Membaca “raiding the land of the foreigners, the limit of the nation on an indonesian frontier’ dari Rutherford membuat saya banyak bertanya, terutama satu pertanyaan utama: apa yang kita maksud dengan bangsa Indonesia? Sebelum saya berbicara lebih jauh, adalah penting bagi saya untuk menegaskan, bahwa tulisan ini tidak hanya memfokuskan pada tulisan Rutherford, namun juga beberapa hal yang muncul dalam kepala saya. Barangkali saya perlu meminta maaf jika tulisan ini tidak terlalu jelas dalam membahas tulisan Rutherford.
Membaca Rutherford mengingatkan saya pada satu buku lain, buku yang ditulis oleh Ben Anderson mengenai imagined communities, saya beruntung pernah mengikuti kuliah beliau beberapa tahun yang lalu di Airlangga. Benarkah bahwa apa yang kita sebut sebagai bangsa adalah komunitas yang dibayangkan? Barangkali agak terlalu, memikirkan bahwa bangsa Indonesia tidak lain adalah komunitas-komunitas terbayang. Bahwa kita mengamini bahwa kita, atau setidaknya saya, adalah bagian dari bangsa Indonesia tanpa pernah tahu apa hakikat bangsa Indonesia itu? Apakah kita mendefinisikan bangsa Indonesia, sebagaimana sering digembar-gemborkan bapak Presiden kita, sebagai tanah yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote? Tidak kah definisi tersebut hanya mendasarkan pada persoalan geografis?
Jika kita menerima ide mengenai bangsa dalam konteks kesatuan geografis, bukan kah batasan-batasan geografis tidak selalu memungkinkan kita sebagai bangsa mengatakan bahwa kita adalah bangsa Indonesia? Saya membayangkan, bahwa penelitian Rutherford di Biak pun bergerak pada domain yang sama. Bagaimana mungkin, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, ketertundukan kita pada gagasan negara kesatuan yang terdiri atas ribuan pulau, tiba-tiba terpecah dan berantakan pascaruntuhnya Orde Baru? Rutherford menuliskan bagaimana selang satu bulan sejak Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden (Bapak yang satu ini enggan dinyatakan dimundurkan, namun memundurkan diri atau lebih tepatnya berhenti), dua orang pemuda mengibarkan bendera Bintang Kejora. Sebuah bendera yang melambangkan keinginan untuk memisahkan diri dari bangsa Indonesia.
Barangkali betul, adalah terlalu naif melihat kesatuan bangsa hanya sebatas persoalan geografis per se. Sejarah sendiri membuktikan bahwa penguatan logika kebangsaan berdasarkan faktor geografis tidak pernah seratus persen berhasil. Apa yang terjadi di Biak, dan wilayah-wilayah lain menggambarkan hal tersebut. Rutherford sendiri, ketika melakukan penelitian pada tahun 1990an, melihat bahwa Biak adalah wilayah yang tidak pernah sepi dari usaha memerdekakan diri, dan usaha-usaha lain yang menggambarkan betapa orang Biak berbeda dengan “bangsa Indonesia” kebanyakan. Orang-orang Biak mengembangkan suatu cara tersendiri, yang menjadikan cara tersebut sangat khas Biak, dan bagaimana cara tersebut dilakukan dan berimplikasi pada kehidupan di Biak.
Tentu saja bukan hanya Biak yang bergolak seorang diri, namun Biak menjadi salah satu episentrum yang getarannya terasa hingga ke pulau-pulau lain. Saya teringat betapa tahun 1998 adalah momentum balik bagi cerita dan dongeng mengenai bangsa Indonesia, yang sejak tahun 1928 mengaku bernegara, berbangsa, dan berbahasa satu: Indonesia. Rutherford dengan baik merangkai sebuah narasi bagaimana Biak tumbuh, berkembang semakin besar, dan membina hubungan-hubungan dengan orang asing.
