Bulan mati di langit utara Bekasi: pembangunan, pemiskinan, dan ironi lumbung padi

Catatan: tulisan ini sudah diterbitkan dalam buku Ekofeminisme III yang diterbitkan oleh Jalasutra. Saya berterima kasih kepada Dewi Candraningrum dan Ina Hunga atas kesempatannya mempublikasikan tulisan sederhana ini. Enjoy.

Isu pembangunan di Indonesia selalu menarik untuk dikaji, khususnya pada dampak pembangunan terhadap masyarakat. Tulisan ini mencoba menggambarkan bagaimana pembangunan di Kabupaten Bekasi telah mengubah wajah Bekasi secara fundamental, dari wilayah agraris ke wilayah industri, dan dampaknya pada masyarakat. Secara spesifik, tulisan ini bicara mengenai wilayah utara Bekasi. Wilayah Bekasi yang sangat strategis karena bertetangga langsung dengan Jakarta, ditambah lagi area lahan yang masih sangat luas, menjadikan Bekasi sebagai sasaran pembangunan industri, utamanya di wilayah selatan Bekasi. Hal ini memang secara nyata berdampak pada naiknya PDRB Bekasi secara signifikan. Namun pembangunan industri meninggalkan satu persoalan serius, limbah yang mengalir dari selatan ke utara yang berakhir di Laut Jawa. Di sisi lain, kebutuhan perumahan bagi pekerja di wilayah timur Jakarta dan Bekasi serta masih murahnya harga tanah, menjadikan wilayah utara Bekasi menjadi primadona untuk permukiman. Hal ini mendorong alihfungsi lahan pertanian menjadi perumahan yang tidak terkendali. Dua masalah ini, limbah dan alihfungsi lahan pertanian, adalah masalah yang dihadapi di utara Bekasi. Pembangunan yang digadang-gadang sebagai jurus ampuh memutus kemiskinan justru menjadi penyebab pemiskinan yang semakin struktural di masyarakat, sebab tidak hanya menghilangkan matapencaharian namun juga memunculkan bencana ekologis yang tidak dapat dikendalikan yang pada akhirnya menjadi malapetaka bagi manusia.

Kata kunci: pembangunan, Bekasi, bencana ekologis

Pendahuluan

Tahun 417 Masehi. Awan gelap menggelayut, cahaya rembulan meredup di langit Tarumanegara, semburat cahaya damar di dalam istana semakin menegaskan raut keresahan di wajah sang raja. Maharaja Purnawarman resah, karena wilayah kekuasaannya sering dilanda banjir dan kekeringan. Prasasti Tugu mencatat, bahwa pada tanggal 8 paro petang bulan Phalguna (sekitar Maret), sang raja memerintahkan untuk menggali kanal Gomati dan Candrabagha sepanjang 6.122 tombak (setara 24.448 m), yang diselesaikan dalam waktu 21 hari. Maka pada tanggal 13 paro bulan Caitra, Maharaja Purnawarman menggelar selamatan yang dipimpin oleh para Brahmana dengan mendarmakan 1000 ekor sapi sebagai wujud syukur atas selesainya megaproyek Gomati dan Candrabagha. Tidak diketahui persis di mana sesungguhnya Gomati terletak, namun Candrabagha diyakini sebagai apa yang saat ini dikenal sebagai kali Bekasi. Kata Bekasi sendiri, menurut Poerbatjaraka, terambil dari candrabagha (bagian atau kepingan bulan), yang kemudian berubah menjadi bhagasasi, dan kemudian menjadi Bekasi  (Sagimun 1988, Alrasyid 2006).

Dalam lintasan historisnya, Bekasi sejak awal adalah wilayah pertanian. Hal ini diketahui dari Prasasti Tugu yang memuat perihal pembangunan kali Gomati dan Candrabagha yang ditujukan untuk irigasi pengairan. Bahkan setelah Tarumanegara runtuh, yang kemudian berganti dengan Padjajaran, Sumedanglarang, era kolonial, hingga kemerdekaan, posisi Bekasi sebagai salah satu wilayah penghasil padi, bersama dengan Karawang, tetap tidak tergantikan. Bekasi pernah dikenal sebagai salah satu lumbung padi nasional. Puja-puji atas keberhasilan Bekasi sebagai lumbung padi nasional kini hilang tak berbekas. Bekasi adalah potret bagaimana kepingan bulan yang cemerlang selama satu millenium perlahan meredup, menghitam, dan mati.

Sebelum saya beranjak terlalu jauh, ada dua hal yang perlu saya tegaskan. Pertama, sebutan Bekasi disini secara khusus merujuk pada Kabupaten Bekasi. Saya tidak membahas Kota Bekasi karena persoalan relevansi yang ingin saya angkat. Kedua, tulisan ini didasarkan pada pengalaman hidup saya, anak kampung yang lahir dan besar di Babelan, yang merasakan bagaimana kampung saya berubah hingga nyaris tidak lagi saya kenali. Secara khusus tulisan ini memiliki dua tujuan: Pertama, menjelaskan sengkarut persoalan yang terjadi di wilayah utara Bekasi sebagai akibat dari kebijakan nasional yang berimbas pada pembentukan zonasi ruang di wilayah Bekasi, yakni zona permukiman dan zona industri. Kedua, menjelaskan bagaimana zonasi ini berpengaruh pada kehidupan masyarakat di utara Bekasi, yang tergencet dua persoalan mendasar: limbah dari selatan dan alihfungsi lahan pertanian di utara. Ditambah lagi dengan persoalan perubahan iklim yang berpengaruh pada masyarakat di utara Bekasi. Dengan kerangka ekofeminis, saya akan mencoba menjelaskan bagaimana manusia, perempuan dan laki-laki, menjadi korban atas persoalan pembangunan yang tidak mempertimbangkan lingkungan alam.

