Setiap tanggal 31 Mei Surabaya merayakan ulang tahun, tahun ini adalah ulangtahun ke-725. Jelas bukan masa yang singkat dengan usia sepanjang itu. Catatan kaki kali ini didedikasikan bagi kota Surabaya yang telah penulis tinggali selama enam tahun. Sebagai seorang pendatang, Surabaya merupakan kota yang sangat sibuk. Meskipun penulis berasal dari Bekasi, sebuah kota yang menjadi penyangga Jakarta, namun toh kehidupan di Surabaya sangat berbeda dengan tempat tinggal saya. Lupakan fakta bahwa Bekasi merupakan kota yang hanya berperan sebagai penyangga Jakarta, sebab kehidupan di Bekasi jelas tidak dapat dibandingkan dengan kehidupan di Surabaya.
Anda tahu, ketika saya baru tiba di Surabaya untuk melanjutkan studi saya, kota ini menyambut saya ‘kelewat ramah’ dengan kultur khas arek Suroboyo: Misuh!! Bayangkan, belum sepuluh menit saya tiba di Surabaya, ketika saya baru saja turun dari pesawat, seorang pria dengan lantangnya berkata “Jancuk, sampeyan ga jalan lihat ta?” kepada saya. Saya heran, padahal jelas dia yang salah, mengingat waktu itu kita sedang mengantri untuk turun, dan dia membawa tas ransel yang kelewat besar ke dalam kabin. Mungkin karena tasnya terlalu berat sehingga badannya condong ke depan, nahas bagi saya, karena saya tidak mungkin turun lebih cepat karena seorang nenek tua berada di depan saya, akhirnya saya kena semprot. Barangkali karena saya benar-benar baru dan karena saya tidak merasa bersalah maka saya cuek aja, sampai seorang bapak memberi tahu saya bahwa say baru saja dimaki olehnya. Barangkali di Bekasi orang tersebut akan saya maki balik “Bangsat!!”, tapi ya sudah lah, saya anggap itu sambutan bagi saya. Namun saya begitu seringnya mendapat misuh seperti itu selama enam bulan kehidupan saya di Surabaya. Saya pernah merasakan di tabrak dari belakang oleh pengendara motor di trotoar, bayangkan bahwa motor itu berjalan melawan arus, berjalan di trotoar, dan ketika menabrak saya (alhamdulillah saya selamat) ia terpental dari motornya (karena terlalu cepat motornya terguling dan pengendaranya besut-besut [rasain, Tuhan memang adil!!!]), dan hebatnya saya dimaki “Jangkrik!! Jalan ko di tengah-tengah! Ga genah aturan ta?” lha saya lebih takjub lagi. Bukan kah trotoar memang diperuntukkan bagi pejalan kaki? Sehingga hak saya untuk berjalan di sisi manapun di trotoar, tapi rupanya itu dianggap kesalahan saya. Saya pernah diserempet motor di zebra cross, padahal saat itu sedang lampu merah. Keberuntungan rupanya bukan milik saya, sebab saya lagi-lagi di misuh “Jancuk!!! Kalo nyembrang liat-liat!!!”. Terus terang saya heran, apakah jalanan di Surabaya memiliki aturan yang berbeda dengan di Bekasi? Setahu saya zebra cross merupakan penyebrangan bagi pejalanan kaki ketika lampu merah menyala, tapi kok bisa ya saya yang dianggap salah. Saya juga pernah di serempet motor di depan Samsat Manyar ketika saya menyebrangkan seorang ibu ke arah Gramedia. Waktu itu, karena motornya terlalu cepat maka terpelanting dan mematahkan knalpot dan spionnya. Saya sendiri mengalami luka yang tidak serius, hanya kemeja baru saya robek parah, Alhamdulillah, seperti mendapat intusi saya membawa kemeja salin dalam ransel saya. Dapat anda bayangkan betapa marahnya si pengendara motor kepada saya, namun kali ini saya lebih berani, saya menantangnya untuk melapor ke kantor polisi yang ada di samping Samsat Manyar, akhirnya ia memilih pergi setelah saya bayar Rp.20.000, saya anggap itu cukup untuk beli obat merah dan perban.