Saya kembali merenung, sejauhmana kesadaran kita mengenai apa yang kita sebut sebagai bangsa Indonesia? Apakah cukup bahwa kita mengambil klaim (saya enggan menggunakan kata janji, sebab janji memiliki konotasi sesuatu yang akan diwujudkan apapun resikonya) yang luar biasa, bahwa kita mengaku bernegara dan berbangsa satu, dan menjadikan bahasa sebagai medium utama kehidupan berbangsa dan bernegara? Cukup kah klaim tersebut? Atau lebih penting lagi, apakah klaim yang sama masih dapat kita pertahankan? Jika masih, dengan cara apa kita mempertahankan klaim tersebut? Membaca Rutherford saya semakin banyak bertanya. Dalam bab awal Rutherford mengutip banyak ahli yang semakin membuat saya berpikir mengenai konsep bangsa dan negara. Namun tulisan Rutherford tidak lah membahas mengenai bangsa dan negara yang begitu luas. Rutherford hanya memfokuskan pada Biak, orang-orang Biak, para orang asing di Biak, hubungan di antara orang Biak dan orang asing, dan bagaimana raiding the land of the foreigners terjadi dalam kehidupan orang Biak.
Buku ini, sepanjang yang saya ketahui, adalah hasil penelitian yang dilakukan Rutherford, barangkali untuk kepentingan disertasi akademik, yang kemudian diterbitkan. Penelitian ini sendiri dilakukan pada era 1990an, di mana isu mengenai integrasi nasional dapat dikatakan sangat seksi, dan menarik banyak peneliti membahas mengenai hal tersebut.
Secara umum dapat saya katakan bahwa buku ini bercerita mengenai orang Biak di Papua, dahulu dinamakan Irian Jaya, yang memproduksi sebuah model yang distingtif terkait dengan hubungannya dengan orang luar. Sepanjang alur sejarahnya, Biak telah melakukan hubungan kontak dan interkoneksi dengan para pendatang (orang asing). Rutherford sendiri mengeksplorasi mengenai akar historis dan implikasi politik dari logika budaya orang asing, mencerap logika budaya tersebut, dan mentransformasikannya ke dalam logika budaya orang Biak itu sendiri. hasil cerapan itu muncul sebagai seperangkat nilai, identitas, dan otoritas.
Orang Biak, sebagaimana dijelaskan Rutherford, telah menerima para pendatang asing jauh sebelum konsep bangsa dan negara Indonesia masuk. Pada pendatang asing ini tidak lain adalah para misionaris yang datang dengan seperangkat tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tentu saja kedatangan para orang asing ini sedikit-banyak mempengaruhi kehidupan orang Biak, utamanya terletak pada barang-barang yang tidak dimiliki orang Biak: kekayaan. Rutherford menjelaskan dengan baik bahwa “foreign wealth was seen as conveying the extraordinary qualities a person needed to succeed in foreign world”.
Tentu saja yang dimaksud orang asing di sini tidak hanya para pendatang misionaris, bahkan elite pemerintah pun dapat dikategorikan orang asing. Melalui kedekatan hubungan dengan orang asing, orang Biak mengembangkan suatu konteks lokalisasi, dengan bridewealth misalnya, nampak bagaimana perputaran barang membawa implikasi sosial yang lebih jauh dengan menunjukkan prestise tersendiri. Tentu saja, kehadiran para misionaris membawa nuansa lain, dengan dilaksanakannya upacara keagamaan Kristen sebagai bagian integral dalam kehidupan orang Biak. Dengan hal ini, maka orang Biak perlahan melakukan lokalisasi berbagai elemen asing ke dalam konteks kehidupan kelurga di Biak.