Limbah mengalir sampai jauh

Titik balik perubahan wajah Bekasi ada pada periode kedua Bupati Abdul Fattah, ketika muncul kebijakan Repelita III yang menitikberatkan pada pembangunan industri padat karya untuk kepentingan ekspor. Bupati Bekasi mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Bekasi No. 13/HK/PD/0212/79 yang mengatur pembangunan di berbagai sektor dengan sektor prioritas di bidang industri (Alrasyid 2006). Berdasarkan Perda tersebut, terjadi perubahan peruntukkan wilayah, utamanya di wilayah selatan Bekasi, dengan dibangunnya berbagai industri di wilayah selatan Bekasi – tidak mengherankan jika dirinya dijuluki sebagai Bapak Pembangunan Bekasi. Wilayah-wilayah seperti Cibitung, Tambun Selatan, Tambun Utara, Cikarang Barat, Cikarang Utara, Cikarang Selatan, Cikarang Timur, dan Cikarang Pusat (lihat Gambar 1.) yang awalnya adalah daerah pertanian dan perkebunan, beralihwajah menjadi kawasan permukiman dan industri. Akselerasi perubahan ini semakin dipercepat dengan mulai dibangunnya jalan tol Jakarta-Cikampek pada tahun 1982 – yang diresmikan pada 1988 – yang melewati Bekasi tepat mulai dari Tambun Selatan, Cibitung, dan Cikarang.

Jika Abdul Fatah hanya membuka gerbang industri masuk Bekasi, adalah Suko Martono (1983-1988 dan 1988-1993) yang menggelar karpet merah untuk para investor. Paradigma pembangunan Bekasi mengalami pergeseran – untuk tidak mengatakan perombakan total – pada era Suko Martono dengan mengarah pada pembangunan industri. Lahirnya Peraturan Daerah No.15/HK-PD/OP.013.1/VIII/1984 Tentang Pola Dasar Pembangunan Dearah Tingkat II Bekasi mempertegas hal ini, bahwa pola dasar yang dilaksanakan di Bekasi adalah pembangunan kawasan industri yang terpusat dengan harapan agar dapat dikelola dengan lebih terkontrol (Alrasyid 2006). Pembangunan kawasan industri ditempatkan di wilayah selatan Bekasi, dengan pertimbangan akses transportasi yang lebih mudah, terutama dengan dibangunnya tol Jakarta-Cikampek. Tentu saja apa yang dilakukan oleh Suko Martono tidak bisa dilepaskan dari kebijakan strategis pemerintah melalui Repelita III dan Repelita IV yang memfokuskan pada pembangunan industri besar-besaran di Indonesia.

Di titik inilah lahir satu persoalan mendasar di wilayah Bekasi, bahwa pembangunan di Bekasi, entah tanpa sadar atau justru sadar sepenuhnya, membagi wilayah Bekasi menjadi dua bagian: utara dan selatan. Wilayah utara Bekasi, mencakup Babelan, Tarumajaya, Tambelang, Sukatani, hingga Muara Gembong difokuskan untuk kepentingan pertanian; sedangkan wilayah selatan Bekasi, mencakup Tambun (Utara dan Selatan), Cibitung, Cikarang (Barat, Utara, Selatan, Timur, dan Pusat) hingga Cibarusah ditujukan untuk wilayah industri. Pembagian Bekasi menjadi dua menyiratkan banyak hal, mulai dari ketimpangan ekonomi hingga ketimpangan politik, terlebih ketika Kota Bekasi secara resmi memisahkan diri dari Kabupaten Bekasi pada 1996, maka seluruh kegiatan pemerintah Kabupaten Bekasi berpindah ke selatan, ke wilayah Cikarang Pusat.

Kebijakan pembangunan industri di wilayah selatan Bekasi telah sukses melahirkan berbagai kawasan industri, sebut saja Kawasan Industri Jababeka, MM2100 Industrial Town, Greenland International Industrial Center (GIIC), East Jakarta Industrial Park (EJIP), Kota Deltamas, Delta Silicon, Bekasi International Industrial Estate (BIIE), dan lain-lain. Tidak kurang dari 2000 pabrik memadati kawasan selatan Bekasi. Berbagai kawasan industri ini memiliki, mulai dari puluhan hingga ratusan pabrik yang beroperasi didalamnya. Kawasan East Jakarta Industrial Park (EJIP) misalnya, tercatat memiliki tidak kurang dari 88 pabrik besar yang mayoritasnya memproduksi komponen elektronik dan farmasi; atau komplek MM2100 Industrial Town yang tercatat memiliki 188 pabrik yang memproduksi komponen elektronik, otomotif, hingga plastik; dan yang paling besar adalah Kawasan Industri Jababeka yang memiliki 500 pabrik dan Delta Silicon yang memiliki tidak kurang dari 800 pabrik. Hal yang paling luar biasa adalah bahwa kawasan-kawasan industri tersebut kini bergabung menjadi sebuah Zona Ekonomi Internasional, yang berarti memiliki fasilitas khusus di bidang perpajakan, infrastruktur, keamanan dan fiskal. Dengan demikian, masalah di dalam ZONI ini adalah masalah nasional Indonesia.

