Etnis Tionghoa, merupakan salah satu etnis di Indonesia yang memiliki sejarah kelam dan berkepanjangan. Istilah etnis dalam KBBI (2005:309) dianggap sama dengan etnik yakni “bertalian dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, bahasa, agama, dan sebagainya”. Istilah Tionghoa sendiri merujuk pada banyak hal, meskipun mereka secara umum digolongkan sebagai ‘overseas Chinese’. Istilah Tionghoa merujuk pada setiap orang Tionghoa yang bermukim di luar daratan Cina atau tinggal di perantauan (lihat Ensiklopedi Nasional Indonesia 1991). Istilah ini berasal dari bahasa Mandarin “huachio” atau “huaqio” yang artinya orang Cina yang berada di luar negara Cina yang merupakan warga negara Cina. Tionghoa juga memiliki arti sebagai orang yang berasal dari ‘negara pusat’, sedangkan dalam bahas Hokkian, ‘Tionghoa’ berarti negara pusat atau negara tengah, namun sejak masa Dinasti Manchu atau Qing pada abad ke-16 hingga ke-19, semua orang Tionghoa atau keturunannya yang bermukim di luar negara Cina juga di anggap sebagai warga negara Cina (Erniwati, 2007:1).
Dalam konteks yang lebih luas, istilah Tionghoa juga dikenakan pada orang Cina yang berada di perantauan, terutama yang bermukim di negara-negara Asia Tenggara atau negara-negara yang berada di Semenanjung Indocina seperti Laos, Burma, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Indonesia. Hal yang patut diperhatikan adalah, kebanyakan orang Tionghoa perantauan berasal dari Cina Selatan, Provinsi Guang Dong dan bagian selatan dari Provinsi Fujian, atau orang-orang yang mempunyai leluhur yang berasal dari kedua provinsi tersebut (Danandjaja, 2007:23-24).
Kedatangan orang Tionghoa di Indonesia pun masih menjadi perbincangan yang menarik. Pada era pra-kolonial, termasuk di dalamnya sebelum orang-orang Eropa masuk ke Indonesia. Sebagian pihak mengatakan bahwa kedatangan orang Tionghoa ke-8, yakni pada masa kerajaan Sriwijaya, hal ini karena adanya hubungan antara Sriwijaya yang beragama Buddha dengan daratan Cina, namun hal ini pun masih diperdebatkan. Beberapa sejarawan mengemukakan bahwa kedatangan orang Tionghoa di Indonesia sudah di mulai sejak era Dinasti Tang (618-907), hal ini dapat diketahui dengan biksu Budhha bernama Fa Hien yang berkunjung ke India namun menyempatkan diri ke Indonesia (Wikipedia tt). Agaknya satu hal yang sudah dapat dipastikan, bahwa orang Tionghoa sudah ada di Jakarta pada tahun 1600, ketika Jakarta masih bermana Jayakarta, dan diketahui bahwa orang Tionghoa di Jayakarta memiliki hubungan dengan orang Tionghoa di Banten, Semarang dan Sumatra (Nas dan Grijns, 2007:14).
Harus di akui, bahwa terdapat sedikit sekali informasi mengenai waktu pasti kedatangan orang Tionghoa di Indonesia. Meskipun demikian, keberadaannya jelas tidak dapat di sebelah mata. Pada abad ke-15, bersamaan dengan kedatangan Admiral Cheng Ho atau Zeng He, maka arus migrasi orang Tionghoa di Indonesia mulai meningkat, termasuk dalam rombongan Zeng He adalah para pemeluk agama Islam, yang kemudian di percaya sebagai ‘nenek moyang’ para penyebar Islam di tanah Jawa (lihat Muljana 2005)
Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia terlihat lebih jelas pada era kolonial Belanda, di mana mereka mencoba peruntungan melalui perdagangan. Keberadaan etnis Tionghoa di Jakarta menjadi lebih jelas lagi, ketika Jakarta benama Batavia – didirikan tahun 1619 oleh Jan Pieterszoon Coen, orang Tionghoa awalnya bermukim di dalam benteng Batavia, namun terjadi pemberontakan etnis Tionghoa pada tahun 1740, di mana mereka di paksa untuk menetap di luar tembok kota Batavia (lihat Ricklefs 2005), sebuah wilayah yang kemudian dikenal dengan nama Pecinan. Pecinan, saat ini bernama Glodok, adalah salah satu bentuk awal dari suburbanisasi paksa yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Pada saat sebelum peristiwa tersebut terjadi, di Batavia sudah terdapat 2.500 rumah orang Tionghoa, bahkan jumlah ini diperkirakan lebih besar jika penduduk di wilayah ommelanden atau permukiman di sekitar wilayah Batavia turut dihitung. Pada tahun 1620-an, orang Belanda dan orang Tionghoa membersihkan lahan yang selama ini tidak dipergunakan yang berada di luar tembok Batavia, di mana ekspansi ini terutama berada di sepanjang Sungai Ciliwung, dan hal ini mendorong keputusan Gubernur Jenderal untuk membuka wilayah pinggiran menjadi wilayah ommelanden sebagai tempat tinggal bagi kaum bumiputra dan sebagian Timur Jauh atau Timur Asing[1], di mana mereka tidak lagi di terima dalam tembok kota Batavia (lihat Raben 2007). Pada tahun 1700-an, terdapat sejumlah orang Tionghoa yang tidak kurang dari 15.000 jiwa, di mana jumlah tersebut diperkirakan 17% dari total populasi.
Begitu banyaknya orang Tionghoa di sekitar wilayah Batavia, dan berbagai wilayah di Indonesia, pada gilirannya menjadikan persaingan ekonomi antara golongan orang Eropa dan para pedagang Tionghoa tidak lagi sehat. Heeren XVII mengakui bahwa mereka mengagumi industri orang-orang Tionghoa, namun para pengusaha Eropa di Batavia justru tidak menyukai orang Tionghoa yang melibatkan diri dalam perdagangan. Agaknya, orang Tionghoa sudah tidak disukai tidak hanya saat ini, namun sejak era kolonialisme Belanda. Akibat dari kebencian orang Eropa menjadikan Pemerintah Hindia Belanda menerapkan politik yang korup dan opresif terhadap para pengusaha Tionghoa. Tahun 1722, perlakuan Pemerintah, melalui VOC dan penduduk lokal Batavia (yakni orang Eropa) terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia menjadi semakin kejam dan sewenang-wenang.
Pemberontakan orang Tionghoa yang berujung pada pengusiran orang Tionghoa dari Batavia terjadi pada tahun 1740, di mana VOC menyimpulkan bahwa orang Tionghoa akan melakukan pemberontakan, dan orang Tionghoa menyimpulkan bahwa orang Belanda akan melakukan pembantaian terhadap mereka dengan menenggelamkan jung mereka ketika mereka berlayar. Pada tanggal 9 Oktober, dan diketahui oleh Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier (1737-41), dimulailah pembunuhan besar-besaran terhadap orang Tionghoa, di mana orang-orang Eropa dan para budak lah yang membunuh paling banyak orang Tionghoa (Ricklefs, 2005:208-210).
Ricklefs (2005) menuding bahwa tindakan pembantaian besar-besaran orang Tionghoa di Batavia justru menyebabkan tersebarnya orang-orang Tionghoa yang selamat ke daerah timur, menyusur sepanjang daerah pesisir dan melakukan perang gerilya melawan VOC. Akibat tersebarnya orang Tionghoa dari Batavia adalah meningkatnya tindak kekerasan di berbagai daerah, seperti di Semarang, Juwana dan Demak. Barangkali keberadaan orang Tionghoa tidak akan terlalu dipermasalahkan dalam sejarah Jawa jika saja Pakubuwana II[2], yang dipengaruhi oleh Patih Natakusuma, menjalin kerjasama dengan orang Tionghoa pelarian untuk melawan VOC. Ketika kerjasama terjalin, dan ternyata mereka kalah melawan VOC, maka bibit kebencian tehadap orang Tionghoa mulai tertabur dalam diri orang Jawa. Kekalahan utama yang menyebabkan kekalahan Pakubuwana II adalah karena munculnya Cakraningrat IV yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, dengan dibantu oleh para serdadu dari Madura, mereka memukul mundur para orang Tionghoa dari wilayah Semarang dan sekitarnya.
