Majelis taklim perempuan adalah institusi pendidikan bagi perempuan, yang membuka diri tanpa melihat batasan kelas, usia, maupun etnisitas. Jauh dari bayangan orang akan dunia yang tenang, majelis taklim adalah area di mana kontestasi adalah napasnya. Tulisan ini melihat bagaimana masuknya kekuasaan negara atas majelis taklim perempuan kemudian menjadikan majelis taklim perempuan sebagai instrumentasi negara untuk menyebarkan ideologi ibuisme negara. Namun angin perubahan terjadi seiring dengan runtuhnya Orde Baru, ketika negara tidak lagi mampu mengontrol bawahannya, maka majelis taklim perempuan pun mendapatkan momentumnya. Kebebasan dari Dewan Kemakmuran Masjid dan negara, membawa majelis taklim pada pusaran dunia politik. Aliansi strategis antara majelis taklim perempuan dan partai politik, kecurigaan dan kekecewaan, serta pecah kongsinya aliansi tersebut menjadi denyut kehidupan majelis taklim pascareformasi. Menghapus bayangan atas dunia di atas awan, majelis taklim perempuan sesungguhnya adalah area peperangan, terlihat jelas, di bawah bulan dan pohon beringin.
Tulisan ini bertujuan untuk melihat dinamika interaksi antara majelis taklim perempuan dengan negara dan politik di wilayah Kabupaten Bekasi. Dinamika itu sendiri khususnya dikaitkan dengan penyebaran kebijakan pemerintah di masyarakat, terentang sejak akhir era Orde Baru hingga era reformasi. Dalam hal ini berfokus pada bagaimana majelis taklim perempuan menjadi medium bagi kekuasaan untuk menyebarkan gagasan dan kebijakannya di tingkat akar rumput, juga akan dilihat bagaimana dinamika yang terjadi dalam kaitannya dengan ideologi gender yang diusung negara. Secara spesifik akan dibahas bagaimana majelis taklim perempuan menjadi kendaraan dalam menyebaran ideologi gender negara, resistensi maupun penolakan yang terjadi dalam internal majelis taklim, perebutan sumber-sumber daya dan pengaruhnya dalam majelis taklim tersebut, serta berujung pada bagaimana majelis taklim perempuan terseret arus dinamika politik lokal dan nasional.
Sebagai institusi pendidikan non-formal yang disediakan bagi perempuan, majelis taklim perempuan tidak lah mendapatkan perhatian serius dari para peneliti maupun pemerhati kajian perempuan. Sangat disayangkan sebenarnya, karena majelis taklim perempuan adalah media pembelajaran utama bagi perempuan, tanpa mempertimbangkan batasan usia, etnisitas, maupun latar belakang pendidikan (Weix 1998, Arimbi 2004). Dengan posisi yang sedemikian penting, majelis taklim perempuan sesungguhnya memainkan peran penting dalam penyebaran maupun pelembagaan ajaran agama Islam di tingkat akar rumput. Terlepas dari tipologi majelis taklim perempuan sebagaimana digambarkan Noer (2009b), namun majelis taklim perempuan memiliki satu kesamaan mendasar, yakni membuka ruang belajar dan memberikan akses seluas-luasnya bagi perempuan.
Di sisi yang berbeda, majelis taklim perempuan tidak pernah sepi sebagaimana terlihat dari gambaran luarnya. Di balik kibasan selendang dan senandung zikir, majelis taklim perempuan sesungguhnya adalah area kontestasi tanpa akhir, di mana gender, politik dan kekuasaan negara melakukan penetrasi keras atas majelis taklim perempuan. Mulai dari persoalan apa yang akan diajarkan dan siapa yang mengajar, persoalan penetrasi negara dengan masuknya ideologi ibuisme negara, hingga dinamika politik lokal dan nasional, seluruhnya membentuk jejaring yang akar-akarnya masuk dalam domain majelis taklim perempuan. Hal ini mengherankan, karena sebagai area kontestasi, majelis taklim perempuan lagi-lagi terabaikan. Berdasarkan hal itu lah tulisan ini diajukan, yakni untuk memberikan perspektif lain, bahwa majelis taklim perempuan pun memiliki dinamikanya tersendiri, seringkali terkait erat dengan hingar-bingar dunia politik, dan bahwa majelis taklim perempuan tidak lagi dapat diposisikan sebagai taken for granted.
Mengingat luasnya dinamika majelis taklim perempuan, maka tulisan ini hanya membatasi dinamika hubungan antara majelis taklim dengan kekuasaan negara dan dinamika politik lokal dan nasional. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan mencoba menjawab dua pertanyaan: Pertama, bagaimana interaksi antara majelis taklim perempuan dengan negara?, khususnya bagaimana penetrasi kepentingan dan ideologi gender negara atas majelis taklim perempuan? Apakah terjadi resistansi oleh majelis taklim? Jika iya, seperti apa resistansi yang dimunculkan dan apa implikasinya atas majelis taklim itu sendiri? Kedua, bagaimana dinamika internal majelis taklim dengan politik lokal? Hubungan seperti apa yang muncul antara keduanya? Siapa yang berkepentingan, terutama siapa yang diuntungkan? Dan bagaimana majelis taklim perempuan menyikapi hal tersebut?. Meskipun terlihat berbeda, namun keduanya memiliki keterkaitan erat, pada bagaimana penetrasi negara dan dinamika politik di tingkat lokal.
Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan karena tiga hal: Pertama, penelitian ini akan membuka ruang diskusi yang lebih luas terhadap majelis taklim perempuan yang selama ini terabaikan. Kedua, penelitian ini akan memberikan perspektif lain sekaligus menjadi kritik, bagaimana kehidupan majelis taklim perempuan yang selama ini dianggap sepi dan tenang ternyata tidak lah sebagaimana terlihat. Ketiga, penelitian ini akan menjelaskan bagaimana dinamika majelis taklim tidak lah pada tingkat internal, namun juga dipengaruhi dan mempengaruhi dinamika kekuasaan, ideologi negara, dan dunia politik. Saya sendiri berharap bahwa penelitian ini akan membuka selubung bahwa majelis taklim perempuan adalah topik yang menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama bagi pemerhati masalah gender.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa majelis taklim perempuan adalah organisasi skala kecil namun dengan cakupan besar. Sebagai sebuah organisasi, majelis taklim perempuan memiliki basis massa yang luar biasa. Tidak hanya terbatas pada golongan tertentu saja, sebab majelis taklim adalah area yang membuka diri bagi setiap golongan, dengan demikian tidak lah mengherankan jika majelis taklim perempuan memiliki jumlah anggota yang sangat signifikan. Setiap perempuan dapat menjadi anggota majelis taklim, hanya keislaman saja yang menjadi prasyarat untuk dapat menjadi anggota majelis taklim perempuan. Dengan posisi demikian, maka tidak lah mengherankan jika majelis taklim perempuan menjadi area terbuka yang diinginkan oleh banyak pihak. Setiap pihak yang memiliki berkepentingan acapkali berusaha melakukan penetrasi atas majelis taklim. Negara misalnya, berkepentingan untuk mensukseskan setiap kebijakannya hingga ke tingkat individu, namun karena negara tidak lah memiliki medium hingga ke akar rumput, di mana satuan terkecil negara hanya lah tingkat desa, maka negara membutuhkan medium lain, yang mampu menjangkau lebih luas dan lebih dalam. Majelis taklim perempuan adalah jawaban atas kesulitan negara, sebagaimana akan saya jelaskan berikutnya.
