ORIENTALISME

Saya sudah lama punya buku ini, namun setelah bertahun-tahun, baru sekarang saya sempat membacanya secara penuh.

Membaca orientalisme dari Edward Said sama seperti bercermin pada cermin yang buram dan retak. Bayangan apa pun yang muncul akan selalu menjadi bayangan yang kabur, hantu dari kegelapan, menyeruak di antara ingatan, dan membawa saya kembali ke labirin pikiran yang seakan tak berujung. Membaca buku ini membuat saya berpikir, mempertimbangkan kembali, mengevaluasi, sambil berupaya sekuat hati agar saya tidak mencela diri saya sendiri. Said telah berhasil membuat saya meninjau ulang ‘ketimuran’ saya sambil mempertimbangkan kembali ‘kebaratan’ yang ada di diri dan sekeliling saya.

Apa yang kita maksud dengan “Timur”? Apa pula yang kita maksud dengan “Barat”? Jika teman saya, Ni Loh Gusti Madewanti, menyatakan bahwa tulisan ini menggugah dari tidurnya yang berkepanjangan mengenai hegemoni Barat atas Timur, maka buat saya, mempertimbangkan kembali siapa diri saya sebenarnya. Tulisan Said mengirimkan kembali ingatan saya ke enam tahun yang lalu. Kali pertama saya membaca buku ini, dan dengan lugunya bertanya pada dosen saya: “mengapa orang meributkan soal Barat versus Timur?”. Saya tidak ingat persis apa kata dosen saya itu, namun dia justru meminta saya membaca tulisan Spivak maupun Babha. Sekarang saya mengerti, atau setidaknya saya merasa kalau saya mengerti, mengapa dosen saya itu memerintahkan saya membaca lebih banyak. Sebelum saya berbicara lebih banyak, izinkan saya meminta maaf jika tulisan saya menimbulkan kesan emosional, anggap lah saya terpengaruh oleh Said secara emosional.

Tulisan Said membuka banyak perdebatan mengenai kolonialisme, dan membangkitkan sebuah kesadaran kolektif di antara orang-orang yang selama dibungkam. Dalam pandangan Said, apa yang selama ini terdikotomi sebagai Timur dan Barat pada hakikatnya adalah konsep yang tidak memiliki stabilitas ontologis, sebab Timur dan Barat sendiri muncul sebagai ‘barang produksi’ manusia. Timur dan Barat, masing-masing di antara kedua entitas ini merupakan buatan manusia, sebagian dilakukan dengan melakukan afirmasi kedirian, dan sebagian lainnya dengan meliyankan atau mengidentifikasi yang lain (the other).

Lebih jauh Said menegaskan, bahwa apa yang kita maksud dengan Timur dan Barat tidak lain adalah dunia antara, dari domain geografis empiris dan domain imaji. Adalah invasi Napoleon ke Mesir pada abad 18, kontruksi mitos mengenai Timur dan Barat diproduksi, dilanggengkan, dan dikreasikan ulang secara terus menerus. Cerita mengenai Timur secara implisit meliputi berbagai endapan sejarah yang terjadi di Timur, segalanya mengenai Timur, dicampakkan ke dalam kubangan pasir. Terinjak melalui serangkaian usaha menghapuskan sejarah itu sendiri. Sejarah yang coba dihapus, melalui serangkaian kontruksi mengenai Barat dan Timur oleh Eropa, menitikberatkan pada cara pandang Barat terhadap Timur, dan bagaimana Timur dikonstruksi.

Dalam pandangan Said, sejarah pada dasarnya diciptakan oleh manusia, laki-laki dan perempuan. Dengan memulai pada titik tersebut, maka dikotomi Barat dan Timur dapat diubah, dirombak, dan ditulis kembali, sehingga Timur dan Barat dapat berada di satu posisi di mana kedua belah pihak dapat mengakuinya secara bersamaan. Saya sendiri menganggap apa yang diinginkan oleh Said adalah harapan (atau impian?) yang memuaskan dahaga, sebuah oase di gurun yang gersang, jika tidak mau dikatakan sebagai utopia di siang bolong.

