Apa itu ‘perempuan’? Seperti apa sosok seorang perempuan? Benarkah bahwa perempuan memiliki ‘her own history’? Mungkinkah historisitas perempuan tidak lebih dari pada simplifikasi masalah yang ada? Dan bagaimana seharusnya perempuan mengambil sikap dalam penilian orisinalitas historis yang cenderung bias dan memarjinalkan posisi perempuan? Berbagai pertanyaan tersebut tentu bermula dari satu hal: perempuan. Simone de Beauvoir (2003:295) pernah berkata ‘one is not born, but rathers become, a woman’, bahwa seseorang tidak serta-merta dilahirkan menjadi seorang perempuan, bahwa menjadi seorang perempuan adalah suatu proses yang penuh dengan konflik, dimana perempuan telah menjadi suatu perdebatan panjang, baik dari sisi bio-fisiologis, psikologis, hingga sosial-politis. Menjadi perempuan adalah proses yang sangat panjang, tidak berlebihan kiranya jika penulis menyebut proses ini sebagai ‘never ending proccess’. Jenis kelamin, apakah itu laki-laki atau perempuan bukanlah sesuatu yang ‘given’, sesuatu yang di dapat dengan sendirinya, namun di dapatkan dengan berbagai persyaratan yang ‘harus’ di penuhi. Menjadi perempuan atau menjadi laki-laki bukan lagi persoalan pilihan, namun lebih pada persoalan bagaimana menyikapi pilihan-pilihan yang tersedia.
Reviewing Gender: makna laki-laki dan perempuan dalam Kamus
Barangkali pengertian yang benar atas kata “perempuan” dapat menjadi jalan pembuka yang paling bijaksana. Dalam penuturan bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah rujukan yang paling penting. Hingga tahun 2006, KBBI telah direvisi sebanyak tiga kali, tercatat sejak tahun 1987, dimulai dari Edisi Pertama, kemudian menyusul Edisi Kedua, dan yang beredar saat ini adalah KBBI Edisi Ketiga. Pada Edisi Pertama, Cetakan Kedua tahun 1989, arti kata “per.em.pu.an” adalah: “n 1. wanita; 2. bini. Kata “ke.per.em.pu.an.an” adalah: n 1. perihal perempuan; 2. kehormatan sebagai perempuan. (hlm. 670). Pada Edisi Kedua, Cetakan Ketiga tahun 1994, arti kata “per.em.pu.an” adalah: n 1. orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita; 2. bini. Kata “ke.per.em.pu.an.an” adalah: n 1. perihal perempuan; 2. kehormatan sebagai perempuan. (hlm. 753). Pada Edisi Ketiga, Cetakan Kedua tahun 2002, arti kata “per.em.pu.an” adalah: n 1. orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita; 2. istri; bini; 3. betina (untuk hewan). Kata “ke.per.em.pu.an.an” adalah: n 1. perihal perempuan; 2. kehormatan sebagai perempuan (hlm. 856)
Jika diperhatikan dengan seksama, dapat dilihat bahwa KBBI mengalami perubahan makna yang cukup signifikan. Pada makna “per.em.pu.an”, jika pada Edisi Pertama hanya tertulis ‘n 1. wanita; 2. bini’, maka pada Edisi Kedua pengertian tersebut ditambah menjadi ‘n 1. orang (manusia) yang mempunyai puki…..’ dan pada Edisi Ketiga muncul tambahan baru: ‘3. betina (untuk hewan)’. Selebihnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan, kecuali perubahan urutan kata atau tata letak tanda baca. Namun demikian, setidaknya penulis dapat menarik dua perubahan:
Pertama, Pada Edisi Pertama jelas merujuk pada pembuatan stereotip gender, yakni dapat dilihat pada makna “keperempuanan”. Sedangkan makna “perempuan” merujuk pada jenis kelamin dan status.
Kedua, Pada Edisi Kedua mulai muncul suatu usaha re-definisi “perempuan”, yakni dengan ditambahnya unsur biologis dan fisiologis, sehingga pengertiannya menjadi lebih luas, dan hal ini terus berlanjut hingga Edisi Ketiga.
Becoming Woman: in Search of History
Perempuan tentu tidak dapat melepaskan diri dari sejarah, dimana sejarah adalah poin penting yang tidak dapat ditingggalkan begitu saja. Pada masa pra-Islam misalnya, perempuan berkedudukan jauh lebih rendah ketimbang laki-laki, anak perempuan di anggap membawa sial dan malapetaka, tidak mengherankan jika anak perempuan umumnya di kubur hidup-hidup. Di beberapa negara di Timur Tengah hingga saat ini pun masih memperlakukan perempuan dengan sewenang-wenang, hal ini dapat dilakukan dengan penyunatan organ reproduksi perempuan, yakni dengan pemotongan klitoris, sehingga perempuan yang klitorisnya di potong di anggap lebih mampu menahan nafsunya. Tradisi sunat ini tentu saja sangat merugikan perempuan, karena dengan penyunatan tersebut seringkali terjadi infeksi yang jutru berakibat buruk bagi organ reproduksi perempuan.
