Antropologi pasca Koentjaraningkat

Catatan: tulisan ini dibuat khusus ketika saya diundang oleh Departemen Antropologi Universitas Brawijaya pada 2014 silam. Tulisan ini belum mengalami perubahan, saya beniat memberikan versi perubahannya, tp untuk saat ini, silahkan membaca versi aslinya. Tulisan ini diperuntukkan untuk mahasiswa program sarjana UB yang baru dibentuk, jadi beberapa argumen disederhanakan.

Apa yang bisa saya katakan tentang “antropologi pasca Koentjaraningrat”?

Saya memulai refleksi saya dengan melihat bagaimana antropologi terbentuk terlebih dahulu. Adalah fakta yang tidak dapat disangkal bahwa antropologi memiliki sejarah yang unik. Sebagai sebuah disiplin keilmuan, antropologi muncul pada medio abad 19, namun sebagai “sejarah gagasan”, antropologi telah ada jauh sebelum itu. Kalau kita membaca Mukaddimah Ibnu Khaldun misalnya, secara eksplisit terdapat penjelasan bagaimana manusia tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan – yang sayangnya Ibnu Khaldun kemudian malah diakui oleh sahabat-sahabat di sosiologi namun amat terabaikan di antropologi.

Kajian-kajian mengenai manusia dan kebudayaannya telah menjadi kajian yang menarik sejak abad 10. Dalam kasus Indonesia misalnya, tentu kita tidak mungkin mengenal “kebudayaan Nusantara” tanpa bicara mengenai catatan Tome Pires dalam Summa Oriental (1512), atau catatan-catatan luar biasa tentang kerajaan-kerajaan di Nusantara dari catatan Fa Hien, I-Ching dan lain-lain. Adapula catatan luar biasa dari Marsden (1783), Wallace, atau bahkan History of Java dari Raffles. Apa yang dituliskan oleh mereka tidak hanya amat menarik sebagi catatan sejarah, namun juga amat menarik sebagai sebuah kajian awal tentang kebudayaan, khususnya Indonesia.

Namun apakah kajian-kajian di atas menunjukkan perkembangan antropologi sebagai sebuah kajian? Saya amat ragu. Mereka yang kuliah di antropologi pasti mengenal nama Boas, Evans-Pritchard, Malinowski, Mead, dan lain-lain yang kita kenal sebagai maestro antropologi, founding fathers (dan mothers) dari antropologi sebagai sebuah kajian.  Persoalannya adalah, kajian-kajian awal mengenai antropologi, diakui atau tidak, dilakukan untuk menjawab satu persoalan yang paling mengemuka pada abad 18-19: evolusi manusia dan kebudayaannya. Secara eksplisit sesungguhnya antropologi lahir dari dari sejumlah pertanyaan mendasar: “siapa” yang mendefinisikan manusia secara abstrak? Apa yang membedakan manusia dengaan binatang? Apa kondisi alamiah dari manusia itu sendiri? Jawaban atas sejumlah pertanyaan itulah yang mendorong para ilmuan, pendiri antropologi, untuk meninggalkan Eropa dan memilih untuk pergi di daerah-daerah terpencil, pedalaman yang amat jauh, wilayah-wilayah di mana suku-suku yang “eksotis” berada.

Sejarah antropologi mau tidak mau harus mengakui hal itu, bahwa antropologi lahir dari penasaran masyarakat Eropa tentang apa yang disebut sebagai “evolusi” manusia dan kebudayaannya. Karena orang Eropa menganggap mereka lebih beradab, maka untuk menjelaskan kelebihan tersebut mereka mencari masyarakat yang “kurang beradab” untuk menjelaskan bagaimana sebuah masyarakat berkembang: berevolusi dari masyarakat yang “savage” – yang liar, ke masyarakat yang berperadaban tinggi.

