Politik tubuh, imaji, dan perlawanan perempuan Madura

Tulisan ini adalah ringkasan dari disertasi saya yang berhasil dipertahankan dalam sidang promosi pada tahun 2014. Buku utuh disertasi saya telah diterbitkan oleh Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia, silahkan unduh darti laman pkwg.ui.ac.id. Gratis.

for most of history, anonimous was a woman – Virginia Woolf

  1. Fokus dan pertanyaan penelitian

Apa yang kita tahu tentang perkawinan? Perkawinan bukan semata urusan siapa jatuh cinta pada siapa, atau siapa menikah dengan siapa. Perkawinan, sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian ini adalah mekanisme kultural yang berhubungan erat dengan politik tubuh. Penelitian ini berfokus pada dua sasaran utama: politik tubuh (body politics) dan rekonstruksi tempat (reconstructing place). Politik tubuh dalam penelitian ini, mengutip Ong dan Peletz (1995:6), sebagai “the inherently political nature of symbols and practices surrounding the body politics and the human body”, dengan posisi demikian, penelitian ini menjadikan tubuh sebagai landasan utama, tentang bagaimana tubuh dilihat, dikonstruksikan, dan terutama sekali dikendalikan. Tubuh secara historis dan kultural adalah titik singgung dari relasi kuasa antara kontrol sosial dan perlawanan. Tubuh menjadi area penting di mana konstruksi dimulai, sebab tubuh adalah area abu-abu di mana kontestasi adalah napasnya dan konflik adalah denyutnya (Foucault 1979, Ong 1987, Detsi-Diamanti, Kitsi-Mitakou, dan Yiannopoulou 2009).

Secara spesifik, penelitian ini berbicara tentang tempat (place), tentang orang yang pergi (displacement), dan tentang orang yang mengkonstruksi kembali tempat (recontructing place) sebagai basis dari geografi moral mereka (Hirsch 1995, Olwig 1997, DeRogatis 2003, Ho 2006, Jacobsen 2009). Ketiga hal ini akan dikaitkan dengan politik tubuh, yakni pada bagaimana tubuh-tubuh dikonstruksikan dan dikendalikan dalam sebuah skema kultural yang bernama Madura. Madura dalam penelitian ini tidak hanya merujuk pada lokasi geografis namun juga kultural. Secara spesifik, saya meletakkan politik tubuh dalam konteks kebudayaan Madura, bagaimana politik tubuh mendorong terjadinya perpindahan orang (displacement), dan bagaimana orang-orang tersebut membangun kembali tempat (recontructing place) sekaligus menjadikan tempat yang telah ditinggalkan menjadi tempat untuk kembali (place of return). Lokus itu sendiri amat jelas: tanean lanjeng. Tanean lanjeng atau halaman panjang adalah komplek permukiman khas Madura yang dihuni oleh keluarga luas istri yang masih memiliki hubungan genealogis yang sama. Dalam komplek tanean terdapat rumah induk, rumah anak, langgar, kandang, dan makam. Dalam beberapa tanean yang masih berkerabat, buju’ atau makam adalah axis mundi, pusat dari tanean tersebut. Sepanjang penelitian ini, istilah tanean merujuk pada tanean sebagai komplek permukiman dan tanean sebagai rumah tempat semua persoalan dimulai.

Penelitian bertujuan untuk menjawab tiga pertanyaan dasar, yaitu: Pertama, bagaimana politik tubuh dikonstruksikan dan bekerja dalam skema kultural Madura?, bagaimana perkawinan berfungsi sebagai artikulator dari politik tubuh tersebut?, dan bagaimana tanean turut berperan dalam konstruksi politik tubuh? Kedua, bagaimana skema politik tubuh mendorong tubuh-tubuh yang disfungsi, yang menyebabkan tubuh-tubuh tersebut keluar dari rumah mereka? bagaimana hubungan mereka yang terasing dengan tanean mereka? Bagaimana mereka memaknai tanean sebagai rumah? Ketiga, bagaimana tanean bertranformasi dari sekedar rumah menjadi geografi moral?, mengapa mereka menganggap imaji atas ruang menjadi penting, dan mengapa tanah dan tanean lanjeng menjadi lokus utama yang krusial dan harus dipertahankan?, perlawanan seperti apa yang mereka lakukan untuk tetap mempertahankan hak mereka atas tanean lanjeng sebagai rumah mereka?

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka penelitian ini memiliki empat tujuan utama: Pertama, mengidentifikasi dan menjelaskan bagaimana konstruksi politik tubuh bekerja dalam konteks kultural Madura. Kedua, menjelaskan hubungan antara perkawinan, eksklusi sosial, perpindahan, dan imaji sebagai bagian integral dari pengalaman perempuan. Ketiga, menjelaskan bagaimana tindakan para janda di tempat tujuan dan hubungan mereka dengan kampung halaman terkait dengan perebutan ruang tanean. Keempat, menjelaskan makna tanean sebagai rumah dan geografi moralbagi para janda tersebut. Terlepas dari empat tujuan di atas, kiranya penelitian ini, diharapkan, menjadi kritik sekaligus otokritik atas penelitian yang menjadikan masyarakat dan kebudayaan Madura sebagai fokus, dengan menyampaikan kisah lain, mengenai perempuan yang terasingkan dari kampung halaman mereka.

Secara khusus saya ingin menetapkan empat tesis utama dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) terdapat kaitan yang seringkali terlupakan, baik dalam kajian Madura maupun dalam kajian antropologi arus utama, antara perkawinan dan politik tubuh. Argumen dasar saya meletakkan fakta mendasar, bahwa perkawinan, baik disebutkan secara jelas atau tidak, menjadikan tubuh sebagai basis dari perkawinan itu sendiri. (2) skema kultural politik tubuh tidak hanya bekerja ketika perempuan berada dalam lingkup sosial tanean, namun juga bekerja di luar tanean. Namun politik tubuh di luar tanean memunculkan wajah yang berbeda dengan politik tubuh di dalam tanean, di mana perempuan menemukan ruang untuk mengaktualisasikan dirinya dan mengembangkan seluruh potensi yang ia miliki. (3) perpindahan yang dilakukan oleh perempuan tidaklah semata urusan keuangan atau keputusan yang altruistik, namun juga didorong oleh eksklusi sosial dari dunia sosial tempat mereka berasal. Dalam hal ini, perpindahan bagi mereka adalah perlawanan dari himpitan dunia sosial perempuan terhadap diri mereka. (4) kepergian perempuan dari tanean justru menstranformasi tanean, dari sekedar rumah yang ditinggalkan menjadi tujuan. Tanean, atau saya menyebutnya dengan terma rumah, adalah titik kunci dalam menjelaskan seluruh argumen dalam riset ini, sebab rumah adalah tempat pergi sekaligus tempat kembali bagi mereka. Rumah dalam hal ini tanean, memainkan peran krusial, baik sebagai jangkar maupun sebagai geografi moral bagi mereka.