Di Indonesia sendiri, kondisi perempuan tidak jauh berbeda. Pada masa klasik, perempuan tidak lebih dari kuli tani yang bertugas menyebarkan bibit padi, dan bagi yang perempuan yang cukup cantik dijadikan sebagai selir bagi para raja. Pada era kerajaan Islam pun hal ini tidak jauh berbeda, yakni adanya suatu institusi harem yang menjadikan perempuan sebagai selir sekaligus abdi dalem bagi para sultan. Kedatangan Portugis tidak membawa perempuan pada posisi yang lebih baik, hal ini dapat dilihat dengan dijadikannya perempuan sebagai PSK yang betugas melayani para serdadu – dan pada masa ini lah mulai berkembang suatu penyakit yang dahulu tidak pernah di kenal di Indonesia: raja singa. Belanda justru menjadikan perempuan sebagai tenaga kerja kasar yang bekerja di perkebunan, terutama pada masa cultuurstelsel, tanpa menerima bayaran dan perlakuan yang baik dari para majikannya. Derita perempuan semakin bertambah, pada era Pendudukan Jepang, banyak perempuan yang dijadikan sebagai Jugun Ianfu, atau escort lady yang bertugas melayani para serdadu Jepang, baik di dapur, di sumur, terlebih lagi di kasur. Hal ini lah yang menjadi alasan bagi jatuhnya putusan bahwa Kaisar Hirohito pada era tersebut dijadikan sebagai penjahat perang, setelah pada Tokyo Tribune 2000 terjadi persidangan, dengan menampilkan para saksi perempuan dari negara yang pernah di duduki yang dijadikan sebagai Jugun Ianfu.
Siapa bilang masa kemerdekaan lebih menyenangkan bagi perempuan? Pada era Soekarno misalnya, perempuan memang dilibatkan dalam dunia politik, namun gerak mereka hanya terbatas sekali. Awal Orde Baru, siapapun perempuan yang keras menentang Soeharto di anggap sebagai bagian dari Gerwani, salah satu turunan dari PKI. Barangkali pada masa pertengahan saja posisi perempuan lebih baik, namun tetap saja yang terjadi adalah suatu gejala ‘Ibuisme Negara’, dimana perempuan ditampilkan sebagai seorang istri yang baik mulai dari tingkat Nasional hingga RT-onal. Hal ini tentu saja merisaukan, terutama dengan adanya organisasi-organisasi perempuan yang secara legal formal berada di bawah kekuasaan negara.
Being a Woman: Mencari Pilihan yang dapat di pilih.
Gejala ‘Ibuisme Negara’ tentunya muncul sebagai bagian penting dari marjinalisasi perempuan. Pada hari Kartini, anda dapat melihat para Kartini-Kartini di perkantoran, setiap perempuan seakan mencoba menjadi sebagai ‘Puteri Sejati’, dengan rambut di sanggul dan kebaya berwarna-warni. Adanya peringatan Hari Kartini adalah derivasi dari gejala Ibuisme Negara, bahwa perempuan diberikan khayalan, bahwa mereka memiliki posisi yang sangat signifikan dalam pembangunan ketimbang laki-laki, hal ini dibuktikan bahwa perempuan layak untuk ditampilkan sebagai ikon nasional. Tentu saja tidak ada peringatan hari Dipenogoro dimana para laki-laki memakai gamis sambil menunggang kuda, hal ini dianggap sebagai pengejewantahkan konsep Ibuisme Negara, bahwa Kartini adalah ikon perempuan yang mbalelo pada masanya, bahwa Kartini adalah orang yang berani berkata lantang terhadap kondisi perempuan di masanya, bahwa Kartini adalah superhero bagi perempuan lainnya.
Namun toh Kartini tidak lebih dari sekedar anak garwo ampil, ibunya bukan lah istri utama, namun hanya selir. Toh Kartini mau di nikahi pada usia muda dan melupakan mimpinya untuk melanjutnya studi di Belanda, bahkan Kartini belum pernah ke Batavia untuk belajar, dan pengetahuan mengenai Kartini sebagian besar justru kita ketahui dari surat-suratnya kepada Nyonya Abendanon, istri seorang komisaris di Belanda. Kartini pun tidak berani berkata tidak kepada ayahnya, sebagai sosok yang sangat di kaguminya. Barangkali benar apa yang dikatakan oleh Freud, bahwa perempuan sangat bergantung pada kondisi psike yang menyebabkan perempuan sangat bergantung pada sosok sang ayah.