Kekalahan orang Tionghoa ini menyebabkan banyak wilayah yang selama ini tunduk pada Pakubuwana II akhirnya melepaskan diri, dan hal ini menyebabkan Patih Natakusuma diasingkan. Kekalahan Pakubuwana II, yang memproklamirkan diri sebagai raja-mistik-penakluk Perang Suci, membawa tiga akibat yang luas, yaitu: (1) VOC semakin menancapkan kekuasaannya atas Jawa, terutama dengan kerjasamanya dengan Cakraningrat IV; (2) munculnya daerah-daerah otonom, terutama di Jawa Timur; (3) munculnya pemberontakan yang lebih besar lagi yang dilakukan oleh orang Jawa, hanya saja kali ini mereka tidak didampingi oleh orang Tionghoa. Menjadi sangat mudah dipahami, bahwa sikap antipati terhadap orang Tionghoa muncul dari sisi historis, bagaimana orang Jawa tidak menyukai orang Tionghoa karena dianggap menyalahi kesepakatan dengan Pakubuwana II, dan orang Tionghoa pun tidak menyukai orang Jawa terutama Madura karena membantu Cakraningrat IV dalam menumpas mereka. Bahkan kekalahan Pakubuwana II membawa implikasi yang lebih jauh, yakni jatuhnya wilayah pesisir utara di sepanjang Jawa Tengah.
Carey (1986) berpendapat lain, bahwa kebencian orang Jawa terhadap orang Tionghoa karena orang Tionghoa selalu mencampuri urusan internal keraton Jawa, bahkan intervensi ini dianggap telah dilakukan oleh orang Tionghoa sejak masa kekuasaan Majapahit, terutama pada masa Kesultanan Demak pada abad ke-15. Kebencian ini juga memuncak ketika VOC memberikan banyak hak khusus kepada orang Tionghoa dalam perdagangan candu dan terutama sekali pada masa tanam paksa, di mana orang Tionghoa dianggap sebagai ‘penjilat’ terhadap pemerintahan Hindia Belanda dengan bekerjasama menindas rakyat pribumi.
Meskipun terjadi pertumpahan darah antara orang Tionghoa dengan para Raja Pribumi dan VOC, namun hal ini tidak menghentikan imigrasi orang Tionghoa ke Indonesia, di mana kesempatan ekonomi di luar negara Cina lebih besar ketimbang di Cina sendiri. Para pendatang yang lebih awal lebih dekat ke daratan Cina, hal ini terlihat dengan adanya keinginan yang kuat pada diri mereka untuk kembali ke daratan Cina.
Pada era ke-18, di mulai suatu era baru, di mana Kaisar Qian Long dari dinasti Qing melarang para orang Tionghoa yang berada di perantauan untuk kembali ke Cina. Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong para orang Tionghoa untuk tidak meninggalkan negeri perantauan. Cukup banyak orang Tionghoa yang akhirnya merasa nyaman tinggal di Indonesia, dan menikah dengan orang Indonesia, dan mereka pun tidak lagi merasakan keterkaitan yang kuat antara dirinya dengan daratan Cina, terutama karena Dinasti Manchu melakukan opresi terhadap banyak suku di Cina, akhirnya mereka lebih memilih untuk tinggal di perantauan.
Kebanyakan dari mereka, mengidentifikasikan diri mereka sebagai ‘orang Belanda’ dan memeluk agama Kristen, umumnya menikmati pendidikan yang lebih tinggi dan status sosial yang lebih baik. Secara umum, dapat dikatakan bahwa mereka yang masih terikat ke daratan Cina memegang keyakinan Confusianisme dan mereka lebih memegang teguh adat istiadat Cina. Sekurangnya terdapat tiga golongan orang Tionghoa: Cina Totok yakni mereka yang lebih terikat ke Cina Daratan, Qiao Shengs yang lebih dekat ke Belanda, dan Cina Babah yang lebih dekat ke pribumi (wikipedia tt)
Setelah era kolonial atau pada akhir era kolonial, para imigran Tionghoa tetap berdatangan ke Indonesia, terutama di dukung oleh gerakan nasionalisme Cina ada era Dinasti Qing. Meskipun bantuan umumnya diberikan secara finansial dan moneter, namun tidak sedikit orang Tionghoa, terutama Cina Totok, yang aktif dalam bidang politik, terutama pada era Sun Yat Sen. Perubahan besar-besaran terjadi pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ketika Cina Totok meningkatkan intensitas asimilasi mereka dalam budaya Indonesia (lihat Blusse 2004).
Meskipun orang Belanda telah memberikan orang Tionghoa status yang lebih tinggi ketimbang orang pribumi atau bumiputra, namun orang Belanda tetap melakukan tindakan yang opresif dan diskriminatif terhadap orang Tionghoa, sehingga ketiga grup orang Tionghoa, baik itu Qiao Shengs, Cina Baba dan Cina Totok lebih kooperatif terhadap pergerakan nasional di Indonesia, terutama dengan menyediakan bantuan moneter dan perdagangan (Ricklefs 2005). Pada gilirannya, lebih banyak orang Tionghoa yang terlibat dalam dunia politik. Cina Totok lebih pada politik praktis yang bertujuan untuk membangun aliansi antara Indonesia-Cina dan mendirikan surat kabar, sedangkan Cina Baba dan Qiao Shengs umumnya bergabung dengan partai nasionalis milik bumiputra. Sebagian dari mereka melayani di berbagai departemen di angkatan bersenjata Belanda dan Jepang namun mereka menggunakan posisi mereka untuk menolong pergerakan nasional (wikipedia tt). Orang Tionghoa di Indonesia juga sangat aktif dalam membantu dalam pergerakan kemerdekaan pada masa Pendudukan Jepang. Tokoh-tokoh seperti Siauw Giok Tjhan, Liem Koen Hian dan Yap Tjwan Bing bekerja di ketentaraan Jepang namun membantu usaha-usaha kemerdekaan Indonesia.
Selama tahun 1945-1950 ketika terjadi revolusi nasional dan usaha untuk mempertahankan kemerdekaan, cukup banyak orang Tionghoa yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Ketika masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang akhirnya selesai, banyak aset-aset perusahaan yang dimiliki oleh orang Belanda dan Jepang akhirnya di jual dengan harga murah, dan sebagaimana asalnya, maka orang-orang Tionghoa kemudian membeli perusahaan tersebut dan/atau mengakuisisi perusahan tersebut ke dalam perusahaannya. Bagaimana pun, sejarah kembali terulang, orang-orang pribumi tidak puas dengan hal ini, bahwa ekonomi di kuasai oleh orang Tionghoa, bukan dari kalangan pribumi. Pada era Orde Lama, keberadaan orang Tionghoa dalam sejarah perjuangan bangsa kemudian dihilangkan (lihat Adam 2007), dan hal ini menyebabkan ketegangan antara orang Tionghoa dengan pemerintah Orde Lama. Sebagian tetap memilih untuk aktif dalam dunia politik, namun sebagian besar lainnya akhirnya mengambil langkah menjauh dari dunia politik praktis dan memfokuskan diri pada bidang ekonomi. Ketidakpuasan orang Tionghoa terhadap kebijakan Soekarno terletak dengan dikeluarkannya PP Nomor 10 Tahun 1959 yang memaksa para orang Tionghoa untuk menutup usaha mereka, dan mengakibatkan sebagian besar Cina Totok kembali ke Daratan Cina.
Ketika Soeharto menjadi Presiden RI, diskrimasi terhadap orang Tionghoa justru semakin meningkat. Degan justifikasi bahwa orang Tionghoa adalah orang komunis yang membantu PKI, maka dimulailah perburuan dan pengucilan orang Tionghoa dalam berbagai aspek. Secara efektif Orde Baru, mengikuti jejak Soekarno, melarang orang Tionghoa untuk terlibat dalam bidang militer dan politik, kemudian hal ini merambah bidang pendidikan, hukum dan keamanan. Akibat dari kebijakan ini mudah di duga, para orang Tionghoa lebih memfokuskan diri dalam bidang ekonomi yang kemudian memunculkan konglomerasi di kalangan orang Tionghoa. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tetap terjadi dengan sangat terencana, bahkan hingga akhir era Orde Baru (lihat Danandjaja 2007). Ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, orang Tionghoa merupakan etnis yang paling banyak dirugikan, bukan hanya material namun juga keamanaan mereka.