Saya setuju dengan Said, bahwa gagasan mengenai Timur dan Barat, atau Barat dan Timur (terserah anda setuju yang mana), bukan lah fakta alam yang statis. Kita tidak dapat membayangkan gambaran bahwa “Timur” ada dengan sendirinya, sebagaimana kita tidak dapat membayangkan “Barat” mewujud secara kodrati. Namun adalah fakta yang tidak dapat disangkal, bahwa sejak awal, Eropa (bukan Amerika sebab Amerika mengidentikkan Timur dengan wilayah Asia Timur) datang di wilayah Timur, dan wilayah Timur itu sendiri dianggap sebagai ‘barang temuan mereka’. Bahwa Timur digambarkan sebagai wilayah eksotis, dengan panorama indah, tempat di mana setitik cahaya syurga jatuh ke bumi.

Atas nama imperialisme, barangkali tekanan ekologis, mereka datang ke Timur; dan mengatasnamakan Tuhan mereka mengambil Timur sebagai wilayah mereka. Timur kemudian tidak lagi semata hanya menjadi wilayah geografis belaka. Timur mengalami suatu proses konstruksi, digambarkan sebagai semi-mitos, dan dipertahankan di bawah kendali Barat. Timur tidak lagi dilihat sebatas wilayah yang secara geografis bertetangga dengan Barat (Eropa), namun juga dilihat sebagai sumber daya kehidupan mereka. Saingan atas kebudayaan Eropa. Melalui Timur lah Eropa mengimajikan diri mereka sendiri, dan agar imaji itu dapat terus bertahan, maka peliyanan atas Timur menjadi konsekuensi logis yang harus dipertahankan: Timur adalah yang lain (the other) bagi Eropa.

Peliyanan atas Timur terus melembaga, bahkan dalam dunia akademis. Timur dan Barat berseteru dalam dunia yang sama sekali berbeda, tidak melalui serangkaian serangan senjata maupun pekikan jihad, namun melalui teks dan narasi. Orientalisme adalah anak dari persetruan gaya baru itu. Orientalisme tidak lain adalah gaya berpikir yang berpijak pada pembedaan ontologis dan epistemologis antara “Timur” dan, hampir selalu, “Barat”. Bagi Said, pembedaan ontologis dan epistemologis ini membawa konsekuensi: bahwa para penulis, pemikir, teoritisi, kemudian selalu berpijak pada pembedaan tersebut untuk membentuk karya mereka, termasuk teori yang mereka hasilkan.

Dalam hal ini, saya lagi-lagi setuju dengan Said, bahwa ketika kita membaca teks-teks orientalis, maka kita harus mempertahankan posisi diskursif pada tempatnya. Sebab hanya dengan mengkaji teks-teks orientalis melalui proses diskursif, maka kita dapat melihat, menyibak, dan membawa ke ruang publik, relasi ideologis yang terdapat dalam teks-teks dan orientalisme itu sendiri. Adalah penting untuk mengingat, bahwa orientalisme beroperasi dalam ruang-ruang kontruksi. Melalui konstruksi ideologi dilanggengkan dan membentuk hegemoni.

Orientalisme telah berhasil menciptakan garis demarkasi, garis pembatas, dan menciptakan ruang yang bergerak sejalan dengan garis tersebut. Kita kemudian dapat membayangkan Timur dan Barat sebagai sebuah ruang, sebuah wilayah geografis, dan batas-batas ini bukan lah fiksi maupun imaji dalam pikiran. Meskipun Said secara tegas menyatakan bahwa apa yang kita anggap sebagai ruang pada dasarnya semi-mitos, namun Said juga menyatakan adalah sebuah kebodohan besar menganggap orientalisme hanya sebagai imaji, fiksi, atau bahkan kebohongan. Orientalisme lebih bermakna, lebih terlihat sebagai tanda superioritas Barat (dalam hal ini Eropa dan wilayah Atlantik, barangkali termasuk Amerika) atas Timur. Superioritas kompleks yang didalamnya termasuk relasi kekuasaan, dominasi, dan hegemoni yang kompleks.

