Entah kenapa, sulit sekali bagi saya menulis soal ini. Setiap saya menghadapi laptop, saya selalu kehilangan kata-kata. Seorang sahabat, Retha, setengah berkelakar melihat kediaman saya yang tidak biasa. Sebuah anomali bagi orang-orang yang mengenal saya dengan baik, bahwa saya kehilangan kata-kata. Menurutnya, hanya ada dua hal yang bisa membuat saya diam tanpa kata: jatuh cinta atau ditinggal mati orang saya sayangi. Sayangnya, sahabat saya itu benar. Saya kehilangan sosok orang yang menjadi guru sekaligus sahabat diskusi yang menyenangkan. Tulisan ini adalah tentang seorang laki-laki bernama Iwan Tjitradjaja.
I
Agak mengherankan sesungguhnya, bagaimana seseorang bisa membawa dampak begitu luas pada diri saya. Barangkali di antara para sahabat di antropologi UI, saya adalah orang terakhir yang berkenalan dengan sosok ini. Perkenalan pertama saya dengan Pak Iwan sesungguhnya tidak membawa kesan apa-apa. Barangkali karena saya dibesarkan dalam lingkungan akademik yang egaliter, plus kegemaran saya bergosip, yang saya akui dipengaruhi oleh guru saya di Airlangga, Pak Dyson, saya senang sekali datang ke kampus hanya sekedar ngobrol ngalor-ngidul. Salah satu orang yang paling sering saya temui adalah Pak Iwan.
Saya baru pertama kali menemui sosok ini pada semester I di program pascasarjana tahun 2010, dan entah kenapa saya langsung menyukai sosoknya. Barangkali matanya yang membuat saya betah berlama-lama berbincang dengan sosok ini. Matanya sendu sekaligus tajam. Mata yang membuat siapapun lawan bicara akan merasa langsung ditelanjangi tanpa permisi, nyaris tidak sopan tapi saya suka. Saya selalu berupaya untuk tidak terlalu sering melakukan kontak mata dengan orang ini, sebab saya selalu merasa mendadak bodoh dan kehilangan kata-kata. Mata yang penuh perhatian, hangat, dan penuh tanda tanya. Saya pikir teman-teman di antropologi – atau siapapun yang mengenalnya – akan setuju, bahwa pak Iwan tidak perlu bertanya secara verbal, dia cukup menatap dan kita tahu bahwa dirinya bertanya lebih jauh.
Bagi saya kualitas ini amat jarang saya temui. Sepanjang umur saya, padahal saya baru 28 tahun, hanya tiga orang yang memiliki mata tipe ini. Satu orang adalah guru saya di pondok (yang entah bagaimana kabarnya saat ini), satu orang adalah bapak Naya Sujana (semoga Hyang Widhi memberikan tempat terbaik), dan satu orang lagi adalah pak Iwan (Semoga Tuhan Yang Maha Baik menempatkannya di tempat terbaik). Saya pernah bergurau dengan pak Iwan, soal matanya, bahwa saya menyukai matanya. Ia tidak bertanya, hanya menatap, dan saya hanya bilang (ya kira-kira begini kalimat saya) “pak Iwan, mohon untuk tidak menatap saya seperti itu”, dia hanya bertanya “Umam yang baik, kenapa dengan tatapan saya?”, saya menjawab “tatapan itu persis seperti guru yang menunggu anak didiknya mengakui kesalahan”. Ia tertawa. Saya pun tertawa. Celakanya, dirinya kemudian mengatakan sesuatu yang tidak pernah saya lupakan “maafkan saya jika tatapan saya membuat Umam tidak nyaman”. Anda tahu, saya merasa sekarang posisinya terbalik. Sayalah yang menghakiminya. Saya, orang yang baru kenal mendadak terdiam mendengarkan seseorang, yang namanya terkenal, meminta maaf atas sesuatu yang sangat subjektif, tidak substansial, dan jelas bukan kesalahannya.
