Beberapa hari ini saya resah. Alasannya sederhana: saya menemukan bahwa kalimat mbak Beyonce amat benar: perfection is a desease of a nation. Kesempurnaan adalah wabah bagi sebuah bangsa. Ketika setiap orang mencari kesempurnaan, maka setiap orang tidak lagi memperdulikan orang lainnya. Ketika setiap orang mencari kesempurnaan, maka setiap orang menjadi identik dengan orang lainnya. Semuanya sama.
Izinkan saya bertutur.
Dua minggu yang lalu, saya ada janji dengan seorang sahabat di Perpustakaan UI. Saya memilih duduk di depan Kafe Korea, di bawah payung yang menghadap pelataran perpustakaan. Di pelataran itu, segerombolan mahasiswa – laki-laki dan perempuan – saling tertawa memperebutkan satu benda: cermin. Saya heran, siang-siang ko malah berebutan cermin. Kemudian saya tersadar, bahwa cermin diperebutkan untuk satu fungsi dasarnya: memperlihatkan penampilan orang yang bercermin. Rupanya mas-mas dan mbak-mbak itu ribut soal make up dan tatanan rambutnya yang berantakan, entah karena angin atau karena keringat yang menetes.
Bagi saya pemandangan ini menggelikan. Pertama, jelas merupakan sebuah kesalahan – untuk tidak mengatakan ketololan – duduk di bawah terik matahari di tepi danau UI. Alih-alih berlindung di bawah payung (seperti saya) atau di bawah pohon, mereka malah asik duduk di teras yang panas. Kedua, saya tidak mengerti alasan para mahasiswa itu duduk di teras yang panas. Mereka jelas jelas tidak sedang berdiskusi, karena tidak ada satupun yang nampak membawa buku. Mereka pun jelas tidak sedang menjajakan barang dagangan ke mahasiswa yang lewat di dekat mereka. Lalu mau apa mereka? Entahlah. Satu-satunya hal paling menarik adalah bahwa gaya pakaian mereka, ditambah lagi beberapa gelas kopi dari st****ck yang ada di sekitar mereka. Saya pun bertanya-tanya, apakah si mas-mas dan mbak-mbak ini sebetulnya hanya ingin pamer gelas kopi? Tolol benar, karena mereka lupa, bahwa mereka bukan satu-satunya mahasiswa kelas menengah yang kuliah di UI.
Beberapa hari kemudian, saya berniat ke Cikini dengan baik kereta komuter. Di stasiun Bekasi, yang tumben agak lengang, sekelompok remaja lelaki saling bertukar informasi tentang tempat gym paling oke. Tertawa tentang kegilaan mereka main di gym, tertawa tentang biaya bulanan yang harus dibayarkan, dan yang paling menyedihkan, tertawa tentang bagaimana mereka begitu mendambakan tubuh six pack dengan harapan sederhana: menarik para gadis. Tidak terbayang rasanya, mereka membicarakan soal tubuh dengan cara yang sangat vulgar. Ada yang bilang tidak puas dengan tubuh kurusnya, ada yang bilang ingin lebih putih, ada pula yang bilang ingin berotot agar terlihat jantan. Memang tidak bisik-bisik, tapi jelas terdengar oleh orang yang duduk di sekitar mereka.
Satu hari kemudian, saya bertemu dengan salah satu sahabat saya di sebuah mall ternama di Jakarta. Dan kembali saya menemukan hal yang sama. Hanya saja kali ini berasal dari etnis yang berbeda. Kali ini empat orang remaja keturunan tertawa sambil masuk ke sebuah gerai kopi. Mereka duduk tepat di seberang meja saya. Seluruhnya memegang tas dari tempat fitness ternama yang ada di mall tersebut. Sudah menduga hal apa yang akan mereka bicarakan. Pasti soal gym dan bagaimana menarik gadis-gadis jatuh ke pelukan mereka. Apa yang saya pikirkan memang tidak salah, namun kurang tepat. Sebab gym bagi mereka bukan semata soal menarik para gadis untuk menjadi pacar mereka, namun menjadi magnet untuk menarik para perempuan untuk tidur bersama mereka. Ya Tuhan, maafkan jika saya keliru, para remaja ini agaknya berprofesi sebagai pekerja seks komersial. Ckckckckck.
Hari ini pun sama saja. Saya sedang mengantar teman di The Bo** Sh**, tiba-tiba masuk dua orang remaja putri. Mereka pun sibuk memilih, kikir kuku mana yang paling halus, dan cat kuku mana yang paling bagus (sambil diselingi cerita mengenai salon mana yang melayani jasa meni-pedi yang paling favorit di Jakarta).
