Majelis taklim perempuan dalam peta politik lokal, pengalaman Bekasi

Catatan: tulisan ini berjudul “Ijtihad politik perempuan: transformasi peran majelis taklim dalam konstelasi politik lokal” sudah diterbitkan dalam buku Gender dan Politik yang diterbitkan oleh Tiara Wacana (2008). Tulisan ini adalah versi perbaikannya. Selamat membaca.

Sebagai sebuah organisasi yang seringkali tidak resmi, majelis taklim perempuan tidak mendapat perhatian serius dalam berbagai kajian, bahkan dalam kajian perempuan sekalipun. Hal ini tentu saja merupakan gambaran betapa terpinggirkannya majelis taklim perempuan, baik dalam peran maupun posisi majelis taklim itu sendiri. Tulisan ini mencoba melihat adanya perubahan peran yang signifikan dari majelis taklim perempuan, dan elite agama perempuan, terutama pergeseran peran dalam dunia politik. Mengambil latar di Kabupaten dan Kota Bekasi, penelitian mengenai majelis taklim perempuan memberikan gambaran yang lebih nyata, betapa majelis taklim tidak dapat melepaskan diri dari hingar-bingar dunia politik. Adanya basis massa yang jelas, di mana setengah dari penduduk Bekasi adalah perempuan adalah sebuah keuntungan tersendiri bagi majelis taklim. Adalah satu fakta yang tidak dapat disangkal, bahwa perempuan, terutama yang ‘berprofesi’ sebagai ibu rumah tangga, adalah anggota terbesar dari majelis taklim, dan hal ini membuat majelis taklim memiliki posisi tawar yang tinggi dalam konstelasi politik lokal di Bekasi. Perebutan dukungan di kalangan majelis taklim justru menjadikan majelis taklim sekaligus elite agama perempuan yang berkecimpung di dalamnya seakan menjadi rebutan banyak pihak. Baik partai politik maupun calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah misalnya, selalu menjadikan elite agama perempuan dan majelis taklim sebagai target kampanye sekaligus partner yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Adanya perubahan peran majelis taklim, dari hanya sebuah ajang untuk menuntut ilmu agama dan tidak berpolitik, hingga mengalami transformasi dengan terlibatnya majelis taklim di dunia politik memperlihatkan fakta dinamis majelis taklim perempuan. Tidak lah mengherankan, jika ijtihad politik perempuan justru bergema dari balik tembok pengajian dan perlahan mengubah peta politik lokal di Bekasi selamanya.

Senandung wirid dari balik tembok pengajian, pendahuluan

Ingatkah anda pada pemilihan gubernur di Jawa Timur, di mana pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (KARSA) dimenangkan oleh KPU dengan selisih 60.223 suara dari pasangan Khofifah-Mudjiono (KAJI)? Meskipun keputusan MK memerintahkan penghitungan ulang di Pamekasan dan pencoblosan ulang di Bangkalan dan Sampang. Satu hal yang sering terlupakan, suara luar biasa yang di dapat oleh Khofifah tidak terlepas dari posisinya sebagai pimpinan Muslimat NU, sebuah organisasi massa keagamaan dengan latar belakang khusus: majelis taklim. Kemenangan Khofifah yang mengalahkan dengan telak pasangan Sunaryo-Ali Maschan (SALAM), meskipun sama-sama mengklaim didukung oleh NU, membuka perhatian yang lebih pada majelis taklim, atau secara lebih spesifik majelis taklim perempuan. Makalah ini tidak berbicara dalam konteks Jawa Timur, namun memfokuskan dalam konteks Jawa Barat.