  • Durasi, subjek, dan lokasi

Penelitian ini dilakukan sejak 2011 dan berakhir pada medio 2013 dengan mengambil subjek lima keluarga: Suhadiyah, Kholifah, Faridah, Rukoyah, dan Jaenab. Penelitian ini berlokasi di dua Provinsi: Jawa Barat dan Jawa Timur, di empat kabupaten: Bekasi, Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep. Penelitian ini mempergunakan etnografi sebagai metode dan sudut pandang dalam melihat, mengurai, dan merekonstruksi kebudayaan Madura yang menjadi lokus penelitian.

  • Perkawinan dan surplus laki-laki

Titik pijak penelitian ini dimulai dengan bagaimana politik tubuh bekerja dalam skema kultural Madura, dan tempat terbaik untuk melihat hal itu ada pada perkawinan. Adalah penting untuk melihat bagaimana konstruksi kultural, dengan latar belakang ekologis yang khas, membentuk cara pandang mengenai tubuh dan beban atas tubuh itu sendiri. Dalam hal ini, penting untuk melihat bagaimana tubuh perempuan dilihat dalam dua fungsi utama: fungsi produksi biologis dan fungsi produksi ekonomis. Perkawinan adalah sarana bagi masyarakat untuk mempertahankan kontinuitasnya, dan untuk itu seperangkat aturan yang ketat mengenai perkawinan dibangun dan dienkulturasikan.

Apa sebetulnya yang menjadi landasan utama perkawinan dalam konteks kultural Madura? Niehof (1992) menyebut tentang dua takdir perempuan Madura: sebagai istri dan sebagai ibu. Apakah dua takdir yang benar-benar bermain ataukah ada hal lain? Salah satu cara untuk memahami masalah ini terletak pada posisi laki-laki dalam kaitannya dengan ekologi tanean. Dalam masyarakat dengan kultur tegalan yang kering dan tadah hujan, pengolahan lahan harus dilakukan dengan secara manual dan membutuhkan tenaga atau energi yang besar. Meskipun masyarakat Madura tidak selalu menggantungkan kehidupannya pada tanah tegalan, karena mereka yang tinggal di wilayah pesisir akan banyak menggantungkan pada kegiatan bahari, namun pelaku dari kegiatan ekonomi yang membutuhkan tenaga lebih banyak dilakukan oleh laki-laki.

Adalah penting untuk melihat bagaimana tekanan ekologis tegalan yang kering menciptakan aturan pengelolaan dan pengolahan yang menitikberatkan pada penggunaan tenaga kerja yang diambil dari anggota keluarga itu sendiri (Alexander 1986, Agarwal 1998, Elmhirst dan Ressureccion 2009). Konsekuensi logisnya jelas: penting bagi tanean tanean untuk mempertahankan surplus tenaga kerja, atau dalam istilah yang saya gunakan sebagai surplus laki-laki, dan perkawinan adalah cara utama dalam mempertahankan surplus ini, khususnya dalam konteks tanean lanjeng (Wiyata 2002, Tulistyantoro 2005). Argumentasi saya sederhana: surplus menjadi penting sebab dalam berbagai dimensi kehidupan dalam tanean selalu bersinggungan dengan laki-laki. Dalam hal ini, adalah penting untuk memahami bagaimana mode surplus ini berfungsi dalam tiga hal:

Pertama, mode surplus ini tidak dapat dilepaskan dari posisi laki-laki sebagai pihak luar yang ditarik masuk ke dalam tanean. Salah satu tujuan yang tidak tertulis dari perkawinan adalah nilai ekonomis dari perkawinan itu sendiri. Karena tanean adalah area perempuan, maka setiap laki-laki yang masuk harus memberikan sesuatu bagi sang perempuan, dan terutama untuk tanean tersebut. Meskipun tentu saja nilai ekonomis perkawinan tidak hanya dari bawaan ataupun mahar yang bersifat jangka pendek, namun yang terpenting adalah sang mempelai laki-laki itu sendiri. Masuknya seorang laki-laki ke dalam tanean akan selalu berhubungan dengan apa yang dimiliki oleh laki-laki: energi, dan ini berkaitan dengan poin berikutnya.

Kedua, kebutuhan untuk surplus laki-laki tidak dapat dilepaskan dari lingkungan ekologis Madura yang berlatar tegalan yang cenderung kering dan berbatu. Dalam kondisi seperti ini, maka pengolahan atas lahan harus dilakukan dengan cara manual, dan kosekuensi lanjutannya adalah, dibutuhkan tenaga yang besar untuk mengolahnya, oleh karena itu, tugas untuk mengolah lingkungan alam menjadi tanggungjawab laki-laki sepenuhnya. Hal ini juga dimungkinkan berdasarkan konstruksi kultural atas tubuh, yang membedakan antara tubuh laki-laki dan tubuh perempuan. Tubuh dibedakan berdasarkan kapasitas produksi yang dimilikinya, di mana laki-laki dianggap lebih mampu dalam memaksimasi tenaga dalam pengelolaan lingkungan alam di sekitar tanean mereka ketimbang perempuan. Sejak awal semua anak di Madura telah disosialisasikan mengenai pembagian kerja berdasarkan seks, enkulturasi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh laki-laki, demikian pula sebaliknya. Dengan kata lain, sejak awal anak laki-laki telah ditempatkan sebagai komponen dasar dari proses produksi ekonomi untuk keperluan tanean, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan subsisten dari tanean, sebagaimana anak perempuan ditempatkan sebagai tenaga kerja domestik yang turut membantu kegiatan produksi.

Ketiga, surplus laki-laki diperlukan karena laki-laki diperlukan sebagai pelindung dari perempuan. Hal ini berkaitan erat dengan posisi perempuan sebagai inti dari harga diri laki-laki Madura. Wiyata (2002) dan Jonge (1995, 2002) telah sangat baik menjelaskan mengenai carok dalam konteks Madura, yang selalu ditempatkan sebagai area kultural di mana harga diri seorang laki-laki Madura dipertaruhkan, di mana putih tulang (mati) lebih baik ketimbang putih mata (menanggung malu). Dalam konteks carok, harga diri suami (baca: laki-laki) adalah sama dengan kehormatan tanean. Ketidakmampuan suami dalam mengembalikan harga dirinya adalah sama dengan menginjak-injak nilai tanean. Mengingat fungsi dasar laki-laki sebagai tulang punggung utama dalam kegiatan ekonomi, maka laki-laki pula yang menjadi pihak yang paling berkepentingan dalam memproteksi perempuan.

Dalam perkawinan, politik tubuh bukanlah sesuatu yang mengawang, namun sesuatu yang diwujudkan. Perkawinan dilandaskan pada satu kesadaran, bahwa tubuh perempuan dan tubuh laki-laki berbeda, dan masing-masing tubuh harus memainkan perannya dengan baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Di sisi yang berbeda, perkawinan memainkan peran lain yang tak kalah penting: mempertahankan keberadaan tanean. Hal ini lah yang membuat antara perkawinan dan tanean sebagai dua sisi dari koin yang sama. Untuk dapat bertahan, sebuah tanean harus tetap mempertahankan surplusnya, baik surplus tenaga kerja maupun surplus ekonomi. Pada intinya, sebuah surplus harus terjadi, dan surplus ini harus dilakukan dengan perkawinan.