Kebangkitan orang Tionghoa baru terjadi ketika masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Sebagai presiden, ia memerintahkan untuk menghapus berbagai aturan yang melakukan diskriminasi dan meningkatkan hubungan dengan orang Tionghoa, termasuk diperbolehkannya perayaan imlek, bahkan dijadikan sebagai hari libur nasional. Orang Tionghoa di Indonesia saat ini berada dalam masa pemulihan, di mana berbagai hal yang ‘beraroma’ Tionghoa tidak lagi tabu untuk dipertunjukkan, dan hal ini mendorong mereka untuk menempatkan diri mereka dalam mozaik bangsa Indonesia yang multikultural. Persoalannya kemudian, bagaimana mereka menempatkan diri mereka, setelah sejarah yang sedemikian panjang dan melelahkan, dan bagaimana mereka menempatkan dan memaknai identitas mereka dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultural.
Orang Tionghoa dan Pencarian Identitas yang (di) Lenyap (kan)
Kalau kita melihat iklan di surat kabar terhitung sejak tanggal 1 Februari 2008, sudah bermunculan berbagai iklan yang menuliskan kata “Gong Xi Fa Cai”, sebuah ungkapan khas orang Tionghoa yang berarti doa semoga selalu berada dalam keberuntungan. Berbagai pusat perbelanjaan pun berubah warna menjadi lebih merah ketimbang biasanya (meskipun ketika idul fitri tiba sebagian besar mall berubah warna menjadi hijau atau warna-warni ketika natal tiba, agaknya para pemilik pusat perbelanjaan tidak begitu mementingkan perayaan keagamaan lainnya), dan berbagai iklan yang menyuguhkan diskon ‘gede-gedean’ dalam rangka menyambut imlek.
Dalam makalah ini penulis menampilkan tiga macam iklan yang berasal dari dunia perbankan, yakni dari BNI 46, Mandiri dan BII (lihat di halaman awal). Dari ketiga iklan yang berasal dari tiga bank tersebut, nampak bahwa setiap iklan mencoba menampilkan berbagai identitas yang dapat dengan mudah diatributkan kepada warga keturunan Tionghoa. Bank Mandiri, menampilkan lima unsur: emas, air, kayu, api, dan tanah. Tidak lupa menyelipkan kalimat:
“Emas, Air, Kayu, Api, Dan Tanah Untuk Kebaikan Yang Selalu Tumbuh. Berbekal rencana dan harapan besar, kita manfaatkan setiap peluang di tahun yang baru. Berlandaskan pada nilai dan falsafah yang terkandung dalam Kelima Unsur Kehidupan, kita berkarya, mengisi tahun ini dengan beragam keberhasilan.”
Berbeda dengan BNI 46, dengan iklan yang lebih sederhana dan lugas, hanya menampilkan sesosok orang, yang terwakili hanya tangannya saja dengan melukis suatu kaligrafi aksara Mandarin, dan dengan kalimat yang lugas: “Berawal dari ketekunan kita wujudkan kemakmuran.”. Menurut penulis, iklan imlek yang paling baik dalam menyampaikan pesan berasal dari BII. Menggambarkan dua orang anak laki-laki yang bermain barongsai dan seorang anak perempuan yang memegang bola, dan anak laki-laki tersebut mengejar anak perempuan, mereka seluruhnya terlihat gembira sambil bermain di padang rumput. Kata-kata dari iklan ini lah yang menarik perhatian penulis: “Waktu mengajarkan kita untuk melepaskan yang lalu dan berjuang mengejar asa yang membentang di depan kita”. Bagi penulis, kata-kata tersebut mencerminkan usaha reunifikasi orang Tionghoa dengan negara Indonesia, meskipun terlihat adanya upaya untuk ‘mengalah’ dan melupakan masa lalu mereka yang pahit. Tapi bukan itu yang menjadi persoalan saat ini, melainkan bagaimana representasi orang Tionghoa dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultural.
Usaha pencarian identitas bagi orang Tionghoa dapat dikatakan sebagai usaha tak berkesudahan. Secara sederhana, jika mengikuti logika konstruktivis-interpretiv, identitas adalah hasil konstruksi sosial, dengan demikian identitas tidak bersifat given, melainkan terdapat kekuatan tarik-menarik sehingga suatu identitas menjadi tidak pernah tunggal (lihat Castells 2004, Kenny 2004). Identitas adalah suatu proses menjadi, mengutip de Beauvoir, “one is not born, rather becomes, a woman”, logika ini nampaknya dapat juga dipergunakan dalam kasus orang Tionghoa, bahwa “one is not born, rather becomes, a Chinese”. Dalam hal ini harus ada pembatasan yang jelas, bahwa yang di maksud oleh de Beauvoir adalah perempuan bukan dalam artian bio-fisiologis, namun lebih pada konsep gender, meskipun bio-fisiologis memang berpengaruh, demikian pula dengan hal ini. Bahwa menjadi orang Tionghoa artinya menjadi orang Tionghoa secara ras dan secara etnis. Persoalannya adalah, orang Tionghoa yang ada di Indonesia saat ini tidak lebih dari orang Tionghoa yang sudah terhibridasi, sudah tercampur dengan populasi genetik orang Indonesia, jadi penulis rasa, adalah sebuah kesia-siaan jika kita masih memperdebatkan konsep ke-tionghoa-an orang Tionghoa berdasarkan genetika. Harus di akui, memang terdapat perbedaan secara fisik antara Tionghoa dan ‘pribumi atau bumiputra’, namun perbedaan tersebut tidak lah fundamental.
Persoalannya setidaknya lebih terbatas, yakni bagaimana identitas seorang Tionghoa dalam konteks sosial budaya. Secara lebih sederhana, identitas secara sosial adalah komitmen terhadap nilai-nilai dan standar umum dari suatu kelompok. Robbins (1973) pernah mengemukakan suatu konsep dasar mengenai identitas, yang terlihat sangat antropologis, yakni karakter yang melekat pada manusia dan ciri-ciri kebudayaan yang dimilikinya. Dalam hal ini, Robbins mencoba menggambarkan identitas dalam dua alur pemikiran yang berbeda. Di satu sisi, identitas adalah ‘kepemilikan’ yang melembaga, di mana identitas ini memiliki makna yang mendalam dan tidak mudah untuk berubah maupun di ubah. Di sisi yang lain, terdapat pula identitas yang tidak melembaga dan identitas tersebut dapat berubah dengan mudah.
Castells (2004) memberikan suatu gambaran yang jelas, bahwa identitas, sebagaimana yang dikatakan oleh Robbins sebagai identitas yang melembaga, adalah kata kunci dalam menentukan keberadaan seseorang. Identitas memiliki kekuatan untuk menentukan bagaimana seseorang bertingkah-laku. Dalam pengertian yang lebih luas, identitas yang melembaga adalah identitas yang dimiliki seseorang yang tidak dapat di ubah oleh orang itu sendiri. Ras dan etnisitas misalnya, di mana ras dan etnisitas adalah sesuatu yang bersifat askriptif, sesuatu yang dimiliki sejak masa kanak-kanak. Tentu saja identitas seperti itu muncul bersama dengan bentuk-bentuk sosialisasi budaya, sehingga orang yang dilahirkan dari keluarga Tionghoa dan mendapatkan pendidikan dan sosialisasi budaya Tionghoa akan menjadikan ke-tionghoa-an sebagai bagian integral dari identitas dirinya.
Sedangkan identitas yang mudah berubah adalah identitas yang tidak didasarkan pada unsur primordial, namun hanya terkait pada jenis-jenis profesi dan tindakan-tindakan yang dikaitkan dengan profesi tersebut. Seorang dengan profesi guru akan dituntut untuk mengambil identitas ‘sementara’ sebagai guru ketika berada dalam lingkungan pendidikan, namun ketika ia berada di luar lingkungan lembaga pendidikan, ia dapat mengambil dan memakai identitas yang lain.
