp.3.000.000/bulan. Dari gambaran pendapatan jelas terlihat bahwa Maimunah dan Jakiah mendapatkan pemasukan yang paling banyak, sedangkan Mariatun mendapatkan pendapatan yang paling kecil, hanya sebesar Rp.1.500.000/bulan. Penghasilan tersebut harus mereka pergunakan untuk kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan anak-anak, hingga dijadikan sebagai remiten.

Di antara sepuluh orang subjek, enam orang subjek masih mengirimkan uang ke kampung halaman sebagai remiten, yakni Wardah, Maimunah, Sariyah, Supini, Jakiah, dan Syarifah. Besarannya pun bervariasi, di mana mereka umumnya mengirimkan remiten sekali setiap tahunnya. Farida, Sariyah, Supini, dan Syarifah mengirimkan Rp.2.500.000/tahun, sedangkan Maimunah dan Jakiah mengirimkan Rp.4.000.000/ tahun. Hal ini masih ditambah lagi jika mereka harus berlebaran ke kampung halaman, di mana mereka jelas harus menyisihkan uang lebih banyak lagi untuk keluarga mereka. Remitensi ini secara rutin mereka kirimkan, baik dengan datang sendiri ketika berlebaran maupun dititipkan ke saudara atau kenalan yang masih satu kampung dengan mereka. Selain uang, terkadang mereka juga mengirimkan perhiasan emas, utamanya cincin atau gelang yang dikirimkan khusus untuk orangtua di kampung.

Bagi saya, remitensi ini menjadi faktor yang sangat krusial dalam memahami migrasi yang dilakukan oleh para subjek. Jika dilihat secara umum, rata-rata mereka sudah berada di Bekasi lebih dari satu dekade, bahkan mereka telah menikah kembali dengan orang pilihannya sendiri yang bukan berasal dari etnis Madura. Dapat dikatakan bahwa mereka telah memiliki kehidupan yang nyaman yang di Bekasi. Meskipun demikian, bagi mereka, Bekasi bukanlah rumah mereka. Madura adalah rumah mereka, tempat di mana mereka kembali. Hal inilah yang menyebabkan mereka selalu terikat dengan Madura, fakta bahwa mereka sudah ber-KTP Bekasi, tinggal di Bekasi, berinteraksi dengan masyarakat Bekasi, bahkan sudah kehilangan logat Madura, tidak berarti apa-apa bagi mereka. Rumah (baca: Madura) adalah faktor penting yang tidak diabaikan dalam memahami kompleksitas persoalan perempuan dan migrasi. 

Mengapa mereka pergi?

Sebagai kajian migrasi, tulisan ini mencoba menggambarkan, bahwa perempuan Madura memiliki kalkulasi yang sama dengan laki-laki. Ekonomi menjadi salah satu motif yang mendasarkan pilihan perempuan untuk melakukan migrasi. Meskipun demikian, adalah keliru dengan mengatakan bahwa ekonomi adalah satu-satunya faktor. Sebab alasan kalkulasi ekonomi selain didasarkan pada asumsi rasionalitas universal yang mendorong setiap orang untuk bergerak ke arah yang sama tanpa mempertimbangkan elemen penting: gender. Gender memainkan peran penting tentang bagaimana keputusan perempuan untuk melakukan migrasi.

Dalam memahami migrasi individual yang dilakukan oleh perempuan Madura, mau tidak mau kita harus melihat dalam konteks kultural (termasuk ekologis) Madura dan dinamika pembangunan pada masa itu. Selain itu, penting pula untuk memahami, bahwa migrasi yang dilakukan oleh perempuan memiliki dimensi yang – sedikit banyak – berbeda dengan migrasi yang dilakukan oleh laki-laki. Terdapat hambatan kultural yang menyebabkan pilihan perempuan untuk melakukan migrasi tidak seluas pilihan yang dimiliki oleh laki-laki. Dalam hal ini, menjadi krusial untuk memahami bagaimana faktor internal dan eksternal dari setiap perempuan yang memilih untuk melakukan migrasi individual.

Sekurangnya terdapat lima faktor yang mempengaruhi keputusan perempuan untuk melakukan migrasi individual, yaitu: (1) kemampuan ekonomi, (2) usia, (3) status perkawinan, (4) kemudahan sarana transportasi, (5) informasi mengenai lapangan pekerjaan. Pada point pertama jelas terlihat bahwa kemampuan ekonomi mendorong para subjek untuk dapat keluar dari Madura dan merantau untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Faktor usia dan jenis lapangan pekerjaan nampaknya saling berkaitan, di mana informasi yang umumnya di dapat adalah tersedianya lapangan pekerjaan bagi mereka yang belum berusia 35 tahun. Hal ini tentu saja mendorong perempuan dengan usia yang jauh lebih muda untuk keluar dari Madura ketimbang mereka yang sudah berusia di atas 35 tahun, di mana lapangan pekerjaan yang tersedia bagi mereka tidak lah sebanyak bagi mereka yang berusia di bawah 35 tahun. Faktor lainnya adalah kemudahan sarana transportasi, di mana migrasi terkait erat dengan mudahnya sarana transportasi untuk mendukung mobilitas perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lainnya.