  • Tersingkir dan pergi

Pertanyaannya adalah, apa yang terjadi para perempuan yang gagal mencapai takdirnya, sebagai istri dan sebagai ibu? Bagaimana nasib perempuan yang diceraikan atau ditinggal mati suami? Satu hal yang jelas, bahwa amat sulit bagi para perempuan yang menjanda, apalagi tanpa kehadiran anak, untuk terus berada dalam lingkungan sosial tanean yang tidak lain adalah dunia perempuan. Perempuan sebagai pemilik tanean, menjadikan tanean sebagai arena sosial mereka. Kegiatan sosial dalam tanean melibatkan seluruh orang dalam tanean. Tanean bukanlah sekedar kumpulan rumah yang saling berhimpitan, namun juga merupakan area sosial dan kultural. Mengingat tanean dihuni oleh keluarga luas, maka semua orang dalam tanean saling berhubungan secara sosial, dan karenanya setiap orang akan terlibat dalam setiap kegiatan tanean. Partisipasi penuh menjadi kewajiban seluruh anggota tanean, di mana seluruh orang dalam tanean tersebut sadar betul bahwa mereka ikut bertanggungjawab pada tanean, dan karena mereka akan terlibat dalam keseharian tanean maupun acara-acara yang dilaksanakan oleh tanean. Perempuan selalu menjadi bagian integral dalam berbagai kegiatan di dalam maupun di luar tanean. Dengan posisi demikian, maka setiap perempuan dalam tanean sesungguhnya akan selalu bertemu dengan perempuan lain di berbagai seting lokasi dan agenda acara.

Dengan kondisi seperti itu, di mana setiap perempuan harus berpartisipasi secara penuh, hubungan antarperempuan menjadi sangat krusial. Hubungan-hubungan ini diletakkan pada suatu kondisi di mana setiap perempuan Madura telah mencapai takdir mereka: menjadi istri dan menjadi ibu. Dengan menjadi istri, seorang perempuan telah melepaskan status anak-anak dan mendapatkan status baru sebagai perempuan dewasa. Sebagai perempuan dewasa, tentu saja ruang sosial mereka jauh lebih terbuka ketimbang anak-anak. Dunia sosial mereka menjadi jauh lebih luas, dan mereka mulai terlibat secara aktif dalam menyokong kehidupan tanean. Namun menjadi istri saja tidaklah cukup, perempuan itu harus paripurna, ia harus menjadi ibu. Menjadi ibu berarti dua hal: Pertama, perempuan tersebut dapat memanfaatkan tenaga di luar tenaga dirinya untuk mempertahankan rumah dan taneannya. Tenaga itu berasal dari suami yang ia tarik untuk masuk ke dalam lingkungan taneannya dan anak-anak yang ia lahirkan. Kedua, meskipun tenaga anak-anak tidak dapat dibandingkan dengan tenaga orang dewasa, namun dalam derajat tertentu, seorang anak dapat menggantikan orangtuanya dalam mengerjakan hal-hal tertentu yang memiliki kontribusi terhadap tanean.

Intensitas interaksi antara seluruh penghuni tanean, terutama penghuni perempuan, tidak memberikan ruang kosong bagi perempuan untuk menyendiri dari kehidupan sosial. Bagi perempuan yang sukses mencapai takdirnya sebagai seorang istri dan ibu, dunia sosial perempuan  dalam tanean adalah lingkungan yang menyenangkan, namun tidak bagi mereka yang gagal mencapai dua takdir tersebut. Bagi mereka yang gagal, maka gosip menjadi santapan harian, yang intensitasnya semakin hari semakin membuat mereka sulit bergerak. Kondisi mereka menjadi semakin sulit, sebab tanpa kehadiran seorang anak dan suami, mereka tidak lagi mampu menanggung kehidupan ekonomi rumah tangganya. Meskipun ada mekanisme pertukaran dan saling bantu/subsidi di antara sesama rumah tangga dalam tanean, namun mekanisme tersebut tidak dapat berjalan dalam waktu lama. Setiap rumah tangga harus sesegera mungkin mandiri, sebab kemandirian rumah tangga menjadi prasyarat bagi keberadaan rumah tangga tersebut dalam konteks ekonomi tanean. Jika sebuah rumah tangga terus menerus dibantu oleh rumah induk atau rumah tangga lainnya, maka rumah tangga tersebut akan tidak mampu berkontribusi dalam ekonomi tanean secara lebih luas. Dengan demikian, rumah tangga tersebut bukan memberikan bantuan bagi tanean namun lebih sebagai beban bagi tanean.

Posisi mereka menjadi sangat unik. Di satu sisi, menjadi tidak logis jika mereka yang tidak mempunyai suami dan anak dianggap beban, terutama jika hal tersebut dikaitkan dengan beban konsumsi tanean. Logikanya sederhana, karena mereka tidak memiki suami dan anak, bukan kah seharusnya tingkat konsumsi dalam tanean justru menurun atau setidaknya lebih ringan? Dengan tidak adanya laki-laki dalam rumah, bukan kah berarti bahwa tanean tidak perlu pusing untuk membiayai hidup satu keluarga, karena keluarga itu hanya berisikan satu orang? Namun logika ini rupanya tidak masuk dalam nalar tanean. Alih-alih dianggap mengangkat beban tanean karena semakin sedikit mulut yang perlu diberi makan, mereka justru dianggap sebagai beban bagi tanean. Agaknya bagi tanean, tidak menjadi masalah berapa banyak mulut yang harus diberi makan, asalkan semua orang bekerja untuk keperluan dan mendukung keberlangsungan tanean. Dengan nalar tanean yang menjadikan sebagai orang sebagai aset, maka tidaklah mengherankan jika mereka yang gagal membuktikan diri bermanfaat bagi tanean tidak lain sebagai beban. Sebagai beban tanean, baik sebagai beban ekonomi maupun sebagai beban sosial, sebab mereka yang tidak menikah akan menyulitkan seluruh anggota tanean, dengan demikian ketiadaan mereka jauh lebih menguntungkan ketimbang keberadaan mereka.

Skema eksklusi sosial boleh jadi bukan hanya berfungsi sebagai pengingat bagi perempuan untuk memenuhi takdirnya, namun agaknya juga berfungsi untuk menciptakan suatu kondisi sosial di mana seorang perempuan tersudut dari dunia sosial sehingga satu-satunya pilihan yang masuk akal sekaligus paling menyenangkan semua pihak adalah ketiadaan diri perempuan tersebut. Ketersudutan dalam dunia sosial perempuan mungkin saja bisa diatasi oleh perempuan tersebut dalam kurun waktu tertentu, namun jika kondisi tersebut harus dialami selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, boleh jadi setiap perempuan akan menyerah dan ikut dalam aturan main atau keluar untuk bisa bernapas. Pembangkangan atas skema tersebut membuat setiap orang di dalam dan di luar tanean akan bergerak lebih keras, terutama dengan menutup berbagai akses terhadap sumber daya yang biasa dimanfaatkan oleh seluruh penghuni tanean. Tanpa akses tersebut, rumah tangga yang dimiliki oleh perempuan akan semakin sulit untuk hidup, bahkan untuk mencukupi etika subsistensinya sendiri. Pilihan-pilihan yang dahulu ada sebagai sebuah kewajaran berubah menjadi suatu kemewahan, karena pilihan-pilihan tersebut perlahan menutup dan terlarang bagi mereka. Dengan demikian, satu-satunya pilihan yang tersedia bagi mereka adalah keluar dari lingkungan sosial tersebut, tercerabut dari taneannya, dan membentuk dunia sosial baru bagi kehidupan mereka sendiri.