Robbins (1973) memberikan kata kunci penting yang harus diperhatikan, bahwa identitas terkait dengan peran dan status (termasuk di dalamnya kewajiban untuk menjalankan perannya sebagai anggota dalam suatu kelompok). Berkaitan dengan hal ini, jika identitas seseorang di reduksi menjadi sebatas peran dan kewajiban yang harus dilakukannya, maka hal tersebut menjadi jauh lebih rumit untuk dipahami. Orang Tionghoa harus melakukan berbagai kewajibannya sebagai orang Tionghoa agar dapat dikatakan sebagai orang Tionghoa. Penulis contohnya, sebagai orang Betawi, maka penulis harus melakukan kewajiban penulis sebagai orang Betawi agar dapat dikatakan sebagai orang Betawi. Persoalannya, apa yang menjadi kewajiban penulis sebagai orang Betawi? Sama halnya dengan apa yang menjadi kewajiban orang Tionghoa sebagai orang Tionghoa? Bukan kah akan lebih mudah jika penulis mengatakan bahwa penulis akan mematuhi berbagai aturan hukum atau acuh saja tapi tetap dikatakan sebagai orang Betawi? Demikian pula sebaliknya?
Barangkali jawaban dari segala keruwetan tersebut terletak bukan pada sisi obligasi, namun pada sisi kebudayaan. Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Betawi – meskipun ayah orang Sunda, penulis telah mengalami sosialisasi dan enkulturasi sejak kecil mengenai Betawi dan kebudayaan yang dimilikinya. Maka ketika penulis berada di luar kebudayaan Betawi, di Surabaya misalnya, tanpa sadar penulis mempergunakan ‘ke-betawi-an’ penulis dalam memandang segala hal, dan ketika itu, unsur primordial penulis muncul, bahwa penulis orang Betawi bukan orang Jawa, penulis cuma orang Betawi yang kebetulan kuliah di Jawa. Hal ini pun rupanya terjadi di kalangan orang Tionghoa sendiri. Bahwa mereka dibesarkan dalam lingkungan keluarga Tionghoa, maka mereka mengambil identitas ke-tionghoa-an dan menjadikan identitas tersebut sebagai bagian integral dalam diri mereka, sehingga acapkali mereka menjadikan ke-tionghoa-an mereka sebagai dasar dalam berpikir dan bertindak.
Dalam hal ini, kajian yang dilakukan oleh Rustopo (2007) menjadi penting untuk dibahas. Dalam kajiannya mengenai orang Tionghoa di Surakarta, Rustopo menemukan bahwa orang Tionghoa di Surakarta tidak lagi mengambil identitas ke-tionghoa-an sebagai satu-satunya identitas yang mereka miliki, mereka pun mengambil identitas Jawa, sehingga menurut Rustopo, banyak orang Tionghoa yang sudah menjadi Jawa. Dalam konteks yang sama namun dengan cakupan yang lebih luas, bukan kah negara dalam berbagai kebijakan politiknya selalu mempersatukan bahkan menyeragamkan. Dengan demikian, perbincangan siapa orang Tionghoa menjadi tidak relevan, toh mereka sudah menjadi Jawa, mereka sudah menjadi Minangkabau (lihat kajian Erniwati 2007), atau bahkan mereka sudah menjadi Indonesia. Tapi benarkah demikian? Sejarah telah memberikan gambaran yang sangat gamblang, bahwa proses menjadi bukanlah proses yang terjadi secara singkat. Proses menjadi yang terjadi secara singkat hanya lah proses-proses yang bersifat parsial, dan boleh jadi terdapat konflik didalamnya.
Identitas bukan lah sebatas KTP. Penulis orang Bekasi karena punya KTP Bekasi, namun ketika penulis memiliki KTP Surabaya maka penulis menjadi orang Surabaya, tapi apakah penulis menjadikan kebudayaan arek khas Surabaya sebagai kebudayaan penulis dan membuang kebudayaan Bekasi. Hal ini lah yang sebenarnya terjadi dalam kasus orang Tionghoa. Kebudayaan menjadi kata kunci lain yang harus diperhitungkan. Tentu banyak definisi kebudayaan, namun penulis akan menggunakan definisi yang diberikan oleh Suparlan (1986:8). Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya. Jika mengikuti konsep yang dikemukakan oleh Suparlan, maka mudah di mengerti jika orang Tionghoa yang berada di Surakarta menjadi Jawa, setidaknya dalam arti kebudayaan.
Pencarian identitas bagi orang Tionghoa ternyata tidak mudah untuk dilakukan. Persoalan pertama yang harus diselesaikan adalah, identitas apa yang dapat dilekatkan pada seseorang agar orang tersebut dikatakan sebagai orang Tionghoa. Jika melihat konteks masa kini, identitas ke-tionghoa-an nampaknya sudah terreduksi menjadi sekedar artefak yang berbau Tionghoa. Dalam kajian antropologi, menurut Koentjaraningrat, kebudayaan di bagi menjadi tiga bagian: ide, perilaku dan benda. Maka berbagai artefak atau benda-benda kebudayaan merujuk pada suatu kelompok tertentu. Dalam hal ini, ketika melihat orang Tionghoa, maka benda kebudayaan yang melekat sebagai orang Tionghoa tidak lain seperti barongsai, klenteng, hio, kue keranjang dan lain-lain. Artefak sebagai bagian dari kebudayaan adalah wujud yang paling mudah berubah, namun ide dan gagasan sebagai wujud budaya adalah bagian yang paling sulit diubah.
Hal yang sangat kurang disadari oleh masyarakat luas adalah kebudayaan Tionghoa telah banyak masuk dalam ‘kolam budaya Indonesia’. Barongsai misalnya, diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-17 ketika terjadi migrasi orang Tionghoa dari Tiongkok Selatan, di mana kesenian ini mengalami kejayaannya ketika perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan masih eksis sekitar akhir abad ke-19 hingga abad ke-20 (Kompas). Dalam konteks yang lebih luas, klenteng bahkan sudah ada di Indonesia setidaknya setelah kedatangan Zeng He abad ke-15. Muljana (2005) bahkan mengatakan bahwa para penyebar Islam di bumi Mataram atau para Wali Songo tidak lain adalah para keturunan Tionghoa. Rustopo (2007) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa orang Tionghoa di Surakarta sangat berpengaruh dalam pengembangan budaya Keraton Surakarta. Identitas yang melekat atau dilekatkan pada orang Tionghoa jelas tidak dapat di reduksi hanya sekedar benda yang bersifat luar atau pakaian yang dikenakan pada orang Tionghoa, meskipun benda-benda tersebut adalah penanda sekaligus pembeda yang paling efektif.
Nordholt (2005) misalnya, mengetangahkan suatu isu besar bahwa identitas dapat dilihat dari bentuk pencitraan yang dikenakan oleh seseorang atau dilekatkan oleh orang lain kepada seseorang seakan-akan apa yang dilekatkan menjadi identitas orang tersebut. van Dijk (2005) mengatakan bahwa praktek-praktek diskriminasi terhadap seseorang seringkali terjadi berdasarkan penampilan luar seseorang. Dalam konteks historis di Indonesia, terdapat tiga macam penampilan luar (outward appearance), yakni sarung dikenakan oleh penduduk pribumi, jubah yang dikenakan oleh para pendatang dari Arab dan Gujarat, dan celana yang dikenakan oleh pemukim Eropa dan Tionghoa. Dalam hal ini van Dijk (2005:61) mengatakan bahwa akibat kolonisasi Belanda yang demikian lama menyebabkan fungsi pakaian menjadi lebih penanda perbedaan dan persamaan di antara pribumi, lebih dari itu, pakaian menjadi media untuk mengepresikan sikap terhadap pengaruh kebudayaan asing dan politik asing.
Dalam konteks orang Tionghoa, mengingat secara fisik mereka tidak terlalu berbeda dengan penduduk pribumi, maka mereka mengenakan pakaian yang berbeda dengan orang pribumi pada era kolonial. Dalam era ini, model cheongsam atau ‘kebaya encim atau kebaya cina’ bagi perempuan Tionghoa menjadi suatu penanda bahwa mereka bukan lah golongan pribumi, namun golongan Timur Jauh, demikian pula dengan laki-laki Tionghoa yang mengenakan berbagai pakaian yang berbeda dengan pribumi. Hal ini pun terus berlanjut tidak saja pada bentuk pakaian luar, namun juga pada desain arsitekstur. Pada era kolonial, bahkan sebelum era kolonial, orang Tionghoa adalah para pedagang yang ulung, maka tidak mengherankan jika mereka menempati posisi yang cukup strategis. Pada era kolonial, sebelum tahun 1740, kehidupan orang Tionghoa dapat dikatakan sangat nyaman, dalam artian tidak terdapat konflik yang mengancam nyawa, akibatnya dapat mudah di tebak, bahwa orang Tionghoa menikmati ‘hak khusus’ sebagai orang Timur Jauh dan bertindak serta berperilaku dengan hak tersebut. Hal ini lah yang menyebabkan orang Tionghoa berbeda dan membedakan diri dengan pribumi, terutama orang Tionghoa yang kaya.