Sama halnya dengan negara, siklus politik pun memainkan kepentingan yang sama dengan negara. Jika negara berkepentingan mensukseskan kebijakan, maka dinamika politik lokal dan partai berkepentingan atas majelis taklim untuk memuaskan birahi politiknya. Maka majelis taklim perempuan tidak dapat melepaskan diri dari hingar-bingar dunia politik sepenuhnya. Siklus politik lima tahunan, baik itu pemilihan legislatif pusat dan daerah, maupun pemilihan kepala daerah itu sendiri, selalu menyeret majelis taklim perempuan ke dalam arus deras dunia politik (Noer 2009a), mendorong majelis taklim ke dalam pusaran air dengan menjadikan majelis taklim perempuan sebagai wahana untuk mencapai tujuan.
Persoalannya terletak pada posisi majelis taklim perempuan itu sendiri, dan bagaimana majelis taklim perempuan menyikapi dinamika tersebut. Majelis taklim perempuan, sejak awal, tidak pernah sepi dari berbagai kepentingan. Meskipun majelis taklim perempuan telah mengalahkan tantangan awal, yakni pada persoalan pengajaran dan bahan ajar, yang dalam banyak hal telah melepaskan diri dari kuasa kiai dan elite agama laki-laki (lihat Noer 2009b), namun dinamika majelis taklim perempuan tidak lah berhenti di sana. Dinamika majelis taklim perempuan terus mengalami perkembangan, semakin rumit dan menjerat, serta semakin menuntut majelis taklim perempuan untuk menampakkan pendirian atas dinamika tersebut. Hal-hal tersebut sesungguhnya ada dalam kehidupan majelis taklim, di mana persaingan, gosip, dan kekuasaan memainkan peran dalam keseharian majelis taklim, yang sayangnya selama ini terabaikan.
Majelis Taklim Perempuan, Definisi dan Tujuan
Majelis taklim secara etimologis berarti “lembaga atau organisasi sebagai wadah pengajian”, “sidang pengajian” dan “tempat pengajian” (KBBI, 2005:699). Ensiklopedi Islam (1994 3:120) mendefinisikan majelis taklim sebagai tempat untuk melaksanakan pengajaran atau pengajian agama Islam. Majelis taklim juga dapat didefinisikan sebagai tempat pengajaran dan/atau pengajian bagi orang-orang yang ingin mendalami ajaran agama Islam. Secara khusus, Kementerian Agama mendefinisikan majelis taklim sebagai “…salah satu lembaga pendidikan diniyah non formal yang bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia bagi jemaahnya, serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta.” (Depag, 2008:2)
Sebagai sebuah wahana pengajaran sekaligus pembelajaran ajaran agama Islam, majelis taklim merupakan sarana pendidikan yang fleksibel dan tidak terikat oleh waktu dan tempat. Sebagai sebuah sarana pendidikan, majelis taklim dapat dilaksanakan tanpa memandang waktu dan tempat. Lebih jauh, majelis taklim terbuka bagi setiap orang tanpa memperhatikan usia, jenis kelamin maupun status seseorang. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan konteks historis majelis taklim, di mana proses pengajaran dan penyebaran ajaran agama dilakukan melalui model-model pengajaran non formal dengan tujuan mengajak sebanyak mungkin orang. Kondisi ini membawa pada sebuah konsekuensi logis, bahwa majelis taklim harus terbuka bagi setiap tanpa membeda-bedakan latar belakang setiap orang yang bergabung dalam majelis taklim tersebut.
Dalam konteks formal, majelis taklim merupakan lembaga pendidikan diniyah yang bersifat non-formal diatur dan diakui dalam perundang-undangan.[i] Dalam struktur administratif di Kementerian Agama, majelis taklim berada di bawah Direktorat Pendidikan Diniyah Pondok Pesantren dan berada di bawah bimbingan Subdit Salafiah Pendidikan al Quran dan Majelis Taklim (Depag 2008:2-3). Lebih jauh, Kementerian Agama juga mengatur mengenai bentuk majelis taklim. Dalam peraturan yang keluarkan oleh Departemen Agama, setiap majelis taklim yang berbentuk satuan pendidikan diwajibkan memiliki izin pendirian yang dikeluarkan oleh Kantor Departemen Agama di tingkat kabupaten dan kota.[ii]
Majelis taklim memiliki empat fungsi pokok, yaitu: (1) sebagai wadah untuk membina dan mengembangkan kehidupan beragama di masyarakat dan bertujuan untuk membentuk masyarakat yang bertaqwa kepada Allah, (2) sebagai wahana wisata rohani, (3) sebagai wadah silaturrahmi, dan (4) sebagai medium penyampaian gagasan yang bermanfaat bagi pembangunan ummat dan bangsa (Ensiklopedi Islam, 1994 3:120). Departemen Agama (2008:4-5) juga merumuskan enam fungsi majelis taklim, yaitu: Pertama, fungsi keagamaan, yakni membina dan mengembangkan ajaran Islam dalam rangka membentuk masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Kedua, fungsi pendidikan, yakni menjadi pusat kegiatan belajar masyarakat, keterampilan hidup, dan kewirausahaan. Ketiga, fungsi sosial, yakni menjadi wahana silaturahmi, menyampaikan gagasan, dan sekaligus sarana dialog antara ulama, umara dan umat. Keempat, fungsi ekonomi, yakni sebagai sarana tempat pembinaan dan pemberdayaan ekonomi jemaah. Kelima, fungsi seni dan budaya, yakni sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Islam. Keenam, fungsi ketahanan bangsa, yakni sebagai wahana pencerahan umat dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa.