Kepergian Suhadiyah, Rukoyah, Jaenab, Kholifah dan Faridah dari tanean mereka di Madura merupakan gambaran kecil dari adanya hubungan antara perkawinan dan perpindahan yang dilakukan oleh perempuan. Kepergian mereka membuka kotak pandora yang selama ini terabaikan: bahwa politik tubuh dan eksklusi sosial adalah dua sisi dari koin yang sama. Di satu sisi, politik tubuh dan eksklusi sosial memiliki hubungan erat dengan perempuan sebab perempuan tidak lain adalah pihak yang paling berkaitan dengan perkawinan, sekaligus perempuan pula yang menjadi “korban” dari perkawinan itu sendiri (Odell 1986, Leonardo 2001, Shadle 2003, Davin 2008, Noer 2008, Palriwala dan Uberoi 2008). Di sisi yang lain, perpindahan sendiri menjadi cara bagi perempuan untuk keluar dari tekanan sosial maupun ekonomi rumahtangga sebagai efek dari perkawinan itu sendiri (Chant dan Radcliffe 1992, De Haas dan Fokkema 2009).

Terdapat hubungan simbiotik antara politik tubuh dengan eksklusi sosial, dalam hal ini bahwa politik tubuh mengisyaratkan adanya pengasingan terhadap tubuh-tubuh yang gagal mencapai tujuannya dan tubuh-tubuh yang tidak produktif (Balen 2009, Swenson 2010, Rubin dan Steinberg 2011). Persoalannya, hubungan-hubungan ini tidak pernah dilihat secara serius, entah karena dianggap tidak penting atau tidak nyata. Handwerker (1986), Hayden (1986), dan Bennet (2005) misalnya, ketika melihat hubungan antara kebudayaan dan reproduksi, gagal melihat bagaimana logika kultural mengatur tentang tubuh yang tidak mampu menjalankan fungsi reproduksi tersebut. Hal ini agak mengherankan, bahwa ketika berbicara mengenai reproduksi, jelas bahwa tidak semua orang sukses menjalankan fungsi dasar tersebut, dan kegagalan itu membawa implikasi serius bagi perempuan.

Keputusan perempuan untuk pergi adalah keputusan yang diambil karena semakin terbatasnya pilihan yang tersedia bagi mereka, dan tidak lain adalah bentuk pelarian dari tekanan yang sosial yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kepergian mereka tidak hanya meninggalkan rumah yang menjadi hak kultural mereka, namun juga meninggalkan tanean yang menjadi awal bagi kehidupan mereka. Kepergian dari kampung halaman mereka, alih-alih menyelesaikan persoalan, justru memunculkan persoalan baru: bagaimana hubungan mereka dengan rumah yang mereka tinggalkan? Madura adalah rumah, menjadi asal sekaligus tempat mereka kembali, sejauh apapun perjalanan yang telah mereka tempuh. Tanean adalah lokus utama kehidupan mereka, tempat di mana semua persoalan bermula. Sebagai sumber kehidupan, tanean adalah bagian dalam diri mereka yang sejenak mereka tinggalkan. Harapan untuk kembali menjadi bagian tersendiri dalam kehidupan mereka di daerah tujuan, Bekasi, yang tidak pernah mereka anggap titik akhir. Dengan menjadikan Bekasi hanya sebagai tempat berteduh, mereka tetap mempertahankan harapan mereka untuk kembali ke rumah mereka. Harapan tersebut pun mereka wujudkan dalam kunjungan, yang meskipun tidak rutin dilaksanakan setiap tahunnya, namun tetap dilakukan untuk meneguhkan posisi mereka di dalam tanean yang telah mereka tinggalkan.

  • Menawar mimpi

Persoalan pertama yang harus dijawab terletak pada rumah yang mereka tinggalkan. Rumah adalah hak waris kultural yang dimiliki oleh setiap perempuan, sebab rumah melambangkan perubahan status seorang perempuan, dari seorang anak perempuan yang bergantung pada orangtua, menjadi seorang perempuan dewasa yang mandiri dan tidak lagi bergantung pada kehidupan orangtuanya. Rumah merupakan penanda utama bahwa seorang perempuan telah dewasa dan dianggap cukup mampu mengatur kehidupannya sendiri. Ketika mereka meninggalkan rumah mereka dan kemudian pergi ke Bekasi, sesungguhnya mereka meninggalkan separuh dari entitas diri mereka di sana. Sebagaimana selalu ditunjukkan dalam setiap kesempatan, bahwa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka, sesuatu yang tidak dapat digantikan dengan yang lain, ataupun tidak dapat dibayarkan dengan uang. Sesuatu itulah yang coba mereka tebus dengan harga yang amat mahal, sekaligus amat pantas: emas. Emas, selalu dalam bentuk perhiasan, merupakan kiriman yang tidak pernah lupa mereka kirimkan untuk tanean mereka. Emas bagi mereka dianggap lebih bermakna ketimbang gelondongan kain ataupun timbunan makanan siap saji. Emas tidak hanya memiliki nilai ekstrinsik sebagai logam mulia, namun juga memiliki nilai instrinsik, setidaknya secara kultural, dalam masyarakat Madura.

Pertama, emas menunjukkan bahwa mereka mampu bertahan bahkan hidup mapan di daerah orang. Emas dalam hal ini adalah simbol dari kemapanan, kemandirian, dan prestise sosial. Khususnya prestise sosial, emas menunjukkan kepada setiap orang yang melihat atau menerima pemberian tersebut bahwa dirinya telah mampu hidup, bahkan lebih baik ketimbang kehidupan mereka sebelumnya. Emas menjadi sarana penunjukkan status secara terang dan terbuka bagi setiap orang. Dalam hal ini, mengirimkan sebuah cincin emas selalu jauh lebih “bermanfaat” secara sosial ketimbang setumpuk uang ataupun semobil penuh barang. Kedua, emas menunjukkan kepada si penerima, bahwa si pemberi pun dapat turut berkontribusi atas kehidupan tanean, meskipun secara faktual si pemberi tidak pernah ada dalam tanean tersebut. Emas menjadi alat pembayar kultural, bahwa mereka yang telah lama pergi tetap memberikan kontribusi penting dalam kehidupan tanean. Emas dengan demikian dapat dipergunakan sebagai pengganti atas ketiadaan fisik si pemberi. Jika dibutuhkan, emas dapat dijual, dan uangnya dapat dipergunakan untuk kepentingan tanean, pun tidak dibutuhkan, emas tersebut dapat disimpan dan nilainya tidak akan berkurang seiring waktu. Fleksibilitas inilah yang membuat emas selalu menjadi pilihan yang dianggap paling menguntungkan bagi masing-masing pihak, baik si pengirim maupun si penerima.