Identitas Tionghoa pun kemudian berkembang, tidak saja dalam bidang penampilan luar, namun juga dalam kebudayaan. Berbagai kesenian Tionghoa masuk ke Indonesia, termasuk di dalamnya dalah fabel dan cerita rakyat atau folklore. Tidak banyak disadari, bahwa pengaruh orang Tionghoa dalam budaya Indonesia cukup besar, tidak hanya dalam bentuk arsitektur klenteng, namun juga pada seni kriya, pengetahuan rakyat dan musik (lihat Danandjaja 2007). Beberapa benda seni yang ada hingga saat ini sebagai warisan orang Tionghoa seperti kipas, kertas, kain sutera dan porselen. Barangkali pengetahuan rakyat yang paling di kenal adalah feng shui dan petasan, di mana kedua hal ini merupakan warisan orang Tionghoa yang paling ‘happening’, belum lagi dalam bidang seni seperti tambur, suling dan alat musik dawai. Tentu saja alat-alat ini masih diperdebatkan keasliannya, apakah memang warisan orang Tionghoa atau asli dari Indonesia atau justru datang dari orang Arab dan Gujarat. Setidaknya dapat dilihat bahwa identitas Tionghoa pada awalnya kemudian berkembang menjadi identitas yang menjadi milik umum.
Pada era kemerdekaan Indonesia, sebelum terjadinya peristiwa Lubang Buaya, identitas Tionghoa yang berkembang sangat pesat adalah kesenian Barongsai dan Liong. Namun ketika peritiwa Lubang Buaya terjadi tahun 1965, maka pemerintah melarang pementasan segala bentuk kesenian Tionghoa. Singa barongsai dan naga liong dimusnahkan dan berbagai perkumpulan Tionghoa dibubarkan. Segala yang berbau Tionghoa sejak saat itu dihilangkan dan identitas Tionghoa secara paksa dilenyapkan. Selama lebih dari tiga dekade, orang Tionghoa di Indonesia harus menyembunyikan identitas ke-tionghoa-an mereka, mereka di paksa untuk meleburkan sehingga tidak lagi terdapat identitas Tionghoa, yang ada hanya lah identitas Indonesia, namun hal ini berubah sangat drastis ketika Abdurrahman Wahid memperbolehkan kesenian Tionghoa, seperti barongsai dan liong untuk kembali tampil dan hal ini mendorong para orang Tionghoa untuk kembali menampilkan identitas mereka sebagai orang Tionghoa
Identitas Tionghoa dan Persoalan Komunitas Terbayang
Dalam pandangan Anderson (2001), bangsa adalah sesuatu yang dibayangkan, bukan sesuatu yang bersifat pasti, karenanya konsep bangsa memiliki elastisitas dan fluiditas tinggi. Dalam hal ini, bagi Anderson, sebuah bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas, karena memiliki batas yang pasti dan elastis. Lebih jauh, bangsa juga dibayangkan sebagai sebuah komunitas, karena betapa pun ditemukan suatu ketidakadilan, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk-mendalam dan melebar-mendatar. Suatu contoh, apa yang di maksud dengan bangsa Indonesia? Apa setiap orang yang tinggal di Indonesia adalah bangsa Indonesia? Lalu bagaimana dengan yang tinggal di luar negara Indonesia? Apakah mereka masih dikatakan sebagai bangsa Indonesia? Bagaimana dengan orang Tionghoa? Masuk kah mereka dalam konteks ini?
Tentu saja berbagai pertanyaan tersebut menyeruak muncul karena keruntuhan Orde Baru turut serta membawa konsep kebangsaan yang uniformistik dan sentralistik. Bentuk ke-Indonesia-an lama yang merupakan bentukan Orde Baru tidak lagi dapat dipertahankan kesahihannya (Wahid, 2003:69), sehingga perlu redefinisi konsep bangsa Indonesia dan meletakkan orang Tionghoa dalam posisi yang proporsional. Sebelumnya penulis telah banyak mengungkapkan posisi orang Tionghoa dalam konteks sejarah Indonesia, terutama di tanah Jawa, penulis juga telah memperbincangkan mengenai pencarian identitas Tionghoa dan permasalahannya, maka sub-bagian ini akan membahas identitas Tionghoa dalam konteks kebangsaan.
Secara sederhana, untuk persoalan mengenai identitas Tionghoa dalam konteks kebangsaan, maka harus dibatasi dahulu mengenai konsep kebangsaan itu sendiri. Johan Gottlieb Herder (dalam Poole 2004:271-3) menyatakan bahwa sebuah bangsa didirikan atas pondasi bahasa dan kebudayaan. Bagi Herder, kehidupan sehari-hari, aturan-aturan hukum, ritual, kepercayaan dan mitos merupakan bagian dari identitas suatu bangsa. Dalam konteks ini, identitas hanya muncul dalam konteks interpretasi, di mana kerangka kerja dalam interpretasi bergerak dalam bentuk simbol-simbol yang menjadikan suatu kesadaran antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Harus dipahami bahwa identitas budaya tidak selalu di ambil dari identitas nasional. Dalam konteks ini, maka identitas orang Tionghoa tidak selalu di ambil dari identitas nasional.
Identitas Tionghoa dalam hal ini tidak dapat dianggap sebagai identitas yang berdiri sendiri, namun merupakan bagian dari suatu identitas nasional. Meskipun demikian, konsep identitas nasional pada dasarnya bersifat problematik. Di satu sisi, identitas nasional adalah konfigurasi dari berbagai identitas yang bersifat lokal, dengan demikian lokalitas identitas harus dihargai, di sisi yang lain, identitas nasional tidak lebih dari suatu identitas yang diciptakan, yang oleh negara dijadikan sebagai landasan identitas yang bersifat baku dan uniformistik (lihat Hefner 2007). Identitas nasional terkait dengan komunitas terbayang pada dasarnya tidak lebih dari reduksi berbagai etnisitas kebudayaan yang ada. Di Indonesia contohnya, ketika batik dijadikan sebagai identitas nasional, maka hal tersebut tidak lain dari praktik-praktik jawanisasi yang berkembang pada era Orde Baru, padahal jika melihat dalam konteks historis, perkembangan batik pun tidak lepas dari turut campurnya orang Tionghoa (lihat Shiraishi 1997), meskipun batik lebih dianggap sebagai identitas Jawa.
Identitas Tionghoa, yang pada masa Orde Baru tidak dapat ditunjukkan dengan leluasa pada dasarnya adalah upaya negara untuk melakukan uniformitas identitas Tionghoa agar melebur dalam bentuk identitas nasional. Dengan demikian, sesuai dengan semangat pada saat itu, yakni “menjalin persatuan dan kesatuan” maka Tionghoa sebagai suatu etnis harus masuk dalam kesatuan yang lebih besar, yakni Indonesia sebangai negara dan bangsa. Tentu saja opresi semacam ini juga terjadi tidak hanya bagi orang Tionghoa, namun juga bagi seluruh masyarakat di Indonesia, termasuk Minangkabau yang kehilangan fungsi ‘nagari’ atau pun Bali yang kehilangan fungsi ‘banjar’, namun dapat dikatakan bahwa yang menderita paling parah adalah orang Tionghoa.
Sebagaimana telah penulis sebutkan, sentimen negatif terhadap orang Tionghoa sudah di mulai sejak era kolonial Belanda, bahkan kerusuhan Mei 1998 sudah pernah terjadi pada Oktober 1740. Pada era Orde Baru, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, melalui Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang berada di bawah Badan Koordinasi Intelijen (BAKIN), pemerintah mencurigai orang Tionghoa sebagai komunis karena minoritas orang Tionghoa mempertahankan keyakinan agama leluhur serta adat-istiadatnya, hal ini rupanya dipandang sebagai cara untuk memperkuat identitas ke-cina-annya atau ke-tionghoa-annya. Pembatasan ruang gerak ini termasuk juga dalam bidang agama dan kesenian orang Tioghoa untuk dipertunjukkan di depan publik (Tanggok 2001).