Pertanyaannya, apakah salah mengajarkan sejarah antropologi yang sangat bias tersebut? Jawaban saya tidak. Para mahasiswa awal antropologi perlu tahu bagaimana awal mula disiplin ini muncul. Tidak hanya berhenti di sana, para mahasiswa pun juga perlu tahu, bagaimana disiplin ini berkembang, dari disiplin yang ditujukan untuk kebutuhan ilmu pengetahuan menjadi instrumentasi kepentingan kolonial. Dalam hal ini kita tidak lagi melihat Frazer dengan opusnya Golden Bough sebagai pendongeng unggulan, namun kita melihat bagaimana antropologi dipergunakan semasa kolonial maupun masa perang.

Adalah penting untuk mengingat bahwa antropologi memainkan peran luar biasa dalam masa-masa kolonial, khususnya di Indonesia. Kita sering lupa bahwa atas dasar saran dari Hurgronje  (1889) VOC sukses menancapkan cakarnya di Serambi Mekkah. Bagaimana Hurgronje bisa dengan brilian menyarankan pihak kolonial agar memecahbelah ulama dan para “juragan”? Atau bagaimana VOC bisa membuat para priyayi kita bertindak sebagai perpanjangan tangan mereka dalam menghisap kuasa rakyat di Jawa? Jelas kita tidak mengatakan bahwa VOC tahu dengan sendirinya. Jelas bahwa ada campur tangan ilmuan (saya sebetulnya ingin mengatakan antropolog) yang dengan kecermatan luar biasa tentang kebudayaan masyarakat memberikan saran yang amat cemerlang.

Masa selanjutnya adalah masa yang paling krusial. Ada Koentjaraningrat hadir di sana. Koentjaraningrat, kalau kita baca biografinya, jelas bukan orang sembarangan. Dia seorang anak priyayi Jawa yang memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat tertinggi. Dialah yang menjadi tonggak awal antropologi, sebagai sebuah disiplin keilmuan, di Indonesia. Karya-karyanya luar biasa, amat banyak dan sangat mendalam. Bagi saya yang lebih menarik bukan pada karyanya, namun pada pergeseran yang terjadi dalam antropologi di Indonesia. Jika pada masa kolonial, antropologi dipergunakan untuk melihat “wajah pribumi” untuk kepentingan kolonial, namun sejak antropologi di UI resmi berdiri pada 1957, antropologi lebih difokuskan untuk melihat “wajah diri sendiri”.

Hal ini amat penting sebab membawa implikasi serius: jika antropologi dipergunakan untuk melihat “diri sendiri” melalui “mata sendiri”, maka antropologi tidak lagi melayani kepentingan kolonial. Antropologi kembali ke dasarnya semula, melayani kepentingan ilmu pengetahuan. Namun di titik ini saya berhenti dan bertanya, benarkah bahwa antropologi hanya melayani ilmu pengetahuan? Jika melihat konteks waktunya, saya amat ragu. Jika betul antropologi memainkan peran “ilmu untuk ilmu”, bagaimana mungkin muncul istilah “masyarakat terasing”? Terma ini jelas menunjukkan watak awal antropologi, jika sebelumnya yang orang Barat melihat Non Barat, kali ini orang “pribumi” melihat orang “pribumi”. Jika masa lalu pengetahuan antropologi melayani kepentingan kolonial, pada masa Pak Koen hidup, pengetahuan antropologi melayani kepentingan pemerintah.

Sebetulnya antropologi tidaklah beranjak terlalu jauh: menjelaskan dengan amat detail mengenai suku bangsa. Jika kita membaca kumpulan tulisan tentang etnografi Indonesia yang diedit oleh Pak Koen, atau ensiklopedi yang disusun oleh Melalatoa, kita akan melihat bagaimana disiplin antropologi berperan dalam memberikan informasi mengenai suku-suku di Indonesia. Lalu apakah salah? Sama sekali tidak. Meski saya sampai sekarang mempertanyakan istilah “terasing” yang mengikuti kata suku, namun setidaknya antropologi ikutserta dalam proses rekayasa masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal ini Pak Koen tidak jauh berbeda dengan Hurgronje, meski Pak Koen harus memperoleh pujian karena melakukannya untuk sesuatu yang kita anggap lebih positif.