Bukan salahnya jika sosoknya seperti itu. Saya belajar bahwa kepribadian seseorang akan menentukan bagaimana relasinya dengan orang lain. Iwan Tjitradjaja bukanlah orang yang mudah anda lewati begitu saja ketika berpapasan di pinggir lorong atau di pinggir jalan. Bahkan besar kemungkinan, dirinya adalah orang pertama yang akan menyapa duluan. Sapaan ringan “apa kabar”, “sudah makan”, “sudah mau pulang?”, atau “hati-hati di jalan” sejatinya sapaan yang sangat biasa. Sapaan ini menjadi luar biasa jika guru anda yang mengatakan itu kepada muridnya. Saya merasa bersalah, bahwa saya jarang sekali menyapa dirinya. Saya selalu keduluan. Hanya ketika dia sedang fokus membaca atau mengetik saya dapat menyapa terlebih dahulu, dan disinilah masalahnya. Saya tidak pernah menyapa “pak Iwan, apa kabar?” dan kemudian pergi. Ada sesuatu yang nyaris mistis (tentu bukan dalam maksud horor) pada sosok ini. Sesuatu yang entah mengapa, selalu membuat saya mendadak duduk di hadapannya dan bercerita banyak hal yang sebenarnya absurd dan tidak jelas. Seandainya pak Iwan bersikap cuek untuk terus membaca atau mengetik barangkali saya tidak akan duduk dan mengobrol ngalor-ngidul, tapi itu bukan sosok Iwan Tjitradjaja, setidaknya sebagai sosok yang saya kenal. Justru karena sikapnya yang langsung berhenti ngetik atau membacalah saya mengenangnya.
Saya (dan saya pikir Iklilah juga) cukup beruntung memiliki kesempatan untuk mengisi acara pelatihan bersama pak Iwan dan pak Tony. Keduanya saya suka karena keduanya memiliki kualitas yang berbeda. Jika Tony Rudyansjah selalu membuat saya terkaget-kaget dengan pertanyaannya yang tanpa ampun menjungkirbalikkan logika saya, maka Iwan Tjitradjaja selalu membuat saya terdiam dengan pertanyaannya yang mempertanyakan ketetapan logika saya. Pak Iwan, berdasarkan pengalaman saya, bukanlah tipe yang suka menantang logika berpikir, melainkan menguji ketetapan logika yang saya buat, memberikan kata kunci yang seringkali membingungkan, dan membiarkan saya memilih, apakah setuju atau menolak. Lagi-lagi, inilah kualitas yang jarang saya temui, dia hanya diam dan menatap, membiarkan saya menjawab apapun untuk kemudian mendadak berkata “Umam yang baik, itu adalah akar masalahnya”, dan membuat saya melongo, terdiam, dan mendadak merasa tolol dihadapannya.
Sepanjang kuliah yang diampunya, yang selalu membuat saya panas dingin sebab harus membaca berbagai tulisan dan membuat ringkasan, belum lagi kegemarannya untuk mendadak bertanya apa pendapat saya atas materi kuliah, pak Iwan tidak pernah menyalahkan apapun yang disampaikan. Hanya jika kelewat melantur dia akan bicara. Saya pernah bertanya, ketika kelasnya selesai, mengapa dirinya tidak pernah memberikan cara yang mudah untuk belajar. Dia hanya tersenyum dan berkata, lagi-lagi kalimat yang tidak akan saya lupa, “Umam yang baik, tidak ada cara mudah untuk memahami manusia.” Ya saya setuju.
II
“what does it means to be human?”, apa artinya menjadi manusia? Kalimat sederhana ini memang bukan kalimat pertama yang dengar. Saya pernah menerima pertanyaan ini ketika kali pertama saya masuk ke antropologi pada 2003. Namun pak Iwan memberikan nuansa lain pada pertanyaan ini. Pertanyaan ini berubah, bukan lagi sebatas pertanyaan retoris yang tidak membutuhkan jawaban, melainkan menjadi pertanyaan reflektif yang membuat saya berpikir ulang tentang segala hal. Saya ingat betul, bahwa pertanyaan ini pernah diajukan oleh pak Iwan ketika saya semester V, tepat ketika saya sedang menggarap disertasi saya.