Elemen asing tidak hanya muncul dalam persoalan kekerabatan di Biak, namun juga dalam urusan performance dan oratory. Saya memang tidak memperdalam bagian ini secara khusus, meskipun saya secara sekilas beberapa hal yang digarisbawahi oleh Rutherford, seperti yospan dan wor. Saya sendiri baru mengetahui makna dari lagu yang sering dinyanyikan, seperti “apuse, kukon dao” dari penjelasan Rutherford. Beberapa hal yang saya catat mengenai konteks lokalisasi yang dilakukan orang Biak dalam performance, antara lain penggunaan alat-alat musik yang notabene adalah import, sepert gitar dan lain sebagainya, sebagai alat yang menemani instrumen lokal. Adapula beberapa perayaan yang secara khusus dibuat untuk memperingati momen-momen tertentu, seperti peringatan tahun baru lengkap dengan hingar-bingar selebrasinya. Beberapa lainnya muncul dalam konteks lagu-lagu, yang liriknya secara khusus dibuat untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Pada bagian selanjutnya, Rutherford memberikan perhatian pada perkembangan di Biak, pada apa yang disebut Rutherford sebagai messianic modernities. Secara ringkas, Rutherford ingin menjelaskan bahwa gerakan mesianis ini, muncul sebagai respon atas kebijakan Orde untuk menjadikan Biak sebagai wilayah pulau tropis, pusat industri pariwisata, sebuah pulau yang “just like Bali”. Sebuah usaha melakukan modernisasi, namun bukan lah modenisasi per se, namun modernisasi yang khas Indonesia, atau lebih tepatnya Indonesianisasi. Indonesianisasi membawa implikasi lebih jauh terkait dengan identitas, dan dalam hal ini terkait dengan Koreri dan mitos-mitos yang dibangun oleh orang Biak untuk menyelubungi Koreri, salah satunya adalah Manarmakeri.
Mitos mengenai Manarmakeri sendiri adalah cerita yang menggambarkan kedatangan Manarmakeri dari lautan luas untuk memberikan kekayaan luar biasa bagi orang-orang. Cerita mengenai Manarmakeri menawarkan kepada kita pemikiran orang Biak, respon orang Biak mengenai modernisasi (dimulai dari proyek misionaris Protestan, petugas kolonial, hingga negara modern yang bernama Indonesia). Cerita ini menggambarkan, apa yang disebut Rutherford sebagai islander’s resilient desire for the foreign. Saya sendiri memahami bahwa cerita mengenai Manarmakeri yang terkait erat dengan Koreri, adalah usaha logika budaya yang dibangun oleh orang Biak terkait dengan kebijakan pemerintah pada waktu itu untuk melakukan pembangunan besar-besaran di Biak, utamanya dalam bidang pariwisata. Maka dalam hal ini, Koreri adalah upaya yang muncul sebagai respon orang Biak terhadap usaha-usaha yang dilakukan untuk membawa wilayah Biak dan para penduduknya ke arah ‘modernitas yang khas Indonesia’ ke dunia luar.
Rutherford sendiri menyimpulkan, bahwa Biak, alih-alih memudar di bawah kekuatan negara, namun lokalisasi dari elemen-elemen asing justru membuatnya semakin kuat. Orang Biak menciptakan kembali ‘keasingan’ tersebut, yang meliputi dinamika sosial, ekonomi, dan politik, dan ‘menjarah’ hal-hal tersebut dengan tujuan power dan prestige. Dalam hal ini nampak jelas, bahwa logika budaya Biak pada dasarnya dibangun di atas pondasi kedekatan orang Biak terhadap orang asing, di mana mereka, sebagaimana judul yang diberikan, raiding the land of the foreigners.
Para orang asing ini, memiliki dua posisi krusial. Entah mereka dianggap sebagai sebuah ancaman, atau mereka dianggap sebagai sebuah peluang. Peluang yang bagi Biak mampu memberikan mereka kekayaan yang luar biasa melimpah atau prestise yang luar biasa tinggi. Raiding the land of the foreigners pada gilirannya menciptakan kesempatan bagi orang Biak untuk menjadi foreigners it self by themselves. Barangkali saya keliru dengan mengambil kesimpulan seperti itu, mengingat Rutherford sendiri tidak secara eksplisit menyatakan hal tersebut.