Majelis taklim, merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang bersifat non-formal, terbuka bagi semua orang tanpa memperhatikan gender, usia, status, maupun kedudukan di masyarakat. Majelis taklim didefinisikan sebagai “lembaga atau organisasi sebagai wadah pengajian” dan “sidang pengajian” atau “tempat pengajian” (KBBI, 2005:699). Majelis taklim dapat didefinisikan sebagai tempat untuk melaksanakan pengajaran atau pengajian agama Islam. Majelis taklim pada dasarnya berfungsi sebagai lembaga pendidikan nonformal yang memiliki kedudukan penting di masyarakat (Weix 1999). Sekurangnya terdapat empat fungsi penting majelis taklim, yaitu: (1) sebagai wadah untuk membina dan mengembangkan kehidupan beragama di masyarakat dan bertujuan untuk membentuk masyarakat yang bertaqwa kepada Allah, (2) sebagai wahana wisata rohani, (3) sebagai wadah silaturrahmi, dan (4) sebagai medium penyampaian gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan ummat dan bangsa (Ensiklopedi Islam, 1994 3:120). Tidak hanya sebatas berfungsi untuk pengajaran agama Islam, majelis taklim pun menggunakan metode pengajaran yang tidak berbeda dengan dilakukan dalam lembaga pendidikan Islam formal seperti pondok pesantren. Majelis taklim banyak mempergunakan metode pengajaran berupa ceramah maupun halaqah, yakni membacakan suatu kitab sekaligus menterjemahkan dan menjelaskan makna kitab tersebut.

Majelis taklim pada dasarnya tidak lah ditujukan bagi jenis kelamin tertentu  (Ensiklopedi Islam 1994 3:120), hanya saja, terutama di Bekasi, majelis taklim terbagi dalam dua kategori: majelis taklim laki-laki dan majelis taklim perempuan. Berbeda dengan majelis taklim yang berkembang secara umum, majelis taklim laki-laki dan perempuan terpisah secara struktur organisasi maupun pengajaran. Majelis taklim yang semula dapat dipergunakan baik oleh laki-laki maupun perempuan untuk mempelajari agama lambat-laun mengalami perubahan dengan adanya pemisahan antara majelis taklim laki-laki dan majelis taklim perempuan.[1] Dengan adanya pemisahan tersebut, hal ini membawa satu konsekuensi yang lebih mendasar: adanya pembedaan pada pengajar dan tema yang diajarkan. Meskipun demikian, baik majelis taklim laki-laki maupun majelis taklim perempuan pada dasarnya berbagi kesamaan yang khusus: keduanya bertujuan untuk mengajarkan sekaligus menyebarluaskan ajaran agama Islam di masyarakat.

Majelis taklim perempuan dan kebangkitan elite agama perempuan

Pada dasarnya, tidak terdapat perbedaan yang berarti antara majelis taklim perempuan di Jawa Timur dengan yang terdapat di Jawa Barat. Keduanya beranggotakan perempuan, mengajarkan ajaran agama Islam, dan keduanya sama-sama merupakan semi organisasi dengan basis massa yang luar biasa. Perbedaan yang mungkin paling terlihat adalah tenaga pengajar di majelis taklim tersebut. Secara umum, dapat dikatakan bahwa hampir semua majelis taklim perempuan yang ada di Kabupaten Bekasi menggunakan tenaga pengajar perempuan atau para ustazah. Sedangkan kiai atau ustaz lebih banyak digunakan dalam majelis taklim laki-laki, meskipun tidak menutup kemungkinan para kiai dan ustaz mengajar di majelis taklim perempuan meskipun sangat sedikit.[2]

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, majelis taklim perempuan adalah sebuah organisasi keagamaan dengan jumlah anggota yang sangat signifikan. Majelis taklim perempuan, yang berada di Kabupaten Bekasi, dapat dikatakan ada pada setiap musalla yang berdiri di setiap desa dan kecamatan. Sebagai gambaran umum, di Kabupaten bekasi terdapat 23 kecamatan dan memiliki 95 desa, jika setiap desa memiliki satu masjid utama dan lima musalla, setidaknya di Kabupaten Bekasi terdapat tidak kurang dari 570 majelis taklim perempuan. Jumlah majelis taklim perempuan yang begitu besar tentu saja membutuhkan jumlah tenaga pengajar yang signifikan. Jika setiap majelis taklim mempergunakan seorang ustazah sebagai mentor mereka, maka dibutuhkan, sekurangnya, 570 orang ustazah untuk mengajar dalam majelis taklim tersebut. Hal ini tentu saja akan membawa pada angka yang lebih besar jika mempertimbangkan jumlah anggota majelis taklim. Lebih dari itu, jika setiap majelis taklim memiliki anggota aktif sebanyak 50 orang, maka jumlah anggota aktif seluruh majelis taklim di Kabupaten Bekasi, sekurangnya, mencapai 28.500 orang. Tentu saja jumlah ini akan semakin bertambah jika melihat data faktual jumlah majelis taklim di setiap desa dan jumlah anggota yang aktif mau pun yang pasif.

