Sebagai ibu kota Republik Indonesia, Jakarta adalah barometer bagi keindonesiaan dalam banyak hal, termasuk diantaranya adalah kerukunan umat beragama. Bicara mengenai kerukunan umat beragama, Jakarta memiliki beberapa contoh yang sangat representatif. Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal misalnya, dapat menjadi contoh bagaimana dua bangunan peribadatan dapat saling berdampingan. Meskipun demikian, hanya ada satu tempat di Jakarta, di mana gereja dan masjid tidak hanya berdekatan, namun saling bertetangga, berbagi dinding, berbagi suka, berbagi duka, berbagi cerita: Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST) Mahanaim dan Masjid Al Muqarrabin di wilayah Enggano, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Jika anda berkunjung ke Pelabuhan Tanjung Priok melewati Jalan Enggano, mustahil melewatkan dua bangunan ini: GMIST Mahanaim dan Masjid Al Muqarrabin. Sangat sulit untuk tidak berpaling ketika melihat sebuah salib raksasa bersebelahan dengan kubah masjid di tepi jalan yang ramai oleh lalu lintas mobil kontainer. Kedua bangunan ini terletak di nadi transportasi Pelabuhan Tanjung Priok, tepat di sebelah RS Port Medical Center. Terletak di Jalan Enggano, dua bangunan ini tampil sederhana.
GMIST Mahanaim hanya terdiri dari satu bangunan berwarna putih setinggi 3 lantai. Satu-satunya tanda bahwa bangunan ini adalah gereja terletak pada salib besar di dinding depannya. Di lantai satu terdapat ruang utama dan altar, di lantai dua terletak mezanin dan kantor pusat GMIST, sedangkan lantai tiga berfungsi sebagai kantor dan ruang penyimpanan. Masjid Al Muqarrabin sendiri hanyalah sebuah bangunan masjid dua lantai dengan dua buah kubah, satu kubah utama dan satu kubah pendamping yang terletak persis di sebelah kanan GMIST Mahanaim. Lantai satu masjid dipergunakan untuk tempat berwudu, kantor Yayasan Masjid Al Muqarrabin dan ruang salat lima waktu; sedangkan lantai dua hanya dipergunakan untuk salat Jumat maupun salat di hari raya dan peringatan hari besar keagamaan. Secara ukuran, GMIST Mahanaim dan Masjid Al Muqarrabin tidaklah besar, masing-masing hanya sekitar seribu meter persegi. Tidak ada yang menyolok dari GMIST dan Masjid Al Muqarrabin, tidak ada ornamen mewah, tidak ada hiasan yang menyolok. Kesan sederhana melingkupi dua bangunan ini, namun di balik kesederhanaannya kedua bangunan ini mengisahkan cerita, tentang dua agama yang saling menghormati dan melindungi.
Melacak akar historis
Pada medio 1950an, para pelaut dari timur Indonesia memutuskan untuk membangun sebuah tempat peribadatan bagi mereka yang melempar jangkar mereka di Pelabuhan Tanjung Priok. Sebidang tanah di wilayah Enggano, tidak jauh dari Pelabuhan Tanjung Priok dipilih sebagai tempat peribadatan tersebut. Akhirnya, pada tahun 1957, berdirilah Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud Mahanim. Salah satu alasan utama mengapa GMIST Mahanaim berdiri adalah untuk menjawab kebutuhan spiritual bagi para pelaut dan pekerja di Tanjung Priok yang menganut Protestan.
GMIST Mahanaim adalah gereja beraliran Protestan di Indonesia yang menginduk pada Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud sebagai sinode. Sejak tanggal 25 Mei 1950, GMIST tergabung dalam Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. Khusus untuk wilayah Jakarta Utara, GMIST Mahanim bukanlah satu-satunya GMIST di wilayah ini, sebab ada pula GMIST Galilea dan GMIST Betlehem. Merunut sejarahnya, GMIST di wilayah Sangihe dan Talaud merupakan merupakan organisasi pelayanan yang berasal dari Zending Tukang dari Belanda yang datang ke wilayah Sangihe pada tahun 1857. Setelah masa pelayanan berakhir pada tahun 1935, tugas pelayanan dialihkan ke Komite Sangihe Talaud yang mengadakan Sinode Pertama pada tahun 1947.