Meskipun secara ideal majelis taklim terbuka bagi setiap orang tanpa memandang usia maupun jenis kelamin, namun majelis taklim dapat pula dibedakan berdasarkan kelompok usia dan gender maupun kelompok profesi. Di sisi yang berbeda, majelis taklim pun dapat dibedakan berdasarkan lembaga pengelolaan dan pihak yang bertanggungjawab atas pengelolaan majelis taklim tersebut.[iii] Dalam konteks yang lebih luas, majelis taklim memiliki beberapa elemen pokok, seperti adanya tenaga pengajar, adanya waktu dan tempat yang disepakati sebagai waktu dan tempat pelaksanaan taklim, adanya jemaah yang secara berkala datang dan mengikuti kegiatan taklim, dan adanya materi ajar yang dipergunakan sebagai bahan ajar.
Bulan tertutup beringin: majelis taklim perempuan di masa Orde Baru
Terdapat dua persoalan utama yang dihadapi majelis taklim perempuan, terutama pada periode akhir masa Orde Baru, yaitu: Pertama, penggantian materi yang diajarkan dengan penyamarataan topik yang diajarkan. Konsekuensinya jelas: majelis taklim perempuan harus beradaptasi dengan adanya paksanaan tersebut, dan tidak jarang majelis taklim perempuan harus mengubah struktur pembelajaran yang telah ada sebelumnya. Kedua, instrumentasi negara dengan menjadikan majelis taklim perempuan sebagai wahana bagi negara untuk menyebarluaskan kebijakan pemerintah. Konsekuensinya pun jelas: majelis taklim perempuan kehilangan kemandiriannya karena telah menjadi instrumen negara sekaligus perpanjangantangan negara untuk menjangkau area yang tidak dapat dijangkau oleh negara.
Pada pertengahan tahun 1990, sebagaimana masih diingat oleh ibu Hajjah Komariyah, ketika dirinya selaku pimpinan majelis taklim perempuan dipanggil oleh Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), Haji Ahmad Baihaqi. Di rumah kediaman ketua DKM, ibu Komariyah memperoleh instruksi, bahwa selaku DKM yang mengurus Masjid Nurul Zaman mendapat instruksi dari pihak kecamatan, agar majelis taklim mengajarkan materi-materi tentang kehidupan rumah tangga dan hubungan sosial dengan tetangga. Sebuah materi yang, mengutip ibu Komariyah, “mengajar (kan) setiap ibu-ibu untuk sayang suami dan tetangga.” Maka dimulai lah negosiasi antara pihak majelis taklim dengan ustazah yang mengajar, dan mulai lah majelis taklim Nurul Zaman mempelajari kitab ‘Uqud Al Lujayn, yang mempelajari hubungan antara suami dan istri, menggantikan Kitab as Sa’adah fi Tauhid Ilahiyah, yang mempelajari tauhid dan akidah.
Hal yang sama terjadi di empat majelis taklim lainnya, Al Insan, Al Fattah, Nurul Yaqin, dan Al Muminat. Majelis taklim Al Insan misalnya, menurut Hajjah Lutfiyah, sebagai pimpinan majelis taklim diminta untuk mengubah materi yang diajarkan, dari semula Al Azkar An Nawawiyah, yang membahas mengenai amalan sehari-hari, menjadi Uqud Al Lujayn. Majelis taklim Al Fattah pun mengganti topik, dari semula fikih dengan kitab Syarah Fathul Qarib menjadi Uqud Al Lujayn. Majelis taklim Nurul Yaqin dari semula Babul Minan, yang membahas mengenai hukum dalam ibadah menjadi Uqud Al Lujayn. Barangkali yang paling tragis adalah majelis taklim Al Muminat, dari semula mempelajari Bulughul Maram fi Adilatil Ahkam, yang membahas hadis-hadis tentang hukum, pun menjadi Uqud Al Lujayn. Hanya majelis taklim An Nisa yang tidak berubah sejak semula, yakni kitab Adabul Insan, yang mempelajari adab dan etika dalam kehidupan sehari-hari.
Masa itu, menurut ibu Hajjah Habibah, pimpinan majelis taklim Nurul Yaqin, adalah masa di mana segala sesuatu dalam internal majelis taklim perempuan diatur dan dikendalikan. Menurutnya, majelis taklim perempuan “kehilangan kontrol untuk belajar apa yang perlu dan apa yang tidak”, sebab semua yang diajarkan harus “bisa digunakan (dalam kehidupan) sehari-hari”. Bagi ibu Habibah, Babul Minan, merupakan kitab yang ideal, sebab mudah dimengerti oleh para anggota majelis taklimnya yang sebagian besar tidak mampu membaca tulisan Arab. Kitab Babul Minan sendiri memang bertuliskan Arab-Melayu yang lebih mudah dipelajari ketimbang Uqud Al Lujayn. Di sisi yang berbeda, kitab Babul Minan dianggap “lebih baik” karena membahas persoalan yang jauh “lebih penting” ketimbang Uqud Al Lujayn. Berbeda dengan Uqul al Lujayn yang lebih menekankan relasi antara suami dan istri, Babul Minan lebih menekankan pada dasar-dasar agama Islam, yakni pada rukun iman dan rukun Islam, juga pada masalah hukum dasar seperi bersuci dan salat.
Keresahan tidak hanya terjadi di majelis taklim Nurul Yaqin yang dipimpin oleh ibu Habibah, namun juga terjadi di majeis taklim Al Insan yang dipimpin oleh ibu Hajjah Lutfiyah. Bagi ibu Lutfiyah, keberatan utama terletak pada penggantian kitab yang dipelajari. Sebelumnya majelis taklim Al Insan mempelajari kitab Al Azkar An Nawawiyah, yang lebih banyak membahas mengenai amalan-amalan sehari-hari, anjuran-anjuran kebaikan dan doa-doa. Dalam hal ini, Al Azkar dianggap “lebih praktis” dari pada kitab Uqud Al Lujayn. Menurut ibu Lutfiyah, penggantian kitab yang dipelajari itu merugikan, sebab Al Azkar lebih banyak memberikan pedoman bagaimana seorang muslim beribadah, dengan demikian Al Azkar lebih bersifat praktikal yang dapat langsung dipergunakan. Meskipun ibu Lutfiyah tidak menolak bahwa Uqud Al Lujayn pun memiliki dimensi praktikal, namun menurutnya:
“…. ya tentu aja beda lah, di Al Azkar kan kita belajar ibadah harian, lebih penting lah…. iya saya juga tahu kalau Uqud Al Lujayn juga perlu … tapi saya rasa semua ibu tahu kalau kita harus menghormati suami, tapi kan ga semua ibu-ibu tahu doa-doa harian, apa yang baik, apa yang tidak … lah emang suaminya pada mau ngajarin? Belum tentu suaminya becus (mampu) juga.”
