Ibu di mata saya

Malam ini, setelah lelah mengisi Latihan Dasar Kepemimpinan Dasar Santri di Attaqwa Putri, saya pulang, membuka pintu sepelan mungkin. Kosong. Rupanya ibu saya sudah masuk ke kamarnya. Saya enggan mengganggunya walau saya yakin ibu saya belum tidur. Malam ini pula, sebuah pesan masuk ke ponsel saya. Seorang teman, bertanya, apakah saya sudah mengucapkan hari ibu dan berterimakasih pada ibu saya? Saya tertegun. Lupa.

Sungguh hingga saat ini saya tidak dapat menemukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan ibu saya. Bagaimana ibu saya mendidik saya, mengenalkan saya pada dunia, bahkan sebelum saya memiliki kesadaran konsepsional mengenai apa dunia itu sebenarnya. Ibu saya adalah orang pertama yang mengenalkan banyak hal, salah satunya adalah apa yang saya percaya dan saya anut hari ini. Ibu saya adalah guru mengaji pertama saya. Jauh sebelum para guru taman kanak-kanak mengenalkan cara membaca Al Quran, ibu saya sudah menjejali saya terlebih dahulu. Begitu ketatnya ibu saya mengajari saya, sehingga saya baru menyadari, ibu saya baru akan melepas anak-anaknya untuk membaca Al Quran tanpa pengawasan yang ketat ketika anaknya telah menyelesaikan pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah. Lebih jauh lagi, ibu saya memiliki toleransi yang rendah sekali terhadap kemalasan anak-anaknya dalam belajar dan mengaji. Meskipun saya tidak pernah mendapatkan hukuman serius dari ibu saya, namun kedua kakak saya pernah mendapat hukuman dari ibu saya karena malas dalam belajar dan mengaji. Ayah saya, dalam derajat tertentu, adalah kebalikan dari ibu saya. Ayah saya memiliki tingkat toleransi yang besar terhadap anak-anaknya yang sering malas belajar dan mengaji.

Saya mengingat kembali masa kecil saya. Ibu saya, seingat saya, tidak pernah mengantar saya ke Taman Kanak-Kanak, yang sesungguhnya hanya sepelemparan batu dari rumah saya. Hanya di seberang jalan. Ibu saya, begitu saya telah selamat tiba di sekolah, yang memang berada di depan rumah, langsung masuk ke rumah dan bersiap untuk mengajar. Maklum lah, ibu saya bukan lah tipe ibu rumah tangga yang menetap di rumah sepanjang hari, apalagi menunggui anaknya yang ‘bersekolah’ di Taman Kanak-kanak. Sejak awal saya menyadari, bahwa ibu saya bukan lah milik saya pribadi, ia adalah milik masyarakat. Ibu saya adalah seorang yang mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk dunia pendidikan. Ia mengajar di, entah berapa banyak, majelis taklim perempuan yang ada di wilayah Bekasi, Jakarta, dan kadangkala Karawang. Ia juga mengajar di Pondok Pesantren Attaqwa Putri. Setiap hari, ibu saya menerima banyak tamu, baik itu murid-muridnya yang berasal dari berbagai wilayah, staf tata usaha Pondok Pesantren Attaqwa Putri yang memberikan laporan kegiatan, maupun para pejabat, mulai dari yang penting sampai yang sok penting. Saya sih senang-senang saja, toh banyak makanan yang tersedia, jadi dalam hal tertentu, terdapat simbiosis mutualisme antara saya dan ibu saya. Ibu saya, melalui tamu yang datang, menghasilkan banyak makanan, sedangkan saya menyediakan keramahan dan waktu untuk menyambut setiap tamu yang datang.