Satu dekade setelah Sinode Pertama, maka GMIST memutuskan untuk membuka pelayanan di wilayah Jakarta Utara, maka lahirlah GMIST Mahanaim. Saat ini GMIST Mahanaim memiliki dua buah bangunan gereja, yang paling baru terletak di Jalan Menur Tanjung Priok. Meskipun memiliki bangunan baru, namun bangunan yang terletak di Jalan Enggano adalah pusat peribadatan bagi para jemaat sekaligus kantor administrasi GMIST Mahanaim. Menurut Wakil Sekretaris GMIST Mahanaim, Christin Merry, terdapat tidak kurang dua ribu jemaat GMIST Mahanaim yang tersebar di wilayah Jakarta Utara hingga Bekasi yang memanfaatkan GMIST Mahanaim untuk peribadatan mereka.
Pada tahun 1959, dua tahun setelah GMIST didirikan, seorang tokoh ulama betawi, H. Abdul Aziz Ali, membangun sebuah masjid di tanah miliknya sendiri. Tanah itu terletak persis di sebelah bangunan GMIST Mahanim. Masjid itupun diberi nama Masjid Al Muqarrabin. Menurut pengurus masjid, pemilihan nama Al Muqarrabin tidak lepas dari cita-cita H. Abdul Aziz Ali, bahwa masjid ini tidak hanya sebagai tempat beribadah, namun juga tempat di mana kehidupan sosial berlangsung – tidak hanya bagi sesama umat Islam, namun juga antara umat Islam dengan non-muslim. Tidak hanya membangun masjid, H. Abdul Aziz Ali juga mendirikan sebuah yayasan yang bernama Yayasan Masjid Al Muqarrabin yang bertanggungjawab untuk mengelola sekaligus mengatur aktivitas Masjid Al Muqarrabin.
Bangunan yang ada saat ini adalah hasil renovasi besar-besaran yang dilakukan pada tahun 1990. Sebagaimana GMIST Mahanaim, keberadaan Masjid Al Muqarrabin adalah jawaban atas kebutuhan peribadatan bagi umat muslim dan para pekerja yang bekerja di Pelabuhan Tanjung Priok. Ketika pertama kali berdiri, Masjid Al Muqarrabin tidak sebesar saat ini, hanya berupa bangunan satu lantai yang difungsikan sebagai tempat salat dan kantor yayasan. Ketika berpulang ke rahmatullah pada tahun 1997, H. Adul Aziz Ali menyerahkan tampuk kepemimpinan Yayasan Masjid Al Muqarrabin kepada anak laki-lakinya, H. Muhammad Tawakkal. Dalam hal ini, H. Abdul Aziz Ali tidak hanya mewariskan bangunan masjid, namun juga mewariskan sebuah kehidupan yang harmonis antara dua umat beragama.
Menguji kerukunan: peristiwa Tanjung Priok 1984 dan kerusuhan Mei 1998
Terkait dengan kerukunan umat beragama yang terjalin antara GMIST Mahanaim dan Masjid Al Muqarrabin, ada baiknya kita melihat dua peristiwa besar: peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 dan kerusuhan Mei 1998. Melalui dua peristiwa inilah kita bisa melihat bagaimana kerukunan umat beragama di wilayah ini terjadi. Sebagaimana dituturkan oleh Christin Merry, Sekretaris GMIST Mahanaim, bahwa peristiwa Tanjung Priok 1984 dan Mei 1998 menjadi gambaran bagaimana eratnya hubungan antara GMIST Mahanaim dan Masjid Al Muqarrabin.