Sepintas tidak ada masalah dari pembangunan kawasan industri yang luar biasa di wilayah selatan Bekasi, namun di balik ribuan pabrik yang memadati selatan Bekasi berdampak luar biasa pada kawasan utara Bekasi: limbah. Terdapat empat industri utama di Bekasi, yaitu: barang dari logam (mencakup mesin dan perlengkapannya) sebesar 59,44%, kimia (mencakup turunan produk kimia, farmasi, minyak bumi, dan plastik) sebesar 19,94%, makanan (mencakup minuman, pengemasan, dan tembakau) sebesar 8,14%, dan tekstil sebesar 5,93% (BPS, 2014: 246). Jika melihat portal resmi dari masing-masing kawasan industri, selalu dikatakan bahwa setiap kawasan selalu memiliki Waste Water Treatment Plan (WWTP), yang berarti setiap kawasan memiliki sentra pengolahan limbahnya masing-masing. Namun kenyataannya tidaklah seperti yang dikatakan oleh pemerintah maupun pemilik masing-masing komplek industri. Limbah membanjiri sungai-sungai, mengalir dari selatan ke utara menuju Laut Jawa.

Bekasi memiliki 16 aliran sungai besar yaitu: Sungai Citarum, Sungai Bekasi, Sungai Cikarang, Sungai Ciherang, Sungai Belencong, Sungai Jambe, Sungai Sadang, Sungai Cikedokan, Sungai Ulu, Sungai Cilemahabang, Sungai Cibeet, Sungai Cipamingkis, Sungai Siluman, Sungai Serengseng, Sungai Sepak dan Sungai Jaeran. Persoalannya adalah, mayoritas sungai tersebut melintasi selatan Bekasi dan bertemu di tiga sungai utama: Citarum, Bekasi, dan Cikarang, yang ketiganya bermuara di utara Bekasi (Daroyni 2015). Konsekuensinya, limbah yang dibuang di salah satu sungai – apapun sungainya – di wilayah selatan Bekasi akan berakhir di utara Bekasi.

Kawasan utara Bekasi adalah kawasan yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Di kawasan inilah semua sungai di Bekasi berakhir. Pembangunan kawasan industri di selatan Bekasi mengabaikan fakta mendasar ini, bahwa air mengalir dari sungai-sungai dan seluruhnya bermuara di laut, bahwa dalam perjalanannya sungai tersebut melintasi wilayah utara Bekasi, membawa apapun yang dibuang didalamnya. Di kawasan utara Bekasi saat ini misalnya, air sungai sudah tidak dapat dipergunakan untuk keperluan apapun. Aliran sungai Bekasi dan Sungai Cikarang misalnya, ketika sampai di utara Bekasi sudah berwarna hitam pekat, berbau busuk, dan penuh buih busa. Air hitam inilah yang mengalir langsung menuju Laut Jawa di utara Bekasi. Jika itu saja sudah membuat langit di utara Bekasi menghitam, kondisi ini semakin diperparah dengan laju pertumbuhan permukiman di utara Bekasi yang tidak terkendali.

Sawah yang tak lagi menghasilkan padi

Bekasi memiliki luas sebesar 127,388 Ha, di mana 72% dari wilayahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0-25 m di atas permukaan laut. Sebanyak 83,87% atau sekitar 106.814 Ha merupakan lahan stabil yang layak untuk dikembangkan untuk berbagai macam kegiatan pembangunan dan permukiman, sedangkan sisanya adalah tanah peka namun masih cukup layak untuk dibangun dan sangat peka terhadap erosi sehingga kurang layak untuk dikembangkan. BPS (2014:139) mencatat bahwa sebanyak 52,966 Ha (41,58%) adalah lahan pertanian, sedangkan sisanya 74,422 Ha (58,42%) adalah lahan kering, dengan 37,143 Ha diantaranya telah dimanfaatkan sebagai perumahan.

Data BPS Bekasi terkait penggunaan lahan amat menarik untuk dicermati karena beberapa faktor. Pertama, disebutkan bahwa perubahan alihfungsi lahan pertanian sangat sedikit, pada tahun 2010 mencapai 53.584 Ha, menyusut 618 Ha, sehingga pada tahun 2012 hanya tersisa 52,966 Ha, artinya lahan pertanian cenderung stabil. Kedua, terdapat data lonjakan penambahan lahan permukiman di lahan kering, pada tahun 2010 terdapat 20.935 Ha area permukiman, melonjak menjadi 30.052 Ha area permukiman pada 2011, dan kemudian melonjak lagi menjadi 37.143 Ha pada tahun 2012. Artinya, hanya dalam waktu dua tahun saja telah terjadi alihfungsi lahan kering sebesar 16.208 Ha menjadi permukiman. Jika kita gabungkan antara alihfungsi lahan pertanian dan lahan kering, maka terjadi alihfungsi tanah sebesar 16.826 Ha hanya dalam waktu dua tahun.

Data BPS ini menarik karena dua masalah penting. Pertama, meski tercatat 16.826 hektar lahan beralih fungsi menjadi permukiman, namun tidak ada data yang jelas menunjukkan di mana saja titik pertumbuhan permukiman di Bekasi. Kedua, jika dikatakan bahwa mayoritas alihfungsi lahan berada di lahan kering, maka hal itu seharusnya terjadi di wilayah selatan Bekasi. Di sinipun terdapat dua persoalan: di area yang sama sedang dibangun komplek-komplek industri dengan skala besar dan sulitnya mendapatkan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari, hal ini tentu saja menjadi persoalan tersendiri ketika bicara mengenai permukiman di selatan Bekasi. Persoalannya adalah, data BPS tidak sejalan dengan realitas invasi permukiman yang terjadi dalam skala massal di Bekasi, bahwa data BPS menyebutkan lahan persawahan, yang mayoritasnya berada di utara Bekasi “hanya” beralihfungsi sebesar 618 Ha jelas sebuah kekeliruan, untuk tidak menyatakannya sebagai pembohongan publik.