Ibu saya menyediakan banyak waktu untuk mengajar, sebanyak waktu yang ia sediakan untuk menerima kunjungan dari murid-muridnya, dan sebanyak waktu yang ia habiskan untuk bercengkerama dengan keluarganya. Saya tidak tahu persis sejak kapan ibu saya berkecimpung di dunia pendidikan. Menurut pengakuan muridnya, yang merupakan ibu dari teman saya, ibu saya pernah mengajar ketika ibu teman saya itu sedang di tahun 1970an. Jika informasi tersebut benar, berarti ibu saya telah mengajar lebih dari empat puluh tahun. Bukan waktu yang sebentar, pun bukan waktu yang panjang. Bagi ibu saya, waktu adalah relatif. Saya semakin melihat kebenaran kata-kata ibu saya mengenai relativitas waktu. Rasanya baru kemarin ketika saya menyelesaikan pendidikan saya di Madrasah Aliyah dan menerima ijazah saya, namun ternyata sudah delapan tahun yang lalu. Secepat itu. Hanya sekelebat, dan waktu pun terlewat.

Saya pun terlempar ke masa kini. Apakah ibu saya akan bangga melihat anaknya ini? Apakah ibu saya tidak akan kecewa melihat hidup anaknya? Apakah… Apakah… Apakah…

Ah saya tidak mau terlalu banyak berpikir mengenai hal spekulatif seperti itu. Pesan teman saya mengingatkan saya pada janji sederhana saya: bahwa saya tidak akan mengecewakan ibu saya apapun resiko yang harus saya tanggung. Saya sadar betul bahwa saya bukan lah anak-anak yang dengan mudah berkata ingin jadi dokter atau pun astronot. Pun dalam usia saat ini, saya tidak berani berkata bahwa saya ingin jadi apa. Cukup lah saya berkata bahwa saya ingin menjadi diri saya yang tidak akan membuat malu ibu saya.

Ibu saya, saya bersyukur karenanya, tidak pernah memaksakan cita-cita pada anak-anaknya. Ibu saya, dengan kebesaran hatinya, tidak pernah bertanya mengapa saya mengambil antropologi. Ibu saya, dengan kemuliaan batinnya, tidak pernah memaksakan kehendaknya atas pilihan anak-anaknya. Ibu saya, saya yakin sepenuhnya, bahwa anaknya yang keras kepala ini, yang menolak pilihannya untuk ke Timur Tengah, belum memahami sepenuhnya implikasi atas pilihan akademik anak-anaknya. Saya bersyukur kepada Allah, bahwa Allah memberikan ibu yang begitu mudah membuka pikiran atas pilihan anak-anaknya. Sungguh saya bersyukur atas semua yang dilakukan ibu saya.

Ah, makin malam makin bersyukur saya. Sungguh saya tidak dapat memberikan balasan yang sepadan dengan apa yang diberikan ibu saya. Saya tidak butuh hari ibu untuk mencintai ibu saya. Saya tidak butuh hari kasih sayang untuk menyatakan sayang saya pada ibu saya. Setiap hari adalah hari ibu dan hari kasih sayang bagi saya. Saya yakin sepenuhnya, bahwa ibu saya pun tidak akan memperdulikan hari-hari itu.

Ibu saya tidak butuh seremonial. Ibu saya tidak butuh sekeranjang coklat. Ibu saya tidak butuh sekarung bunga. Sungguh saya yakin, semua ibu sama sekali tidak butuh itu. Barangkali, mengutip Delisa (bagi yang belum tahu silahkan baca novel Tere-Liye), ibu saya akan mengharu biru jika saya berkata “Umam cinta mamah karena Allah”. Namun pun demikian, sungguh saya percaya, bahwa ibu saya tahu betapa besar saya mencintainya tanpa saya mengucapkan kata-kata sakti itu.

Di tengah mata yang keruh dan berkaca, saya berjanji dalam hati, bahwa saya akan memberikan cinta yang lebih besar, jauh lebih besar dari dunia dan isinya, bagi ibu saya. Saya akan menjadi diri yang patut dan pantas bagi ibu saya. Saya akan menjadi sosok yang membahagiakannya, meskipun dunia akan membenci dan mencaci saya. Saya akan menjadi pijakannya untuk berdiri lebih teguh dan lebih tegar. Saya akan menjadi buah hatinya yang tidak akan rela membiarkan setetes air mata pun tumpah dari matanya yang indah. Saya akan menjadi anaknya, muridnya, dan penerusnya, sejak dahulu hingga sekarang, dan akan lebih dari itu pada hari ini hingga masa yang akan datang, sampai waktu menghampiri, suatu saat nanti. Sungguh saya berjanji dan Allah menjadi saksi