Kemarin siang (15/4), ditemani seorang teman, setelah dari bank, kami berdua berjalan ke arah kos saya. Di muka sebuah gang, tidak jauh dari gang kos saya, sejenak teman saya itu berhenti. Dan saya pun ikut berhenti, memperhatikan apa yang membuat teman saya itu berhenti. Saya melihatnya. Di dinding sebuah warung makan, tertempel sebuah selebaran. Di selebaran itu tertulis akan ada acara pada tanggal 21 april mendatang, dengan pawai segala, di sebuah taman kanak-kanak, tidak terlalu jauh dari kos saya. Pikiran saya pun melayang. Ada apa ya tanggal 21 besok? Dan teman saya menjawab satu hal: KARTINI.
Ah iya. Setiap tanggal 21 april kita merayakan hari Kartini, dan tiba-tiba saya teringat pertanyaan teman saya waktu di Airlangga dulu: “Kenapa ya ga ada hari Diponegoro?”, dan saya pun terkikik ketika membayangkan, jika ada hari Diponegoro, betapa repotnya kita harus menyewa kuda, dan barangkali semua kuda akan disewa sehingga yang tersisa cuma sapi atau sepeda, dan saya tidak dapat membayangkan Diponegoro naik sapi, apalagi sepeda. Kembali ke soal Kartini. Saya berpikir apa yang diucapkan, dengan spontan, oleh teman saya, yang berjalan bersama saya ke kos: “Apa ya yang ada dipikiran Kartini seandainya ia tahu ada pawai di hari Kartini?”, entah lah, dan pikiran saya pun melayang.
Sungguh saya berpikir, bahwa Kartini akan bingung menghadapi apa yang terjadi saat ini. Di satu sisi saya yakin iya akan tersenyum, manakala ia melihat perempun Indonesia dapat menjadi apapun yang ia inginkan. Di sisi lain, saya yakin ia akan menangis, melihat meskipun perempuan Indonesia dapat menjadi apapun, namun kondisinya hanya sedikit bergerak dari masa ketika ia hidup. Memang perempuan saat ini dapat mencapai karir tertinggi. Memang perempuan Indonesia dapat menyatakan pendapat sesuka hati. Namun apakah itu realitas yang sebenarnya? Atau itu delusi? Mimpi indah yang dihembuskan oleh kuasa kegelapan sehingga perempuan terlena dan merasa telah mencapai kondisi yang sama dan setara? Atau barangkali, itu adalah realitas yang diciptakan, realitas palsu yang dilebih-lebihkan, hiperrealitas, yang kemudian kita anggap sebagai realitas yang ajeg dan nyata?
Sungguh saya percaya, bahwa kita belum beranjak dari apa yang dicita-citakan Kartini: Pendidikan. Saya percaya sepenuhnya, bahwa mendidik perempuan adalah sama dengan menciptakan masa depan. Bagaimana kondisi pendidikan saat ini? Anda boleh beradu data, bahwa pendidikan terbuka bagi setiap orang tanpa memandang jenis kelamin, namun benarkah? Berani kah kita menungkap data sesungguhnya, tentang persebaran gender di tingkat pendidikan? Berani kah kita menyatakan bahwa buta aksara di perempuan lebih banyak ketimbang lak-laki? Berani kah kita berkata bahwa akses pendidikan bagi perempuan lebih rapat, bahkan lebih sulit, ketimbang laki-laki? Dan menuduh bahwa perempuan masih tertinggal dalam pendidikan?
Apa yang sesungguhnya diinginkan oleh Kartini? Lupakan perdebatan di tingkat praksis, yang mempertentangkan antara Kartini dan Ratu Kalinyamat. Lupakan perkelahian yang tidak perlu yang menitikberatkan pada hasil yang dicapai oleh Kartini. Kartini memang mati muda. Lagi pula apa yang anda harapkan dari orang yang mati muda, di tengah keinginan untuk menghasilkan karya yang sangat bias senioritas? Saya berpikir, bahwa Kartini berjasa karena ia melakukan apa yang diperintahkan Allah sejak semula: menulis. Tentu saja untuk bisa menulis ia harus bisa membaca. Baca lah!!! Bukan kah itu yang diperintahkan Allah kepada kita sejak semula?