Pada 12 September 1984, sebuah bentrokan besar terjadi di Tanjung Priok, bentrokan yang terjadi antara komunitas muslim di satu sisi dengan pihak militer di sisi lain. Bentrokan ini menyebabkan kerusuhan besar di Tanjung Priok, di mana ratusan rumah dan bangunan dibakar. Peristiwa ini akan tetap diingat sebagai peristiwa Tanjung Priok 1984. Dalam kerusuhan ini, setidaknya terdapat sembilan orang tewas terbakar dan 24 orang tewas karena bentrokan. Sejumlah orang diadili dengan tuduhan makar pada tahun 1985, dan sejumlah aparat militer diadili dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia pada tahun 2004. Peristiwa Tanjung Priok ini merupakan ujian kerukunan hubungan antar umat beragama di wilayah Jakarta, sebab peristiwa ini melibatkan seorang aparat desa – yang kebetulan beragama Kristen – mencabut sebuah spanduk yang menentang asas tunggal Pancasila di sebuah masjid di Tanjung Priok. Hal inilah yang menyebabkan kerusuhan Tanjung Priok ikut menyeret masalah agama di wilayah Jakarta, khususnya di Jakarta Utara.
Diceritakan bahwa ketika bentrokan Tanjung Priok pecah, sekelompok massa melakukan defile di sepanjang wilayah Tanjung Priok, dan merusak bangunan apapun yang mereka temui, salah satu targetnya adalah gereja-gereja di wilayah Tanjung Priok. Pada waktu itu, banyak rumah ibadah turut menjadi sasaran amuk warga, dan banyak rumah ibadah lainnya mendapat ancaman yang sama, bahwa rumah ibadah tersebut akan dibakar, termasuk GMIST Mahanaim. Menarik apa yang diceritakan oleh salah seorang warga yang menjadi saksi kejadian, bahwa dalam peristiwa kerusuhan Tanjung Priok, meski dalam keadaan mencekam, GMIST Mahanaim tidak mengalami kerusakan karena puluhan jamaah Masjid Al Muqarrabin menjadikan diri mereka sebagai tameng hidup untuk melindungi GMIST Mahanaim. Ketika itu, ratusan masa yang beringas berkeliling melakukan pencarian terhadap warga yang beragama Kristen, dengan membawa kayu dan mereka berkeliling kampung.
Pada saat itu, atas permintaan dari H. Abdul Aziz Ali kepada Ketua Jemaat GMIST Mahanaim, agar para jemaat berlindung di rumah masing-masing, dan tidak perlu ke GMIST Mahanaim karena suasana mencekam. Pada waktu itu, beberapa pengurus GMIST Mahanaim yang sedang berkantor diminta untuk tetap tenang dan tidak keluar dari bangunan gereja. Sepanjang hari itu, belasan orang jamaah Masjid Al Muqarrabin berjaga di depan pintu GMIST Mahanaim dan pintu Masjid Al Muqarrabin dengan meletakkan meja dan kursi. Ketika datang puluhan orang yang ingin merusak GMIST Mahanaim, mereka ditemui oleh pengurus Masjid Al Muqarrabin yang kemudian mengajak mereka berdialog di dalam Masjid Al Muqarrabin. Ketika sebagian dari mereka masuk ke dalam, sebagian lainnya berkeras ingin masuk ke dalam GMIST Mahanaim namun dicegah oleh para jamaah Masjid Al Muqarrabin. Bentrokan dan adu mulut tidak terhindarkan antara para perusuh dengan jamaah Masjid Al Muqarrabin. Bahkan para jamaah dari Masjid Al Muqarrabin berteriak dengan lantang, “bakar kami dulu sebelum bakar gereja!”. Pada akhirnya suasana mereda, terutama setelah pihak Masjid Al Muqarrabin menjelaskan posisi mereka, bahwa Masjid Al Muqarrabin memberikan jaminan sepenuhnya, bahwa GMIST Mahanaim dan seluruh jemaatnya tidak terlibat dalam peristiwa Tanjung Priok.