Jumlah yang sangat signifikan dari majelis taklim perempuan menjadikan para ustazah sebagai elite agama dengan jumlah massa yang juga signifikan. Keberadaan para elite agama perempuan dapat dikatakan membawa pengaruh yang begitu berbeda dalam dinamika kultural di masyarakat, hal ini tentu saja memberikan gambaran yang sangat berbeda dengan yang selama ini dikenal, bahwa dimensi agama tidak hanya dimonopoli oleh elite agama laki-laki. Tidak adanya dominasi kiai menjadikan para ustazah sebagai elite agama yang mampu mensejajarkan diri mereka dengan para kiai, sekaligus menciptakan posisi yang unik dalam struktur kehidupan bermasyarakat untuk diri mereka sendiri.

Jumlah elite agama perempuan yang terus bertambah, seiring dengan pertambahan majelis taklim perempuan, menjadikan elite agama perempuan sebagai sosok yang tidak dapat dipandang sebelah mata dalam proses pengajaran dan penafsiran ajaran agama Islam. Lebih jauh lagi, elite agama perempuan menjadikan diri mereka sebagai sosok dengan posisi tawar tinggi ketika berhadapan dengan elite politik. Dinamika politik lokal di Bekasi secara tidak langsung terikat dengan keberadaan elite agama perempuan, sebab jika dibandingkan dengan para kiai dan ustaz, para ustazah jelas memiliki lebih banyak majelis taklim yang dibinanya, sekaligus menjadikan para ustazah sebagai “pemegang kontrol” di tingkat akar rumput.

Ustazah, majelis taklim, dan politik lokal: Pemilu Bupati Bekasi

Pada pemilihan Bupati Bekasi, yang dilaksanakan pada tanggal 11 Maret 2007, tercatat enam pasang kandidat bakal calon bupati dan wakil bupati, mereka adalah: Wikanda Darmawijaya – Daeng Muhammad, Saleh Manaf – Omin Basyuni, Memet Rochamat – Jejen Sayuti, Sa’duddin – Darip Mulyana, Munawar Fuad – Adhi Firdaus, Nachrowi Solihin – Solihin Sari. Dalam pemilihan bupati dan wakil bupati tersebut, pasangan Sa’duddin-Darip Mulyana yang didukung oleh PKS menang dengan perolehan 195.857 suara; pasangan Memet Rohamat-Jejen Sayuti (PDIP) memperoleh 144.181 suara; pasangan Saleh Manaf-Omin Basuki (PPP) memperoleh 143.248 suara; pasangan Nachrowi Solihin-Solihin Sari (Golkar) memperoleh 113.056 suara; pasangan Munnawar Fuad-Adhy Firdaus (PD dan PKB) memperoleh 98.080 suara; dan pasangan Wikanda Darmawijaya-Daeng Muhammad (PAN) memperoleh 87.313 suara (lihat Wikipedia t.t.).

Satu hal yang tidak terlihat secara jelas adalah dukungan para elite agama perempuan dengan majelis taklim yang dipimpinnya. Majelis taklim perempuan, dengan cepat mengubah dirinya sendiri, dari yang semula hanya berkutat pada persoalan pengajaran ajaran agama Islam hingga berkubang dalam hingar-bingar dunia politik. Dapat dikatakan bahwa majelis taklim perempuan dan elite agama perempuan cukup banyak mendapat “perhatian” dari para kandidat bakal calon bupati dan wakil bupati. Adanya kedekatan maupun afiliasi partai politik tertentu menyebabkan para elite agama perempuan menjadi pemain penting namun memiliki peran yang paling tidak terlihat. Majelis taklim sebagai sebuah kendaraan politik boleh jadi mendapatkan momentumnya dalam proses pemilihan kepala daerah, baik itu tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional. Kemenangan pasangan Ahmad Heriawan-Dede Yusuf misalnya, boleh jadi mendapatkan sumbangsih yang tidak sedikit dari kalangan majelis taklim perempuan.