Maka sungguh saya tidak percaya pada omongan orang bahwa Kartini akan bangga melihat dirinya dirayakan. Dia tidak akan sedikitpun bangga, bahkan tidak senoktah pun terbersit di hatinya, melihat namanya diperingati. Hanya lah sebuah peringatan kosong. Diisi oleh pawai yang sama sekali tidak menunjukkan cita-citanya. Lihat lah mereka yang merayakan hari yang diambil dari namanya. Bersanggul dengan melati indah, berkebaya penuh warna, dengan kain berprada, dan selop keemasan. Apa kah itu Kartini? Tidak kah itu sangat bias Jawa? Mengapa tidak menggambarkan Kartini dengan pakaian Minang? Bugis? Dayak? Atau Papua? Tidak kah mereka juga perempuan? Tidak kah mereka juga Kartini? Tidak kah kita mengkhianati Kartini? Dalam pengertian yang sesungguhnya?
Kartini memang mati muda. Dan sungguh saya percaya, bahwa Kartini bukan lah satu-satunya perempuan yang berteriak tentang pendidikan bagi perempuan. Masih ada ratusan, bahkan ribuan, perempuan lain. Mereka yang dengan rela tidak tercantum namanya, namun mimpi mereka, di inkorporasi melalui mimpi Kartini, dan diwujudkan dalam simbol Kartini. Sungguh mimpi utama Kartini adalah pendidikan. Tentu saja ini bagi saya. Setiap orang boleh menyatakan hal yang berbeda.
Mimpi kartini adalah bahwa setiap perempuan berani bermimpi, sekaligus mewujudkan mimpi tersebut, untuk mendapatkan pendidikan. Sungguh pendidikan bukan lah untuk kepentingan perempuan itu sendiri. Alangkah naif jika kita berpikir bahwa pendidikan bagi perempuan adalah untuk memuaskan ego perempuan itu sendiri? jika pun hal tersebut benar, bagaimana dengan laki-laki? Tidak kah pendidikan bagi laki-laki pada dasarnya adalah pemuas ego diri? Tidak kah pendidikan kemudian menjadi saluran untuk mendedahkan hasrat akan status sosial? Betapa picik jika kita berpikiran seperti itu. Bagi saya, pendidikan pada hakikatnya adalah investasi masa depan. Generasi seperti apa yang dapat kita harapkan, yang lahir dan dibesarkan dari orangtua yang tidak berpendidikan?
Maka saya berpikir, bahwa mimpi Kartini belum terwujud sepenuhnya. Barangkali Kartini akan tersenyum melihat para perempuan telah berani bermimpi untuk memperoleh pendidikan. Tinggal lah pertanyaan besar: mampukah kita mewujudkan mimpi-mimpi tersebut? Sudah tak terbilang sarjana, master, doktor, bahkan guru besar perempuan. Namun apakah ini cukup? Bagi saya tidak. Secara statistik, jumlah perempuan akan semakin sedikit di setiap jenjang pendidikan. Tidak kah ini berarti ada yang salah dalam cara kita memandang mimpi tersebut? Tidak kah ada yang keliru dalam cara kita menterjemahkan mimpi tersebut? Sudah tepat kah cara kita mewujudkan mimpi tersebut?
Tidak kah kita kemudian terlena dengan gambaran semu mengenai Kartini. Kita memperingati hari Kartini hanya sebatas untuk mengingatkan, bahwa bangsa kita pernah memiliki satu figur perempuan yang memiliki mimpi untuk mendidik perempuan. Kita lupa, bahwa Kartini sesungguhnya adalah perempuan-perempuan Indonesia. Dia hanya lah sesosok perempuan yang kebetulan diberi nama Kartini, yang lahir dari rahim seorang garwa ampil, yang mati muda, dan sekarang tinggal tulang diliputi debu. Kita, atas desakan penguasa untuk melampiaskan imaji dan hasratnya atas seorang perempuan Jawa, merayakan hari Kartini. Sungguh kita lupa pada apa yang menjadi mimpi Kartini. Lebih celaka lagi. Sungguh kita lupa, bahwa Kartini hanya lah sebuah nama. “Kartini-Kartini” sesungguhnya ada di sekitar kita sendiri.