Wilayah utara Bekasi, khususnya di Babelan dan Tarumajaya adalah dua wilayah yang pertumbuhan permukimannya paling pesat. BPS agaknya mengabaikan fakta, bahwa Babelan dan Tarumajaya sebagai wilayah utara dengan area persawahan paling luas adalah dua wilayah yang paling banyak mengalami alihfungsi lahan. Setidaknya terdapat empat faktor utama yang menyebabkan alihfungsi lahan pertanian berlangsung dalam skala besar menjadi permukiman. Pertama, wilayah Babelan dan Tarumajaya adalah wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Bekasi dan Provinsi DKI Jakarta; Kedua, kontur tanah di kedua wilayah yang datar dan stabil; Ketiga, keberadaan air tanah; dan Keempat, harga tanah yang relatif murah.

Persoalan krusial di utara Bekasi terletak pada penjualan tanah oleh masyarakat kepada para pengembang yang semakin tidak terkendali. Jika merujuk pada data kecamatan, pada tahun 2009, dari 4.952,57 hektar luas wilayah Babelan, sebanyak 1.608,41 hektar telah beralih fungsi menjadi permukiman, dan terus naik pada 2013 menjadi 2.504,77 hektar. Artinya, hanya dalam waktu lima tahun, telah terjadi perubahan fungsi lahan pertanian menjadi permukiman tidak kurang dari dari 896,36 hektar, atau rata-rata 180 hektar lahan beralihfungsi setiap tahunnya hanya di kecamatan Babelan. Kuat dugaan, bahwa data sebenarnya jauh lebih besar, karena boleh jadi laporan alihfungsi lahan hanya berasal dari laporan pengembang perumahan, belum termasuk pemilik lahan perseorangan yang mengubah peruntukan lahannya untuk kontrakan atau kavling baru, yang tentu saja mayoritasnya tidak pernah dilaporkan.

Perubahan fungsi lahan pertanian menjadi permukiman sebetulnya mudah dilihat secara kasat mata. Saya mencatat, pada tahun 2010, terdapat 27 komplek perumahan di wilayah Babelan, jumlahnya meningkat pesat pada 2014 menjadi 58 komplek perumahan yang sudah siap huni, belum termasuk komplek yang yang sudah ada yang semakin meluas dengan membuka kluster-kluster baru. Jika setiap komplek yang baru dibuka memiliki lahan seluas 12 Ha saja, maka terdapat 372 Ha lahan beralih fungsi. Jumlah ini akan semakin bertambah jika komplek perumahan yang sudah dipagar namun belum dibangun, area komersial yang ada di dalam komplek perumahan, maupun kontrakan pribadi ikut dihitung.

Posisi strategis utara Bekasi yang berbatasan langsung dengan Kota Bekasi dan DKI Jakarta menjadi magnet yang sangat luar biasa. Keberadaan perumahan Kota Harapan Indah yang dimiliki oleh Damai Putra Grup misalnya, ketika berdiri pada 1987, perumahan Harapan Indah hanya terbatas di wilayah Medan Satria, Kota Bekasi. Seiring permintaan, mereka membuka 9 kluster baru di wilayah Tarumajaya, dan hingga saat ini mengelola lahan dengan luas lahan tidak kurang dari 2200 Ha yang tersebar di tiga kecamatan. Kesuksesan Kota Harapan Indah, yang menjadi pintu gerbang Bekasi dari wilayah Jakarta Timur, turut pula mendorong para pengembang lain untuk membuat permukiman di wilayah Tarumajaya dan Babelan. Memang sebelumnya telah ada Taman Wisma Asri, yang sudah berdiri sejak dekade 1980an, namun gaungnya mulai terasa pada dekade 1990an.

Artinya, pembangunan permukiman di utara Bekasi yang “menurut data” hanya sekitar 600an Ha dalam waktu lima tahun jelas merupakan kebohongan. Perubahan alihfungsi lahan pertanian menjadi permukiman menjadi salah satu kendala paling serius yang dihadapi oleh utara Bekasi. Meski tidak pernah ada data yang secara resmi mengakui berapa jumlah rumah yang dibangun setiap tahunnya, namun setidaknya saya dapat mengatakan bahwa jumlah rumah yang dibangun sejalan dengan semakin padatnya penduduk di utara Bekasi, dan seturut sejalan pula dengan pembangunan kawasan industri Kota Bekasi yang dipusatkan di wilayah Kecamatan Bekasi Utara maupun kawasan timur Jakarta. Laju pembangunan di wilayah utara Bekasi akan semakin terakselerasi dengan dibangunnya pelabuhan di Muara Gembong maupun pembangunan lintasan jalan tol yang menghubungkan langsung timur dan utara Jakarta dengan utara Bekasi.