Diakui atau tidak, pergeseran yang dilakukan oleh Koentjaraningrat dan murid-muridnya membawa dampak yang signifikan bagi antropologi di Indonesia, setidaknya dalam dua hal: Pertama, dampak terbesarnya adalah munculnya antropologi sebagai sebuah disiplin keilmuan di perguruan tinggi di Indonesia, meski baru sebatas di universitas negeri. Kedua, apa yang dilakukan oleh Koentjaraningrat membuka perspektif baru tentang apa yang kita sebut sebagai “bangsa Indonesia”.

Bagi saya, poin kedua lebih penting. Sebelumnya kita nyaris hanya mengenal antropolog handal yang berasal dari luar Indonesia. Siapa yang belum pernah mendengar nama Geertz? Sebuah nama yang amat melegenda, nama yang nyaris amat mistis bagi kalangan antropolog. Lalu apakah kita kemudian mengatakan bahwa kajian Geertz tentang orang Jawa lebih unggul ketimbang kajian Koentjaraningrat (meski buku Geertz sudah naik cetak berkali-kali ketimbang buku Koentjaraningrat)? Apakah kajian Geertz tentang Bali lebih unggul ketimbang kajian James Danandjaya? Saya tidak mengatakan bahwa karena fokus kajian mereka berbeda sehingga tidak dapat dibandingkan, namun saya ingin mengatakan, bahwa kemunculan Koentjaraningrat dan murid-muridnya membawa satu alternatif lain tentang “wajah kebudayaan Indonesia.” Saya tidak berpretensi untuk mengatakan bahwa kajian Geertz tidak penting dalam memahami masyarakat Jawa, namun saya ingin menitikberatkan, bahwa bukan cuma Geertz yang meneliti masyarakat Jawa. Persoalannya adalah, kita tidak pernah membaca karya etnografi Koentjaraningrat tentang masyarakat Jawa – untuk tidak mengatakan bahwa sebagian besar dari kita hanya mengenal Geertz.

Berbagai karya etnografi klasik yang difokuskan di Indonesia berperan amat baik dalam membuka pemahaman kita tentang masyarakat dan bangsa Indonesia. Kalau kita membaca karya-karya etnografi dari Koentjaraningrat dan murid-muridnya, kita akan melihat bahwa terdapat sejumlah ciri penting yang amat jelas: bahwa kajian-kajian etnografi yang dilakukan, meminjam istilah ilmu sejarah, sangat “total antropologi”. Lokusnya amat jelas: masyarakat Jawa (misalnya), dimensinya amat dalam (nyaris 7 elemen dasar seperti dikemukakan Koentjaraningrat), dan umumnya melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang “bounded” dan “rigid”. Tentu saja pendapat saya tersebut sangat kontestatif.

Persoalannya adalah, apakah model antropologi di atas masih dapat diaplikasikan saat ini? Antropologi di Indonesia harus dapat menjawab tiga persoalan: Pertama, apakah objek studi antropologi, yang celakanya selalu dilekatkan pada suku/etnis tertentu, masih dapat dipertahankan? Kedua, Apakah metode yang melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang bounded dan rigid masih dapat diterima? Ketiga, bagaimana interkoneksi antropologi dengan disiplin ilmu lainnya?

Untuk menjawab persoalan pertama, ada baiknya kita kembali ke akar masalah dalam antropologi: sejarah. Sejarah di sini lebih pada bagaimana antropologi muncul dan berkembang yang memang berasal dari penelitian tentang masyarakat-masyarakat yang tradisional, savage, terasing, atau apalah namanya. Tanpa kita sadari, bahwa struktur pengajaran antropologi di sekolah menengah hingga perguruan tinggi membentuk gambaran tentang antropologi sebagai sebuah disiplin keilmuan yang hanya mengurus soal suku-suku di pedalaman atau masalah-masalah desa (meski dalam beberapa hal disiplin ini juga sering dirancukan dengan arkeologi). Ketika bicara mengenai masalah-masalah perkotaan misalnya, selalu yang dirujuk adalah sosiolog atau kriminolog. Saya tidak menyalahkan kesalahpahaman yang muncul, sebab sebagian di antara yang menyebabkan kesalahpahaman itu sendiri karena para antropolog mengajarkan para calon antropolog untuk selalu berkutat pada persoalan etnisitas, seakan ketika seorang calon antropolog mengkaji masalah-masalah, sebut saja demokrasi atau globalisasi, dianggap bukan antropologi.