Agaknya terlalu berlebihan jika kita memposisikan Kartini sebagai suatu objek dari peringatan ‘khas perempuan’, lalu bagaimana dengan tokoh perempuan lainnya? Menjadi perempuan pada masa kini tidak lebih mudah ketimbang masa lalu. Ketika tuntutan ekonomi akhirnya mendesak perempuan untuk lebih berperan di dunia publik, maka perempuan telah mengalami suatu ‘superwoman syndrome’, yakni suatu sindrom dimana di satu sisi perempuan harus menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, istri yang taat bagi suaminya, dan menjadi panutan di lingkungan keluarganya; sedangkan di sisi yang lain perempuan tersebut harus menjunjung tinggi profesionalisme kerja, mendapatkan pujian dari atasan, hingga berusaha meningkatkan penghasilan yang lebih tinggi (Tong 2006). Pada saat itu perempuan adalah sosok yang harus menempatkan diri pada dua ranah sekaligus: domestik dan publik.
Sosok perempuan sebagai superwoman adalah bentuk lain dari adanya model ibuisme yang mengagungkan peran dan fungsi perempuan. Adalah penting untuk memahami bahwa peran perempuan dalam kaitannya dengan anggapan masyarakat, bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang swarga nunut neraka katut tidak lebih sekedar tekanan terhadap perempuan. Perempuan tidak lebih dari kanca wingking, dimana keberadaannya dilihat sebelah mata (Saptandari 2000). Perempuan telah di sosialisasikan sebagai sosok yang lemah lembut, pasrah, dan bergantung pada orang lain.
Pada masa lalu barangkali stereotip ini memang diciptakan sebagai bentuk riil dari adanya kekuasaan yang dimiliki oleh laki-laki. Ketika kepemilikan produksi di kuasai oleh laki-laki, maka perempuan tidak lebih dari tenaga kerja dan barang miliki pribadi. Hal ini tentu saja masih terbawa hingga saat ini. Buruh perempuan menerima upah yang lebih rendah, tunjangan yang lebih kecil, dan perlindungan kesehatan yang-lebih sedikit ketimbang yang di terima oleh buruh laki-laki (Wiludjeng et.al, 2005). Adanya kondisi yang di terima oleh perempuan setidaknya berasal dari suatu bentuk ideologi gender.
Secara sederhana, ideologi gender adalah bagaimana kedua jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan, dipersepsikan, dinilai, dan diharapkan untuk bertingkahlaku (Saptari dan Holzner 1997). Pengertian ini juga nampaknya didukung oleh Schegel, hanya saja ia menyebut hal ini dengan istilah gender meaning (pengertian gender). Namun demikian, Schegel membagi gender meaning dalam dua artian: umum dan khusus. Jika menilik pengertian gender secara umum, maka akan didapatkan suatu pengertian bagaimana laki-laki dan perempuan didefinisikan dalam artian abstrak, yakni ciri-ciri khusus yang diberikan berdasarkan jenis kelamin masing-masing. Sedangkan pengertian secara khusus adalah pendefinisian gender dalam lokasi tertentu, struktur sosial tertentu, dan bidang kegiatan tetentu.
Sekurang-kurangnya terdapat tiga macam contoh dari bentuk ideologi umum, yaitu: (1) nilai pemingitan, (2) nilai pengucilan dari bidang tertentu, dan (3) nilai femininitas perempuan. Nilai pemingitan misalnya, menjadi alasan utama atas keterpurukan perempuan dalam bidang publik, bagaimana perempuan selalu ‘di pingit’ dalam ruang-ruang domestik. Pemingitan atas nama adat dan agama menjadi alasan bagaimana perempuan sangat dibatasi langkahnya disektor-sektor publik. Pun kaum perempuan berada disektor domestik dengan melepaskan keinginannya untuk berada diruang publik, kaum perempuan akan selalu terikat pada struktur dominan, yakni sebagai kanca wingking tanpa pernah mendapatkan kesempatan yang sama ataupun kondisi yang sama dengan yang dirasakan oleh laki-laki.
Jika perempuan tetap mbalelo dengan tetap terjun diruang publik, maka tetap terjerat dalam keadaan yang marginal. Kesempatan kerja yang mereka miliki sangat terbatas, mereka pun harus saling bersaing diantara sesama mereka untuk memperebutkan kesempatan yang kelewat sedikit. Kaum perempuan tetap berada diposisi marginal karena adanya nilai-nilai pengucilan dari bidang-bidang tertentu, bidang-bidang yang pada gilirannya sangat berkaitan dengan kondisi pada point ketiga, yakni nilai femininitas perempuan. Hampir sebagian besar – jika tidak ingin mengatakan semua – lapangan kerja yang tersedia bagi perempuan dikaitkan dengan nilai-nilai femininitas: tekun, cermat, telaten, tidak mau ribut, pasrah, dll dst dsb.