Komplek hegemoni, Said memulainya dengan menggambarkan kedatangan Napoleon dan pembangunan imaji Timur atas Mesir, begitu sistematis. Melalui pembangunan imaji yang melanggengkan superioritas, Eropa mampu menangani, bahkan “menciptakan”, dunia Timur secara politis, ekonomis, sosiologis, bahkan ideologis dan imajinatif. Melalui serangkaian tindakan militer, penciptaan gambaran imaji tentang Timur sebagai Liyan dari Barat, dan melalui serangkaian teks yang menginkorporasi imaji tersebut. Membawa imaji ke dunia nyata, membawa gambaran mengenai apa yang sesungguhnya Timur itu, beserta seperangkat atribut yang dilekatkan di Timur, tanpa orang Timur menyadari sepenuhnya atribut tersebut bukan lah milik mereka sepenuhnya.

my idea in Orientalism is to use humanistic critique to open up the fields of struggle, to introduce a longer sequence of thought and analysis to replace the short bursts of polemical, thought-stopping fury that so imprison us´(Prolog edisi Orientalisme ke 25)

Secara umum Said berhutang banyak pada model analisa Foucault dan Gramsci dalam melihat bagaimana Timur dan Barat tercipta dan melembaga. Terutama dengan model discourse Foucault dalam melihat relasi kekuasaan yang menjadi landasan representasi Timur dalam jalur genealogi orientalisme. Penting untuk mengingat, bahwa orientalisme tidak hanya berkaitan erat dengan kekuasaan politis belaka. Orientalisme memiliki sejumlah hubungan gelap dengan kontsruksi dan representasi, melahirkan anak-anak terlarang melalui ajang pertukaran berbagai jenis kekuasaan.

Said sendiri membagi empat jenis relasi kekuasaan yang lahir melalui rahim orientalisme: Pertama adalah kekuasaan politis. Kekuasaan politis muncul sebagai akibat langsung dari kolonialisme dan imperialisme. Ketika Eropa datang, melakukan invasi, membentuk koloni, dan menjalankan politik imperialis, maka sejak itu lah kekuasaan politis datang dan mengambil benih. Kedua adalah kekuasaan intelektual. Berbeda dengan kekuasaan politis yang acapkali membawa bayang negara di bawah bedil senjata, maka kekuasaan intelektual adalah kebalikan sepenuhnya. Kekuasaan intelektual mewujud melalui pendidikan, sains dan teknologi, linguistik, dan lain sebagainya. Kekuasaan intelektual termanifestasi melalui jalur pendidikan yang disediakan Barat bagi Timur, agar Timur dapat memiliki kemampuan penguasaan teknologi sebagaimana Barat.

Ketiga adalah kekuasaan kultural. Sebagaimana kekuasaan intelektual, kekuasaan kultural tidak lah di bawah deru kuda maupun letusan senjata. Kekuasaan kultural mewujud dalam kanonisasi selera, teks dan nilai-nilai. Kekuasaan kultural berjalan di atas rel konstruksi “budaya Timur yang sebenarnya”, dalam hal ini terdapat seperangkat nilai yang dilekatkan mengenai apa “Timur” itu, bagaimana Timur mewujud dalam bentuk kebudayaan yang “sangat khas Timur”. Keempat adalah kekuasaan moral, di mana Barat tidak hanya melekatkan apa Timur itu, namun juga bagaimana Timur itu sendiri, atau dalam kata lain, apa yang pantas dan apa yang tidak pantas bagi “Timur” dan “ketimuran”.

Bagaimana menghindari jebakan, atau bahkan melawan konstruksi, orientalisme? Said memberikan kunci, yakni dengan menggunakan humanisme sebagai kritik. Dalam pandangan Said, hanya dengan meletakkan kajian orientalisme dalam spirit humanistik lah akan terdapat jalan menuju pencerahan dan emansipasi. Spritik humanistik, atau menjadikan humanisme sebagai kritik, dapat terwujud agenda emansipatoris yang akan bermuara terwujudnya pencerahan dan emansipasi itu sendiri. Setidaknya buku ini bertujuan ke arah sana.