Invasi pembangunan permukiman di utara Bekasi, diakui secara implisit dalam data BPS maupun laporan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, menjadikan wilayah utara Bekasi sebagai wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi di wilayah Bekasi, terutama jika dibandingkan dengan selatan Bekasi. Babelan dalam hal ini menempati posisi sebagai wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak di Bekasi. Menjamurnya permukiman di wilayah utara Bekasi adalah realitas sosial yang tidak mungkin dibantah, bahwa wilayah yang dahulunya adalah lahan pertanian beralihfungsi menjadi lahan permukiman. Sawah-sawah di utara Bekasi kini tak lagi menghasilkan padi, melainkan beton dan aspal. Utara Bekasi adalah titik episentrum pembangunan permukiman di Bekasi yang riaknya tidak hanya berdampak pada migrasi kupu-kupu dan ular sawah, namun juga semakin intensnya bencana banjir dan kekeringan.

Pemiskinan di (bekas) lumbung padi

“… Pesatnya pertumbuhan penduduk sebagai akibat dari tingkat urbanisasi yang tinggi karena Kabupaten Bekasi merupakan salah satu barometer perekonomian nasional khususnya sektor industri pengolahan sehingga ada kecenderungan arus migrasi untuk mencari pekerjaan khususnya didaerah industri di Kabupaten Bekasi seperti Kecamatan Cikarang Pusat, Cikarang Utara, Cikarang Selatan, Cikarang Barat, Tambun Selatan serta Cibitung. Hal ini terlihat dengan tercirikan Kabupaten Bekasi sebagai daerah industri besar berskala nasional/asing dengan kontribusi sektor ini terhadap total PDRB mencapai 76,58 persen, sehingga baik-buruknya perekonomian Kabupaten Bekasi juga memberikan sinyal terhadap baik buruknya perekonomian nasional.” (Bappeda Bekasi, 2013:35)

Membaca publikasi Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Bekasi tahun 2013 menegaskan satu hal pokok: bahwa Bekasi sudah meninggalkan karakteristik dasarnya, dari wilayah agraris yang berfokus pada pertanian menjadi wilayah industri dengan industri besar sebagai pondasinya. Pilihan pemerintah dengan menjadikan Bekasi sebagai wilayah industri agaknya tidak terlepas dari posisi strategis Bekasi yang berbatasan langsung dengan Jakarta sebagai pusat ekonomi dan politik. Hal ini terlihat amat jelas sejak tahun 1980an, ketika orientasi pembangunan di Bekasi bergeser secara radikal dan mengubah fundamental kehidupan masyarakat secara keseluruhan.

Apa yang terjadi di utara Bekasi, mulai dari kekeringan hingga kebanjiran, dengan demikian bukanlah sesuatu yang mendadak dan bersifat lokal, namun merupakan konsekuensi langsung dari kebijakan pembangunan di tingkat nasional. Tentu saja menjadi sangat naif untuk mengabaikan fakta, bahwa kebijakan di tingkat nasional pun tidak bisa terlepas dari apa yang disebut oleh Tsing (2005) sebagai koneksi global. Bahwa kebijakan pemerintah yang merugikan bagi semua orang, utamanya perempuan, terkait erat dengan kapitalisme yang mengakar kuat dengan sistem patriarkal, atau apa yang diistilahkan oleh Haraway (1992) sebagai “the belly of the monster”.

Rencana pembangunan dengan berfokus pada industri yang digadang-gadang akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan akan bermuara pada kesejahteraan rakyat pada dasarnya adalah mimpi di siang bolong. Utara Bekasi sudah membuktikan bagaimana mimpi pembangunan tanpa pemahaman akan dampak ekologis dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. Utara Bekasi adalah gambaran bagaimana pembangunan mengorbankan manusia secara tidak terkendali, dan celakanya Bupati saat ini, Neneng Hasanah Yasin, bersikeras bahwa pembangunan di Bekasi harus semakin diakselerasi, dipercepat, diperbanyak. Dalam hal ini kebijakannya jelas: bahwa pembangunan difokuskan pada pengembangan industri.

Kebijakan untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi industri sesungguhnya tidaklah mengherankan. Pada tahun 2012, laju pertumbuhan ekonomi Bekasi sebesar 6,22%, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6%. Dengan PDRB sebesar 76,58% yang berasal dari industri, PDRB Bekasi menyumbangkan 13,36%, atau tertinggi di Jawa Barat (Alrasyid 2015). Maka menjadi sangat logis jika pemerintah Bekasi semakin berhasrat untuk menaikkan PDRB wilayah Bekasi. Dari empat industri utama, Bekasi menghasilkan pendapatan yang mencapai Rp.102.673.539,21 juta, dengan perincian empat industri utama: barang dari logam sebesar Rp.61.033.067,33 juta, kimia sebesar Rp.20.471.270,65 juta, makanan sebesar Rp.8.353.459,57 juta, dan tekstil sebesar Rp.6.086.498,22 juta (BPS, 2014: 250).

Tentu saja apa yang terjadi saat ini bukan hanya kesalahan Neneng Hasanah Yasin, dia adalah pewaris masalah yang kebijakannya justru semakin memperberat masalah. Sebagai kepala daerah, Neneng mengabaikan fakta bahwa kebijakan industrialisasi tidak membawa dampak apa-apa kecuali masyarakat yang semakin miskin. Jika Norgaard dan York (2005) sampai pada kesimpulan jika semakin banyak perempuan menjadi pengambil kebijakan, baik di parlemen maupun di pemerintahan, maka akan semakin banyak perhatian pada isu lingkungan dengan ratifikasi maupun kebijakan yang pro terhadap lingkungan dan persoalan perempuan, maka apa yang terjadi di Bekasi adalah antitesa sempurna. Bekasi menunjukkan bahwa pemimpin perempuan tidak selalu memahami persoalan perempuan dan berpihak pada kepentingan perempuan. Utara Bekasi secara gamblang menunjukkan bahwa persoalan kebijakan yang berdampak langsung pada alam akan berdampak langsung pula bagi kehidupan manusia, utamanya perempuan.