Persoalan tidak berhenti di sana. Emas yang mereka kirimkan dengan niatan bahwa emas tersebut akan membantu keberlangsungan tanean, justru berubah menjadi area pertengkaran baru yang selama ini tidak diperhitungkan. Masalah utama yang paling sering terjadi adalah penyalahgunaan emas bukan untuk kepentingan tanean. Di titik ini lah terdapat perbedaan persepsi atas emas yang dikirimkan antara si pemberi dengan si penerima. Bagi si pemberi, emas adalah bentuk tanggungjawab moral mereka atas keberlangsungan tanean. Mengingat mereka secara fisik tidak lagi berada di tanean, maka mereka tidak mampu berpartisipasi dan berkontribusi secara langsung atas keberlangsungan tanean, dan atas ketidakhadiran mereka lah emas diberikan, dengan kata lain, emas adalah cara bagi mereka untuk menyatakan bahwa mereka masih berkontribusi bagi tanean. Dari sudut pandang keluarga, kiriman tersebut adalah kiriman yang tidak pernah diharapkan untuk diberikan, sebab mereka yang telah keluar dari tanean dianggap meninggalkan tanean dan karenanya tidak diharapkan partisipasinya dalam tanean.

Emas bertransformasi, dari sekedar logam mulia menjadi pengikat bagi mereka, sekaligus medium di mana loyalitas diletakkan. Logika pengiriman emas harus dilihat sebagai cara yang dilakukan oleh mereka yang telah lama pergi untuk meneguhkan posisi mereka sekaligus sebagai wahana untuk menunjukkan loyalitas mereka terhadap tanean. Emas dengan demikian berfungsi sebagai jembatan penghubung yang menghubungkan antara mereka yang telah lama pergi dengan keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Di sisi yang berbeda, emas tidak hanya berperan sebagai jembatan penghubung antara rumah di sini dengan rumah di sana, emas juga menjadi medium bagi mereka untuk melakukan tawar-menawar dengan keluarga mereka. Emas menjadi simbol bagi mereka untuk menunjukkan bahwa mereka mampu bertahan di tempat orang sekaligus menjadi bukti bahwa mereka masih memiliki loyalitas yang sama terhadap tanean. Lebih jauh, emas berperan sebagai jangkar bagi mereka yang telah lama pergi. Emas mengikat mereka dengan rumah mereka di sana, sekaligus dengan emas pula mereka menawar atas mimpi dan imaji mereka. Dalam keterikatan yang sama sesungguhnya mereka melabuhkan imaji mereka atas rumah mereka di Madura, di mana mereka menjadikan Madura bukan hanya tujuan hidup, namun juga geografi moral. Mimpi ini selalu dipupuk, dan emas yang mereka kirimkan, adalah jangkar yang menjaga agar hubungan itu tetap ada, agar imaji itu terus mengikat, dan agar suatu saat kemudian mereka dapat kembali ke tanean mereka.

  • Geografi moral

Salah satu aspek mendasar yang acapkali terlupakan ketika mendiskusikan tentang Madura terletak pada pandangan mereka terhadap tanean. Aspek ini bahkan amat terlupakan ketika membicarakan oreng Madura di luar Madura (Sudagung 2011), bahkan oleh para pengamat yang mengamati kultur Madura dalam seting Madura itu sendiri (Kuntowijoyo 2002, Wiyata 2002, Jonge 2011). Bagaimana cara pandang masyarakat Madura terhadap tanean sesungguhnya menjadi kata kunci penting dalam memahami bagaimana skema kultural bekerja dalam masyarakat. Pemahaman atas tanean sebagai area sosial maupun sebagai artikulator atas politik tubuh membawa kita pada satu persoalan lain yang muncul, yakni bagaimana tanean menjadi geografi moral dan tujuan bagi mereka yang telah lama pergi. Geografi moral adalah area di mana segala praktek kebudayaan dan nilai-nilai moral dikembalikan, sebuah pelabuhan asal di mana jangkar kehidupan dijatuhkan, sebuah pantulan di mana seluruh kehidupan dan nilai-nilainya direfleksikan (DeRogatis 2003, Ho 2006). Keberadaan geografi moral ini menjadi penting bagi mereka yang jauh berjalan, sebagai cara bagi mereka untuk tetap memiliki ikatan dengan daerah asal sekaligus menjauh dari daerah tersebut. Geografi moral menjadikan mereka yang pergi untuk terus merasa ingin kembali, suatu saat nanti, sambil terus hidup di daerah tujuan mereka. Geografi moral menjadi kompas bagi mereka untuk tetap hidup dan mempertahankan identitas dan imaji mereka di saat yang bersamaan.

Hal yang sama sesungguhnya muncul pula dalam konteks para janda ini, di mana mereka pun menjadikan Madura sebagai geografi moral bagi mereka. Madura adalah rumah yang mereka tinggalkan secara fisik namun tetap mereka tinggali secara imajinatif. Skema ini muncul secara berulang ketika mereka membicarakan tentang kehidupan mereka di masa lalu dengan kehidupan mereka saat ini. Dalam hal ini bagaimana mereka melihat bagimana kondisi mereka secara riil berbanding terbalik dengan kondisi ideal yang mereka angankan. Mereka secara spesifik melihat tanean menjadi sesuatu yang mereka tuju, dan bagaimana mereka mencapai tujuan tersebut terartikulasikan pada bagaimana mereka memandang konteks tempat dan waktu. Bagi mereka, kehidupan mereka saat ini hanya lah bagian dari rangkaian episode kehidupan yang harus mereka jalani. Sebagai sebuah rangkaian, ruang yang mereka tinggali saat ini pun hanya lah bersifat temporer. Bekasi tidak lain adalah persinggahan, sebagaimana mereka melihat hidup sebagai sebuah tempat persinggahan. Kepergiaan hanyalah persiapan untuk kembali, tidak masalah seberapa banyak yang diperlukan. Waktu bagi mereka adalah penggalan episode, di mana kehidupan mereka di Bekasi hanya lah bagian dari episode yang tidak perlu dihitung, sebab bagi mereka, yang terpenting adalah waktu ketika mereka bermula dan waktu ketika mereka berakhir.

Sebagai geografi moral, mereka menjadikan tanean sebagai sandaran sekaligus sebagai tempat di mana nilai-nilai moral dan kebudayaan dikembalikan. Mereka berulangkali menyatakan bahwa tanean adalah tempat mereka kembali, tempat mereka mengambil kebajikan dan nilai, tempat mereka menyandarkan seluruh persoalan yang mereka hadapi. Kemaduraan mereka muncul justru ketika meninggalkan tanah Madura dan menetap di wilayah yang teramat jauh dari tempat mereka berasal. Nilai-nilai kultural dalam tanean selalu mereka bawa dan mereka ajarkan kepada anak-anak mereka dan diartikulasikan dalam berbagai kegiatan hidup sehari-hari.