Sungguh saya senewen. Tidak perlu waktu lama untuk melihat betapa orang-orang, setidaknya yang saya lihat, mencari kesempurnaan. Pertanyannya adalah, apa makna kesempurnaan bagi mereka? Mengapa mereka begitu bersemangatnya mencari kesempurnaan? Oke, barangkali kita bisa berdebat panjang untuk kasus para remaja laki-laki yang rutin ke gym. Mungkin saya terlalu tendensius, secara ya saya memang tidak pernah main ke gym, namun usaha untuk “membentuk” badan sejatinya bukan semata urusan kesehatan belaka. Bagi saya, tidak masuk akal ada orang yang rajin ke gym namun tetap merokok dan meminum alkohol. Jelas antara gym dan alkohol adalah dua entitas yang saling kontradiktif, sehingga ketika saya melihat dua kontradiksi, mau tidak mau saya berpikir tujuan lain dari kegiatan “membentuk otot”.
Merton menyebut “unintented consequences”, konsekuensi yang tidak disebutkan ataupun diinginkan tetapi muncul dalam realitas sosial. Saya pikir tujuan para remaja yang saya temui dapat dilihat dalam kerangka tersebut. Mungkin saja bahwa tujuan mereka ke gym karena didorong oleh kesadaran mereka atas kesehatan (walaupun aneh melihat mereka merokok atau minum minuman beralkohol), namun jelas bahwa ada “niat lain” atas usaha mereka untuk mencapai kesempurnaan adalah hal yang tidak mungkin diabaikan.
Persoalannya adalah, apakah kesempurnaan selalu berurusan dengan tubuh? Dalam konteks remaja yang saya amati, jawabannya iya. Kesempurnaan dicitrakan dalam tubuh, dan ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Kita mungkin masih ingat munculnya kasus bulimia dan/atau anorexia, yang umumnya dialami oleh perempuan. Mereka memuntahkan kembali apa yang dimakan dengan harapan agar apa yang mereka makan tidak sempat mengendap dalam tubuh.
Ketakutan akan “tubuh yang tidak ideal” diperparah dengan gambaran media tentang tubuh yang ideal. Bagi perempuan, tubuh kurus dengan bokong dan payudara rata boleh jadi adalah impian yang selalu muncul. Lihat saja peserta kontes kecantikan atau para model yang berlanggak-lenggok di catwalk. Itulah gambaran tubuh ideal. Bagi laki-laki, nampaknya perut sixpack ala L Men adalah gambaran ideal tentang bagaimana tubuh itu seharusnya. Sejumlah contoh tentu amat mudah dilihat di berbagai media. Terlepas dari apakah, misalnya, pada model di tabloid dengan tubuh kurus dan perut sixpack, betul-betul tubuh asli atau hasil editan photoshop, namun yang jelas pada tubuh-tubuh itulah para remaja dalam tulisan ini melabuhkan gambaran mereka atas tubuh ideal.
Di satu sisi, saya prihatin. Saya prihatin bukan karena tubuh saya jelas jauh dari kata ideal dalam versi L Men, melainkan saya prihatin karena mereka jelas adalah korban dari banalitas media yang begitu mengagung-agungkan tubuh ideal. Saya prihatin bagaimana mereka mencela tubuh mereka sendiri kemudian membandingkan dengan tubuh orang lain, yang celakanya mereka kejar. Di sisi lain, saya masih penasaran. Jika “tubuh ideal” versi media telah mereka dapatkan, setelah itu apa? Apakah mungkin bahwa gambaran atas tubuh ideal juga mengikutsertakan gambaran lain tentang imaji seksual seseorang?
Misalkan para remaja laki-laki yang begitu niatnya ke gym, apakah mereka benar-benar ingin membentuk tubuhnya karena kesadaran akan kesehatan ataukah karena mereka ingin nampak gagah, sehingga kemudian dengan kegagahannya itu mereka menarik orang lain (entah perempuan atau sesama laki-laki) untuk memenuhi hasrat seksualnya? Apakah mereka membayangkan, bahwa perut sixpack adalah sama dengan keahlian berolah asmara? Bagi saya, niatan remaja laki-laki jelas mudah dilihat, setidaknya saya dapat menarik sejumlah kesimpulan dengan mendengarkan potongan percakapan mereka. Namun bagaimana dengan perempuan? Apakah mereka pun mengidamkan tubuh ideal semata untuk urusan seksual?