Adalah pertanyaan yang sering kita dengar – sangat satir sesungguhnya – ketika mempertahankan tulisannya (entah itu skripsi, tesis atau disertasi) yaitu “antropologinya di mana?”. Model pertanyaan ini membawa dua implikasi: Pertama, kita secara tidak sadar mengkerangkeng antropologi sebagai disiplin yang monolitik yang hanya berfokus pada persoalan-persoalan sempit. Ketika seorang calon sarjana maju dengan skripsi mengenai industri misalnya, ia akan gamang apakah skripsinya masuk dalam kategori antropologi atau ekonomi? Atau ketika meneliti mengenai tawuran, apakah skripsinya itu antropologi atau sosiologi? Kedua, karena kita tidak sadar mengkerangkeng antropologi sebagai disiplin yang hanya meneliti masyarakat desa atau etnis-etnis tertentu, kita melepaskan kesempatan untuk bicara pada persoalan yang lebih kompleks. Kita enggan mendorong para calon antropolog untuk berpikir kritis mengenai globalisasi (dikiranya ini hanya urusan Hubungan Internasional), demokrasi (dikiranya ini hanya urusan ilmu politik), kenakalan remaja (dikiranya ini hanya urusan psikologi), korupsi (dikiranya ini hanya urusan kriminologi), atau bahkan konflik (dikiranya ini hanya urusan sosiologi). Lalu apa yang tersisa untuk antropologi? Apakah kita hanya berkutat pada urusan batik atau wayang (tanpa bermaksud untuk mengatakan bahwa keduanya tidak penting)?

Adalah penting juga untuk mengingat bahwa masyarakat-masyarakat yang kita anggap murni dan tradisional boleh jadi cuma mimpi di siang bolong atau sudah menjadi koleksi museum. Kita barangkali memuji suku Badui atau Using yang kita anggap masih memegang teguh tradisi dengan menolak segala jenis teknologi, namun benarkah demikian? Apa jangan-jangan kita, mengutip Amri Marzali, masuk dalam romantisme antropologi? Bahwa masyarakat desa dilihat sebagai masyarakat yang murni dan belum (dan seharusnya tidak) tersentuh nilai-nilai modernitas?

Meskipun demikian, saya tidak menampik bahwa salah satu kekuatan antropologi terletak pada narasinya yang didasarkan pada objek-objek yang sifatnya lokal, yang dari narasi tersebut dapat mengkritik konsep-konsep lain (yang selama ini dianggap bukan berasal dari tradisi antropologi). Ben Anderson misalnya, mengkritisi konsep legitimasi kekuasaan dengan melihat bagaimana kekuasaan dikumpulkan dan didistribusikan dalam masyarakat Jawa, sehingga demokrasi yang dianggap jalan paling memungkinkan untuk distribusi kekuasaan tidak selamanya berlaku sama. Saya ingin menekankan, bahwa kajian-kajian antropologi, meski berdimensi lokal, tidak harus hanya bicara dalam konteks lokal.