Surabaya pun bukan kota yang tidak ramah pada para pendatang, hanya saja tingkat kriminalitas di Surabaya sangat tinggi. Saya tidak menyangkal bahwa di Bekasi pun tingkat kriminalitas sangat tinggi, hanya saja saya tidak pernah (mudah-mudahan tidak) kecurian. Selama enam tahun di Surabaya, sudah pernah empat kali kehilangan dompet dan satu keli kehilangan ponsel. Sebenarnya bukan masalah dompet yang saya khawatirkan, namun kartu identitas saya lah yang saya khawatirkan. Saya telah kehilangan tiga KTP, satu KTM, dan lima ATM; dapat anda bayangkan ketapa berbelitnya polisi si Surabaya untuk membuat surat kehilangan. Saya harus ditanya ciri-ciri dompet saya, tipe ponsel saya, nomor kartu telpon, nomor KTP, nomor KTM, nomor KTP, tempat hilangnya, bahkan “apakah saya tahu siapa yang mengambil”. Terus terang saya pernah saking jengkelnya hingga berkata “Kalau saya tau di mana hilangnya atau siapa yang mengambil saya ga akan datang ke sini (kantor polisi), Pak”. Polisi di Surabaya rupanya sangat memperhatikan prosedur yang kelewat ruwet, setidaknya itu yang saya alami. Bayangkan saya harus berpindah kantor polisi karena saya meloprkan bukan di wilayah kehilangan barang saya. Coba anda pikirkan, jika saya naik bis dari terminal Bungurasih ke arah Bratang, dan dari Bratang saya naik lyn WB dan turun di Dharmawangsa, maka saya harus melaporkannya ke kantor polisi yang mana? Saya bingung.
Surabaya jelas kota yang tidak hanya dipenuhi persoalan yang jelek-jelek, di mana rasanya tidak adil jika saya hanya berbicara yang buruk-buruk tentang kota Surabaya, namun juga banyak hal-hal yang indah. Salah satu kenangan indah ketika saya tinggal di Surabaya adalah ketika saya tersesat di jalan. Terus terang saya lebih suka naik angkutan umum untuk kemana-mana sehingga saya tidak membawa kendaraan pribadi ke kota Surabaya. Satu ketika saya keliru memberhentikan angkutan umum. Harusnya saya naik WB, tapi saya justru memberhentikan UBB, dan parahnya saya tertudur di dalam angkot, dan betapa kagetnya saya ketika saya tahu bahwa saya bukan ke arah Dharmawangsa tapi malah ke Ujung Baru, yah lumayan lah. Hal indah lainnya adalah bahwa kota ini menjadi surga belanja bagi saya. Kemana pun saya pergi, saya pasti dapat menemukan satu pusat perbelanjaan, meskipun hal ini pun merisaukan saya, tapi saya toh tidak bisa munafik bahwa saya cukup senang dengan banyaknya pusat perbelanjaan. Dalam satu kesempatan di pusat perbelanjaan bahkan saya pernah ‘di tawar’ oleh seorang bapak, sial dikiranya saya ‘kucing’ yang banyak berkeliaran (akan saya ceritakan dalam catatan kaki tersendiri mengenai hal ini).
Satu hal yang cukup saya senangi dari kota ini, selain pusat perbelanjaan, adalah beberapa ruang terbuka hijau. Meskipun kurang maksimal, namun beberapa ikon kota Surabaya cukup rimbun. Saya cukup sering untuk nangkring di Taman Bungkul, baik untuk ngobrol dengan teman maupun sekedar jalan-jalan. Buat saya, sangat disayangkan bahwa pohon-pohon di Surabaya terlalu sering di tebang, sehingga membuat kota ini menjadi sangat panas pada siang hari. Sisi lain kota Surabaya pun telah saya eksplorasi, mulai dari kuliner jalanan hingga objek wisata yang (sayangnya kurang banyak) ada di Surabaya. Apapun itu, kota Surabaya mendapatkan tempat tersendiri dalam hidup saya. Saya banyak berharap Surabaya berubah menjadi kota yang lebih nyaman untuk ditinggali, bukan hanya sekedar menjadi ‘house’ bagi seluruh orang, namun jauh dari itu, Surabaya dapat menjadi ‘home’ bagi para penghuninya. Selamat ulang tahun Surabaya.