Di sini saya penasaran. Saya tidak terlalu penasaran dengan para remaja lelaki yang sering ke gym karena saya sering main dengan mereka. Sesuatu yang saya pahami betul, bahwa kehendak untuk membentuk tubuh berbanding lurus dengan kehendak untuk menjadi maskulin dan menjadi dominan. Bahwa semakin berotot mereka, semakin yakin mereka bahwa mereka mampu mengontrol pasangannya. Bahwa semakin jantan mereka terlihat, semakin vulgar mereka dalam mengumbar feromon dan menggoda orang lain untuk “bersenang-senang” dengan mereka.
Namun saya penasaran dengan perempuan. Saya meragukan bahwa kehendak mereka untuk tampil cantik dan sempurna untuk kepentingan mereka sendiri. Bukan berarti saya selalu meletakkan perempuan dalam kerangka korban, bahwa mereka mempercantik diri mereka sendiri untuk konsumsi laki-laki, namun fakta seringkali berkata demikian. Jika mereka mengupayakan tubuh ideal untuk dirinya sendiri, mengapa mereka meributkan apa kata orang lain tentang dirinya? Mungkinkah saya keliru dalam mengambil kesimpulan, bahwa keduanya (laki-laki dan perempuan) adalah korban? Atau barangkali saya bisa mengatakan bahwa untuk perempuan mereka adalah korban ganda, korban media sekaligus korban laki-laki?
Terlepas dari persoalan di atas, sesungguhnya ada persoalan yang lebih akut: bahwa generasi bangsa ini telah terjangkit penyakit yang bernama “kesempurnaan”. Okelah saya mengakui secara terbuka bahwa berbagai contoh yang saya angkat itu sangat khas kelas menengah. Dengan asumsi bahwa hanya mereka yang punya uang lebih dan waktu luang yang bisa menikmati segala jenis perawatan maupun mampu terdaftar di gym ternama. Namun saya pikir kita harus meninjau ulang asumsi tersebut. Benarkah pencarian atas kesempurnaan hanya milik kelas menengah di perkotaan? Saya ragu.
Tempat tinggal saya di sebuah daerah suburban pun mengalami gejala yang sama. Muncul berbagai gym kelas bawah, biasanya bertempat di ruko bukan di mall besar. Biaya keanggotannya pun relatif murah meriah. Banyak muncul salon-salon kecantikan yang menawarkan paket perawatan lengkap dengan harga terjangkau. Fakta sosial tersebut jelas memporak-porandakan asumsi kita bahwa tempat “memahat tubuh” maupun “mempercantik tubuh” hanya ada di mall ternama atau salon ternama, demikian pula masalah harga. Maka bagi saya, persoalannya bukan lagi persoalan kelas sosial, melainkan “kesempurnaan fisik” sebagai tujuan merasuk melewati batas-batas kelas.
Tidak kah kita mengingat banyaknya kasus malpraktik di berbagai salon kecantikan yang menawarkan suntik silikon yang korbannya terus berjatuhan, dan celakanya selalu ada. Apakah kita lupa tentang kasus-kasus hormon steroid yang diberikan di berbagai gym sebagai jalan pintas membentuk otot yang penggunanya terus meningkat? Hal ini adalah persoalan yang harus dilihat dan dicermati. Bahwa “kesempurnaan” fisik telah mengalahkan akal sehat, membuang logika ke comberan. Apapun boleh atas nama kesempurnaan fisik. Maka saya tidak lagi heran, jika kemudian banyak korban berjatuhan. Saya tidak lagi heran jika kita semakin imun dalam melihat kasus-kasus itu.
Alih-alih bertanya mengapa ada orang yang begitu sembrono menyuntikkan silikon ke payudaranya yang kemudian menyebabkan kematian, kita justru menghakimi dengan berkata “makanya jangan ke salon abal-abal”. Tanpa sadar kita lupa, bahwa kita pun mengagungkan kesempurnaan fisik dengan mencela orang lain. Alih-alih bertanya mengapa ada remaja yang rela mengkonsumsi steroid dan kemudian terkapar di RS, kita justru menghakimi dengan berkata “makanya minum L Men”. Tanpa sadar kita lupa, bahwa kita pun mengagungkan kesempurnaan fisik dengan menjadi sales produk tertentu (celakanya tanpa bayaran pula).
Nampaknya hidup semakin aneh.