Pada pemilihan bupati dan wakil bupati bekasi terlihat jelas betapa mobilisasi massa perempuan tidak melepaskan diri dari struktur keanggotan majelis taklim dan afiliasi politik para elite agama perempuan yang memimpin majelis taklim tersebut. Para ustazah yang secara terang-terangan berafiliasi dengan Partai Persatuan Pembangunan secara terang-terangan pula mendukung pasangan Saleh Manaf-Omin Basuki yang didukung oleh PPP, demikian pula para ustazah yang berafiliasi dengan Partai Bulan Bintang. Tidak mau ketinggalan adalah yang dilakukan oleh para ustazah yang berafiliasi dengan Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional.

Meskipun demikian, sangat menarik untuk melihat bahwa cukup banyak para ustazah yang menolak untuk berafiliasi dengan partai politik tertentu, terutama setelah Rusydatul Ummah, sebuah organisasi majelis taklim yang menaungi hampir semua majelis taklim di Kabupaten dan Kota Bekasi, Jakarta Utara dan Timur, menolak untuk mendukung salah satu kandidat bupati dan wakil bupati. Penolakan dukungan yang diberikan oleh organisasi Rusydatul Ummah justru membawa konsekuensi yang lebih luas: memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi setiap majelis taklim perempuan yang bernaung di bawahnya untuk mengambil keputusan politik secara independen. Penolakan dukungan yang dilakukan oleh organisasi tidak berarti menyebabkan tertutupnya dukungan dari tingkat majelis taklim di tingkat komunitas, hal ini lah yang menyebabkan para kandidat justru semakin gencar dalam melancarkan kampanye di tiap-tiap majelis taklim di tingkat komunitas, baik oleh mereka langsung maupun oleh para ustazah yang secara khusus mereka minta untuk berkampanye untuk dan atas nama mereka. Tentu saja hal ini lah yang menyebabkan setiap majelis taklim untuk secara mandiri menentukan afiliasi politik mereka. Hal ini tentu membawa “efek samping” yang, barangkali, tidak disadari: otonomi yang diberikan justru memberikan porsi yang lebih besar pada para ustazah, terutama yang sepuh.

Tradisi patron-klien, sebagaimana tradisi pesantren, menyebabkan para ustazah sepuh, sebagai patron, memiliki posisi yang sangat penting dalam pengambilan keputusan. Adanya otonomi yang diberikan kepada setiap majelis taklim justru menjadi kegamangan di tingkat lokal majelis taklim itu sendiri. Hal ini mendorong para majelis taklim, yang sejatinya otonom, tetap membutuhkan “saran” dan “nasehat” dari ustazah sepuh untuk menentukan sikap politik mereka. Keberadaan elite agama perempuan, terutama para ustazah sepuh yang aktif mengajar di berbagai majelis taklim, menjadi sangat penting, di mana restu mereka atas salah satu kandidat memberikan “jaminan tidak tertulis” akan dukungan dari para anggota majelis taklim perempuan yang dipimpinnya. Perang klaim dukungan dari majelis taklim perempuan, demikian pula tarik-menarik dukungan yang terjadi menggambarkan betapa keberadaan majelis taklim perempuan menjadi point penting dalam politik lokal di Bekasi.

Tidak hanya tarik-menarik kekuatan yang terlihat, yang juga terlihat jelas adalah upaya para kandidat pasangan yang memberikan sejumlah uang yang diberikan pada majelis taklim yang secara terbuka memberikan dukungannya pada salah satu kandidat pasangan. Persaingan dalam merebut simpati dari majelis taklim dirasakan sangat krusial, mengingat jumlah majelis taklim perempuan yang sangat besar, hal ini tentu saja menjadikan majelis taklim perempuan sebagai basis dukungan dengan jumlah massa yang luar biasa.