Di sisi yang berbeda, usaha untuk mempertahankan kemaduraan yang mereka miliki tidaklahsemata untuk menyatakan asal muasal mereka ataupun menegaskan identitas kesukuan mereka. Usaha yang mereka lakukan, dengan melakukan enkulturasi kepada anak-anak mereka, ataupun berkompromi dengan suami bahwa mereka tidak akan menerima tamu laki-laki pada malam hari dengan alasan atau tujuan apapun, terlebih bagaimana mereka memelihara hubungan mereka dengan keluarga mereka di tengah panas-dinginnya hubungan antara dua wilayah, merupakan usaha untuk menjaga posisi tanean sebagai geografi moral mereka. Bagi mereka, tanean yang secara fisik telah mereka tinggalkan, tetap lah merupakan cermin dasar sekaligus kacamata mereka dalam melihat dunia yang ada di sekitar mereka. Nilai-nilai dalam tanean menjadi landasan sosial, kultural, dan emosional mereka, yang mendorong mereka untuk berpikir dan bertindak.

Tanean bagi mereka adalah pantulan ideal, dan pantulan tersebut dijadikan sebagai landasan ideal bagi mereka dalam membangun kehidupan mereka di tempat yang baru. Tanean bertransformasi, dari sekedar kumpulan rumah yang saling berhimpit membentuk sebuah fasad fisik, menjadi area sosial dan lokus artikulasi politik tubuh, kemudian beralih menjadi geografi moral di mana segala hal tentang tanean adalah sebuah “kebenaran” yang harus diwujudkan sekaligus sebagai identitas yang harus dijaga di tengah himpitan “kegilaan” dan kejutan kultural yang harus mereka hadapi. Tanean bagi mereka lebih dari itu semua. Tanean adalah tujuan akhir bagi mereka yang telah jauh berjalan.

  • Kematian dan memori kolektif

Persoalan terakhir yang segera dijawab adalah, mengapa para janda ini begitu nekat dan ngeyel untuk kembali ke Madura? Saya sudah menjelaskan bagaimana tanean bertransformasi dari sekedar komplek permukiman menjadi geografi moral, namun tanean menyimpan hal lain: memori kolektif. Memahami bagaimana memori kolektif bekerja, mau tidak mau, kita harus melihat sikap ambivalen perempuan. Sisi ambivalen dari kepergian mereka terletak pada suatu hasrat mendasar: bahwa mereka selalu berharap untuk kembali ke tempat yang telah mereka tinggalkan. Bagi mereka, tanean adalah tujuan utama yang hendak mereka capai, dengan cara apapun, dan dengan harga setinggi apapun. Bagi mereka, Bekasi tidak lain adalah terminal pemberhentian sekaligus keberangkatan. Kehidupan sosial yang mereka nikmati saat ini, termasuk kemandirian ekonomi, adalah bagian dari cara yang mereka lakukan untuk kembali ke tempat mereka berasal.

Di titik ini sesungguhnya kita harus meninjau kembali mengenai apa yang mereka maksudkan dengan rumah itu sendiri. Rumah bagi mereka adalah tanean. Meskipun dalam tanean mereka memiliki sebuah bangunan rumah, namun rumah dan tanean adalah dua entitas yang titik batasnya amat kabur. Di satu sisi, mereka secara gamblang menjelaskan rumah sebagai wujud fisik tempat mereka tinggal ketika mereka kembali ke tanean. Sebagai wujud fisik, rumah adalah tempat kediaman yang menjadikan mereka pemilik rumah tersebut. Namun di sisi yang berbeda, rumah adalah sebuah arena sosial yang lebih besar, sebuah arena yang bernama tanean. Rumah bagi mereka adalah komplek permukiman dan seluruh dunia sosial yang ada didalamnya. Rumah dengan demikian adalah dunia fisik sekaligus dunia sosial, dunia yang pernah mereka tinggali, mereka tinggalkan, dan kemudian mereka idamkan.

Tujuan atas seluruh persoalan yang dihadapi oleh para janda yang menjadi subjek penelitian ini sesungguhnya amat sederhana. Alih-alih bertanya kepada mereka yang hidup, saya justru harus bertanya kepada mereka yang telah mati. Saya menduga alasan paling logis atas tindakan mereka terletak pada bagian paling barat tanean, bagian yang paling terlupakan oleh mereka yang hidup: pemakaman. Buju’ atau makam adalah bagian tak terpisahkan dari tanean, dan menjadi axis mundi bagi tanean. Penting untuk menjelaskan, mustahil memahami posisi makam tanpa memahami makna tanah.

Tanah bagi masyarakat Madura adalah penanda identitas sekaligus pengikat mereka atas leluhur mereka (Subaharianto 2004). Tanpa tanah, oreng Madura tidaklah berbeda dengan non-Madura. Signifikansi tanah bagi orang Madura agaknya sama dengan posisi perempuan dalam tanean. Tanpa tanah orang Madura tidak akan hidup, sebagaimana tanpa perempuan sebuah tanean tidak akan bertahan. Tanah menjadi sangat penting, sebab bagi masyarakat agraris keberadaan tanah adalah denyut nadi bagi kehidupan masyarakat sekaligus sebagai area sosial di mana hubungan dan status sosial diletakkan (Scott 1981, Wolf 1985, Subaharianto 2004, Jonge 2011). Tanah pula yang menjadi dasar atas solidaritas sosial di dalam tanean, sebab seluruh penghuni tanean pada dasarnya mengolah tanah yang sama, hidup dari tanah yang sama, dan akan dikuburkan di tanah yang sama.

Bukan tanah yang meniadi titik episentrum utama dalam tanean, melainkan makam yang menjadi titik pusat di mana gerak semua yang hidup berputar di sekitar yang mati. Meskipun tanah memberikan kehidupan bagi mereka yang hidup, namun tanah menjadi amat berarti bagi mereka yang telah mati. Makam yang terletak di sebelah barat, dekat dengan pintu masuk tanean, menjadi tanda pengingat bagi semua orang yang hidup, bahwa cepat atau lambat mereka akan menuju tempat tersebut. Makam menjadi titik krusial, sebab hampir setiap tanean, atau setidaknya seluruh tanean yang menjadi fokus penelitian ini, memiliki komplek pemakaman yang hanya dipergunakan oleh keluarga penghuni tanean. Makam keluarga di setiap tanean merupakan area yang terbuka dan tanpa pagar, meskipun tidak semua makam memiliki cungkupnya sendiri, namun semua makam memiliki nisan yang mencatat dengan jelas siapa yang dimakamkan dalam makam tersebut. Nisan itu sendiri tidaklah disusun berdasarkan aturan senioritas, berbeda dengan tanean yang mengatur secara jelas siapa yang tinggal di rumah induk dan berjajar berdasarkan garis keturunan. Meskipun tidak menarik, namun makam menjadi kata kunci penting dalam memahami sikap dan perlawanan para subjek. Makam jelas merupakan tujuan akhir dari semua masalah yang muncul dan konflik yang mengemuka. Makna penting makam bukanlah sekedar tempat persemayaman akhir bagi tubuh yang membujur kaku, bukan pula pusara yang membisu. Makna penting makam terletak pada posisi makam sebagai prasasti yang mencatat hal yang paling berarti bagi orang yang hidup: eksistensi diri.