Secara terbuka saya menyampaikan permohonan maaf kepada bu Sulistyowati Irianto sebagi promotor dan mas Semiarto Aji Purwanto sebagai ko-promotor, bahwa ada jejak Iwan Tjitradjaja dalam disertasi saya. Saya pertama kali menghadap pak Iwan ketika saya mengalami kebuntuan serius dalam disertasi saya. Alkisah, saya sedang menunggu mas Aji, eh malah ketemu pak Iwan. Pada awalnya saya hanya mampir ke kubikusnya untuk menyapa, dan untuk kesekian kalinya, entah kenapa malah curhat dan ngobrol ngalor–ngidul, dan malah berakhir dengan konsultasi.
Satu hal yang paling saya suka dari pak Iwan ketika mengobrol adalah rasa hangat yang mendadak muncul. Kemampuan pak Iwan untuk mendengar dengan baik menjadikan dirinya mampu membuat siapapun lawan bicaranya berasa menjadi seseorang yang amat spesial, termasuk saya. Entah kenapa saya tiba-tiba bercerita soal disertasi saya, dan pertanyaan itupun muncul: apa artinya menjadi antropolog? Pak Iwan, alih-alih menjawab pertanyaannya sendiri, ketika melihat saya terbengong-bengong mendapatkan pertanyaan tersebut, justru tanpa ampun memberikan saya daftar beberapa buku, dan di daftar paling atas adalah Lila Abu-Lughod.
Saya menyadari satu hal, justru ketika saya akan melaksanakan pra promosi, bahwa dia mengajarkan kepada saya apa artinya menjadi antropolog, bukan untuk kepentingan akademik, melainkan untuk kepentingan kemanusiaan. Sisi kemanusiaan pak Iwan memaksa saya untuk berpikir ulang tentang pengetahuan saya mengenai antropologi, sebagai sebuah disiplin maupun pendekatan. Saya menyadari, bahwa hal terpenting yang ingin disampaikan oleh pak Iwan melalui buku-buku tersebut adalah soal suara-suara.
Suara-suara adalah titik balik dalam kehidupan akademik saya. Sebelumnya, saya yang selalu berkutat pada perspektif gender selalu yakin jika saya sudah melakukannya dengan benar, sampai pak Iwan “menampar” saya. Ya, soal suara-suara. Kajian perempuan seringkali bicara mengenai subjektivitas namun seringkali mengabaikan persoalan suara-suara. Di sisi lain, kajian antropologi pun melakukan hal yang sama.
Persoalan suara-suara bukan lagi sebatas representasi bahwa perempuan menjadi subjek kajian, bukan objek yang dimanipulasi. Ya saya setuju dengan pak Iwan, bahwa istilah subjek-objek bukan hanya sekedar terma ilmiah. Subjek-objek adalah posisi politis dengan konsekuensi serius, dan pak Iwan menyadarkan saya, bahwa menyatakan hal tersebut sebagai posisi politis tanpa memberikan tempat bagi suara-suara adalah omong kosong. Absurditas ilmiah yang menjadi candu. Seakan dengan mengatakan persoalan subjek-objek saya sudah menjadikan manusia sebagai manusia.
Saya masih menyimpan sebuah catatan kecil atas draft disertasi saya. Kalimat pak Iwan selalu sederhana, namun dampaknya tidak pernah sederhana. “Umam yang baik, deskripsi disertasi kamu luar biasa, namun bagaimana dengan pengalaman perempuan?” Anda tahu, pertanyaan itu mungkin sepele bagi sebagian orang, tapi bagi saya, itu adalah peringatan tanda bahaya. Peringatan bahwa saya keliru dalam menempatkan narasi saya. Tidak lama setelah saya menerima catatan tersebut, tanpa sengaja saya bertemu pak Iwan. Setelah berbasa-basi sebentar, dia melemparkan dua bom lagi: bagaimana kebudayaan didefinsikan? Dan dari sudut pandang siapa definisi tersebut.