Status perkawinan memainkan peran yang penting untuk mendorong perempuan melakukan migrasi individual. Secara sederhana, tidak mungkin bagi seorang yang masih berstatus menikah untuk melakukan migrasi individual, dengan demikian kesempatan ini hanya terbuka bagi mereka yang memiliki status belum menikah atau janda. Status perkawinan menjadi poin yang sangat krusial mengingat budaya orang Madura yang  sangat memproteksi perempuan, di mana laki-laki Madura, terutama para suami, sangat protektif terhadap para istri mereka, sehingga hal ini membatasi gerak istri untuk memperoleh pekerjaan. Ketika mereka bercerai atau menjanda karena suami meninggal (tentunya dengan satu syarat bahwa istri tidak ‘turun ranjang’ atau menikah dengan adik suami agar menjaga ikatan perkawinan).

Migrasi individual yang dilaksanakan pun seringkali terbentur pada persoalan lapangan pekerjaan yang tersedia. Lapangan kerja yang tersedia bagi perempuan di wilayah Bekasi sebenarnya cukup luas, hanya saja – sebagaimana telah banyak diteliti – lapangan pekerjaan tersebut umumnya memberikan gaji yang lebih rendah ketimbang yang diterima oleh laki-laki meskipun dengan jam kerja dan beban pekerjaan yang sama. Persoalan ini merupakan persoalan klasik yang terus membayangi para buruh perempuan, di mana mereka dengan gaji yang relatif rendah dan adanya kekhawatiran terjadinya tindak pelecehan seksual bagi mereka. Meskipun demikian, tidak semua migran individual bekerja sebagai buruh, sebagaimana telah ditunjukkan, bahwa pekerjaan yang mereka lakukan terkait erat dengan usia mereka saat ini. Dengan pendapatan yang rendah, dan adanya tekanan bagi sebagian migran individual untuk mengirimkan remiten bagi keluarga di Madura, maka mereka pun harus melakukan beberapa langkah strategis untuk menjaga keberlangsungan hidupnya di Bekasi. Setidaknya terdapat tiga upaya yang dilakukan, yaitu: (1) tinggal di wilayah yang tidak jauh dari tempat kerja, (2) mengirimkan remiten, dan (3) menikah dengan penduduk sekitar atau dengan orang daerah lain yang bertempat tinggal tidak jauh dari tempat bekerja.

Migrasi individual yang dilakukan oleh para perempuan Madura ini memberikan gambaran mengenai kompleksitas permasalahan perempuan, di mana masalah migrasi ini jelas tidak hanya berkaitan dengan faktor ekonomi, namun juga terkait dengan faktor sosial dan budaya. Sebagai sebuah studi, migrasi individual ini memberikan gambaran betapa usaha perempuan untuk mempertahankan eksistensinya di tengah pilihan yang terbatas. Satu hal yang harus dicatat, bahwa semua subjek mengakui, bahwa mereka sama sekali tidak menyesal ketika harus meninggalkan kampung halaman untuk bermigrasi di Bekasi, setidaknya hal ini dapat dilihat dalam pandangan Syarifah bahwa migrasi dapat “membuat saya bernapas lebih lega” dan menciptakan pilihan-pilihan yang “lebih banyak ketimbang di daerah asli saya.” Semoga apa yang diharapkan oleh para migran ini bukan lah sekedar mimpi di siang hari, meskipun tantangan yang harus mereka hadapi di Bekasi tidak lah lebih ringan dibandingkan daerah asal mereka.

Kepustakaan:

Bouvier, H. 2002. Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Jakarta: Obor

Bruinessen, M. van. 1995. “Tarekat and tarekat teachers in Madurese Society”, dalam K. van Dijk, H. de Jonge dan E. Touwen-Bouwsma (eds.) Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular Society. Leiden: KITLV Press. Hlm. 91-118

Chant, S. dan S.A. Radcliffe. 1992.   “Migration and development: the importance of gender” dalamS. Chant (ed.) Gender & Migration in Developing Countries. London: Belhaven Press. Hlm. 1-29

Evers, HD dan R. Korff. 2002. Urbanisme di Asia Tenggara, Makna dan Kekuasaan dalam Ruang-Ruang Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Fathony, B. 2009. Pola Pemukiman Masyarakat Madura di Pegunungan Buring. Malang: Intimedia

Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara

Haris, A. 2002. Memburu Ringgit, Membagi Kemiskinan; fakta di balik migrasi orang Sasak ke Malaysia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hugo, G. 1992. “Women on the move: changing patterns of population movement of women in Indonesia” dalam Sylvia Chant (ed.) Gender & Migration in Developing Countries. London: Belhaven Press. Hlm. 174-196

Jonge, H. De. 1989. Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam. Jakarta: Gramedia

_____. 1995. “Stereotypes of the Madurese”, dalam K. van Dijk, H. de Jonge dan E. Touwen-Bouwsma (eds.) Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular Society. Leiden: KITLV Press. Hlm. 7-24

_____. 2011. Garam, Kekerasan dan Aduan Sapi: Esai-Esai tentang Orang Madura dan Kebudayaan Madura. Yogyakarta: LKiS

Julijanti, D.M. 2009. “Potret Nyai Salimah Hadi sebagai Pemimpin Publik di Madura” dalam S.H. Sastriani (ed.) Gender and Politics. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Penerbit Tiara Wacana. Hlm. 378-389

Kanto, S. 2006. Sirkulasi dan Komutasi dari Desa ke Kota. Malang: U.P Fakultas Pertanian Universitas Brawijay

Karim, A.D. 2004. Pemimpin Wanita Madura. Surabaya: Papyrus

Kasdi, A. 2003. Perlawanan Penguasa Madura Atas Hegemoni Jawa: Relasi Pusat-Daerah Pada Periode Akhir Mataram (1726-1745). Yogyakarta: Jendela.

Kasryno. 1980. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian dan Tingkat Upah. Laporan Studi Agro Ekonomi

Kuntowijoyo. 2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940. Yogjakarta: Mata Bangsa

Mantra, I.B. 1989. Mobilitas Pendudk Sirkuler dari Desa ke Kota Kecil di Indonesia. Yogyakarta: PPK UGM

Mansurnoor, I.A. 1995. “Rato and Kiai in Madura: Are they twins?”, dalam K. van Dijk, H. de Jonge dan E. Touwen-Bouwsma (eds.) Across Madura Strait: The Dynamics of an Insular Society. Leiden: KITLV Press. Hlm. 25-48

Mazumbar. 1981. Wages and Employment in Indonesia. Washington: World Bank

Niehof, A. 1992. “Madurese women as brides and wives”, dalam E. Locher-Scholten dan A. Niehof (eds.) Indonesian Women In Focus. Leiden: KITLV Press. Hlm. 166-180

Noer, K.U. 2006. Keluarga Madura di Bekasi: Masalah atau Solusi?. Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari “Merumuskan Kembali Pembangunan di Bekasi”, diselenggarakan oleh Nuruttaqwa Foundation, Aula KH. Noer Alie Islamic Center Bekasi, 1 Maret

_____. 2007. Migrasi Perempuan Madura di Bekasi: Alasan dan Latar Belakang. Makalah disampaikan dalam seminar “Perempuan dan Dunia Kerja, Mempertanyakan Kembali Makna Hari Kartini”, diselenggarakan oleh Nuruttaqwa Foundation dan Pondok Pesantren Attaqwa Putri, Pendopo Tamu Pondok Pesantren Attaqwa Putri, 21 April

_____. 2014. Amimpeh Tanean Lanjeng: Politik Tubuh, Perlawanan dan Imaji Janda Terasing Dari Madura. Disertasi tidak dipublikasikan. Depok: Antropologi FISIP UI.

Rifai, M.A. 2007. Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media

Rozaki, A. 2004. Menabur Kharisma Menuai Kuasa, Kiprah Kiai dan Blater Sebagai Rezim Kembar di Madura. Yogyakarta: Pustaka Marwa

Soelistiono, T.D. 1990. Pola Migrasi Buruh Bangunan. Skripsi sarjana tidak dipublikasikan. Surabaya: FISIP Universitas Airlangga

Sudagung, H.S. 2001. Mengurai Pertikaian Etnis: Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi

Suharso et.al. 1975. Migration and Education in Jakarta. Jakarta: Leknas LIPI

Tjiptoherijanto, P. 1997. Migrasi, Urbanisasi, dan Pasar Kerja di Indonesia. Jakarta: UI Press

Wiyata, A.L. 2002. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LkiS

Yogaswara, H. 2012. Meneruskan Hidup Setelah Kerusuhan: Ingatan Kolektif dan Identitas Etnis Madura Pasca Kekerasan Antaretnis di Kota Sampit, Kalimantan Tengah. Disertasi tidak dipublikasikan. Depok: Antropologi FISIP UI.


[1]     Atas permintaan subjek, seluruh nama yang dicantumkan bukanlah nama yang sebenarnya.