Di titik inilah masalah utamanya, bahwa utara Bekasi tergencet oleh dua kebijakan yang satu dan lainnya saling berkaitan. Masalah dari selatan adalah limbah yang mengalir bebas ke utara, bahwa industri yang dikembangkan di wilayah selatan Bekasi adalah industri yang menghasilkan limbah yang termasuk limbah berbahaya. Berbagai perusahaan yang bergerak di bidang logam dan kimia misalnya, menghasilkan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang dibuang langsung ke sungai-sungai di sekitar pabrik tanpa melalui proses, yang airnya mengalir langsung melewati utara Bekasi menuju Laut Jawa. Hal ini mendorong air permukaan di wilayah Bekasi, utamanya di utara Bekasi tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Anehnya, meski laporan Bappeda Bekasi secara tegas menyebut mengenai limbah industri, namun dikatakan bahwa limbah tersebut hanya dilihat sebagai degradasi sumber daya alam (Bappeda, 2013:56). Dengan berlindung di balik ketiadaan data yang secara pasti menjelaskan kuantifikasi besaran atau luasan degradasi, pemerintah Bekasi gagal melihat bahwa limbah yang mengalir sudah sangat membahayakan. Sungai-sungai yang melewati utara Bekasi, misalnya sungai Cikarang (lebih dikenal dengan Cibeel [Cikarang-Bekasi-Laut]), sudah tidak dapat dimanfaatkan sama sekali, terkecuali sebagai sarana transportasi untuk penduduk lokal. Airnya yang menghitam pekat dengan buih busa menjadikan air Cibeel tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang bermukim di sekitar Cibeel. Bahkan tidak hanya sungai besar seperti Cibeel, sungai-sungai yang kecil (biasanya disebut kali) pun sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi karena berwarna coklat kehitaman dan seringkali berbau.

Di sisi lain, invasi permukiman yang mengubah lahan pertanian menjadi hutan hunian memunculkan dua masalah utama: semakin banyaknya gesekan di masyarakat dan semakin sulitnya memperoleh air tanah. Penjualan tanah yang tidak terkendali oleh masyarakat, utamanya karena rayuan investor maupun karena alasan cepat punya uang karena ingin naik haji, menjadikan tanah-tanah yang dahulu sawah berganti menjadi perumahan yang kemudian dibeli oleh para pendatang. Persoalan pendatang ini menjadi sangat serius ketika kita bicara mengenai gesekan di masyarakat. Di wilayah Desa Bahagia misalnya, tempat saya tinggal, dari 109.321 penduduk, hanya kurang dari 30% yang merupakan penduduk asli (memiliki KTP Desa Bahagia). Persoalan muncul ketika “kebudayaan” para pendatang ini bergesekan dengan “kebudayaan” penduduk asli. Sudah tak terhitung gesekan yang muncul, misalnya karena pendirian tempat peribadatan maupun karena kesalahpahaman akibat kesenjangan kultural antara pendatang dan penduduk asli. Seringkali pula gesekan ini menjadi bola liar di tangan pengembang perumahan, kasus yang paling menyedot perhatian adalah penolakan patung Tiga Mojang di perumahan Harapan Indah pada 2010 yang dianggap melecehkan masyarakat yang mayoritas muslim karena dianggap seronok dan tidak sesuai dengan nilai kultural masyarakat Bekasi yang patriotik dan religius, bahkan isunya berkembang ke persoalan agama karena Tiga Mojang dianggap melambangkan simbol Kristiani.

Persoalan lain yang juga muncul di utara Bekasi adalah air bersih. Kesulitannya bukan hanya karena lahan serapan air yang semakin berkurang karena sawah telah berganti wajah menjadi perumahan, namun juga menyedotan air yang tidak terkendali. Di wilayah Babelan misalnya, air tanah dangkal dengan kedalaman 5-25 meter sudah mustahil ditemukan. Warga yang ingin menggali sumur harus menggali sedalam 50-100 meter untuk mendapatkan air, artinya air yang diperoleh termasuk dalam kategori air tanah dalam (Daroyni 2015). Persolaannya tidaklah berhenti di sana, bahwa penyedotan air tanah dalam di beberapa wilayah di utara Bekasi mendorong intrusi air laut semakin meluas. Masalah air adalah masalah yang krusial di wilayah utara Bekasi. Dengan air permukaan yang tidak dapat dimanfaatkan dan air tanah yang semakin dalam, hal ini menjadi persoalan yang harus dihadapi oleh masyarakat.

Korban paling utama dari persoalan air adalah rumahtangga, secara lebih spesifik perempuan. Dalam konteks kultural, perempuan bertanggungjawab dalam keberlangsungan aktivitas rumahtangga, termasuk ketersediaan air. Beban utamanya terletak pada sulitnya memperoleh air tanah, bahkan jika air tanah bisa didapat, tidak semua air tanah di utara Bekasi dapat dikonsumsi. Di beberapa wilayah desa misalnya, karena instrusi air laut yang semakin luas menjadikan air tanah tidak dapat dikonsumsi karena berasa asin. Beberapa wilayah lain seperti yang sudah padat dengan perumahan, bahkan air tanah dalam sudah sulit didapat sehingga harus membeli dari PDAM maupun penjual air minum isi ulang yang banyak tersebar, bahkan hingga di pelosok desa. Tentu saja hal ini semakin memberatkan perempuan, karena biaya untuk berlangganan air maupun membeli air harus diambil dari belanja harian.