Jawaban persoalan kedua sangat bergantung pada jawaban pada persoalan pertama. Jika kita masih mengamini bahwa antropologi hanya berkutat pada dimensi lokal, etnisitas, atau masalah-masalah pedesaan, maka persoalan kedua ini tidak perlu dijawab. Namun jika kita sepakat bahwa kajian-kajian antropologi harus turut pula bicara mengenai masalah-masalah yang bersifat global, maka antropologi harus melepaskan gambaran bahwa penelitian antropologi adalah penelitian dengan metode etnografi situs tunggal. Pertanyaannya, apakah etnografi situs tunggal buruk atau tidak memadai? Jawabannya jelas sangat bergantung pada permasalahan yang dikaji. Ketika seorang calon antropolog mengkaji mengenai kesenian wayang orang Sriwedari, maka boleh jadi ia hanya meneliti di tempat di mana wayang orang itu berada, yakni di Solo, dan itu cukup. Namun bagaimana jika wayang orang dimainkan oleh orang Amerika, mengambil cerita Sinbad Si Pelaut, dan dipentaskan di Eropa (ya setidaknya cukuplah dibayangkan bahwa skenario tersebut dapat diwujudkan)? Cukupkah si peneliti berpuas diri dengan berkutat di Solo? Atau bagaimana jika kita ingin melihat orang Jawa di Suriname, seperti yang dilakukan oleh Parsudi Suparlan? Apakah kita hanya membatasi diri dengan mengatakan hanya orang Jawa di Jawa lah yang njawani, sedangkan orang Jawa di luar Jawa adalah proto-Jawa alias bukan Jawa?

Dalam dunia yang semakin global, adalah mustahil bagi kita yang belajar disiplin antropologi untuk mengurung diri hanya pada satu lokus penelitian. Bagaimana kita bisa menjelaskan migrasi atau fenomena TKW jika kita hanya berkutat pada wilayah asal? Bagaimana dengan kebijakan pemerintah (apakah lagi-lagi kita berdalih kalau ini adalah bagian dari kajian ilmu politik)? Bagaimana dengan proses rekrutmen? Bagaimana dengan persoalan identitas? Bagaimana dengan persoalan adaptasi? Bagaimana dengan persoalan pilihan mengapa para TKW begitu bersemangat ke Timur Tengah utamanya Saudi Arabia tanpa pernah berpikir kalau mereka bisa jadi korban majikan (toh kita sudah mendengar soal itu sangat sering)?

Bagi saya, antropologi di Indonesia harus mengembangkan model etnografi multi-situs, bahwa penelitian antropologi tidak lagi berlindung di balik aturan metodologis dengan hanya melakukan penelitian di satu lokasi penelitian, dan kemudian menjadikan lokasi tersebut sebagai basis justifikasi keilmuan. Adalah penting untuk melihat, bahwa etnografi multi-situs menawarkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai persoalan-persoalan yang lintaswilayah. Lebih jauh, etnografi multisitus membawa konsekuensi serius: bahwa kebudayaan tidak lagi terbatas pada satu wilayah (bounded) dan kaku (rigid). Penelitian saya misalnya, tentang para janda Madura di Bekasi. Jika saya hanya membatasi diri di Madura, saya kehilangan konteks hubungan antar dua wilayah, jika saya membatasi diri hanya di Bekasi, saya kehilangan pijakan untuk menjelaskan mengapa mereka memutuskan untuk keluar dari Madura. Dengan etnografi multisitus saya menjelaskan bagaimana para janda dari Madura bermigrasi ke Bekasi, dan bagaimana Bekasi dan Madura saling berjalin membentuk satu formasi identitas: bahwa mereka orang Madura yang ada di Bekasi, dan suatu saat nanti (entah kapan) mereka akan kembali ke Madura.

Persoalan ketiga, yang terakhir, lagi-lagi sangat bergantung pada jawaban atas persoalan pertama dan kedua. Jika kita di antropologi berpuas diri hanya meneliti persoalan lokal dengan melupakan konteks global, maka antropologi tidak lebih dari disiplin ilmu yang monodisiplin. Kita tidak merasa perlu untuk membuat disiplin antropologi dan ilmu politik saling menyapa satu sama lain. Kita berpuas diri dengan mengatakan bahwa kita mumpuni dalam bidang antropologi dan tidak perlu pusing melihat kaitan antara antropologi dengan disiplin ilmu lainnya.

