Sikap politik saya (yang mencla-mencle)

Secara terbuka saya mengakui kalau saya adalah pemilih yang romantis, tidak logis, dan mencla-mencle, atau dalam kata lain, saya adalah tipe pemilih yang absurd dan tidak loyal.

Pada Pemilu 1999, saya memberikan suara saya pada PBB. Alasannya sederhana: euforia dan romantisme Masyumi. Sebagai anak yang dibesarkan dalam tradisi Masyumi, kehadiran PBB membangkitkan kenangan atas Masyumi di lingkungan sosial saya (apalagi klaim PBB sebagai penerus Masyumi, meski di Pemilu yang sama ada pula Partai Masyumi Baru). Sayangnya, bulan madu saya pada PBB hanya berlangsung sebentar. Saya terlalu jengah melihat tabiat para elitenya yang terlalu asyik ribut sendiri.

Pada Pemilu 2004, saya mengalihkan suara saya ke PKS. Alasannya pun sederhana: romantisme gerakan Islam. Ketika saya kecewa berat pada PBB, saya menemukan sisi romantis PKS yang mencitrakan dirinya sebagai partai Islam, bersih, dan modern (baca: kaum menengah muslim terdidik perkotaan). Yah, karena di tahun 2004 saya sedang kuliah di Surabaya, saya ikut terseret arus gerakan politik dakwah kampus. Maklumlah, anak bawang. Pada Pemilu ini pun untuk kali pertama saya memilih calon presiden saya, pilihan saya jatuh pada pasangan nomor urut tiga: Amin Rais dan Siswono Yudho Husodo. Lagi-lagi alasan saya romantis: karena saat itu saya menganggap hanya Amin Rais sebagai gerbong reformasi yang sanggup membawa bangsa ini (entah kenapa saat ini saya malah senang Amin Rais kalah di pilpres lalu).

Pemilu 2009, saya kembali mengalihkan suara saya ke Partai Golkar. Alasannya pun sederhana: Nurul Arifin. Barangkali, satu-satunya alasan saya memilih Nurul Arifin adalah karena pada 2007 muncul film Nagabonar Jadi 2. Barangkali pula, karena saya terlena pada citra Nurul Arifin sebagai aktivis perempuan (sic!). Pada pemilu ini saya tidak memilih capres, alasannya pun sederhana: saya malas ngurus surat nyoblos di daerah orang (karena saya masih kuliah di surabaya).

Pemilu 2014, karena kecewa berat dengan Nurul Arifin, yang lebih banyak berkoar sebagai jongos Ical (aslinya sih karena faktor si bos beringin), saya kembali mengalihkan suara saya, kali ini ke PDIP. Sesungguhnya ada faktor lain di sana: Mas Joko. Seumur-umur saya tidak pernah pilih PDIP, alasannya sederhana: ada si ibu besar di sana. Saya menaruh harapan, bahkan hingga saat ini, pada Mas Joko (tidak ada harapan sama sekali pada si ibu). Itu sebabnya saya memilih PDIP, nah kebetulan ada mbak Oneng (Rieke Dyah Pitaloka) di Dapil saya. Maka, meskipun saya berseberangan dengan lingkungan sosial saya, saya tetap memilih PDIP dan Mas Joko. Para sahabat saya, yang tau sikap politik saya mungkin mencela habis-habisan, tapi mereka pun tau betul, percuma mendebat saya, hanya buang-buang energi. Barangkali saya sama koppig dan gilanya dgn presiden pilihan saya.

Nah, di tengah gonjang-ganjing Papa Minta Saham, ada nama si ibu terseret. Di saat yang sama, ada trio cecunguk di sana. Ada yang mengaku sastrawan (sic!) ada pula ustad (sic!). Celakanya, saya udah pikir-pikir untuk memilih Gerindra di pemilu mendatang. Maka saya pun bertapa, meminta wangsit. Saya sudah memutuskan, untuk tidak memilih semua partai penguasa senayan maupun partai penguasa istana di pemilu berikutnya, sambil berdoa semoga ada sosok baru yang mampu menarik hati saya di pemilu mendatang.

Sambil menunggu kesatria berkuda (bukan bergitar) atau putri jelita nyalon ke istana, dan karena saya pemilih absurd dan romantis, untuk sementara saya memutuskan bahwa saya akan memberikan suara saya ke partainya mbakbro Grace Natalie ajalah. Alasannya sederhana: saya bosan sama partai yang mengaku islam (dengan i kecil), mengaku punya idiologis, mengaku bersih, dan mengaku lain-lain. Saya memilih partai yang mengaku muda saja. Jadi, bagi teman-teman di Dapil Bekasi yang ingin jadi caleg, sila daftar ke PSI, saya akan kasih suara saya (dgn catatan saya ga berubah pikiran lho ya).

Seorang teman berkata, kalau saya ga punya pilihan, kenapa ga maju aja jadi caleg biar bisa kasih pilihan ke masyarakat. Kalau dipikir-pikir sih betul juga, tapi ga ah. Saya cukup tahu diri. Emang ada yang mau memilih sosok romantis, absurd, pragmatis, mencla-mencle, dan tukang kritik kayak saya? Saya sih ogah. Jadi buat para sahabat yang akan bertarung memperebutkan kursi besok, ga usah repot-repot promosi ke saya ya.