Persoalan lahan yang semakin menyusut dan sulitnya mendapatkan air tanah juga berimbas pada hal lain: semakin rendahnya diversifikasi tanaman di sawah dan pekarangan. Dahulu utara Bekasi tidak hanya dikenal sebagai penghasil padi, namun juga sayur-sayuran. Tanaman sayur seperti mentimun, terong, kangkung, dan bayam adalah tanaman yang biasa ditanam oleh masyarakat, baik di sawah maupun lahan pekarangan. Dahulu sayur-sayuran segar mengalir deras dari sawah dan pekarangan, bergerak ke pasar Babelan, mengalir menuju pasar Cibitung. Padi dan sayur-sayuran bergerak dari utara ke selatan. Saat ini, padi dan sayur-sayuran segar harus didatangkan dari daerah lain, berkumpul di pasar Cibitung kemudian mengalir ke pasar Babelan baru ke rumahtangga. Padi dan sayur-sayuran kini berjalan terbalik dari selatan ke utara.

Tentu saja bukan hanya sayur-sayuran yang mengalami arus balik. Ikan dan produk laut lainnya pun mengalami arus balik, dari selatan ke utara. Limbah yang membanjiri sungai-sungai di utara Bekasi membawa konsekuensi hilangnya ikan-ikan yang dahulu memenuhi sungai-sungai di Bekasi. Ada banyak cerita bagaimana dahulu masyarakat di utara Bekasi dapat memancing dengan bebas di sungai-sungai yang airnya mengalir jernih, bagaimana utara Bekasi pernah menjadi salah satu penghasil ikan yang memenuhi pasar-pasar di Bekasi. Saat ini, mustahil untuk memancing ikan, sebab ikan sudah lama pergi. Apa yang tersisa di sungai-sungai maupun muara laut hanyalah kerang hijau yang amat berbahaya untuk dikonsumsi karena kandungan timbal yang sangat tinggi. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan gizi dari ikan dan produk laut lainnya, harus didatangkan dari wilayah lain yang tentu saja berdampak pada pengeluaran belanja rumah tangga.

Ironi lumbung padi

Jika Maharaja Purnawarman membangun kanal Gomati dan Chandrabagha untuk mendukung peruntukan wilayah Bekasi sebagai basis masyarakat agraris, maka kanal itu saat ini hanyalah menjadi kanal pembungan limbah. Apa yang dahulu dikenal sebagai masyarakat agraris yang produksi padi, sayur, dan ikan yang tidak hanya untuk memenuhi etika subsistensinya sendiri namun juga untuk memenuhi kebutuhan pasar di wilayah Bekasi kini nyaris hilang tak berbekas. Alih-alih membebaskan dan menguatkan, pembangunan yang terjadi di Bekasi justru menghilangkan jejak kebanggaan yang pernah ada di Bekasi dan menghasilkan ironi yang di luar nalar. Inilah yang saya sebut sebagai ironi lumbung padi.

Ironi lumbung padi terjadi ketika pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengubah lumbung padi yang telah bertahan lebih dari satu milenium dan memberi makan jutaan orang hanya untuk kepentingan industri. Ironi lumbung padi terjadi karena kegagalan dalam memahami bahwa persoalan pembangunan bukan hanya sekedar menggelar karpet merah bagi para investor dan mendorong berdirinya cerobong asap yang mengepulkan asapnya tanpa henti maupun mengubah lahan pertanian menjadi rumah monopoli, namun juga memahami konsekuensi, baik yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan sebagai dampak dari pembangunan itu sendiri. Ironi lumbung padi pun tidak hanya sebatas persolan hingar-bingar dan debat kusir tentang identitas wilayah, yang entah bagaimana Bekasi selalu diidentikkan, atau mengindentikkan diri dengan nilai patriotisme dan religius. Bekasi kehilangan identitasnya sebagai masyarakat agraris yang multikultural. Ironi lumbung padi adalah ironi bahwa lahan yang begitu luas, begitu kaya dan subur, kemudian berubah begitu drastis hanya dalam waktu kurang dari lima dekade.

Pembangunan di Bekasi justru menghasilkan, apa yang disebut Shiva (2005) sebagai “tunawisma di kampung dunia”, bukan karena penggusuran paksa melainkan karena masyarakat didorong untuk menjual tanahnya. Adalah ironi yang menguji akal sehat ketika seseorang menjual tanahnya kepada pengembang, yang di tanah tersebut kemudian di bangun perumahan, dan kemudian orang tersebut membeli rumah ke pengembang tersebut untuk anak-anaknya yang telah menikah di tanah yang dahulu pernah menjadi miliknya. Adalah ironi luar biasa jika daerah yang dahulu pernah menjadi produsen padi, sayur-sayuran, dan ikan, namun saat ini bahkan untuk menjaga etika subsistensi masyarakatnya saja sudah kesulitan dan kemudian memilih cara praktis dengan mendatangkan barang kebutuhan dari wilayah lain. Padi, sayur, dan ikan kini sudah harus didatangkan dari wilayah-wilayah lain. Kemandirian pangan hanya menjadi mantra yan sulit diwujudkan. Ironi ini muncul sebagai konsekuensi dari pembangunan di Bekasi yang mengabaikan dimensi manusia.