Kiai, Elite Perempuan, dan Majelis Taklim Perempuan

Pertanyaan yang muncul adalah, di mana posisi kiai dalam percaturan politik lokal? Rasanya tidak berlebihan jika kiai, sebagai elite agama laki-laki, dianggap mampu memberikan pengaruh besar di masyarakat, terutama dalam kancah politik lokal.[3]

Secara umum dapat dikatakan bahwa kiai di wilayah Bekasi memang memiliki pengaruh untuk menggulirkan opini di masyarakat, hanya saja opini yang bergulir di masyarakat lebih pada tingkat elite masyarakat, bukan pada komunitas. Persoalannya sebenarnya mudah dipahami, mengingat di antara sejumlah kiai yang ada, sangat sedikit yang masih terjun dalam pengajian yang dilaksanakan di tingkat komunitas. Beberapa kiai justru melepaskan pengaruhnya di tingkat komunitas dengan bergabung dengan institusi pemerintah seperti Majelis Ulama Indonesia. Kooptasi pemerintah terhadap sejumlah kiai, menjadikan para kiai hanya memiliki posisi di sebagian kecil masyarakat, kalau tidak mau dikatakan hanya sebatas elite. Barangkali hanya para kiai yang masih membaktikan hidup mereka pada dunia pendidikan pesantren dan pengajian di tingkat lokal yang masih memiliki pengaruh besar, namun jumlahnya sangat sedikit.

Berbeda dengan sebagian kiai yang cenderung “melepaskan” posisi mereka di masyarakat dengan terlibat penuh di institusi pemerintah dan partai politik, para ustazah justru menguatkan posisi mereka di masyarakat, di mana sebagian besar dari mereka justru menolak untuk turut aktif dalam institusi pemerintah dan partai politik. Keterikatan pada pemerintah dan partai politik justru membawa implikasi yang lebih luas: semakin longgarnya ikatan dengan masyarakat ditandai dengan semakin lunturnya kharisma yang dimiliki. Implikasi ini terjadi ketika para kiai, juga para ustazah, yang terlalu terikat pada struktur politik menjadikan diri mereka, sebagian tanpa disadari, terkotak-kotakkan dalam basis politik tertentu. Munculnya sebutan kiai PKB, ustaz PPP, atau ustazah PBB menjadikan diri mereka tidak lagi “tersedia bagi semua orang”.

Kritik ini lah yang muncul di kalangan masyarakat luas, bahwa pengkotak-kotakan yang terjadi berdasarkan partai politik, menjadikan kepercayaan dan kesetiaan terhadap para kiai dan ustazah tersebut memudar. Hal ini juga membawa pada konsekuensi lain, yakni menjadikan para ustazah yang secara tegas menyatakan tidak berpartai menjadi pusat perhatian masyarakat, terutama para ustazah senior. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa para ustazah ini lah yang mampu mengubah iklim politik yang terjadi hanya dengan sedikit ucapan ditambah sedikit testimoni dari orang-orang yang disekitarnya. Tidak hanya di tingkat komunitas, pada tingkat elite politik pun melihat dengan seksama setiap tindakan para ustazah ini, terutama jika menyangkut posisi mereka. Tidak jarang kunjungan mendadak dari para kandidat ke kediaman pribadi para ustazah tersebut, di mana hal ini pula yang menjadi sorotan, yakni sejauh mana para ustazah ini mempertahankan sikap nonpartisan yang selama ini mereka pegang.

Para ustazah yang lebih muda, boleh jadi, dengan senang hati akan ikut dalam hingar-bingar dunia politik, bahkan menjadikan diri dan majelis taklim yang mereka pimpin sebagai kendaraan politik. Akibatnya pun mudah terlihat: selama masa kampanye pemilihan bupati dan wakil bupati Bekasi, hampir semua majelis taklim penuh dengan nuansa politik, terutama dalam majelis taklim perempuan. Hal ini tentu saja akan membawa suatu kondisi yang, mengutip salah satu informan penelitian, “tidak kondusif untuk mengajar maupun belajar”, sebab setiap ucapan yang keluar, baik disadari maupun tidak, “dapat disalahartikan sebagai bentuk dukungan atau tuduhan”.