Future Woman: Mengintegrasikan Kepentingan Perempuan
Mencari format perempuan di masa mendatang, rasanya agak sulit untuk melihat sosok ini tanpa melihat posisi perempuan di masyarakat. Harus di akui bahwa posisi perempuan di masyarakat saat ini sudah lebih baik, tentunya jika dibandingkan dengan era tahun 1960-an. Setidaknya perempuan dapat dengan bebas menentukan posisinya sendiri, setidaknya perempuan dapat memilih apa yang terbaik untuk dirinya, dan setidaknya perempuan dapat membuka wawasannya terhadap dunia luar. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa perempuan memiliki kebebasan sebebas-bebasnya. Perempuan masih terikat dengan berbagai aturan dan norma yang ada di masyarakat, dimana pelanggaran atas aturan-aturan tersebut justru semakin menyudutkan perempuan.
Sekurang-kurangnya terdapat tiga poin penting yang dapat memperbaiki kondisi perempuan. Pertama, perempuan harus menguasai ilmu pengetahuan. Pendidikan merupakan instrumen yang penting bagi peningkatan kondisi perempuan. Pada masa lalu, pendidikan merupakan barang mewah bagi perempuan, sehingga perempuan di kondisikan sebagai pihak yang lemah, pihak yang mudah dibodohi karena mereka memang tidak mengenyam pendidikan. Pendidikan tidak mendorong secara langsung kehidupan perempuan, namun setidaknya pendidikan mampu meningkatkan posisi tawar perempuan. Bagaimanapun pendidikan menyediakan berbagai potensi yang kelak akan sangat berguna bagi perempuan.
Kedua, perempuan harus menguasai sumber-sumber ekonomi, jangan pernah mau hanya menjadi penerima nafkah, jadilah pencari nafkah. Penguasaan sumber-sumber ekonomi akan mendorong perempuan untuk lebih mandiri, tidak bergantung pada pihak lain. Hal ini akan mendorong pula bagi perempuan untuk mencapai dan/atau mendapatkan apa yang dicita-citakan. Perempuan harus mampu mengusai tidak hanya sektor ekonomi, namun juga harus mampu mengontrol sektor tersebut.
Ketiga, perempuan tidak perlu menjadi superwoman, cukup menjadi ordinary woman, yakni menjadi istri yang lumayan baik dan pekerja yang lumayan tekun. Perempuan harus menjadikan dirinya sebagai bagian penting dari perubahan yang ada di masyarakat. Bagaimana mungkin seorang perempuan menjadi bagian dalam perubahan, jika perempuan terus di kurung dalam suatu kondisi yang serba sulit.
Menjadi perempuan boleh jadi merupakan suatu proses yang tidak pernah berakhir, namun proses tersebut tidak berarti menjadikan perempuan sebagai pihak yang pasif dan lemah dalam menerima keadaan tersebut. Perempuan harus berupaya menjadi pihak yang kuat, pihak yang memiliki daya juang tinggi, pihak yang mampu memutuskan apa yang diinginkan, untuk apa hal tersebut di inginkan, dan bagaimana mewujudkan keinginan tersebut. Barangkali generasi perempuan yang akan datang akan sangat sulit memahami logika perempuan di masa lalu, perempuan yang lemah, perempuan yang tidak berani menolak permintaan orang-orang di sekelilingnya, perempuan yang sangat bergantung pada belas kasih orang lain, dan perempuan yang selalu memiliki mimpi tanpa pernah tahu bagaimana mewjudkan mimpi-mimpi tersebut.
Kondisi perempuan yang serba terjepit pada masa lalu harusnya tidak lagi terulang di masa yang akan datang, dimana perempuan harus mampu memilih takdir mereka sendiri, dimana mereka harus mampu mengatur takdir tersebut, dan melawan pihak-pihak yang mencoba merusak pilihan-pilihan tersebut. Perempuan masa depan adalah perempuan-perempuan yang memiliki ketangguhan dan mampu bertahan di masanya, perempuan yang tidak menggantungkan hidupnya hanya pada impian kosong, perempuan yang mampu bergerak dan mengendalikan hidupnya, dan perempuan yang mampu mempertahankan apa yang dimilikinya. Perempuan harus mampu memahami sejarahnya, dimana sejarah tersebut harus mendorong perempuan untuk mengambil tindakan di masa kini dan merencanakan kehidupan mereka di masa yang akan datang.