Sama halnya dengan majelis taklim Al Muminat, yang dipaksa untuk mengganti kitab Bulughul Maram dengan Uqud Al Lujayn. Bagi ibu Hajjah Aisyah, pimpinan majelis taklim Al Muminat, penggantian ini adalah pelecehan, sebab mengganti materi hadis Nabi dengan materi lain di bawahnya. Menurutnya, apa yang diminta oleh pihak Dewan Kemakmuran Masjid sudah melebihi batas, sebab sudah masuk dalam wilayah majelis taklim perempuan. Lebih jauh ia berkata:
“Emang dia (ketua DKM) ga ada otaknya, mau aja dia disuruh begitu …. emang menurut dia belajar fikih ga penting? Lah kan mau ibadah juga harus tahu hukumnya, percuma aja dong ibadah kalau ga ngerti hukumnya …. buat saya ini keterlaluan, masa kita disuruh ganti dari hadis ke kitab begituan, pentingnya di mana belajar itu (Uqud Al Lujayn)?”
Dalam hal ini penting untuk dilihat bagaimana negosiasi majelis taklim perempuan atas persoalan penggantian kitab ini. Seluruh majelis taklim perempuan agaknya memiliki cara yang sama untuk bertahan di tengah tekanan, yakni dengan melakukan negosiasi dengan pihak DKM, terutama dengan pengajuan tambahan kegiatan taklim bulanan. Menurut ibu Fatimah, pimpinan majelis taklim Al Fattah, sejak permintaan untuk penggantian kitab yang akan diajarkan, majelis taklim yang dipimpinnya menambah waktu pelaksanaan taklim dengan mengubah struktur pengajaran di majelis taklim. Hal yang sama pun dilakukan oleh majelis taklim perempuan lainnya. Majelis taklim Al Muminat misalnya, memiliki jadual pengajian dua kali setiap bulannya, yakni setiap selasa pertama dan selasa ketiga setiap bulannya. Pada awalnya, menurut ibu Aisyah, majelis taklim Al Muminat hanya memiliki satu kali pertemuan, yakni setiap selasa ketiga. Dengan adanya permintaan dari anggota majelis taklim, maka kegiatan majelis taklim ditambah dengan selasa pertama.[iv]
Dalam hal ini, majelis taklim perempuan melakukan negosiasi dengan pihak DKM, yakni dengan mengganti materi yang diajarkan hanya di satu pertemuan di setiap bulannya, dengan tetap mempertahankan materi awal di pertemuan lainnya. Implikasi dari negosiasi tersebut adalah bahwa majelis taklim harus menambah jumlah pertemuan di setiap bulannya ketika mereka berkeras untuk mempertahankan materi yang mereka pelajari. Hal ini merupakan usaha majelis taklim perempuan untuk tetap mempertahankan materi yang diajarkan sebelumnya. Sebagaimana dikatakan oleh ibu Fatimah, bahwa dirinya menghadapi ketua DKM Al Fattah dengan mengatakan akan mengikuti permintaan dari pihak DKM namun hanya pada satu pertemuan, itu pun yang sebenarnya dipegang oleh dirinya sendiri.[v] Sama halnya dengan ibu Nurhayati, yang harus berdebat panjang dengan ketua DKM akibat penolakannya atas permintaan DKM. Majelis taklim An Nisa, yang dipimpinnya, menolak untuk mengganti kitab yang dipelajari. Menurutnya kitab Adabul Insan yang mereka pelajari justru sesuai dengan permintaan pihak DKM.
Secara umum dapat dikatakan bahwa majelis taklim perempuan melakukan negosiasi dengan pihak Dewan Kemakmuran Masjid dengan melakukan perubahan struktur pengajian, yakni dengan menambah waktu kegiatan atau pun mengganti materi yang diajarkan hanya pada satu pertemuan, dengan tetap mempertahankan materi asal di pertemuan lainnya. Namun persoalan majelis taklim perempuan tidak lah hanya berhenti di sana, yakni hanya sebatas penggantian materi yang diajarkan di majelis taklim. Persoalan utama majelis taklim perempuan justru terletak dengan masuknya kekuasaan negara dalam majelis taklim perempuan dan menjadikan majelis taklim perempuan sebagai bagian dari instrumentasi negara.
Tidak ada yang ingat secara tepat kapan majelis taklim perempuan menjadi perpanjangan tangan pemerintah, namun seluruh pimpinan majelis taklim mengingat dengan sangat baik, bahwa perpanjangan itu terjadi dengan masuknya program PKK dalam majelis taklim perempuan. Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) pada dasarnya adalah organisasi tingkat desa, berbeda dengan Dharma Wanita yang anggotanya adalah istri dari pegawai negri atau pegawai negri itu sendiri, anggota PKK adalah masyarakat luas, dipimpin oleh istri dari pimpinan desa. Sebagai organisasi, PKK bersifat hirarkis ketat, di mana setiap tingkatnya dipimpin oleh istri dari pejabat di tingkat tersebut, dan garis koordinasinya berada di bawah tanggungjawab istri Menteri Dalam Negri. PKK sendiri membawa lima ideologi pokok, yang tertuang dalam Garis Besar Halauan Negara, yaitu: (1) perempuan sebagai istri pendamping setia bagi suami, (2) perempuan sebagai ibu pendidik anak dan pembina generasi muda penerus bangsa, (3) perempuan sebagai pengatur rumah tangga, (4) perempuan sebagai pekerja penambah penghasilan keluarga, dan (5) perempuan sebagai anggota masyarakat yang berguna. Tujuan-tujuan ini hanya dapat dicapai melalui cara-cara yang sesuai dengan ‘kodrat perempuan’. Yakni sosok perempuan yang lemah-lembut, mendahulukan kepentingan keluarga, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan stereotip gender perempuan (Wieringa 1998, Suryakusuma 2004b, Dzuhayatin 2007).