Majelis taklim dan Pemilihan Umum

Salah satu topik yang cukup hangat dibicarakan di kalangan majelis taklim perempuan saat ini adalah bagaimana majelis taklim perempuan bersikap dalam pemilihan umum legislatif yang akan digelar pada tahun 2009. Di satu sisi, akan selalu ada kemungkinan terulangnya kembali tarik-menarik dukungan politik dari berbagai kandidat yang ingin menjadikan majelis taklim perempuan sebagai kendaraan politik, namun di sisi yang lain, jumlah para ustazah, yang umumnya adalah ustazah muda, yang terjun ke dunia politik relatif bertambah. Persoalan ini tidak lah sesederhana yang terlihat, sebab para ustazah yang mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif, tidak lah berasal dari partai yang sama, meskipun sebagian besar berasal dari partai yang mengusung ideologi Islam. Hal ini tentu saja akan membawa dilema tersendiri bagi majelis taklim. Di satu sisi, perlahan muncul kesadaran di anggota majelis taklim tentang hak politik mereka, di sisi yang lain, terdapat kemungkinan, yang sangat besar, bahwa para ustazah itu akan menggunakan majelis taklim sebagai kendaraan mereka sekaligus menuntut kesetiaan dari anggota majelis taklim yang dipimpinnya.

Hal ini tentu saja menarik untuk diperhatikan lebih seksama. Para anggota majelis taklim sendiri, yang sebagian besar ibu rumah tangga, perlahan menyadari (atau barangkali sudah lelah?) dengan adanya konflik antarelite dalam memperebutkan suara mereka. Bagaimana majelis taklim yang mereka ikuti berubah dengan cepat, dari hanya ajang mempelajari ilmu dan ajaran agama Islam menjadi ladang kampanye caleg dan partai, dan hal ini terus berulang. Hal ini tentu saja harus juga dilihat kemungkinan lain, bahwa anggota majelis taklim barangkali telah menjadi pemilih yang cerdas, bahwa mereka hanya memilih orang yang mereka anggap layak, terlepas apakah orang itu merupakan para ustazah atau bukan. Jika hal ini yang terjadi, sangat logis kiranya jika para ustazah yang terjun ke dunia politik harus berpikir ulang mengenai pondasi basis massa mereka, terutama kesetiaan basis massa tersebut.

Ada pula kemungkinan lainnya: bahwa diamnya para ustazah senior menjadi penentu utama dalam pemilihan legislatif mendatang. Boleh jadi diamnya para ustazah tersebut menjadi fatwa yang mendorong terjadinya golongan putih, mengingat ucapan salah satu ustazah yang mengatakan “golput sendiri adalah sikap politik”, namun hal ini lah yang harus dilihat ke depan. Bagaimana majelis taklim perempuan dapat bersikap sekaligus mengambil posisi dalam percaturan politik lokal di Bekasi.

Dalam pemilihan bupati dan wakil bupati misalnya, majelis taklim perempuan cukup banyak memberikan bantuan kemenangan dalam pemilihan bupati dan wakil bupati Bekasi bagi pasangan Sa’duddin-Darip Mulyana, demikian pula pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat bagi pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf. Barangkali pada pemilihan legislatif mendatang, posisi majelis taklim perempuan akan kembali dipertanyakan. Akan kah majelis taklim perempuan menempatkan wakilnya di dalam anggota legislatif DPRD Kabupaten Bekasi seperti periode saat ini, atau justru terpecahnya majelis taklim perempuan dalam berbagai faksi menyebabkan tak satu pun di antara wakilnya yang berhasil duduk di kursi legislatif. Kiranya waktu kan menjawab.

Kepustakaan:

Arimbi, Diah Ariani. 2004. “When Private Becomes Public: The Case of Islamic Prayer Groups in Indonesia”, Mozaik 2(2):33-42

van Bruinessen, Martin. 2008. NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Cetakan kelima. Yogyakarta: LkiS

Ensiklopedi Islam. 1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.

