Abuya, status, dan pengislaman yang semakin dalam

Akhirnya saya ketularan. Ujung pangkal semua masalah ini dimulai dari bang Darso yang melempar sebuah persoalan tentang pemakaian kata “abuya” kepada guru Nur (saya sih lebih suka kata itu). Setelah saling berbalas komentar di fb, kemudian muncul tulisan sahabat saya, Irhami, kemudian saya tergelitik untuk ikut pula nimbrung soal “abuya” ini.

Irhami sudah dengan cermat sekali membahas kata “abuya” yang diserap dari bahasa Arab melalui menjelasan tata bahasa. Hanya saja, ada persoalan mendasar pada penjelasan Iam (bukan I Am lho ya). Secara sepintas Iam menyebut kata “diserap”, dan dalam sosiolinguistik (entah itu di sosiologi atau di antropologi), serapan tidak selalu sama dengan kata aslinya. Jika kita meminjam penjelasan Saussure misalnya, ada penjelasan mengenai langue dan parole.

Langue adalah bahasa sebagai objek sosial. Bahasa berada di luar individu, mengikat seluruh individu dalam sebuah sistem sosial yang otonom, dan berperan sebagai seperangkat konvensi sistemik yang berperan penting dalam komunikasi. Nah, bingung kan. Sederhananya begini, jika anda memahami tulisan saya itu artinya kita sama-sama memahami bahasa Indonesia, baik secara konten maupun tata bahasa. Jika saya katakan “kucing”, jika anda memikirkan hal yang sama dengan saya, yakni merujuk pada sejenis binatang karnivora berkaki empat yang biasa berkeliaran di rumah, maka itulah langue. Nah, langue tidak bisa diubah oleh seseorang sebab langue bersifat kolektif. Sifat kolektif ini adalah syarat agar sebuah komunikasi dapat berjalan. Misalnya si “kucing” tadi, kalau saya jelaskan bahwa kucing adalah adalah binatang berkaki dua yang dapat terbang, maka anda pasti menganggap saya gila atau ngelindur, sebab binatang berkaki dua yang dapat terbang adalah burung, bukan kucing.

Parole adalah sisi kebahasaan individu. Ada yang mengatakan bahwa parole analog sama dengan dialek. Berbeda dengan langue yang mengikat semua orang, dengan aturan tata bahasa dan nilai-nilai intrinsik didalamnya, parole adalah bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual. Parole menjadi cara bagi individu untuk mengungkapkan pikirannya melalui bahasa. Sederhananya begini, kalimat dalam tulisan saya ini, sepanjang mengikuti kaidah berbahasa dan anda sebagai pembaca paham, maka itulah langue. Tetapi langue tidak bermakna apa-apa jika tidak disusun sebagai sebuah gagasan dan disampaikan melalui komunikasi, itulah parole. Misalnya si “kucing” tadi, kucing sebagai bahasa yang otonom dapat dipahami, namun kalau saya menyebut “kucing” saja, dapat dipastikan pihak yang saya akan bicara tidak memahami maksud saya, sampai saya membuatnya menjadi kalimat yang utuh “ikan di meja tadi digondol kucing.”

Saussure menyebut pula signifie alias pengertian yang muncul atau makna yang lahir dari asosiasi tertentu. Pengertian kucing sebagai makhluk muncul dalam konteks signifie, namun kehadiran maknya hanya berlaku jika saya betul menyebutkanya: ku.cing. Kalau saya menyebut ka.cing pasti tidak dapat dipahami, sebab bunyi ka.cing tidak ada. Atau misalnya ku.ning jelas berbeda dengan ku.cing, hal inilah yang disebut sebagai signifiant alias citra bunyi yang memberikan pengertian.

Persoalannya adalah, agar sebuah bahasa dapat dipakai untuk menjalin komunikasi, maka antar sesama penutur harus memahami langueparole dan signifiesignifiant dari bahasa tersebut. Misalnya, kalau saya mengatakan “saya ingin nasi uduk” kepada sahabat saya yang orang Malaysia, maka dijamin dia akan bingung, sebab “nasi uduk” sebagai bahasa dalam konteks objek sosial tidak sama. “Nasi uduk” baru bermakna ketika kedudukan konteksnya sesuai. Atau misalnya, saya pergi ke wilayah yang penuturnya menggunakan bahasa Arab, maka menjadi absurd jika saya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Agar berkomunikasi, maka mau tidak mau, saya harus memahami langueparole dan signifie-signifiant dari bahasa tersebut, atau apa yang sering disebut sebagai performansi bahasa. Performansi bahasa secara sederhana adalah hasil dari bahasa tersebut. Performansi bahasa lahir setelah seseorang memahami langueparole dan signifie-signifiant dari suatu bahasa, entah melalui pendidikan formal atau melalui sosialisasi (baik sengaja maupun tidak sengaja) oleh masyarakat atau aktor pengguna bahasa, misalnya dari orangtua ke anak.