Saya berharap bahwa kita tidak sepakat dengan poin di atas. Antropologi harus kembali ke dasar: bahwa antropologi adalah disiplin ilmu yang multidisiplin. Dalam hal ini, penting untuk melihat posisi antropologi yang berada di tengah titik singgung berbagai disiplin ilmu sosial. Dalam hal ini, penting untuk melihat catatan dari Achmad Fedyani Saifuddin, yang menjelaskan bahwa antropolog memiliki dua tugas penting dalam upaya membangun pemahaman ilmiah mengenai pengalaman manusia, yaitu: Pertama, kita harus mampu mengkonstruksi sudut pandang yang mampu menjelaskan fenomena dengan komprehensif; Kedua, kita harus mampu mempertajam sudut pandang tersebut dengan analisis kritis. Jika kita sepakat dengan dua poin tersebut, maka mustahil bagi kita untuk masuk dalam jebakan kotak monodisiplin. Antropologi harus menjadi disiplin keilmuan yang tidak hanya multidisiplin, namun juga interdisiplin.

Makna penting posisi antropologi sebagai kajian interdisiplin terletak pada posisi antropologi sebagai liberal arts, sebab basis keilmuan antropologi mencakup seluruh wilayah disiplin ilmu sosial. Koentjaraningrat sebagai peletak antropologi di Indonesia memahami betul betapa pentingnya antropologi menyapa disiplin ilmu lain, bahwa antropologi interdisipliner adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Kita memiliki matakuliah antropologi hukum, antropologi kesenian, antropologi politik, antropologi gender, antropologi ragawi, dan lain-lain. Hal ini jelas merupakan keuntungan bagi kita yang mempelajari antropologi, sebab kita tidak hanya mempelajari antropologi an sich namun juga melihat bagaimana hubungan antara antropologi dengan disiplin ilmu lainnya. Jika dalam berbagai matakuliah yang ditawarkan kita sudah memerdekakan diri sendiri dengan menjadi disiplin ilmu yang saling menyapa satu sama lain, mengapa kita harus mempertahankan kepicikan berpikir dengan bertanya: “antropologinya di mana?”.

Bacaan lanjutan:

Appadurai, Arjun. 2013. The Future as Cultural Fact: Essays on the Global Condition. London and New York: Verso.  

Edelman, Marc dan Angelique Haugerud (eds.). 2005. The Anthropology of Development and Globalization, From Classical Political Economy o Contemporary Neoliberalism. Malden, MA: Blackwell Publishing

Falzon, Mark-Anthony (ed.). 2009. Multi-sited Ethnography: Theory, Praxis and Locality in Contemporary Reseach. Farnham: Ashgate

Fox, Richard G. 1991. Recapturing Anthropology: Working in the Present. Santa Fe, New Mexico: School of American Research Press.

Gardner, Katy dan David Lewis. 2005. Antropologi, Pembangunan, dan Tantangan Pascamodern. Maumere: Penerbit Ledalero.

Goulet, Jean-Guy A. dan Bruce G. Miller (eds.). 2007. Extraordinary Anthropology, Transformation in the Field. Lincoln dan London: University of Nebraska Press.

Gupta, Akhil dan James Ferguson (eds.). 1997. Anthropological Locations, Boundaries and Grounds of a Field Science. Berkeley: University of California Press.

Li, Tania Murray. 2012. The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Marjin Kiri

Low, Setha M. dan Denise Lawrence-Zuniga (eds.). 2007. The Anthropology of Space and Place, Locating Culture. Malden, MA: Blackwell Publishing.

Nash, June (ed.). 2005. Social Movements, an anthropological reader. Malden, MA: Blackwell Publishing.

Olwig, Karen Fog dan Kirsten Hastrup (eds.). 1997. Siting Culture: the Shifthing Anthropological Object. London dan New York: Routledge.

Rudyansjah, Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah & Tindakan: Sebuah Kajian Tentang Lanskap Budaya. Jakarta: Rajawali Press.

Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer, Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.