Kota yang kehilangan kemanusiaannya

Hari ini sangat melelahkan. Sejak pukul 10 pagi, saya menemani ibu saya pergi kondangan ke wilayah Jakarta Timur, setelah dari sana, rencananya kami akan melanjutkan ke tempat yang lain di wilayah Pekayon, Bekasi. Dua tempat yang berbeda, namun keduanya masih memiliki hubungan saudara, sehingga ibu saya tanpa ragu memutuskan untuk datang, dan berpikir sebelum jam 1 siang kami sudah akan berada di rumah.

Namun rencana tinggal rencana, rupanya Allah berkehendak lain. Kami terjebak kemacetan luar biasa. Mulai dari Harapan Indah hingga pasar Cakung, terus ke Penggilingan. Duh Gusti Nyuwun Gapura, sepanjang jalan tampak orang berpacu dengan waktu, kendaraan umum berpacu dengan target setoran, hingga kendaraan pribadi dan truk berebut ruang yang sudah sempit. Malas melihat kemacetan kea rah Pekayon, dari jam 12 siang, ibu saya memilih untuk masuk tol, yang menggelikan sebenarnya, karena dari Cakung ke Bekasi Barat sesungguhnya sangat tidak jauh.

Namun Allah berkehendak lain. Butuh 90 menit dari Cakung ke Pekayon, biasanya hanya 30 menit saja. Dan akhirnya kami baru tiba kembali di rumah pukul 3 sore. Sebuah perjalanan, jika saja itu dilakukan ketika mudik, pasti sudah tiba di Cirebon, kampung halaman ayah saya, namun ternyata hanya di wilayah Bekasi dan Jakarta Timur, sungguh terlalu.

Namun saya belajar banyak dari perjalanan hari ini. Lagi-lagi Tuhan dengan sangat baik menunjukkan sifat makhluk yang bernama manusia. Kendaraan yang berebutan mengisi celah yang kosong, angkutan umum yang berhenti sembarangan (yang sesungguhnya penumpang memiliki andil besar atas perilaku tersebut karena konsumennya enggan berjalan menuju halte terdekat, atau setidaknya pemberhentian yang tidak membuat kemacetan makin parah), hingga orang menyebrang yang tidak memperhatikan lampu lalu lintas. Sebuah gambaran yang sangat umum, dari pemandangan yang sangat lazim di sebuah kota, yang mengaku sebagai kota, metropolitan.

Sungguh saya merasa, bahwa Bekasi sudah tidak layak dianggap sebagai kota. Sebagai kota, Bekasi telah kehilangan semangatnya. Ia tidak lebih dari kota yang beranjak menuju kematian. Necropolis. Karena kematian sebuah kota tidak selalu berarti bahwa kota tersebut tidak berpenghuni. Kematian sebuah kota dikarenakan para penduduknya tidak lagi menganggap kota tersebut sebagai rumahnya. Omah, ibu tempat mereka kembali dan mendapatkan kehangatan (saya sendiri agak enggan ke daerah pusat kota Bekasi, karena bukan lagi kehangatan yang saya terima, melainkan kepanasan karena kurangnya pohon dan sopan santun penghuninya). Bekasi adalah beban bagi saya yang hendak menuju, sebab saya tahu, bahwa Bekasi tidak lagi menyambut saya dengan hangat. Saya kehilangan debaran masa lalu, di mana ke arah Bekasi, pusat kota Bekasi saat ini, adalah sebuah perjalanan yang menyenangkan. Sungguh kehilangan yang besar, yang tidak tergantikan.

Saya merasa bahwa kita kehilangan kemanusiaan kita setelah kita perlahan beradaptasi dengan ritme kehidupan kota. Kehidupan yang serba cepat memaksa kita untuk bercepat-cepat. Sesegera mungkin mencapai tempat tujuan. Namun di sisi yang berbeda, pertumbuhan kota berbanding terbalik dengan pertumbuhan laju moda transportasi. JUmlah roda yang menggelinding meningkat terlalu cepat ketimbang alas tempat menggelindingnya roda tersebut. Akibatnya, kota tidak siap menghadapi derasnya laju pengguna jalan. Mulai dari roda dua, roda tiga (di beberapa wilayah), roda empat, hingga yang saya tidak tahu berapa persis roda yang ada karena terlalu banyak, berebut ruang yang tidak pernah bertambah.