Saya menyadari, bahwa pak Iwan sesungguhnya secara langsung menempatkan saya pada posisi yang unik. Di satu sisi, sebagai mahasiswa antropologi, saya diajarkan untuk menempatkan informan sebagai guru dan meletakkan pengalamannya sebagai sumber acuan. Di sisi lain, sebagai pengkaji gender, saya diajarkan untuk menolak objektivitas dan pengalaman perempuan sebagai sumber acuan. Pak Iwan mendorong saya untuk berada di perlintasan dengan mengajukan dua pertanyaan: Pertama, apakah perempuan sudah ikut serta dalam mengkonstruksi kebudayaan? Kedua, apakah semua perempuan memiliki pengalaman yang sama untuk kemudian menjadikan pengalaman tersebut sebagai bagian dari konstruksi kebudayaan? Bagi saya, dua pertanyaan ini amat mengagetkan. Jawaban atas pertanyaan pertama jelas merupakan kritik atas antropologi dari perspektif kajian gender, dan jawaban atas pertanyaan kedua adalah kritik atas kajian gender dari perspektif antropologi. Kedua pertanyaan tersebut adalah batu kunci dalam memahami bagaimana sesungguhnya perlintasan antara antropologi dan kajian gender (bahkan feminisme). Keduanya membutuhkan nalar, pemahaman, dan refleksi yang panjang. Hingga saat ini, saya bahkan belum menemukan formulasi jawaban yang tepat atas dua pertanyaan tersebut.
Barangkali pak Iwan jatuh kasihan pada saya yang nyaris putus asa mendapatkan dua pertanyaan tersebut, hingga akhirnya dia memberikan saya jalan keluar yang paling sederhana, yang justru paling cerdas, mulailah berfokus pada suara-suara.
Saat ini saya baru menyadari bagaimana suara-suara menjadi sangat penting, tidak hanya pada kajian saya, namun juga pada kehidupan saya. Persoalan suara bukan sekedar mewawancarai dan meletakkan transkripsi pada narasi, melainkan membangun empati sekaligus bersiap untuk selalu patah hati. Patah hati, bukan karena putus cinta, melainkan karena nilai-nilai kemanusiaan saya diuji pada persoalan dan realitas sehari-hari. Pada hal-hal yang sederhana, partikular, dan bagi sebagian orang nyaris remeh.
III
“Umam yang baik, disertasimu bagus. Amat bagus. Tapi seharusnya tidak seperti ini. Karya etnografi seharusnya sederhana.” Kalimat tersebut adalah balasan email yang dikirimkan pak Iwan ketika saya memintanya untuk membaca draft disertasi saya yang saya kirim via email. Karena penasaran dengan istilah “seharusnya sederhana”, akhirnya saya memberanikan diri untuk membalas email tersebut dan memohon untuk bertemu. Pak Iwan setuju untuk bertemu, dan pertemuan itu terjadilah.
Saya ingat betul, saya sudah datang dalam posisi siap tempur karena menghadap pak Iwan selalu menjadi pengalaman yang menegangkan. Pagi itu, sebagaimana biasa, pak Iwan datang dengan kemeja koko putih, jeans dan sendal. Dengan santainya dia mengajak saya masuk ke ruangnya, dan sebelum saya bertanya apapun, dia menawarkan kue yang ia bawa. Bekal dari istri katanya. Sambil makan kue pak Iwan tidak membicarakan apa-apa sebelum saya mulai membuka mulut saya, menunggu, dan celakanya saya otak saya mendadak buntu.