Pada sore hari, ketika suasana sudah mulai kondusif, pihak Masjid Al Muqarrabin dan GMIST Mahanaim melakukan pertemuan membahas langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kekerasan. Pada saat itu, diputuskan bahwa pihak jamaah Masjid Al Muqarrabin akan terus berjaga selama beberapa hari ke depan, dan pihak GMIST Mahanaim untuk sementara tidak melakukan kegiatan peribadatan sampai suasana benar-benar kondusif. Hal ini diakui oleh beberapa jemaat GMIST Mahanaim dan pengurus Masjid Al Muqarrabin, bahwa penjagaan tersebut atas instruksi langsung dari H. Abdul Aziz Ali sebagai Ketua Yayasan Masjid Al Muqarrabin. Bahkan beliau selalu menyempatkan diri untuk datang ke masjid untuk menjaga agar suasana tetap aman.
Beberapa informan yang saya wawancara menyebut, sejak pecahnya peristiwa Tanjung Priok di bulan September 1984, pihak Masjid Al Muqarrabin sempat memberikan batasan bagi para jamaah, yakni melarang para jamaah masjid untuk tidur atau menginap di masjid. Bahwa masjid memang dibuka untuk umum untuk kegiatan ibadah sehari-hari, namun setelah isya, Masjid Al Muqarrabin ditutup, sehingga para jamaah yang akan tidur di masjid terlebih dahulu harus melaporkan diri ke pihak Yayasan Masjid Al Muqarrabin atau pihak kepolisian. Dalam penjelasannya, H. Muhammad Tawakkal menyatakan bahwa keputusan tersebut diambil sebagai langkah antisipasi agar tidak ada provokator yang sengaja menyebarkan berita yang dikhawatirkan dapat merusak situasi tenang yang telah terjalin di masyarakat. Kondisi ini sendiri berlangsung cukup lama, yakni sampai awal tahun 1985.
Antara tahun 1985 sampai tahun 1998, keharmonisan antara umat muslim dan kristiani di Enggano berjalan amat baik. Namun kerusuhan Mei 1998 membuka kembali memori kelam hubungan antara umat beragama. Berbeda dengan peristiwa Tanjung Priok yang menyeret persoalan agama, kerusuhan Mei 1998 menyeret isu yang lebih besar: SARA. Ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, pada waktu itu tampuk kepemimpinan Yayasan Masjid Al Muqarrabin sudah berpindah, dari H. Abdul Aziz Ali ke tangan anaknya, H. Muhammad Tawakkal. Pada waktu itu, mengikuti apa yang telah dilakukan oleh ayahnya, H. Muhammad Tawakkal menginstruksikan agar jamaah Masjid Al Muqarrabin membuat barikade di sekitar GMIST Mahanaim dan Masjid Al Muqarrabin. Pihak masjid pun meminta kepada pihak GMIST Mahanaim agar meliburkan seluruh agenda peribadatan dan meminta agar para jemaat tidak datang ke GMIST Mahanaim.
Sebagaimana diceritakan oleh pengurus masjid, bahwa pada waktu kerusuhan Mei 1998, puluhan jamaah Masjid Al Muqarrabin bergantian berjaga, baik siang maupun malam hari, guna mencegah agar tidak ada satupun pihak yang dapat masuk ke dalam GMIST Mahanaim. Praktis seluruh penjagaan GMIST Mahanaim berada di bawah koordinasi Masjid Al Muqarrabin. Pada waktu itu, H. Muhammad Tawakkal juga meminta bantuan dari pihak kepolisian agar turut serta menjaga keamanan, tidak hanya bagi bangunan peribadatan, namun juga bagi para jamaah Masjid Al Muqarrabin dan jemaat GMIST Mahanaim yang tinggal di sekitar lokasi. Selain itu, sebagaimana terjadi pada peristiwa Tanjung Priok, Masjid Al Muqarrabin juga meningkatkan kewaspadaan dengan meminta para jamaah untuk tidak tidur di masjid setelah salat isya dan mengawasi orang yang masuk ke masjid yang berperilaku mencurigakan.