Maka izinkan saya berpaling pada perempuan-perempuan hebat di sekitar saya. Mereka lah Kartini-Kartini tanpa sanggul. Mereka lah, yang dengan percaya diri penuh, memutuskan untuk melanjutkan sekaligus mengambilalih mimpi Kartini. Kartini memang mati muda. Namun perempuan-perempuan di sekitar saya menolak untuk mati muda. Mereka memutuskan untuk mendapatkan pendidikan, apapun resikonya, apapun biayanya. Saya rasa, bahwa saya harus banyak belajar dari mereka.
Mereka yang hidupnya tidak lagi menjadi milik mereka sepenuhnya. Mereka yang dengan sadar sepenuhnya, dengan begitu berani dan heroik, mengambil peran-peran luar biasa. Sebagai ibu. Sebagai istri. Sebagai pekerja. Sebagai akademisi. Sebagai praktisi. Sebagai pelajar. Sebut saja, dan anda akan menemukan sosok-sosok tersebut di sekitar anda. Saya pun merasa, bahwa saya yang terlalu pengecut untuk mengambil peran lain merasa rendah diri. Mereka barangkali bilang kalau saya memiliki tubuh sekaligus waktu saya sendiri. Benarkah? Apalah saya jika dibandingkan mereka? Sungguh saya tidak akan berada di sini tanpa perempuan-perempuan hebat yang berani bermimpi, dan berani meneruskan mimpi tersebut melalui anak-anaknya. Sungguh saya tidak akan ada di sini tanpa perempuan-perempuan dahsyat yang menolak untuk pasrah terhadap nasib mereka. Sungguh saya tidak akan ada di sini tanpa perempuan luar biasa yang menolak menyerah di tengah segala keterbatasan. Mereka lah Kartini saya. Dalam arti yang sesungguhnya.
Saya tidak ambil pusing apakah Kartini sesungguhnya benar-benar hidup atau kah sekedar imaji para penguasa. Kita toh tidak akan mengenal Kartini jika saja surat-suratnya kepada Tuan dan Nyonya Abandon atau Stella tidak dipublikasikan. Lalu apakah kita akan mempersoalkan apakah Kartini berjasa atau tidak? Kalau saya tidak. Ada atau tidak, Kartini sesungguhnya ada di sekitar saya. Saya tidak merasa perlu untuk melihat langsung rumah Kartini, atau makam Kartini. Meskipun saya membaca surat-suratnya, saya tidak merasa perlu untuk mencari Kartini dalam imaji saya. Sungguh sosok Kartini ada di dekat saya.
Oleh karena itu, maafkan jika saya menolak perayaan hari Kartini. Kartini dengan kebaya putih (atau warna lain) dan jarit berprada keemasan. Kartini dengan maskara dan gincu kemerahan. Kartini dengan ronce melati dengan gaya berlebihan. Bukan itu Kartini dimaksudkan.
Teman saya protes. Katanya saya terlalu berlebihan melihat pawai Kartini dilangsungkan. Barangkali betul. Namun coba lah dipikirkan. Apa manfaatnya selebrasi itu? Dan teman saya pun menawar: “kalau untuk sekedar keluar dari rutinitas boleh lah”, ya dan saya pun mengalah. Barangkali menarik juga. Saya akan meminta teman-teman saya, untuk dalam satu hari saja, menjadi Kartini yang diimajikan oleh penguasa: kebaya sederhana, kain panjang, selop, dan sanggul. Meskipun saya tetap berpendapat. Bahkan tanpa itu semua pun, mereka sesungguhnya Kartini. Mereka berani bermimpi, mewujudkan mimpi tersebut, dengan tetap menjadi diri mereka apa adanya. Tanpa sanggul. Tanpa bunga. Namun mereka tetap cantik di mata saya.