Memang Said bukan yang pertama dalam menyuarakan humanisme, sebelumnya telah ada Fanon. Namun dapat dikatakan, bahwa pengaruh Said sangat besar, terutama dengan munculnya kontroversi buku ini. Para penerus Said, yang diapresiasi oleh Said sendiri, terutama Spivak dan Babha. Akhirnya saya mengerti mengapa saya diperintah membaca “Trinitas Suci Poskolonial”: Said, Spivak dan Babha. Ketika berangkat melalui jalur sama, namun mereka memiliki cara pandang yang berbeda. Said dalam buku ini, Orientalisme (sebab ada buku Said yang lain, Covering Islam), pada dasarnya hanya berbicara mengenai representasi Timur dan Barat, dialektika yang asimetris, dan bagaimana imaji di sekitar Timur dan Barat. Spivak bergerak lebih jauh, yakni dengan menawarkan pengetahuan tandingan: suara dari subaltern, suara dari mereka yang selama ini dibungkam. Babha muncul melalui mimikri dan ambivalensi, mengenai perlawanan tersembunyi dengan mengambil idiom sang penjajah, meskipun Babha sendiri menjelaskan mengenai munculnya ambivalensi dari si terjajah dan tiruan buram yang mereka lakukan.

Said meletakkan pondasi diskursus mengenai produksi pengetahuan. Menarik melihat epilog, buku yang saya miliki kebetulan memiliki afterword yang dibuat Said tahun 1994, bahwa ada masa di mana Said sendiri jengkel terhadap reaksi atas buku ini. Beberapa menyebut buku ini anti-barat, beberapa menyebutnya pendukung keislaman (walaupun ada pula yang protes sebab Said sendiri walaupun membela Palestina namun tidak lah beragama Islam), beberapa lainnya menyebut buku ini utopia yang memaksakan diri untuk menjadi nyata.

Dalam pandangan Said, Orientalisme adalah karya akademik yang mewujud melalui latar akademik. Orientalisme bukan lah buku (atau mesin) teoritik, namun lebih merupakan karya partisan. Orientalisme adalah cermin dalam memandang keberadaan dan cara pandang kita terhadap apa yang kita maksud dengan Barat dan Timur. Said melihat, apa yang menarik dari orientalisme adalah gabungan antara konsistensi dan inkonsistensi, perkembangbiakan sepenuhnya berada di dalam dirinya sendiri. Orientalisme adalah makhluk yang berkembangbiak melalui pemikiran dan dominasi, dengan demikian orientalisme hanya dapat dikaji secara kritis selama kita mampu melepaskan jubah dominasi dalam diri, sekaligus keluar dari sangkar dan belenggu kultural yang mengekang “hak Timur untuk bersuara”.

Buku ini adalah buku yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Kritik mengenai posisi agama Said memang mengemuka, namun Said sendiri menyatakan dalam prolog yang dia buat menyambut 25 tahun buku ini, sebagai usaha kemanusiaan, di mana perjuangan hidup bukan lah atas nama agama, melainkan nilai kemanusiaan yang selama ini terinjak-injak. Konteksnya tentu saja adalah kampung halaman Said sendiri: Palestina. Saya rasa konteksnya dapat diperluas, walaupun Said berbicara impiannya mengenai kampung halamannya, namun relevan untuk membahas Timur pada umumnya, termasuk Indonesia didalamnya.

Bergerak dari keinginannya untuk membongkar relasi kuasa yang asimetris, Said membongkar persoalan representasi. Secara spesifik membahas bagaimana Timur direpresentasikan oleh Barat. Dalam pandangan Said, kritik yang muncul atas representasi tersebut menunjukkan bahwa Timur tidak lah dilihat sebagai entitas sebenarnya, tidak sebagaimana adanya, melainkan bagaimana Timur seharusnya. Dalam konteks yang lebih luas, Timur adalah bayangan buram dari Barat, sebuah bayangan dari sosok yang diliyankan.

Saya sendiri, sebagaimana telah saya katakan sebelumnya, membaca buku ini, seperti berkaca di cermin yang buram. Gambaran ketimuran diri saya, terrefleksi melalui imaji buram, membuat saya berpikir. Ketimuran macam apa yang menjerat dalam diri, mewujud dalam rupa, dan terrefleksi dalam cermin. Saya merasa, butuh waktu lama bagi saya untuk berdamai dengan diri saya setelah saya membaca buku ini. Namun pada akhirnya, lagi-lagi saya setuju dengan Said, terlepas dari kontroversi di sekitar buku ini, Orientalisme telah berjasa membuka ruang dialogis dan diskursif mengenai Barat dan Timur. Harapannya tentu saja, sebagaimana diimpikan oleh Said, dapat “menumbuhkan relasi harmonis antara “Barat” dan “Timur””, walaupun saya tidak sepenuhnya percaya, entah dengan anda.