Majelis taklim perempuan di wilayah penelitian adalah satu-satunya organisasi perempuan yang dapat menjangkau melebihi jangkauan desa. Di sisi yang berbeda, organisasi Dharma Wanita ataupun PKK tidak lah berjalan di wilayah ini, tidak mengherankan jika majelis taklim perempuan menjadi medium utama dalam penyebaran ideologi gender negara, terlebih manakala organisasi PKK di tingkat supradesa tidak berjalan. Terlebih lagi, posisi istri lurah atau istri kepala desa tidak lah memainkan peran penting, di samping bahwa mereka hanya lah anggota dari satu majelis taklim perempuan, sehingga tidak memiliki hak khusus. Oleh karena itu, diperlukan aktor lain untuk dapat berbicara dalam majelis taklim perempuan, aktor yang suaranya didengar oleh pimpinan majelis taklim maupun anggota majelis talim. Maka lagi-lagi Dewan Kemakmuran Masjid menjadi aktor penentu apakah majelis taklim perempuan dapat dimasuki atau tidak. Adalah penting pula untuk diingat, bahwa tidak ada satu pun majelis taklim perempuan yang secara formal berada di bawah pengawasan atau kendali desa, maka masuknya kekuasaan negara atas majelis taklim perempuan tidak dapat melewati perangkat desa.
Masuknya kekuasaan negara dalam majelis taklim perempuan, khususnya ideologi gender melalui kegiatan PKK membawa konsekuensi logis bagi majelis taklim: bahwa majelis taklim perempuan, secara tidak resmi, menjadi instrumentasi negara sekaligus perpanjangantangan negara dalam melakukan sosialisasi program sekaligus implementasi di lapangan. Hal ini misalnya, seperti dikatakan oleh ibu Nurhayati, di majelis taklim An Nisa yang dipimpinnya, seringkali kedatangan tamu dari dinas kesehatan dan BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional), hampir setiap enam bulan sekali, untuk memberikan penyuluhan mengenai keluarga berencana, yang memang merupakan salah satu program utama pemerintah. Hal yang sama pun terjadi di majelis taklim Al Insan, yang setiap empat bulan sekali selalu menerima kunjungan dari dinas kesehatan untuk penyuluhan program keluarga berencana hingga imunisasi. Tidak jarang, menurut ibu Lutfiyah, dirinya diminta untuk mendata anggota majelis taklimnya yang masih memiliki balita, dan kemudian melakukan mobilisasi anggotanya untuk datang ke pemeriksanaan kesehatan anak dan balita yang memang secara rutin dilakukan, terkadang acara tersebut dilakukan sebelum pelaksanaan kegiatan belajar di majelis taklimnya.
Majelis taklim Nurul Zaman bahkan pernah secara resmi menjadi proyek percontohan bagaimana majelis taklim perempuan mampu berperan aktif dalam pembinaan dan pelayanan kesehatan di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari masuknya kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) bagi anak dan balita dalam kegiatan resmi majelis taklim Nurul Zaman, bahkan ibu Komariyah dimasukkan dalam struktur pelindung PKK di wilayahnya, bersanding dengan nama istri camat. Sebagaimana dikatakan oleh ibu Komariyah, bahwa majelis taklim yang dipimpinnya seringkali mendapat undangan resmi dari pihak pemerintah karena dianggap mampu menjembatani kebijakan pemerintah dan implementasinya di lapangan.
Majelis taklim Al Muminat, Nurul Yaqin dan Al Fattah pun mengalami kondisi yang serupa, bahwa kegiatan taklim mereka seringkali harus dibatalkan secara sepihak karena kedatangan tamu, yang seringkali mendadak, baik untuk memberikan penyuluhan kesehatan, maupun hanya sekedar berkunjung. Sebagaimana dikatakan oleh ibu Habibah, bahwa majelis taklim Nurul Yaqin yang dipimpinnya sering kedatangan “tamu penting”, mulai dari istri camat hingga istri bupati, terlebih jika majelis taklimnya mengadakan peringatan hari raya keagamaan seperti maulid Nabi maupun isra dan mikraj, dapat dipastikan para “tamu penting” itu akan hadir, yang sesungguhnya tidak lah diundang oleh pihak majelis taklim, melainkan pihak DKM.
Infiltrasi negara atas majelis taklim perempuan, di satu sisi merupakan kecerdasan negara dalam melihat kemampuan jaringan majelis taklim perempuan. Jaringan yang dimiliki oleh majelis taklim jauh melebihi jaringan yang dimiliki oleh perangkat negara yang hanya sampai pada tingkat desa. Dengan memanfaatkan jaringan majelis taklim, negara dapat mudah menyebarluaskan gagasan ideologi gender yang diinginkan sekaligus mengontrol agar gagasan tersebut dapat terserap dengan baik hingga tingkat individu maupun komunitas. Kegagalan fungsi PKK di tingkat desa agaknya tidak terlalu dirisaukan, sebab PKK sendiri, secara praksis, telah diinkorporasikan ke dalam majelis taklim perempuan. Maka dalam hal ini, majelis taklim perempuan telah menjadi istrumentasi negara yang mengawal setiap kepentingan negara.
Dalam hal ini, negara pun dengan cerdas memanfaatkan kelemahan utama majelis taklim perempuan: Dewan Kemakmuran Masjid. Dapat dikatakan hampir semua majelis taklim perempuan bernaung di bawah Dewan Kemakmuran Masjid, di mana majelis taklim perempuan memang umumnya dilaksanakan di masjid atau di bangunan tersendiri yang memang dikhususkan untuk kegiatan majelis taklim yang masih berada dalam area yang sama dengan masjid. Pihak DKM seringkali memiliki kemampuan lebih untuk memantau majelis taklim, sekaligus melakukan fungsi kontrol jika dianggap perlu. Mengingat negara tidak memiliki akses atas majelis taklim perempuan, maka DKM adalah pintu masuk utama bagi negara untuk masuk ke dalam area majelis taklim perempuan. Dengan masuknya negara melalui DKM, maka fungsi DKM pun mengalami pengaburan, tidak lagi sebatas penyelenggaraan kegiatan keagamaan di dalam internal masjid, namun DKM pun telah menjadi perpanjangantangan negara, dan dengannya menjadikan majelis taklim perempuan sebagai instrumen.