Makam memainkan dua peran sekaligus: pencatat identitas si mati sekaligus pengingat bagi yang hidup bahwa ada salah seorang saudara mereka dikuburkan di tempat itu. Makam menjadi pengikat bagi setiap orang dalam tanean. Berbeda dengan dadia di Bali, bahwa upcara adat menjadi pengikat dasar, maka dalam konteks Madura, makam adalah area yang mengikat semua orang. Makam merupakan penanda paling jelas, bahwa siapapun yang dikuburkan di sana adalah bagian dari tanean. Dengan dikuburkan di makam tersebut, setidaknya terdapat satu kepastian: bahwa orang tersebut tidak akan hilang dan terlupakan. Posisi penting makam dapat terlihat pada bagaimana penghormatan penghuni tanean atas makam (Subaharianto 2004, Wiyata 2013). Jika tanah dalam tanean tidak boleh dijual, maka tanah makam haram untuk dijual, bahkan untuk sekedar terpikir untuk dijual. Tanah makam adalah jenis tanah yang tidak pernah berkurang dan tidak juga digunakan untuk tujuan apapun. Makam menjadi areal yang amat terlarang untuk dipergunakan di luar peruntukkannya sebagai tempat pemakaman. Atas dasar itu pula lah, makam selalu menjadi awal bagi semua hal di tanean: barat sebagai tempat dimulai dan kembali.

Kematian adalah titik akhir kehidupan manusia, sehingga tidak sulit untuk melihat bahwa mereka yang hidup akan selalu berharap untuk kembali, jika tidak dalam keadaan hidup, setidaknya mereka akan kembali dalam keadaan mati. Memori kolektif tanean menjadi sangat krusial bagi sebuah tanean untuk tetap bertahan di tengah perubahan. Tanean pada dasarnya dibangun di atas pondasi tubuh penghuninya. Bangunan dasar tanean menjadikan setiap penghuni tanean sebagai bagian integral dalam tanean, dan untuk mengikat kesetiaan setiap orang, maka tanean harus memberikan “sesuatu” sebagai ganti atas tenaga dan waktu yang dicurahkan. Sesuatu itu tidak lain adalah pengakuan atas kedirian seseorang sebagai penghuni tanean tersebut. Pengakuan ini menjadi penting, sebab tidak terdapat ruang dalam dunia sosial tanean bagi orang yang tidak diakui dalam sebuah tanean maupun ketika berhadapan dengan orang dari tanean yang berbeda. Tanean menjadi identitas kultural bagi setiap oreng Madura, dan tanean secara nyata memberikan legitimasi atas identitas tersebut. Memori kolektif tanean juga menjadi penting tidak hanya untuk mengikat loyalitas penghuni tanean, namun juga penting untuk memelihara hubungan genealogis setiap penghuni tanean. Mengingat tanean menempatkan hubungan genealogis sebagai beton pembentuk tanean, maka pada hubungan yang sama dibangun dimensi emosional tanean. Mereka yang “keluar” dari tanean menjadi orang luar, dan karenanya hubungan genealogis yang dibangun pun hanya lah sebatas hubungan sanguin per se tanpa hubungan sosial. Mereka hanya saudara sedarah yang hubungan saudara itu sendiri tidak lebih dari ucapan manis, sebab secara sosial dan kultural, mereka tidak lagi memiliki hak untuk tinggal di dalam tanean tersebut. dengan tidak adanya hak untuk tinggal, maka mereka secara perlahan terhapus dalam memori kolektif tanean untuk kemudian selamanya dianggap sebagai orang luar yang tidak memiliki latar belakang ataupun emosi kultural atas tanean.

  • Kesimpulan

Sejauh ini saya telah menggelar sebuah narasi besar tentang perempuan Madura yang terasing dari rumahnya sendiri. Melalui Suhadiyah, Faridah, Rukoyah, Jaenab dan Kholifah lah narasi ini disusun dan disampaikan. Di bagian akhir ini terdapat beberapa catatan penting yang perlu dikemukakan, yaitu:

Pertama, penelitian ini menegaskan tentang bagaimana politik tubuh dan logika kultural bekerja, khususnya pada masyarakat Madura. Seperti dijelaskan oleh Butler (1993), Fausto-Sterling (2000), Longhurst (2001) dan Blood (2005) politik tubuh menjadi pintu masuk dalam melihat bagaimana sebuah kebudayaan dibangun dan dipertahankan. Salah satu tujuan saya adalah melihat masyarakat dan kebudayaan Madura dari sisi yang jarang terlihat: sudut pandang perempuan. Dengan penelitian dengan menjadikan politik tubuh sebagai pijakan, saya mengkonstruksi ulang kebudayaan Madura, dan memperlihatkan bagaimana formasi kultural Madura yang patriarkal menjadikan tubuh perempuan sebagai basis dari kebudayaan Madura (lihat Noer (2012). Politik tubuh muncul dalam variasi, mulai dari cerita rakyat, syair dan tembang, nasihat perkawinan, hingga pengajian, dalam lakon yang selalu berulang: laki-laki sebagai imam dan perempuan sebagai makmum. Politik tubuh, tidak hanya sangat variatif, namun juga bersinggungan dengan banyak hal dalam setiap sudut kehidupan masyarakat. Dalam konteks penelitian ini, politik tubuh muncul dan bersinggungan dengan lima hal: identitas, perpindahan, tempat, perlawanan dan memori kolektif tanean.

Kedua, dalam melihat dan memahami masyarakat dan kebudayaan Madura, elemen dasar yang harus dilihat – namun amat terabaikan – adalah tanean. Sebagai pola permukiman, tanean lanjeng tidak hanya berupa komplek fisik yang terdiri berbagai bangunan, antara lain rumah induk, rumah anak, langgar, dapur, kandang, dan makam. Lebih dari itu, tanean tidak lain adalah dunia sosial tempat semua orang didalamnya, yang berasal dari satu ikatan genealogis yang sama, saling berinteraksi dan terikat satu sama lain. Sebagai komplek yang seluruh penghuninya berasal dari keluarga luas perempuan, maka seluruh penghuni tanean memiliki hak dan kewajiban yang sama, utamanya dalam memelihara keberlangsungan tanean. Salah satu cara terpenting dalam proses pemeliharaan itu adalah perkawinan. Perkawinan menempatkan perempuan sebagai batu kunci dalam, mengutip Gilligan (1987), the place in man’s life cycle, bahwa perempuan berada di pusat siklus hidup laki-laki (walaupun bisa juga dibaca sebagai pusat siklus hidup manusia). Perkawinan dalam tanean memiliki dua tujuan utama: mendapatkan suami dan mendapatkan anak. Kedua hal tersebut penting, sebab tanean menarik orang luar untuk masuk ke dalam, dan untuk mempertahankan loyalitas suami terhadap keluarga istri, keberadaan anak mutlak diperlukan. Dalam lingkungan ekologis yang kering dan keras, pengelolaan sumber daya alam harus dengan tenaga dan dilakukan secara manual, dan pada titik inilah letak penting keberadaan suami dan anak. Suami dan anak bertanggungjawab sebagai pengolah lingkungan alam yang hasilkan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan subsisten tanean, dan untuk itu semua perempuan Madura harus kawin: untuk menjaga surplus laki-laki.