Pembentukan identitas nasional tentunya tidak dapat melepaskan diri dari model kebijakan politik Orde Baru yang menyukai uniformitas. Orde Baru melihat identitas, baik yang bersifat lokal maupun nasional, sebagai sesuatu yang given, sudah termasuk dalam satu paket penjualan, akibatnya, ketika Orde Baru runtuh, maka redefinisi mengenai nasionalisme Indonesia dan multikulturalisme menjadi penting untuk dilakukan, mengingat gerakan yang kemudian muncul adalah etnonasionalisme atau penebalan identitas lokal (Pirous 2001). Padahal yang harus diingat adalah, bahwa identitas nasional tidak pernah hadir dalam bentuk yang sudah jadi (fixed) melainkan selalu dalam proses pembentukan (lihat Barker 2004, Kenny 2004).
Dalam konteks masyarakat multikultur di Indonesia, keberadaan orang Tionghoa adalah bagian dari mozik tersebut. Indonesia sejak dahulu terdiri dari masyarakat yang sangat majemuk. Sejak kapal-kapal perdagangan dari Arab, Benggali, Persia, Gujarat hingga Portugis dan Belanda; dengan adanya perdagangan dan transaksi-transaksi keuangan yang tidak lagi bersifat lokal, Indonesia telah mejadi pusat perdagangan maritim di dunia (Lombard, 2005 2:16-28), suatu era yang oleh Reid dinamakan sebagai ‘the age of commerce’ atau era perdagangan.
Pada masa itu, belum muncul bibit-bit kebencian terhadap orang Tionghoa. Bibit-bibit tersebut baru muncul ketika orang Tionghoa menikmati hak khusus sebagai pedagang, baik hak itu diberikan oleh para raja maupun oleh pejabat kolonial Belanda. Persoalan lebih rumit manakala orang Tionghoa akhirnya terlibat dalam intrik keraton di Jawa dan pemberian hak khusus untuk berdagang candu di Jawa (lihat Carey 1986, Ricklefs 2005). Pada era kemerdekaan, terlebih pada era Orde Baru kebencian terhadap orang Tionghoa semakin meninggi dan mencapai titik kulminasi pada bulan Mei 1998.
Dalam sejarahnya, orang Tionghoa, bahkan hingga saat ini, dianggap sebagai orang asing. Para orang Tionghoa yang memiliki KTP pun sering di anggap sebagai WNI keturunan asing bukan WNI pribumi. Orang Tionghoa menjadi Liyan bagi pribumi, lagi-lagi mengutip de Beauvoir sebagai ‘the others’ atau yang lain. Karena posisi awalnya para orang Tionghoa sebagai ‘the others’ maka posisi ini kemudian berubah menjadi alien (Suryadinata 1984). Ke-Liyan-an yang terjadi pada orang Tionghoa merupakan warisan dari era kolonial Belanda yang dipertahankan, bahkan hingga saat ini.
Baik Suryadinata (1984) dan Coppel (2002) setuju, bahwa usaha yang dilakukan oleh orang Tionghoa untuk dapat dianggap sebagai ‘bagian dari pribumi’, merupakan usaha yang tanpa akhir. Pada era Pemerintahan Megawati misalnya, orang Tionghoa yang menjadi WNI harus memiliki Surat Bukti Kewarganegaan Republik Indonesia (SBKRI). Hal ini, mengutip Ariel Heryanto (1999), adalah tindakan terorisme dan diskriminasi rasial yang dilakukan oleh negara, sehingga banyak orang Tionghoa yang ‘kapok jadi non-pri’.
Identitas Tionghoa dan Representasi Masyarakat Multikultural
Masyarakat multikultural di Indonesia selama ini diabstraksikan sebagai masyarakat majemuk yang saling menghargai dan toleran terhadap berbagai suku. Coppel (2002) menganggap bahwa model multikulturalisme di Indonesia sebagaimana yang digambarkan di atas adalah gambaran yang klise mengenai multikulturalisme di Indonesia. Bagi Coppel, hampir seluruh orang Tionghoa di Indonesia telah kehilangan sebagian besar ciri-ciri ke-tionghoa-annya, terutama dalam bahasa dan nilai-nilai, hal ini membuat orang Tionghoa di Indonesia tidak memiliki Tanah Air Indonesia:
“The alleged justification (or rationalization) for their exclusion is that the ethnic Chinese have no homeland within the Indonesian archipelago. Centuries of settlement in the archipelago are not enough, it seems, to allow ethnic Chinese to call Indonesia ‘home’”
Permasalahan ini pun telah banyak dibahas oleh Suryadinata (2002), bahwa politik asimilasi Orde Baru telah banyak mengubah orang Tionghoa menjadi Indonesia, mereka tidak lagi berbicara dalam ‘bahasa ibu’, bahkan hampir sebagian besar mereka telah mengganti nama mereka ‘menjadi Indonesia’. Hal ini oleh Suryadinata dianggap sebagai bukti ‘loyalitas politis kepada Indonesia’ sebagai identifikasi terhadap bangsa dan negara Indonesia. Kebijakan politik ini berdasarkan asumsi bahwa orang Tionghoa adalah pendatang yang tidak memiliki ‘tanah asal’, sehingga mereka harus membaur dengan masyarakat lokal sehingga dapat dianggap sama dan memiliki hak yang setara.
Dalam pandangan politik asimilasi, ketika orang Tionghoa sudah masuk dalam kelompok masyarakat lokal, maka ketika itu terbentuk sebuah masyarakat yang multikultural (lihat Suparlan 2002). Indonesia saat ini sedang memproklamirkan diri sebagai negara yang menganut paham multikulturalisme. Multikulturalisme dalam hal ini, merujuk pada Suryadinata (2002) adalah pengakuan dan promosi terhadap perbedaan budaya, di mana dalam multikulturalisme terdapat usaha-usaha untuk melindungi keanekaragaman budaya, termasuk yang minoritas, dan dalam waktu yang sama memfokuskan pada ketidaksetaraan hubungan antara minoritas dengan budaya yang lebih dominan atau mainstream.
Dalam kaitannya dengan semangat multikulturalisme, maka orang Tionghoa menempati posisi yang unik. Di satu sisi, mereka adalah minoritas dari sisi kuantitas, namun di sisi yang lain, mereka menjadi objek atas tindakan represif dari pemerintah dan korban dari sejarah. Kenny (2004) mengetengahkan suatu isu mengenai politik identitas (politics of identity), bahwa politik identitas merujuk pada praktik-praktik politik yang berdasarkan kelompok, di mana praktik ini tidak lah terkait dengan sistem politik tertentu, dan menjadi suatu ciri umum bahwa hal ini mengambil pondasi dari adanya mobilisasi berdasarkan identitas kolektif yang disembunyikan, ditekan atau bahkan diabaikan (lihat Sparringa 2005). Politik identitas dalam hal ini dapat dilihat dengan gerakan kebangkitan orang Tionghoa dalam bidang politik maupun kebudayaan.
Dalam bidang kebudayaan, nampak adanya upaya reunifikasi budaya Tionghoa dengan ‘budaya Indonesia’. Dalam hal ini sangat jelas terlihat bahwa upaya reunifikasi ini merupakan wujud dari adanya semangat multikulturalisme pada bangsa Indonesia. Barangkali terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa peringatan imlek yang telah dilaksanakan beberapa hari yang lalu merupakan representasi riil dari diterimanya budaya Tionghoa sebagai budaya nasional Indonesia, namun setidaknya hal tersebut memberikan gambaran bahwa terdapat upaya untuk menggerakkan multikulturalisme tidak hanya sebatas wacana, namun juga pada tataran praktik.
Pada sisi lain, multikulturalisme sebenarnya sudah terjadi di Indonesia sejak masa lalu. Dalam konteks historis, Indonesia tidak pernah menjadi negeri yang homogen. Dalam hal ini, multikulturalisme dapat diterjemahkan sebagai suatu realitas di mana berbagai kelompok-kelompok etnik dengan berbagai kebudayaannya dapat hidup berdampingan secara damai dalam suatu prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. Hal ini pun seudah terjadi dalam sejarah bangsa ini, meskipun dalam beberapa kasus muncul konflik antar suku, namun dalam cakupan yang lebih besar, dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia menghargai adanya perbedaan budaya. Adanya perbedaan ini pun sudah muncul dan disadari sejak masa klasik, kata ‘bhineka tunggal ika’ misalnya, diambil dari salah satu serat Jawa klasik, hal ini pun sangat disadari oleh para founding fathers, namun bagaimana dengan orang Tionghoa?