Penguasaan atas DKM pun berdampak langsung atas majelis taklim, sebagaimana terjadi dalam kasus penggantian materi yang diajarkan dalam kegiatan belajar di majelis taklim. Meskipun terjadi negosiasi antara pihak majelis taklim perempuan dengan pihak DKM, namun kekalahan utama majelis taklim terletak pada menyerahnya majelis taklim perempuan atas tekanan DKM, yang dalam banyak hal pun menyerah dari tekanan negara. Masjid tidak lagi menjadi area suci yang bebas dari kepentingan negara. Instrumentasi negara atas masjid pada dasarnya dapat melalui banyak hal, mulai dari aspek ekonomis hingga tekanan yang bersifat politis. Bagi ibu Aisyah, yang merupakan adik dari pimpinan DKM Al Muminat, mengetahui betul bahwa masjid pun tidak lah lepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Pihak DKM mengetahui betul betapa masjid yang mereka kelola pun membutuhkan biaya yang tidak sedikit, yang acapkali tidak mencukupi secara swadaya. Negara merupakan solusi sederhana sekaligus efektif. Maka terjadinya hubungan saling menguntungkan antara negara dan DKM.[vi]
Kemenangan negara, dengan menjadikan DKM dan majelis taklim perempuan sebagai perpanjangantangan membawa prahara tersendiri bagi majelis taklim perempuan, mereka kehilangan kemandiriannya. Instrumentasi negara dengan masuknya ideologi gender negara, yang membayangkan perempuan sebagai ibu yang sempurna, istri yang baik dan penurut, dan warga negara yang terpuji, masuk melalui materi ajar, yang selalu ditekankan pada pengetahuan atas masalah-masalah moralitas dan etika. Tidak berarti bahwa materi fikih (hukum) atau hadis atau bahkan tafsir Al Quran tidak lah membahas etika dan moralitas, namun materi-materi tersebut agaknya tidak selalu sejalan dengan imaji negara atas sosok perempuan ideal. Melalui materi etika dan moralitas, yang agaknya dijadikan pedoman utamanya pada hubungan antara suami dan istri lah imaji tersebut diletakkan. Hal ini lah yang mendorong, mengapa materi yang umumnya diambil dari kitab Uqud Al Lujayn menjadi begitu terkenal pada masa tersebut.
Di sisi yang berbeda, masuknya kekuasaan negara atas majelis taklim perempuan membawa implikasi serius dalam tubuh majelis taklim, yakni usaha majelis taklim untuk memperoleh kemandirian yang telah direbut paksa. Jalur utama bagi kemandirian ini terletak pada kemandirian ekonomi. Motif ekonomi selalu menjadi pintu masuk bagi infiltrasi DKM atas majelis taklim perempuan, karena majelis taklim perempuan tidak pernah benar-benar melepaskan diri dari dukungan ekonomi pihak DKM. Sebagai organisasi yang menginduk pada DKM, majelis taklim perempuan selalu diposisikan sebagai bawahan yang harus ikut pada atasan. Kemandirian ekonomi adalah hal yang jarang terjadi di majelis taklim perempuan, terutama majelis taklim perempuan yang bernaung di bawah DKM. Maka infiltrasi negara melalui DKM menumbuhkan kesadaran baru, sebuah semangat untuk dapat memperoleh sumber-sumber ekonomi, sekaligus memanfaatkan sumber-sumber tersebut bagi kepentingan majelis taklim perempuan itu sendiri.
Hal ini misalnya dapat dilihat dari usaha majelis taklim untuk mengelola keuangan secara mandiri, di mana sumber-sumber keuangan berasal dari iuran para anggota yang kembali digulirkan. Majelis taklim Nurul Zaman dan Al Muminat misalnya, awalnya menarik iuran rutin dari para anggota, namun atas permintaan dari pihak DKM, majelis taklim dilarang untuk menarik uang, dan seluruh biaya kegiatan belajar di majelis taklim ditanggung oleh pihak DKM. Sesungguhnya biaya untuk setiap kegiatan taklim tidak lah besar, karena seluruh perangkat keras, seperti pengeras suara, menggunakan fasilitas masjid atau sudah tersedia. Sebagian besar majelis taklim pun tidak lah menyediakan makanan ringan bagi setiap anggotanya, sehingga kebutuhan utama untuk setiap penyelenggaraan kegiatan taklim hanya lah pada honorarium ustazah. Kecilnya biaya operasional rutin majelis taklim perempuan mendorong para pimpinan majelis taklim untuk tidak lagi bergantung pada pemberian dari pihak DKM, namun diusahakan dari kas majelis taklim yang dikelola secara mandiri.
Kemandirian ekonomi disadari betul oleh para pimpinan majelis taklim, bahwa ketika mereka tidak lagi memiliki ketergantungan ekonomis dengan DKM, maka pihak DKM tidak dapat lagi menuntut banyak pada majelis taklim. Sebagaimana dikatakan oleh ibu Nurhayati, bahwa penting untuk majelis taklim untuk mengelola keuangannya sendiri dengan memanfaatkan setiap sumber dan kesempatan yang ada.[vii] Dengan memanfaatkan sumber-sumber tersebut, majelis taklim perempuan membebaskan diri mereka dari campur tangan pihak DKM, dan pada gilirannya akan menjadikan majelis taklim sebagai organisasi yang mampu mengelola keuangannya sendiri. Kemandirian ini membawa efek lanjutan, satu efek kejutan yang tidak pernah dipertimbangkan sebelumnya, bahkan oleh internal majelis taklim, yakni kemampuan majelis taklim perempuan untuk melakukan tawar-menawar, termasuk di dalamnya pada persoalan politik lokal. Kemandirian ini menjadikan majelis taklim mampu menentukan apa yang dianggap baik oleh internal majelis taklim, sebuah berkah dari langit, namun tanpa disadari menyeret majelis taklim perempuan di tengah pusaran politik lokal dan nasional.
Tumbuh dari bangkai beringin: berkah dan kesempatan
Mei 1998, tidak hanya membawa perubahan bagi kehidupan bangsa Indonesia, dengan dimulainya suatu era yang dikenal dengan era reformasi, namun juga membawa pengaruh bagi perempuan secara makro. Budianta menyebutnya sebagai “tragedi yang membawa berkah”, di mana para perempuan, melalui Suara Ibu Peduli, diadili oleh negara, namun mendapat perlawanan dari rakyatnya. Melalui perempuanlah roda reformasi digerakkan (lihat Budianta 2004). Ketika era itu, setiap hal yang berbau Orde Baru diruntuhkan, dibuang dan diinjak-injak, sebuah gerak yang berupa keniscayaan. Namun hingar-bingar tidak hanya terjadi di jalan-jalan maupun kubah kura-kura yang menjulang di Jakarta, namun menggema pula dalam dinding-dinding masjid, menggeliat di setiap sudut, dan membawa perubahan pada setiap ruang, tak terkecuali majelis taklim perempuan.