Ketiga, perempuan memainkan peran krusial dalam tanean, sebab hanya perempuan lah, sebagai sumber kehidupan yang mampu menarik laki-laki dan melahirkan anak-anak yang akan mempertahankan keberlangsungan tanean. Posisi ini, mengutip Lycett, Dunbar dan Volland (2000) adalah harga reproduksi (cost of reproduction), harga yang harus dibayar oleh perempuan karena perempuan sebagai pemilik rahim. Posisi ini menjadikan perempuan amat dihormati dalam tanean, dan memang secara kultural, perempuan lah pemilik tanean. Begitu identiknya perempuan dan tanean, maka dunia sosial tanean tidak lain adalah dunia sosial perempuan. Meskipun perempuan amat dihormati dan dihargai di tanean, kondisi ini tidak selamanya menguntungkan perempuan. Posisi perempuan amat bergantung pada perkawinan, sebab hanya perempuan yang mampu mencapai takdirnya, sebagai istri dan ibu, yang dihargai dan dihormati dalam tanean. Reproduksi menjadi sangat krusial bagi perempuan, sebab melalui reproduksi lah seluruh persoalan perempuan dibentangkan (Alexander 1986, Hayden 1986, Oppenheimer 1997, Bergink 1992, Markens 2007, Balen 2009). Mereka yang gagal menjadi istri dan ibu akan terasing dalam dunia sosial tanean. Mereka kehilangan hak untuk ikutserta dalam seluruh kegiatan tanean, dan perlahan akses atas sumber daya pun semakin tertutup bagi mereka, sehingga keluar dari tanean adalah satu-satunya pilihan yang tersedia bagi mereka.

Keempat, keluar dari Madura adalah perlawanan yang dilakukan perempuan untuk keluar dari tekanan dunia sosial tanean dan semakin terbatasnya akses atas sumber daya alam. Menolak untuk kembali menikah dan takluk pada tekanan, mereka menjadikan kepergian mereka sebagai bentuk perlawanan atas himpitan dunia sosial yang mengungkung kehidupan mereka. Bekasi tidak lagi sebatas wilayah tujuan, namun menjadi tempat untuk mengumpulkan kekuatan untuk kembali. Di Bekasi lah mereka kembali menikah, mengadu peruntungan, dan membangun kembali hidup mereka. Jika politik tubuh dalam tanean muncul dalam wajah yang represif dan eksploitatif, maka politik tubuh di wilayah baru muncul dalam wajah yang sama sekali lain: perempuan menemukan kembali kediriannya. Hal ini penting bagi perempuan, sebab ketika perempuan menemukan tempat dan momentumnya, perempuan dapat memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya tanpa selalu direcoki oleh formasi kultural yang patriarkal. Jika perpindahan (displacement) justru membuka peluang, maka perpindahan harus dilihat bukan sebagai akhir, namun sebagai awal dari kebangkitan. Perempuan harus menemukan tempat di mana ia dapat tumbuh, berkembang, dan menemukan identitasnya. Bekasi menawarkan hal lain: kemampuan untuk menawar posisi mereka, dan dengannya seluruh harapan dan mimpi untuk kembali muncul dan terus dipupuk. Mereka menjadikan tanean yang telah mereka tinggalkan sebagai tujuan utama kehidupan mereka, dan untuk mencapai tujuan tersebut sejumlah cara telah mereka lakukan, yang terpenting diantaranya adalah dengan mengirimkan emas ke kampung halaman.

Kelima, tempat (place) memainkan peran yang amat krusial, sebab tempat tidak lagi dilihat sebagai lokasi fisik dengan batas teritorial yang jelas, namun menjadi geografi moral tempat segala hal baik direfleksikan dan tujuan tempat jangkar impian ditambatkan. Tempat bermain dalam dua domain: tempat di mana mereka lahir dan dibesarkan dan tempat di mana mereka kembali dan dimakamkan. Dua domain ini dimainkan secara kontinum melalui pengalaman dan harapan perempuan. Emas yang mereka kirimkan pada dasarnya adalah cara mereka untuk menegaskan kepada keluarga di Madura bahwa mereka masih hidup dan terus berkontribusi pada tanean dengan cara mereka sendiri. Meskipun mereka secara fisik tidak berada di tanean, namun mereka menolak untuk dilupakan sebagai bagian dari tanean. Meskipun rawan disalahgunakan, namun mereka terus mengirimkan emas ke tanean mereka. Emas adalah jembatan penghubung antara mereka yang di Bekasi dengan keluarga di Madura.

Keenam, seluruh persoalan perempuan terletak pada satu mimpi dan harapan sederhana: kembali ke rumah di sana, tempat segala hal dimulai dan diakhiri. Terlepas dari apakah mimpi dan harapan tersebut boleh jadi hanya sebatas mimpi atau mewujud nyata, para perempuan ini menunjukkan bahwa memiliki impian menjadi amat penting bagi mereka. Di satu sisi mereka, rumah adalah tujuan yang hendak dicapai, namun di sisi lain, boleh jadi bahwa mereka tidak mungkin dapat mencapai tujuan tersebut. Rumah dengan demikian tidak lagi hanya sebatas bangunan fisik yang ada di dalam komplek tanean, atau bahkan komplek tanean itu sendiri. Rumah tidak lain adalah ingatan kolektif tanean, dan tempat terbaik untuk mencatat ingatan tersebut ada di pemakaman. Makam atau buju’ bertransformasi, dari sekedar liang tempat mayat dikuburkan, menjadi tempat di mana ingatan diletakkan. Dalam hal ini penting untuk melihat bagaimana ingatan kolektif berperan dalam kehidupan. Ingatan kolektif menjadi amat penting, sebab jika mereka gagal untuk kembali ke tanean dalam kondisi hidup, setidaknya ada sekeping ingatan dalam tanean, bahwa pernah hidup seseorang yang meskipun tidak tinggal di tanean, mbalelo atas aturan tanean, namun tetap ada dan penting bagi tanean. Kematian dengan demikian bukanlah pemutus kehidupan, namun penyambung kehidupan. Jika kematian adalah satu-satunya cara untuk kembali, para perempuan ini dengan senang hati akan mengambil pilihan itu. Maka menjadi penting untuk menggarisbawahi, bahwa kembali bukan sekedar hadir, namun lebih dari itu, kembali adalah diingat.