Kewaspadaan yang sama juga dilakukan GMIST Mahanaim tertutama pada awal dibukanya kembali seluruh kegiatan peribadatan di gereja tersebut. Menurut seorang jemaat, pada waktu itu pihak GMIST Mahanaim meminta para jemaat yang hadir untuk tidak bertindak atau mengucapkan kata-kata yang dapat memicu kembalinya bentrok di masyarakat. GMIST Mahanaim juga memantau dengan ketat siapa saja yang beribdata di gereja tersebut, mengingat jemaat GMIST tidak terlalu banyak, sehingga pihak gereja dapat melakukan pemantauan jemaat. Sebagaimana Masjid Al Muqarrabin, pihak GMIST melakukan ini sebagai langkah antisipasi agar tidak ada penyusup yang masuk ke dalam GMIST dan memprovokasi jemaat.
Apa yang dikhawatirkan memang tidak terjadi berkat langkah-langkah antisipasi yang dilakukan oleh pihak Masjid Al Muqarrabin dan GMIST Mahanaim. Menurut ibu Christin Merry, sejak tahun 1998 hingga saat ini, baik pihak GMIST Mahanaim maupun pihak Masjid Al Muqarrabin menyadari betul bagaimana kerukunan antarumat beragama di wilayah Enggano harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Peristiwa Tanjung Priok dan Mei 1998 membawa satu pemahaman yang sama, bahwa komunikasi antara pihak GMIST Mahanaim dan pihak Masjid Al Muqarrabin harus semakin ditingkatkan. Beberapa kesepakatan menarik pun diambil oleh kedua belah pihak, tujuannya sama: menjaga agar kerukunan yang telah terjalin semakin erat dan menjadi contoh bagi masyarakat umum, bahwa kerukunan antar umat beragama bukan hal yang mustahil dilakukan.
Memelihara kerukunan
Belajar dari pengalaman tahun 1984 dan tahun 1998, terdapat beberapa kesepakatan menarik antara GMIST Mahanaim dan Masjid Al Muqarrabin. Misalnya, pihak GMIST Mahanaim menyediakan lahan parkirnya untuk kebutuhan parkir motor jamaah Masjid Al Muqarrabin, baik untuk kegiatan salat Jumat maupun untuk kegiatan hari besar agama Islam. Demikian pula sebaliknya, Masjid Al Muqarrabin juga menyediakan lapangan parkirnya untuk menampung jemaat GMIST Mahanaim yang akan melaksanakan peribadatan. Selain saling bantu dalam meminjamkan area parkir, GMIST Mahanaim dan Masjid Al Muqarrabin juga saling membantu ketika salah satu pihak melakukan renovasi. GMIST Mahanaim misalnya, membantu bantuan dana dan peralatan ketika Masjid Al Muqarrabin melakukan renovasi besar-besaran tahun 2000, demikian pula sebaliknya.
Barangkali yang paling unik dari kesepakatan untuk menjaga kerukunan adalah adanya self cencorship, sensor internal, bagi seluruh khatib dan pastur yang akan berceramah, baik ketika kebaktian di GMIST Mahanaim maupun khutbah jumat dan pengajian rutin di Masjid Al Muqarrabin. Sekretaris GMIST Mahanaim mengatakan, bahwa pihak GMIST Mahanaim selalu mememinta konsep ceramah para pastur yang akan berceramah di hadapan jemaat GMIST Mahanaim. Biasanya, pihak GMIST Mahanaim akan memberikan sejumlah materi yang akan diberikan, kemudian pastur yang bersangkutan akan memberikan catatan mengenai inti dari ceramahnya. Jika disetujui, maka pastur yang bersangkutan akan diizinkan oleh pihak gereja. Bahkan selalu ada pengurus GMIST Mahanaim yang ikut serta dalam peribadatan untuk menjaga agar sang pastur tidak melenceng dari isi ceramahnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Masjid Al Muqarrabin, bahwa Yayasan Masjid Al Muqarrabin selalu meminta para khatib yang akan bertugas untuk menyerahkan isi khutbahnya sebelum sang khotib naik ke atas mimbar.
Baik GMIST Mahanaim maupun Masjid Al Muqarrabin menyatakan, bahwa ada sanksi yang diberikan kepada pastur atau khatib yang dalam ceramahnya menyinggung persoalan SARA atau dikhawatirkan memicu konflik SARA di masyarakat. Sanksi itu sendiri bermacam-macam, mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, larangan untuk berceramah selama beberapa waktu, hingga pencabutan izin berceramah di GMIST Mahanaim atau Masjid Al Muqarrabin. Aturan ini berlaku sangat ketat meski belum pernah ada ustaz atau pastur yang masuk dalam daftar hitam.