Saya bertanya, apa yang dia maksud tentang “etnografi yang sederhana”. Sebagaimana biasa, alih-alih menjawab, pak Iwan justru bertanya balik, apakah saya sudah membaca buku Lila Abu-Lughod dan apakah saya sudah memahami cara Abu-Lughod menuliskan narasinya? Saya lupa apa jawaban saya, tapi saya ingat betul jawaban pak Iwan, “Umam yang baik (selalu seperti ini), cobalah bukan untuk membaca, melainkan memahami.” Dan saya pun pamit tanpa paham apa yang sesungguhnya dia maksud dengan “etnografi yang sederhana”.
Sekarang saya paham apa yang pak Iwan maksud dengan etnografi yang sederhana. Iwan Tjitradjaja yang saya kenal bukanlah penggila teori. Saya tidak mengatakan bahwa pak Iwan gagap teori, justru sebaliknya. Bagi saya, berbeda dengan banyak antropolog menempatkan teori di puncak singgasana, pak Iwan meletakkan teori sekedarnya. Saya tidak mengatakan bahwa bagi pak Iwan teori tidak penting, namun lebih pada bagaimana sebuah karya etnografi bicara apa adanya. Barangkali saya keliru, namun bagi saya, etnografi yang sederhana bukanlah etnografi yang berfokus pada debat teori (apalagi pada sejarah teori), melainkan pada narasi yang meletakkan manusia sebagai subjek yang berbicara oleh, dari, dan untuk dirinya sendiri.
Mungkin saja pemahaman saya ini muncul karena perdebatan saya dengan pak Iwan selalu dalam koridor antropologi feminis, yang meski pak Iwan tidak pernah mengklaim diri dan tidak mau disebut sebagai antropolog feminis. Perdebatan kami selalu pada persoalan narasi siapa yang saya bawa, kepentingan siapa yang sampaikan, dan bagaimana posisi saya sebagai laki-laki yang mengkaji perempuan. Saya baru menyadari, justru ketika saya sudah sampai pada tahap promosi, bahwa pak Iwan mendorong saya untuk meletakkan partikularitas sebagai fokus utama dalam disertasi saya.
Ya, saya setuju sepenuhnya dengan pak Iwan, bahwa antropologi seharusnya sederhana. Bukan sederhana dalam konteks teori, melainkan sederhana dalam menuturkan suatu persoalan hebat ke dalam narasi yang sederhana dan bernas. Saya setuju dengan pak Iwan, bahwa berbeda dengan disiplin ilmu lain, antropologi sesungguhnya sangat unik, sebab disiplin ini bicara mengenai manusia dan kebudayaan. Antropologi bicara dalam banyak spektrum, mulai individu, komunitas, bahkan negara. Antropologi tidak hanya bicara masa lalu, namun juga masa kini dan masa depan. Ya, saya setuju dengan pak Iwan, bahwa untuk membicarakan persoalan manusia dan kebudayannya, maka antropologi harus bicara dengan cara yang sederhana. Saya tidak mengatakan bahwa dengan antropologi yang sederhana kemudian antropologi menyederhanakan persoalan, melainkan membuat persoalan yang kusut, penuh persimpangan, dan dialektis menjadi mudah dicerna oleh siapapun.
Antropologi yang sederhana membawa implikasi serius, setidaknya bagi saya, bahwa antropologi menggeser subjeknya menjadi sangat partikular. Di satu sisi, partikularitas boleh jadi menghilangkan kesempatan antropologi untuk menggeneralisir persoalan (hal mana memang sebagian dari kita begitu gemar untuk itu). Di sisi lain, partikularitas adalah cara untuk mempertanyakan kembali kebudayaan yang justru menjadi inti dari antropologi itu sendiri. Saya menyadari bahwa apa yang dilakukan pak Iwan, setidaknya pada saya, amat tidak ortodoks. Siapa sih yang mau mempertanyakan inti disiplinnya sendiri? Setidaknya pak Iwan melakukan itu (atau setidaknya itu yang saya pahami). Bagi sebagian orang, mempertanyakan inti disiplinnya sendiri adalah bunuh diri akademis, namun saya memahami betul alasan pak Iwan soal ini. Bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang esensialis melainkan selalu bergerak. Di sisi lain, dengan meletakkan kebudayaan dalam kerangka dinamis, maka manusia didalamnya bukanlah robot yang bergerak sesuai dengan kerangka atau perangkat lunak kebudayaan, melainkan turut pula membentuk dan mengkonstruksi kebudayaan. Konsekuensinya tidak sederhana: hanya ketika kebudayaan dilihat dalam lingkup yang partikular kita bisa melihat bahwa manusia dan kebudayaan saling terjerat satu dengan lainnya.