Fealy, Greg. 2003. Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKiS

Feillard, Andrée. 2008. NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. Cetakan kedua. Yogyakarta: LkiS

Hidayat, Komaruddin dan M. Yudhie Haryono. 2004. Manuver Politik Ulama, Tafsir Kepemimpinan Islam dan Dialektika Ulama-Negara. Yogyakarta: Jalasutra

Moesa, Ali Maschan. 2007. Nasionalisme Kiai, Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Yogyakarta: LKiS

Mulkhan, Abdul Munir. 1999. Runtuhnya Mitos Politik Santri, Strategi Kebudayaan Dalam Dakwah Islam. cetakan kedua. Yogyakarta: Sipress

Tanthowi, Pramono U. 2005. Kebangkitan Politik Kaum Santri: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, 1990-2000. Jakarta: PSAP

Turmudi, Endang. 2004. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta: LKiS

Weix, G.G. 1998. “Islamic Prayer Groups in Indonesia: Local Forum and Gender Responses” Critique of Anthropology 18(4):405-420

Wikipedia. t.t. dalam  http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_Kepala_Daerah_Bekasi_2007_(Bupati))


[1] Keberadaan majelis taklim perempuan barangkali membawa agenda lain dalam tujuannya, yakni membawa diskursus ajaran agama Islam yang selama ini berada di ruang privat ke ruang publik yang lebih terbuka bagi siapa saja, termasuk perempuan (lihat Arimbi 2004).

[2] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah kiai memiliki arti sebagai “sebutan bagi alim ulama” atau “cerdik pandai di agama Islam” (KBBI, 2005:565), sedangkan istilah ulama sendiri diterjemahkan sebagai “orang yang ahli di hal atau di pengetahuan agama Islam,” meskipun KBBI sendiri membedakan antara ulama khalaf atau “ulama yang hidup pada masa sekarang”, dan ulama salaf atau “ulama yang mendasarkan pandangannya pada paham kemurnian ortodoks” (KBBI, 2005:1239). Istilah ustaz merujuk pada “guru agama atau guru besar (laki-laki)” dan sebagai sebutan “tuan” (KBBI, 2005:1255), sedangkan ustazah merujuk pada ustaz dengan jenis kelamin perempuan. Dalam konteks sosial di mana penelitian dilaksanakan, kiai menempati posisi hierarkis yang paling atas, setelah itu terdapat ustazah, dan terakhir ustaz. Meskipun demikian, patut untuk dicatat, bahwa hierarki tersebut tidak lah bersifat kaku, namun dapat terjadi perubahan kedudukan, dan hal ini sangat dimungkinkan berdasarkan popularitas seseorang di masyarakat. Dalam konteks yang berbeda, posisi hierarkis ini juga sangat bergantung pada tingkat keilmuan seseorang, di mana tingkat keilmuan ini seringkali ditentukan dengan seberapa banyak orang tersebut memiliki ‘jam terbang’ dalam mengajar. Konsekuensinya jelas: sosok kiai yang menempati posisi teratas adalah elite agama laki-laki yang rata-rata berusia lanjut dan telah mengajar lebih dari tiga puluh tahun, hal ini tentu saja berbeda dengan para ‘kiai baru’, yang mendapatkan status kiai dari orang tuanya yang telah meninggal. Hal yang sama juga terjadi di kalangan ustazah dan ustaz, di mana status mereka ditentukan oleh usia dan ‘jam terbang’ mereka. Dalam banyak kesempatan, seorang kiai yang berusia lebih muda sering kali mendapatkan posisi yang lebih rendah ketimbang para ustazah yang lebih senior. Satu hal penting yang harus digarisbawahi, bahwa para ustazah tidak sama dengan sebutan “ibu nyai” sebagaimana yang berlaku di kalangan pesantren di Jawa Timur. Para ustazah umumnya adalah sosok yang mendapatkan statusnya berdasarkan kemampuan keilmuan yang ia miliki. Sedikit sekali para ustazah yang merupakan keturunan langsung dari kiai yang dihormati, dalam banyak kejadian, tidak sedikit para anak perempuan dari kiai, bahkan istri kiai itu sendiri yang justru tidak menjadi para ustazah. Hal ini tentu saja berbeda dengan para ibu nyai, yang secara langsung mendapatkan statusnya dari kiai yang menjadi suaminya.

[3] Pandangan ini tentu saja dapat dilihat dalam berbagai kajian yang melihat posisi kiai, atau elite agama laki-laki, dalam dunia politik, seperti yang dilakukan oleh Bruinessen (2008), Fealy (2003), Feillard (2008), Hidayat dan Haryono (2004), Moesa (2007), Mulkhan (1999), Tanthowi (2005), dan Turmudi (2004).