Di samping adanya sensor internal, kerukunan antar umat beragama yang melibatkan Masjid Al Muqarrabin dan GMIST Mahanaim patut dipuji dan diperhatikan. GMIST Mahanaim misalnya, bersedia meniadakan peribadatan pagi jika pada hari yang sama Masjid Al Muqarrabin menyelenggarakan salat hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Khusus untuk kegiatan seperi Maulid Nabi Muhammad SAW atau hari besar Islam lainnya, jika bertepatan dengan hari sabtu atau minggu, maka pihak GMIST meniadakan peribadatan pagi dan siang hari. Di sisi lain, Masjid Al Muqarrabin juga bersedia mematikan pengeras suara yang berada di kubah – sehingga suara azan hanya terdengar di dalam masjid – agar tidak menganggu jemaat GMIST Mahanaim sedang melangsungkan peribadatan. Selain mematikan pengeras suara, Masjid Al Muqarrabin juga meniadakan kegiatan taklim di hari sabtu dan minggu (taklim kaum ibu di hari selasa dan jumat, dan taklim kaum bapak di hari rabu) mengingat area parkir masjid dipergunakan untuk menampung parkir para jemaat yang tidak tertampung di pelataran parkir gereja.
Kesepakatan untuk menjaga kerukunan antarumat beragama membawa hal baik bagi masyarakat di sekitar GMIST Mahanaim dan Masjid Al Muqarrabin. Mengingat mayoritas warga di sekitar GMIST Mahanaim dan Masjid Al Muqarrabin beragama Islam, maka kegiatan-kegiatan sosial lebih banyak dilakukan oleh GMIST Mahanaim. GMIST Mahanaim memiliki agenda rutin untuk menyelenggarakan bazar dan bakti sosial yang dilaksanakan di halaman gereja. Selain bazar, ada juga kegiatan rutin pembuatan kolak yang diberikan sebagai takjil gratis untuk para jamaah Masjid Al Muqarrabin dan masyarakat sekitar yang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan.
Penutup
Hubungan yang terjalin antara GMIST Mahanaim dan Masjid Al Muqarrabin adalah contoh yang amat baik tentang bagaimana dua pemeluk agama dapat saling bersatu dalam perbedaan. Apa yang dilakukan oleh GMIST Mahanaim dan Masjid Al Muqarrabin memang tidak umum terjadi. Bagaimana pihak GMIST rela membatalkan peribadatan demi menghormati tetangga muslim yang merayakan hari kemenangan, dan bagaimana pihak Masjid Al Muqarrabin mematikan pengeras suara masjid demi menghormati tetangganya yang non-muslim yang sedang beribadat. Menarik pula untuk melihat, bagaimana para jamaah Masjid Al Muqarrabin bertaruh nyawa untuk melindungi gereja dan tetangga mereka yang non-muslim, atau bagaimana jemaat GMIST Mahanaim mengumpulkan donasi dan membuat makanan berbuka untuk tetangga muslim mereka yang berpuasa.
Hal-hal inilah yang membuat kerukunan antarumat beragama di wilayah ini sangat terjaga. Ketika komunikasi menjadi kunci dan toleransi menjadi pondasi, maka kerukunan antarumat beragama bukan hal yang mustahil untuk dicapai. Lihatlah pada GMIST Mahanaim dan Masjid Al Muqarrabin yang dengan segala usaha mereka telah berhasil menjadikan mereka contoh yang diakui dunia internasional. Hal ini terbuki dengan dipilihnya GMIST Mahanaim dan Masjid Al Muqarrabin sebagai tuan rumah pertemuan umat beragama se Asia pada April 2013 lalu. Kepada dua bangunan dan para pemeluknya kita harus belajar, bahwa berbagi dinding adalah awal dari cerita manis, tentang dua pemeluk agama yang berbeda disatukan oleh satu dimensi yang sama: kemanusiaan.