Saya kembali ke tempat di mana saya memulai. Belajar dari orang Biak, apa yang dapat diambil sebagai pelajaran untuk mempertahankan keindonesiaan? Saya tidak meminta persetujuan, namun dapat lah saya membayangkan. Jika orang Biak menyerap unsur-unsur asing, melakukan lokalisasi atas unsur asing tersebut, dan menjadikannya sebagai bagian dari kebudayaannya dengan membuat cultural logic terkait unsur itu, mengapa isu-isu separatisme masih menguat? Salah kah saya jika membayangkan, bahwa isu-isu separatisme di Biak muncul sebagai akibat dari menyusutnya dunia ke arah dunia yang semakin global?
Barangkali momentumnya memang berawal dari runtuhnya Orde Baru. Setelah mengalami invasi luar biasa sepanjang tiga puluh tahun, mundurnya Soeharto membawa riak-riak kecil yang perlahan membesar, menggulung, dan menyeret segala sesuatu. Barangkali benar apa yang dikatakan Rutherford, bahwa orang Biak mencerap segala sesuatu menjadi lokalitas mereka. Jika modernitas dan globalisasi memaksa kita untuk berpikir ulang mengenai batas-batas kebudayaan, dan membuat kita gagap dalam menjawab hal tersebut; bukan kah kegagapan yang sama akan menghinggap pula di Biak?
Memang agak keterlaluan menganggap bahwa globalisasi selalu disikapi dengan kegagapan. Namun saya melihat satu hal di Biak, bahwa orang Biak, seperti spons, menyerap elemen-elemen asing, melokalisasi, dan memberikan justifikasi dengan membangun logika budayanya sendiri. Tidak dapat kah kita melakukan hal itu? Jika kita membayangkan negara Indonesia sebagai komunitas-komunitas terbayang, maka bagi saya, bayang-bayang memiliki fleksibilitas dan fluiditasnya sendiri. Akan sangat mudah membayangkan bahwa kita melakukan penyerapan unsur, melakukan lokalisasi, dan menjadikannya bagian dari diri kita dengan membangun logika budaya mengenai hal itu.
Rutherford, dalam penutupnya mengatakan, bahwa adalah mungkin untuk mendekonstruksikan dikotomi, Barat dan Bukan Barat, atau modernitas dan tradisi. Sebab hal ini pula yang dilakukan oleh orang Biak. Orang Biak tidak memandang bahwa yang asing itu Barat lalu menolaknya mentah-mentah. Mereka menerima keasingan tersebut dan mengubahnya menjadi lokal, tentu saja untuk kepentingan diri mereka sendiri. Melalui pertanyaan di atas, Rutherford ingin agar kita memahami, bahwa terdapat hubungan-hubungan yang tidak dapat dihilangkan atau diabaikan begitu saja, antara apa yang terjadi dalam konteks lokal dengan global. Jika fokus Rutherford pada apa yang terjadi dalam konteks lokal Biak dengan konteks global Indonesia, adalah sangat mungkin membawa kasus yang sama pada tataran yang lebih tinggi.
Etnografi yang ditulis Rutherford memberikan jalan bagi kita untuk berpikir mengenai hubungan-hubungan tersebut, dan bagaimana hubungan-hubungan tersebut disikapi. Jika orang Biak membina hubungan-hubungan tersebut dengan membangun logika budaya yang menjadi dasar justifikasinya, lalu bangunan seperti apa yang dapat kita buat dalam konteks kebangsaan yang lebih luas? Barangkali saya harus berhenti bicara terlalu panjang, sebab masalah kebangsaan bukan lah masalah yang mudah dijawab, setidaknya bukan saat ini.