Nah, sekarang kita kembali ke persoalan abuya. Sebagai bahasa dalam konteks objek sosial, kata abuya jelas tidak bisa dilepaskan dari lingueparole dan signifie-signifiant. Itu sebabnya, ketika Iam menjelaskan tata bahasa, sesungguhnya Iam menjelaskannya dalam konteks penutur bahasa Arab. Itu sebabnya pula Iam mampu menjelaskan adanya kesalahan berbahasa, baik diksi maupun isi dari bahasa itu sendiri.

Sekarang saya akan bawa konteks abuya itu ke dalam konteks lingue-parole dan signifie-signifiant Indonesia. Sudah sangat dimaklumi, bahwa banyak kata yang berasal dari bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Hanya saja, seringkali untuk menjelaskan mengapa kata tersebut diserap kita bertindak ahistoris, termasuk kata abuya. Saya memang belum menemukan tulisan yang secara spesifik membahas serapan kata abuya, namun saya pikir saya bisa menjelaskan alasannya, dan untuk itu, mari kita kembali berjalan mundur ke belakang.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah membatasi ruang lingkupnya. Masyarakat mana yang mempergunakan istilah abuya dalam lingkup langueparole atau signifie-signifiant mereka? Kalau melihat kasus yang diangkat oleh Iam, bolehlah kita batasi hanya pada masyarakat Sumatera Barat, tempat Buya Hamka berasal. Nah, sekarang urusannya lebih mudah, karena tinggal melacak sejak kapan kata “abuya (buya)” masuk dalam langue-parole masyarakat Sumatera Barat.

Kalau kita bicara mengenai masyarakat Sumatera Barat – secara sederhana saya memasukkan dalam satu kategori: Minangkabau, satu adagium yang paling dikenal adalah “adat basandi syara’, sya’ra basandi kitabullah”. Adagium ini mengidentikkan dengan kultur manusia Minang dengan agama Islam, di mana Islam menjadi salah satu penopang kehidupan bermasyarakat. Pertanyaannya, sejak kapan “adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah” mengakar di masyarakat? Jawaban paling meyakinkan adalah dengan kembali ke abad ke-7 (berdasarkan kronik Cina), di mana pada masa itu telah ada perkampungan Arab di pesisir pantai Sumatera Barat. Mengapa pesisir? Ini sih mudah saja, karena kedatangan orang Arab ke Indonesia melalui jalur perdagangan laut, mudah dipahami jika ada perkampungan Arab di pesisir pantai.

Tapi ada satu masalah, meskipun ada perkampungan Arab di pesisir pantai, terdapat karakteristik mendasar antara kultur masyarakat pesisir (pelabuhan) dengan masyarakat pedalaman. Banyak ahli telah bicara soal ini. Dalam masyarakat pesisir, di mana pelabuhan menjadi inti kehidupan, heterogenitas menjadi kewajaran, sehingga sangat sulit untuk tidak terjadi pembauran, termasuk urusan bahasa. Mungkin saja, karena interaksi dengan orang Arab, sehingga kata abuya (beserta kata lain) masuk dalam langue-parole masyarakat. Hanya saja, patut dipertanyakan, karena sifat dasarnya yang heterogen, apakah kata itu bisa bertahan selama ratusan tahun tanpa mengalami perubahan bentuk sama sekali? Saya meragukan hal itu. Selain itu, ada pertanyaan yang lebih mendasar, apakah pada abad ke-7, masyarakat Minang sudah memeluk Islam? Lagi-lagi saya ragu.

Fakta yang dapat menolong adalah invasi Kasultanan Aceh yang saat itu dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah (koreksi jika saya salah) pada abad 13, yang kemudian mengislamkan Kerajaan Pagaruyung. Namun saya pikir, hingga abad 13, belum ada konsensus “adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah”, sebab konsensus ini baru terjadi pada abad akhir abad 17, yakni pada Perang Paderi yang melibatkan Kaum Paderi dan Kaum Adat. Baru pada saat itulah Islam menguat dan mengakar di masyarakat Minang.