Persoalan multikulturalisme terletak pada dua sisi yang saling berpengaruh. Di satu sisi, multikulturalisme menghendaki adanya perbedaan di antara berbagai suku, di mana perbedaan itu justru merupakan kekhasan, atau dalam bahasa lain, multikulturalisme menghendaki adanya kehidupan yang berdampingan dalam suatu ‘habitat sosial’ dengan tetap mempertahankan ciri-ciri kebudayaan yang dimilikinya. Sedangkan di sisi yang lain, multikulturalisme pun memberikan kesempatan bagi terjadinya suatu proses integrasi sosial, poitik, ekonomi dan kebudayaan di tingkat nasional dan global. Ketika multikulturalisme bergerak ke arah praksis dan berbentuk kebijakan, maka multikulturalisme menjadi suatu kebijakan yang memiliki dua tujuan utama: menjaga harmoni dari berbagai kelompok etnik dan menciptakan hubungan antara negara dengan etnis minoritas (lihat Suryadinata 2002).
Politik negara yang terkait dengan multikulturalisme, terutama yang berhubungan dengan posisi orang Tionghoa, telah berubah sejak naiknya Abdurrahman Wahid. Pada saat ini misalnya, terdapat banyak organisasi Tionghoa yang bermunculan, di mana organisasi ini dahulu merupakan organisasi yang dilarang oleh pemerintah Orde Baru. Atas nama persatuan dan kesatuan, berbagai organisasi Tionghoa ditutup, meskipun terdapat pula isu anti PKI didalamnya. Sejak pintu reformasi secara resmi di buka, maka orang Tionghoa perlahan mulai menata kembali kehidupan mereka yang selama ini mereka tutupi. Dalam konteks ini lah konsep politik identitas dari Kenny (2004) berperan.
Dalam asumsinya, Kenny (2004) beranggapan bahwa politik identitas muncul dari kelompok yang selama ini teropresi, atau dalam hal ini orang Tionghoa. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, berbagai atribut Tionghoa kembali muncul ke permukaan, di mana atribut-atribut ini merupakan bagian dari identitas kolektif orang Tionghoa. Identitas kolektif muncul sebagai akibat dari penggunaan identitas dan materi-materi yang dimiliki bersama secara sosial.
Dalam konteks politik identitas misalnya, ketika era reformasi bergulir, maka kemudian muncul sebagai praktik politik yang berbeasiskan pada identitas kelompok. Pada saat itu terdapat tiga partai di mana mayoritas etnis Tionghoa memberikan suaranya, yakni Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti), Partai Pembaruan Indonesia (PPI), dan Partai Bhineka Tunggal Ika (PBI). Beberapa orang dalam etnis Tionghoa enggan kembali ke dunia politik, maka mereka membentuk organisasi Tionghoa yang tidak turut campur dalam bidang politik. LSM pertama yang berdiri adalah Paguyuban Marga Sosial Tionghoa Indonesia (PMSTI atau Yinni Baijiaxing Xiehui). Organisasi ini pun terpecah dan kemudian muncul Perhimpunan Keturunan Tionghoa Indonesia (INTI), dan beberapa LSM lain seperti Gandi, Solidaritas Nusa-Bangsa, SIMPATIK dan sebagainya (Suryadinata 2002).
Namun kebangkitan identitas Tionghoa tidak hanya muncul dalam bidang politik dan sosial, namun juga dalam bidang kebudayaan. Menariknya, identitas tersebut tidak lagi eksklusif menjadi milik golongan Tionghoa tertentu, namun identitas tersebut menjadi milik semua orang Tionghoa, bahkan non Tionghoa pun dapat turut serta. Berbagai atribut identitas sosial yang dipergunakan bersama nampak pada saat perayaan imlek, di mana semua orang Tionghoa tanpa memperhitungkan agama dan kepercayaan, bersama dan berbaur merayakan tahun baru tersebut. Hal ini lah yang oleh Abidin (2007) dianggap sebagai ‘spritualitas imlek’. Sebagai suatu materi identitas kolektif, imlek merupakan perayaan yang menyatukan orang-orang Tionghoa di seluruh dunia, sekalipun mereka terdeferensiasi dalam berbagai karakter kebudayaan.
Perayaan imlek boleh jadi merupakan suatu identitas kolektif orang Tionghoa yang paling besar, di mana perayaan imlek bukan lah perayaan yang bersifat eksklusif, namun lebih pada perayaan yang inklusif. Imlek tidak terkait dengan agama tertentu atau pun golongan tertentu, di mana perayaan ini menjadi hari raya kultural orang Tionghoa (Tomy Su 2007). Tentu saja perayaan ini merupakan suatu ‘unjuk’ identitas yang dilakukan oleh orang Tionghoa, setelah selama lebih dari tiga dekade tidak pernah dimunculkan. Imlek, dalam konteks ke-indonesia-an tidak lagi menjadi domain orang Tionghoa, sebagaimana yang terjadi dalam kasus lebaran dan natal, namun telah menjadi suatu ‘milik semua orang Indonesia’, dalam hal ini lah keberadaan orang Tionghoa dan kebudayaannya menjadi suatu representasi dari adanya multikulturalisme di Indonesia.
Sebagai suatu etnis, orang Tionghoa memiliki etnisitas yang cukup erat. Etnisitas dapat diterjemahkan sebagai konsep budaya yang terletak pada kesamaan norma, kepercayaan, simbol dan praktik budaya. Etnisitas juga dapat dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang berbagi ciri-ciri budaya dan memiliki sejarah yang sama, minimal memiliki nenekmoyang secara mitologis (lihat Barker 2005). Tentu saja sebagai salah satu representasi dari multikulturalisme, tidak berlebihan kiranya jika etnis Tionghoa dianggap sebagai representasi dari multikulturalisme di Indonesia. Orang Tionghoa di Indonesia memiliki ciri budaya bahkan sejarah yang sama, sehingga mereka memiliki suatu identitas bersama.
Dalam sejarah kehidupan yang sangat panjang, sejak Fa Hien melaporkan adanya kelompok orang Tionghoa di Jawadwipa hingga saat ini, orang Tionghoa telah menjadi bagian penting dalam sejarah bangsa Indonesia, meskipun sejarah tersebut kemudian (di) hilang (kan), namun eksistensi mereka hingga saat ini adalah bukti dari keberadaan mereka pada masa lalu. Keberadaan mereka yang minoritas secara kuantitas menjadikan mereka sebagai ‘sasaran empuk’ bagi berkembangnya stereotip yang menyudutkan orang Tionghoa. Sejak era kolonial Belanda bibit-bibit kebencian sudah ditaburkan pada orang Tionghoa, bahkan bibit tersebut telah menjadikan orang Tionghoa sebagai korban genosida selama dua periode, yakni tahun 1740 dan 1998.
Berbagai pengalaman buruk orang Tionghoa dalam sejarahnya justru menjadikan mereka sebagai kelompok masyarakat yang sangat adaptif. Mereka mampu bertahan, meskipun sang naga telah lama di cengkeram oleh garuda, dalam hal ini opresi negara atas etnis Tionghoa, namun mereka tetap bertahan. Orang Tionghoa, dalam model politik multikulturalisme, adalah korban dari ‘terorisme negara’ (Heryanto 1999) di mana mereka belum mendapatkan berbagai kesempatan yang sama seperti yang dimiliki oleh warga ‘pribumi’.
‘Masalah Cina’, sebagaimana yang seringkali diucapkan oleh para peneliti mengenai orang Tionghoa, tidak lah terletak pada bagaimana orang Tionghoa menjalankan rutinitas mereka sehari-hari, ‘masalah Cina’ terletak pada posisi mereka dalam konteks kebijakan politik pemerintah dan peran mereka dalam konfigurasi multikulturalisme di Indonesia (Allen 2002). Adanya opresi dari pemerintah tidak pernah menghentikan kelompok ini untuk terus berupaya mendapatkan hak mereka sebagai warga negara Indonesia, toh hal itu sudah sangat jelas terlihat dalam sejarah panjang kehidupan mereka.