Saya tidak hendak menyalahkan perencana tata kota, yang agaknya tidak berpikir jauh ke depan. Pada masa itu, entah kapan persisnya, lebar jalan sudah dianggap sangat cukup, karena memang jumlah kendarannya sangat sedikit. Saat ini? Jangan tanya. Saya berani bertaruh, bahwa siapa pun yang memimpin satu kota tidak akan pernah mampu mengurai angka kemacetan. Mereka terlalu asik “menikmati” jalan bebas hambatan, dengan pengawal di depan dan belakang yang memang “mengosongkan” jalan untuk “majikan setan” mereka. Akibatnya mereka lupa bahwa mereka menghilangkan hak pengguna jalan lainnya. Pun saya menyadari, sudah sangat terlambat untuk menambah lajur jalan, karena kanan-kiri jalan telah menjadi pertokoan, yang tentu semakin sulit untuk dibuat jalan baru.

Kemacetan, tidak dapat disangkal, membawa keuntungan bagi sebagian kecil orang. Pada pedagang minuman maupun makanan asongan, bersaing dengan pengemis dan pengamen, memperebutkan ruang yang sangat sempit (karena mereka pun harus bersaing keras dengan motor). Di sisi lain, kemacetan lebih banyak merugikan (dalam perspektif saya tentu saja). Alih-alih menggambarkan penguasaan kita atas alam, jalan, yang kita bangun sebagai bukti ketertundukan alam atas hasrat manusia, justru membuat kita terasing dari kemanusiaan kita. Orang dengan senang hati mengumbar umpatan, ungkapan kotor dan menjijikkan, atau kesedar suara klakson yang menggambarkan suasana hati yang belingsatan. Maka kita lupa, bahwa kita manusia, dan mereka pun manusia. Kita dapat dengan mudah mendengar orang “membinatangkan” orang lain. Makian seperti “anjing lo” mudah terucap, padahal kasihan anjing, tanpa berdosa kita menggunakan nama dia untuk memaki orang lain.

Maka saya pun semakin terasing dalam dunia yang hiruk-pikuk di sekeliling saya. Saya bahkan enggan untuk menoleh kanan kiri, sebuah kebiasaan saya yang suka jelalatan kalau di jalan. Maafkan sikap pengecut saya. Saya tidak ingin kehilangan kemanusiaan saya dengan mengumbar amarah, yang saya tahu persis tidak akan membawa kondisi lebih baik (apa mereka pikir kalau memaki dapat membuat jalan yang terlanjur macet menjadi lebih lancar? Jika iya, saya akan dengan senang hati memaki siapa saja). Saya lebih memilih memejamkan mata ketimbang terbawa arus amarah orang lain, sambil berdoa pada Allah, semoga diriNya memaklumi hambaNya yang ngawur ini, bahwa hambaNya bukan tidak ingin beribadah tepat waktu, hanya saja kondisi tidak memungkinkan untuk itu (sambil berdoa pula, semoga Bang Amin, sang supir, tidak pula kehilangan kemanusiaannya dengan memaki orang lain, atau bahkan menyalip mobil-mobil bongsor di depannya). 

Pukul 3 sore, saya tahu bahwa kami bertiga lelah. Saya menyiapkan segelas teh bagi saya dan ibu saya. Namun apa ya yang bisa saya kasih ke Bang Amin yang dengan sabarnya tidak pernah lupa kalau dirinya manusia. Ah iya, saya ingat teman saya, yang selalu mengeluhkan rendahnya apresiasi atas orang lain. Maka saya pun mengucapkan terimakasih kepada Bang Amin, Mintul sebutannya kalau saya sedang sewot dengan dirinya, atas kesabarannya menghadapi jalan dan membawa saya dan ibu saya, tiba dengan selamat di rumah, di desa, jauh dari hingar bingar kota. Alhamdulillah atas segalanya (^^”) (padahal mikir, jangan2 sabtu depan nasib yang sama terulang lagi…. ketemu si Komo yang lagi-lagi arisan)