Nah, kembali ke soal kata abuya atau buya, tidak ada (atau setidaknya belum ada) bukti yang menyatakan bahwa kata Arab itu muncul di abad 13 maupun abad 17-18. Buktinya amat sederhana, sebab ketika Perang Paderi baru mulai, sekitar tahun 1800an, tidak ada istilah itu. Memang ada kata Haji, yang berasal dari kelompok Harimau Nan Salapan (salah satunya bernama Haji Miskin dan Tuanku Nan Renceh), tapi belum ada kata abuya. Masyarakat Minang memiliki istilah tersendiri untuk menyebut ulama, Tuanku, analog dengan kiai, tuan guru, dll. Maka menarik, bahwa kata Tuanku justru hilang ditelan waktu.

Maka persoalan kata “abuya (buya)” yang disandang oleh Hamka, dan lazim digunakan saat ini sebagai gelar kehormatan, menarik untuk ditelisik. Jika kata itu belum muncul, setidaknya belum dipergunakan, hingga abad 18, agaknya saya harus menariknya ke abad 20. Ada alasan mengapa akhir abad 19 hingga abad 20 buat saya penting, setidaknya untuk menjelaskan mengapa kata abuya masuk dalam langue-parole masyarakat Minang. Adalah gerakan reformis periode 1900an yang menjadi penanda penting dalam perubahan struktur masyarakat Minangkabau. Penting untuk dilihat, bahwa pada masa itu lahir para pembaharu yang terkenal seantero jagad. Ada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabaui, ada Syaikh Muhammad Jamil Djambek, dan tentu saja Haji Rasul alias Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka).

Buat saya menjadi lebih logis untuk meletakkan masuknya kata abuya dalam konteks Minang, sebab gerakan reformis, seperti hanya Perang Paderi, membagi dua kelompok yang saling berlawanan satu dengan lainnya: Kaum Muda dan Kaum Tua. Kemenangan Kaum Muda mengubah struktur sosial keagamaan, dan bagi saya menjadi pintu masuk hadirnya istilah abuya, yang jelas-jelas serapan dari bahasa Arab, ke dalam langue-parole masyarakat Minang. Jika pendapat saya benar, mudah dipahami mengapa istilah abuya (buya) tidak mengalami perubahan (atau setidaknya pelokalan menjadi bahasa Minang), sebab kata itu sendiri baru muncul di medio abad 20. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kata abuya sesungguhnya adalah kata baru dalam langue-parole masyarakat Minang. Barangkali hanya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dan Syafi’I Maarif yang masyhur dengan sebutan “(a)buya”.

Tapi saya ingin menarik konteksnya lebih jauh. Saya tidak ingin berpolemik terkait kata (a)buya yang disandangkan ke guru Nur, yang alasan justifikasinya karena berbesan dengan (a)buya Saifuddin Amsir. Bagi saya, ada yang lebih menarik atas kata abuya itu sendiri. Barangkali Ricklefs benar, bahwa proyek Islamisasi Jawa belum selesai. Mohon dipahami, bahwa terma islamisasi di sini bukanlah dakwah Islam ataupun mengajak orang untuk masuk Islam, melainkan penggunakan simbol-simbol keislaman maupun penyebaran nilai keislaman melalui berbagai saluran (Ricklefs sendiri memakai contoh partai politik Islam). Alih-alih mengendur, islamisasi Jawa (baca: Indonesia) justru menguat. Barangkali, barangkali lho ya, penggunaan kata abuya merupakan riak kecil dari semakin dalamnya islamisasi itu sendiri. Kita sendiri sekarang sudah lebih familiar dengan kata istilah-istilah Islam yang masih menggunakan bahasa Arab, seolah-olah kata itu sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kita merasa lebih afdal (kata ini sudah menjadi bahasa Indonesia) jika menggunakan kata mudharabahmurabahah (dalam ekonomi) atau hadhanah (alih-alih hak pengasuhan anak dalam fikih). Saya tidak setuju dengan beberapa sahabat yang mengatakan bahwa gejala pendalaman Islam itu mengkhawatirkan, justru amat menyenangkan untuk diamati dan dikaji.