Saat ini boleh jadi orang Tionghoa dapat bernapas lebih lega, terutama dengan diakuinya posisi mereka dalam konteks kebudayaan nasional Indonesia. Setidaknya hal tersebut terlihat dengan turut berpartisipasinya berbagai golongan etnis di Indonesia dalam merayakan imlek, setidaknya bibit-bibit kebencian terhadap etnis Tionghoa perlahan mulai ‘layu sebelum berkembang’. Sebagai penutup, penulis akan mengutip sebuah puisi (Allen 2002) yang sedikit banyak memberikan gambaran mengenai sejarah orang Tionghoa:
Sejak abad lima belas dengan perahu Jung
mereka arungi lautan ganas
larikan diri dari bencana dan malapetaka
tinggalkan negeri leluhur
mencari tanah harapan di Nan Yang
Perkampungan nelayan di Teluk Naga
seorang encek pembuat arak
mengubur kesendiriannya
bersama seorang pendamping setia
gadis pribumi lugu sederhana
Kikuk seperti ayam dan itik
yang satu pakai sumpit
yang satu doyan sambel
dengan bahasa isyarat
berlayar biduk antar bangsa
beranak pinak dalam kembara
Dari generasi ke generasi
warna kulit makin menyatu
jadilah generasi persatuan:
‘Cina Benteng’
teladan pembauran
Sungai Cisadane jadi saksi
perjalanan hidup kedua anak bangsa
bersama melawan penjajah Belanda
bergotong royong
terjalin persaudaraan sejati
seperti Cisadane terus mengalir
dari abad ke abad
menuju tanah
air – Indonesia
Kepustakaan:
Adam, Asvi Warman
2008 “Tionghoa dan Pembabakan Sejarah Indonesia” dalam Harian Kompas, 6 Februari
Abidin, Zaenal
2008 “Spiritualitas Imlek” dalam Harian Kompas, 6 Februari
Anderson, Benedict
2001 Komunitas-Komunitas Terbayang. Edisi Revisi. Yogyakarta: Insist-Putaka Pelajar
Allen, Pam
2002 “Diasporic Literature?: New Chinese Voices in Indonesia” dalam 3rd International Symposium of The Journal Antropologi Indonesia “Rebuilding Indonesia, a Nation of ‘Unity in Diversity’: Towards a Multicultural Society”. Bali 16-19 Juli
Barker, Chris
2005 Cultural Studies, Teori & Praktik. Cetakan kedua. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Blusse, Leonard
2004 Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC. Yogyakarta: LKiS
Carey, Peter
1986 Orang Jawa dan Masyarakat Tionghoa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Castells, Manuel
2004 The Power of Identity. Malden, MA: Blackwell Publishing
Coppel, Charles A.
2002 “Historical Impediments to the Acceptance of Ethnic Chinese in a Multicultural Indonesia” dalam 3rd International Symposium of The Journal Antropologi Indonesia “Rebuilding Indonesia, a Nation of ‘Unity in Diversity’: Towards a Multicultural Society”. Bali 16-19 Juli
Danandjaja, James
2007 Folklor Tionghoa, Sebagai Terapi Penyembuh Amnesia Terhadap Suku Bangsa dan Budaya Tionghoa. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
van Dijk, Kees
2005 “Sarung, Jubah, dan Celana: Penampilan sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi” dalam Henk Schulte Nordholt (ed.) Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan. Yogyakarta: LKiS. Hlm. 57-120
Erniwati
2007 Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak
Hefner, Robert W.
2007 “Pendahuluan: Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura dan Indonesia” dalam Robert W. Hefner (ed.) Politik Multikulturalisme, Menggugat Realitas Kebangsaan. Yogyakarta: Impulse-Kanisius. Hlm. 11-103
Heryanto, Ariel
1999 “Kapok Jadi Nonpri: Terorisme Negara dan Isu Rasial” dalam M. Sa’dun M. (ed.) Pri-Nonpri: Mencari Format Baru Pembaruan. Jakarta: CIDES
Kenny, Michael
2004 The Politics of Identity. Cambridge: Polity
Kompas
2008 Harian Kompas, 6 Februari.
Lombard, Denys
2005 Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 2 Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Muljana, Slamet
2005 Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa, dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS
Nas, Peter J.M. dan Kees Grijns
2007 “Jakarta-Batavia, Sebuah Sampel Penelitian Sosio-Historis Mutakhir” dalam Peter J.M. Nas dan Kees Grijns (eds.) Jakarta Batavia, Esai Sosio-Kultural. Jakarta: Banana bekerjasama dengan KITLV. Hlm. 1-26
Nordholt, Henk Schulte
2005 “Pendahuluan” dalam Henk Schulte Nordholt (ed.) Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan. Yogyakarta: LKiS. Hlm. 1-56
Pirous, Iwan Meulia
2001 “Nasionalisme Indonesia: Membayangkan Identitas dan Etnisitas” dalam 2nd International Symposium of The Journal Antropologi Indonesia “Globalization and Local Culture: a Dialectic Towards the New Indonesia”. Padang 18-21 Juli
Poole, Ross
2003 “National Identity and Citizenship” dalam Linda M. Alcoff dan Eduardo Mendieta (eds.) Identities: Race, Class, Gender and Nationality. Malden, MA: Blackwell Publishing. Hlm. 271-280
Raben, Remco
2007 “Seputar Batavia, Etnisitas dan Otoritas di Ommelanden, 1650-1800” dalam Peter J.M. Nas dan Kees Grijns (eds.) Jakarta Batavia, Esai Sosio-Kultural. Jakarta: Banana bekerjasama dengan KITLV. Hlm. 101-122
Ricklefs, M.C.
2005 Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Cetakan kedua. Jakarta: Serambi
Robbins, Richard H.
1973 “Identity, Culture, and Behavior” dalam John J. Honigmann (ed.) Handbook of Social and Cultural Anthropology. Chicago: Rand McNally College Publishing Company. Hlm. 1199-1222
Rustopo
2007 Menjadi Jawa: Orang-Orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998. Yogyakarta: Ombak bekerjasama dengan Yayasan Nabil
Shiraishi, Takashi
1997 Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Sparringa, Daniel
2005 “Multikulturalisme Sebagai Respon Alternatif Terhadap Politik Identitas dan Resolusi Konflik yang Bersifat Transformatif: sebuah Perspektif Sosiologi Politik”. Makalah tidak dipublikasikan, disampaikan dalam pelatihan HAM dan Demokrasi CESASS-UGM, Yogyakarta 28 Nov – 2 Des
Suparlan, Parsudi
1986 “Kebudayaan dan Pembangunan” dalam Dialog No. 21, September. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia. Hlm. 7-24
2002 “Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat Majemuk Indonesia” dalam 3rd International Symposium of The Journal Antropologi Indonesia “Rebuilding Indonesia, a Nation of ‘Unity in Diversity’: Towards a Multicultural Society”. Bali 16-19 Juli
Suryadinata, Leo
1984 Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: Grafiti Press
2002 “Indonesian State Policy Toward Ethnic Chinese: From Assimilation to Multiculturalism?” dalam 3rd International Symposium of The Journal Antropologi Indonesia “Rebuilding Indonesia, a Nation of ‘Unity in Diversity’: Towards a Multicultural Society”. Bali 16-19 Juli
Tanggok, M. Ikhsan
2001 “Keberadaan Agama Konghucu dalam Masyarakat Majemuk Indonesia” dalam 2nd International Symposium of The Journal Antropologi Indonesia “Globalization and Local Culture: a Dialectic Towards the New Indonesia”. Padang 18-21 Juli
Tomy Su
2008 “Pesan Inklusif Imlek” dalam Harian Kompas, 6 Februari
Wahid, Abdul
2003 “Proses Menjadi (Tidak) Indonesia? Persepsi dan Memori Massa-Rakyat Tionghoa di Yogyakarta” dalam Budi Susanto S.J. (ed.) Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 65-103
Wikipedia
Tt “Chinese
Indonesia” dalam www.wikipedia.com/chinese%20indonesian/en.wikipedia.org%20wiki%20Chinese%20Indonesian.htm
[1] Istilah ini pada dasarnya merujuk pada ketetapan Gubernur Jenderal yang membagi penduduk Batavia dan sekitarnya dalam tiga kategori besar, yaitu: (1) orang Eropa, termasuk di dalamnya orang Belanda dan Portugis, (2) Timur Jauh atau Timur Asing, termasuk di dalamnya orang Tionghoa, Arab, Benggali, Persia dan Gujarat, dan (3) Bumiputra atau penduduk asli.
[2] Pakubuwana II, merupakan Raja Mataram sebelum kerajaan ini di bagi dalam dua bagian, yakni Surakarta dan Yogyakarta pada perjanjian Gianti.