Selama hampir satu dekade berada di bawah Orde Baru, majelis taklim perempuan telah menjadi instrumentasi negara dalam menyebarluaskan gagasan negara mengenai sosok perempuan. Ibuisme negara mewujud dalam sosok-sosok perempuan yang ditaklukkan, dan majelis taklim perempuan dipaksa untuk menjadi instrumentasi penaklukkan tersebut sekaligus perpanjangantangan negara untuk meyakinkan bahwa penaklukkan itu berjalan sempurna. Meskipun negosiasi tetap dilangsungkan, namun majelis taklim tidak pernah benar-benar dapat menentukan gerak dan langkahnya secara mandiri. Negara, melalui Dewan Kemakmuran Masjid bersekongkol dan menginjak majelis taklim perempuan, sehingga ruang gerak majelis taklim perempuan menjadi sangat terbatas, yakni hanya sebatas pada penyelenggaran kegiatan belajar, itu pun di bawah pengaturan dan pengawasan.
Runtuhnya Orde Baru membawa implikasi baru majelis taklim, sebuah konsekuensi yang muncul dari perubahan yang tidak terduga, dan mengubah fasad majelis taklim perempuan seluruhnya secara fundamental. Setidaknya terdapat dua perubahan dasar dalam majelis taklim perempuan: Pertama, majelis taklim perempuan memperoleh kebebasan penuh dari pihak Dewan Kemakmuran Masjid. Kedua, majelis taklim perempuan tidak lagi memiliki suara yang seragam secara politik. Konsekuensi lanjutan dari poin ini terletak dari betapa beragamnya suara-suara dari balik tembol majelis taklim perempuan, yang tidak jarang justru membuat friksi di dalam internal majelis taklim perempuan itu sendiri.
Salah satu keuntungan besar dari reformasi adalah kegagalan negara di tigkat pusat membawa pengaruh signifikan di tingkat desa: negara kehilangan kendali atas setiap area yang semula dikuasainya, termasuk Dewan Kemakmuran Masjid dan majelis taklim perempuan didalamnya. Ketika perangkat di tingkat desa tidak mampu mengendalikan setiap gerakan massa di bawahnya, maka ketika itu pula negara kehilangan kendali dan legitimasinya. Namun kejatuhan negara turut pula membawa efek domino, bahwa pihak Dewan Kemakmuran Masjid, yang selama ini turut menjadi penopang negara, dengan kondisi saling menguntungkan, turut pula terjatuh. Dewan Kemakmuran Masjid pada dasarnya membentuk simbiosis mutualisme dengan desa, hubungan yang saling menguntungkan, di mana negara, melalui desa, mendapatkan jaminan pengawasan atas setiap kegiatan masjid, dan masjid mendapatkan perlindungan penuh dari negara.
Kondisi ini tidak lah berjalan baik pada era reformasi, terutama ketika reformasi baru digulirkan. Perubahan signifikan di tingkat pusat membuat perangkat desa tergagap untuk menyesuaikan diri, dan akibatnya membuat seluruh jaringan interkoneksi dengan perangkat desa menjadi terganggu. Gangguan ini terbawa pula pada hubungan antara pihak DKM dengan majelis taklim perempuan. Ibu Komariyah misalnya, mengakui bahwa sering terjadi kesalahpahaman antara pihak majelis taklim dengan DKM, terutama ketika pihak majelis taklim yang dipimpinnya mengusulkan untuk mengganti kitab Syarah Ta’lim Muta’allim, yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan menuntut ilmu, yang telah selesai dipelajari. Berdasarkan kesepakatan dengan seluruh anggota, majelis taklim Nurul Yaqin yang dipimpinnya akan meminta seorang ustazah senior untuk mengajar Bulughul Maram, namun permintaan tersebut ditolak oleh pihak DKM. Menurutnya penolakan tersebut tidak patut terjadi, mengingat majelis taklim yang dipimpinnya telah lama tidak lagi meminta bantuan dalam penyelenggaraan kegiatan majelis taklim kepada pihak DKM. Lebih jauh ia berkata:
Euforia reformasi berimbas pula pada majelis taklim perempuan, terlebih ketika mereka telah mampu menguasai sumber-sumber ekonomi dan mengatur keuangannya sendiri. Majelis taklim perempuan menjadi semakin bebas, tidak hanya dalam menentukan apa yang akan dipelajari, namun juga pada siapa yang akan mengajar, atau dalam hal ini ustazah yang mereka minta untuk mengajar. Hal ini menjadi penting, sebab sebelumnya, persoalan apa yang akan diajarkan dan siapa yang akan mengajar menjadi domain majelis taklim perempuan dengan seizin dari Dewan Kemakmuran Masjid, namun ketika majelis taklim perempuan mampu menentukan secara sepihak apa yang akan diajarkan dan siapa yang mengajar, maka majelis taklim perempuan telah melepaskan diri dari pengaruh Dewan Kemakmuran Masjid (lihat Noer 2009b).
Maka efek bola salju pun terus menggelinding dan membesar, dan berdampak pada ditinggalkannya Uqud Al Lujayn sebagai materi utama di majelis taklim perempuan, khususnya di lokasi penelitian. Saat ini, dapat dikatakan, sangat sedikit majelis taklim perempuan yang masih mempelajari kitab Uqud Al Lujayn sebagai bahan utama. Pendulum bahan ajar telah berayun, dari persoalan etika dan moralitas ke persoalan hukum dan masalah-masalah ibadah harian. Semakin banyak majelis taklim perempuan yang mempelajari masalah-masalah hukum Islam, utamanya pada tingkat dasar, yakni hukum yang berkaitan dengan masalah ibadah dan pergaulan. Pun sumbernya semakin banyak. Tidak jarang majelis taklim perempuan mempelajari langsung kitab tafsir Al Quran, seperti Tafsir Jalalain, atau pun hadis dalam Bulughul Maram. Memang masih banyak yang masih mempelajari materi-materi seputar adab dan etika, namun konteksnya lebih luas, yakni dalam kehidupan bermasyarakat, tidak lagi hanya sebatas hubungan antara suami dan istri.