Akselerasi pertumbuhan Bekasi sebagai akibat dari pembangunan yang hanya mementingkan keuntungan dan naiknya Pendapatan Regional Domestik Bruto hanya menghasilkan masyarakat yang semakin miskin. Pemiskinan menjadi hasil dari kebijakan yang timpang. Apa yang dibayangkan oleh Nelson dan Weschler (1996) bahwa sustainalibitas masyarakat adalah prasyarat utama dari nilai etik pemerintahan jelas menjadi pepesan kosong ketika berhadapan dengan realitas yang terjadi di Bekasi. Persoalannya terletak pada pemahaman bahwa pembangunan tidak melulu memberikan benefit yang sebesar-besarnya kepada masyarakat. Alih-alih mendiagnosis untuk meninjau kembali kebijakan pembangunan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Bekasi justru memberikan sejumlah resep – yang dianggap paling ampuh – agar pembangunan dapat lebih terakselerasi.

Secara tegas resep tersebut adalah dengan mendirikan lebih banyak pabrik – yang diasumsikan akan membuka lebih banyak tenaga kerja, mendirikan lebih banyak rumah murah – yang diasumsikan sebagai indikator bahwa orang tersebut tidak lagi miskin, dan mendorong akses transportasi dan informasi hingga ke desa-desa terpencil – yang diasumsikan dengan sarana transportasi yang lebih mudah akan lebih membuka akses modal. Semua resep itu akan berujung pada satu hal: PDRB. Logikanya sederhana, jika PDRB naik maka masyarakat akan semakin sejahtera. Di titik inilah pemerintah Bekasi gagal melihat bahwa PDRB yang semakin bertambah justru berkorelasi negatif dengan semakin meningkatkan angka kemiskinan. Persoalannya lebih pelik, bahwa kemiskinan selalu dilihat secara statistikal, bahwa kemiskinan terjadi karena masyarakat dianggap tidak mampu mengikuti laju akselerasi pembangunan. Kesalahan ada pada masyarakat, bukan pada pembangunan itu sendiri.

Apa yang terjadi di wilayah utara Bekasi adalah sebuah arus balik yang bergerak menuju titik nadir dari kehidupan masyarakat agraris. Sulit untuk membayangkan masa depan ketika melihat bagaimana suatu wilayah berubah begitu cepat sehingga nyaris tidak lagi dikenali. Utara Bekasi adalah wilayah yang mendapat hantaman paling keras dari kebijakan pembangunan industri di selatan dan invasi besar-besaran di utara. Hantaman pembangunan di utara Bekasi tidak hanya terasa dalam kehidupan sosiokultural masyarakat, namun juga merasuk ke dalam domain rumahtangga. Perempuan adalah korban yang menderita paling serius dalam domain rumahtangga. Efek pembangunan berpengaruh besar terhadap ekonomi rumahtangga, pemenuhan gizi, ketersediaan pangan dan air bersih, hingga persoalan kesehatan. Hal inilah yang tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah selaku pengambil kebijakan.

Kebijakan pembangunan di Bekasi memberikan pengaruh bagi masyarakat, utamanya di utara Bekasi. Hanya tinggal menunggu waktu yang tidak terlalu lama, gambaran mengenai masyarakat agraris yang sejahtera tinggal mimpi dan perlahan menjadi cerita rakyat yang diturunkan secara turun-temurun. Tentang cahaya bulan yang meredup dan perlahan mati di langit utara Bekasi dan tentang kupu-kupu dan kunang-kunang yang dulu ada namun telah lama pergi.

DAFTAR PUSTAKA

Alrasyid, M.H. 2006. Kabupaten Bekasi dari Masa ke Masa. Bekasi: Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi.

_______. 2015. “Pembangunan di Utara Bekasi dalam Perspektif Lingkungan dan Sosial”, makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan di Utara Bekasi, diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa dan STAI Attaqwa, 18 April 2015

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Bekasi. 2013. Laporan Bappeda Kabupaten Bekasi 2013. Bekasi: Bappeda Kabupaten Bekasi. Dapat diakses di http://portal.bekasikab.go.id:8080/alfresco/d/d/workspace/SpacesStore/0efd3c97-c3a0-4cfd-9309-4109fdf73b67/PUBLIKASIFinalPDRBLapus2013_Isi%20%28Bappeda%292.pdf

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi. 2014. Kabupaten Bekasi Dalam Angka 2014. Bekasi: BPS Kabupaten Bekasi. Dapat diakses di http://bekasikab.bps.go.id/publikasi/kabupaten-bekasi-dalam-angka-2014

Daroyni, S. 2015. “Menuju Pembangunan Bekasi Utara yang Berkelanjutan”, makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan di Utara Bekasi, diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Abiturien Attaqwa dan STAI Attaqwa, 18 April 2015

Haraway, D. 1992. “The Promise of Monsters: A Regenerative Politics for Inappropriate/Others”, dalam L. Grossberg, C. Nelson, dan P. Treichler (eds.) Cultural Studies. New York: Routledge, Chapman, and Hall. Hlm. 295-337

Nelson, L.S. dan L.F. Weschler. 1996. “Community sustainability as a dimension of administrative ethics”, Administrative Theory & Praxis 18(1):13-26

Norgaard, K. dan R. York. 2005. “Gender Equality and State Environtalism”, Gender and Society 19(4):506-522

Sagimun. 1988. Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi. Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta

Tsing, A.L. 2005. Friction: an Ethnography of Global Connection. Princeton and Oxford: Princeton University Press