Saya setuju dengan pak Iwan, bahwa ketika antropologi menggeser fokusnya pada persoalan partikular, maka antropologi akan kembali ke akarnya semula: menjadikan manusia sebagai subjek. Antropologi menempatkan manusia sebagai manusia sepenuhnya. Itu sebabnya pak Iwan memaksa saya membaca Abu-Lughod. Narasi manusia sebagai manusia menjadikan narasi etnografi tidak hanya kaya dengan data, namun juga kaya dengan pengalaman dan suara-suara. Hal inilah yang menjadikan antropologi sebagai disiplin ilmu menjadi sangat unik, sebab antropologi tidak lagi semata disiplin keilmuan melainkan juga pendekatan kemanusiaan.
Saya menyadari sepenuhnya, bahwa perspektif untuk menjadikan manusia sebagai manusia bukanlah sesuatu yang given, melainkan sesuatu yang harus diasah. Antropologi adalah asahannya. Antropologi yang sederhana dengan demikian sesungguhnya amat tidak sederhana. Kesederhanaan adalah cara yang diajarkan oleh pak Iwan kepada saya, bahwa hanya dengan menjadikan manusia sebagai manusia melalui tawa, tangis, sedih, jatuh cinta, putus asa, harapan, mimpi, kekecewaan, dan amarah saya dapat menemukan jawaban atas pertanyaan paling reflektif dalam kehidupan saya: apa artinya menjadi manusia?
Sungguh saya berduka atas kehilangan guru dan sahabat. Meski terkadang timbul rasa sesal, mengapa saya dahulu tidak banyak bertanya, namun rangkaian episode kehidupan saya dengan pak Iwan sejatinya amat berharga. Saya baru menyadari, betapa saya berubah justru setelah kehilangan sosoknya. Pertemuan terakhir kami adalah ketika sahabat saya, mbak Inge, ujian promosi, tepat sebelum promosi saya. Saya ingat, ketika ujian promosi mbak Inge selesai, saya mengobrol singkat dan bertanya apakah pak Iwan sudah membaca draft final disertasi saya. Sungguh saya ingin masukan, waktu, dan diskusi yang lebih banyak. Pesan terakhir pak Iwan saya terima dua hari setelah promosi saya. Seperti biasa, email tersebut hanya berisi pesan singkat yang amat menggetarkan saya.
“Umam yb. Saya ucapkan selamat ya atas ujian promosinya. Saya mohon maaf tidak bisa menyaksikan, tapi saya yakin Umam bisa menjawab semua pertanyaan dengan lancar. Kamu ingat pertanyaan mengapa saya dan Tony menerima kamu di pasca? Itu karena saya tahu, sejak pertama kita bertemu kalau kamu cerdas. Betulkan dugaan saya. Selamat ya. Antropologi UI hanya bisa kasih segitu, tapi saya yakin kamu akan bisa menjadi antropolog yang baik, antropolog yang menjadikan manusia sebagai manusia. Jadilah yang terbaik. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya. Salam.”
Ah, saya sedih. Sungguh sedih. Seandainya waktu bisa saya putar, saya akan membalas email tersebut.
Catatan: tulisan ini dibuat pada tahun 2015 untuk buku Euologi Iwan Tjitradjaja, diterbitkan oleh Obor