Salah satu hal menarik, yang patut dicermati, yang terjadi di majelis taklim perempuan pascareformasi adalah peningkatan partisipasi politik, baik untuk memilih maupun mencalonkan diri dalam pemilihan umum legislatif, mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat nasional. Di sisi lain, hal yang juga menarik adalah perubahan pilihan suara majelis taklim perempuan atas partai politik. Dalam hal ini, suara majelis taklim perempuan tidak lagi seragam. Pascarreformasi, dengan bergulirnya sistem multipartai, partai politik pun bermunculan, dan sebagai basis massa yang besar, majelis taklim perempuan menjadi incaran bagi setiap partai politik yang bersaing merebut suara terbanyak.
Menurut Ibu Aisyah dan ibu Komariyah, bahwa sebelum reformasi bergulir, majelis taklim yang dipimpinnya secara pasti memilih Partai Persatuan Pembangunan sebagai pilihan utama. Hal ini pun berlaku bagi majelis taklim lainnya. Namun menarik untuk dilihat, bahwa kemenangan Partai Persatuan Pembangunan bukan lah dikarenakan karena itu adalah satu-satunya partai politik yang mengusung ideologi keislaman per se, namun terdapat motif lain yang menyebabkan majelis taklim perempuan yang diteliti secara pasti mendorong setiap anggotanya memilih Partai Persatuan Pembangunan: sakit hati pada Golongan Karya (Golkar). Karena negara selalu mewujud dalam bentuk beringin yang menancapkan akarnya kemana-mana, termasuk majelis taklim perempuan, maka penolakan majelis taklim perempuan tidak pernah bersifat frontal pada negara. Melalui jalur politik lah resistansi itu terlihat. Bahwa majelis taklim perempuan tidak lah memilih Partai Persatuan Pembangunan hanya sebatas ideologis semata, namun juga karena kekecewaan atas infiltrasi negara dalam domain internal mereka yang menyebabkan mereka dengan senang hati memenangkan Partai Persatuan Pembangunan dalam pemilihan umum di wilayah mereka.
Meskipun pada awalnya loyalitas majelis taklim perempuan pada Partai Persatuan Pembangunan menguat sebelum era reformasi, namun setelahnya, ikatan tersebut mengendur. Partai Persatuan Pembangunan tidak lagi menjadi pilihan utama. Sadar atas kekuatan majelis taklim perempuan dalam mengorganisir massa, beberapa partai politik secara aktif mendekati majelis taklim. Hal ini diakui oleh ibu Komariyah dan ibu Nurhayati, bahwa menjelang pemilihan umum tahun 1999, berbagai partai politik mendekati dirinya, dengan harapan agar dirinya mau mendorong setiap anggotanya untuk memilih partai tersebut. Partai-partai Islam, yang lama seperti Partai Persatuan Pembangunan, atau yang baru sebut saja Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan, maupun partai nasionalis seperti Partai Amanat Nasional, secara aktif melakukan safari ke majelis taklim perempuan.
Dalam hal ini patut untuk diingat, karena majelis taklim perempuan secara resmi telah memisahkan diri dari kekuasaan Dewan Kemakmuran Masjid, walaupun sejatinya sejak awal pilihan politik adalah area yang tidak dapat dimasuki oleh pihak Dewan Kemakmuran Masjid,[viii] maka keputusan untuk mendukung partai politik sepenuhnya berada di tangan majelis taklim perempuan. Berbeda dengan masa sebelumnya, di mana pilihan atas Partai Persatuan Pembangunan lebih pada sentimen negatif atas Golkar, maka pemilihan umum 1999 membuka kotak pandora, menjadikan majelis taklim sebagai rebutan utama, dan hal ini disadari betul oleh majelis taklim perempuan bahwa mereka memiliki posisi tawar strategis. Majelis taklim perempuan perlahan mulai membuka diri atas kesempatan dan tersebut, dan tentu saja pihak pertama yang diuntungkan adalah elite majelis taklim itu sendiri.
Adalah Partai Bulan Bintang dan Partai Persatuan Pembangunan yang mulai mencalonkan pada elite majelis taklim, para ustazah, untuk maju sebagai calon anggota legislatif di tingkat kabupaten/kota hingga tingkat provinsi. Agak berbeda dengan Partai Keadilan yang menyasar segmentasi majelis taklim di wilayah perkotaan (lihat Rinaldo 2008), para partai politik di atas lebih menyasar pada segmentasi majelis taklim di wilayah pedesaan atau area perumahan, segemnetasi yang sama juga dilakukan pada pemilihan kepala daerah di tingkat lokal (lihat Noer 2009a). Dengan diusungnya para elite majelis taklim perempuan, partai politik bermain cermat, karena keberadaan elite akan berdampak pula pada pemilihan majelis taklim atas elite mereka sendiri, yang pada gilirannya akan memilih partai mereka. Hal ini nyata dialami oleh Partai Bulan Bintang dan Partai Persatuan Pembangunan yang mengalami kemenangan di majelis taklim di lokasi penelitian. Menurut ibu Lutfiyah, kemenangan Partai Bulan Bintang sejatinya tidak lah mengherankan, karena pada masa itu, calon yang diusung partai, mewakili daerah pemilihannya adalah ustazah yang merupakan guru mereka sendiri.
Strategi partai politik untuk menarik para elite agama perempuan, para ustazah, untuk masuk dalam pencalonan anggota legislatif, di satu sisi memberikan keuntungan tersendiri, baik bagi majelis taklim perempuan, maupun partai politik itu sendiri. Meskipun paling diuntungkan, tentu saja terdapat biaya politik yang harus ditanggung oleh partai politik, dalam hal ini adalah biaya untuk menarik massa dari majelis taklim perempuan. Kegiatan kampanye yang melibatkan para anggota majelis taklim tidak lah memakan biaya yang kecil. Hal ini pun disadari betul oleh para pimpinan majelis taklim. Ibu Fatimah dan ibu Habibah misalnya, mengakui bahwa keinginan para partai politik untuk memperoleh dukungan mereka diimbangi oleh biaya yang harus dikeluarkan oleh partai politik untuk kepentingan internal majelis taklim itu sendiri. Barangkali jumlahnya tidak lah sebanding dengan keuntungan politik, namun agaknya pihak majelis taklim pun bersifat pragmatis dalam melihat relasi ini. Jelas mereka berjanji akan mendukung sepanjang kebutuhan mereka dipenuhi oleh partai politik.
Di sisi yang berbeda, afiliasi majelis taklim perempuan dengan partai politik, terutama kedekatan maupun pencalonan para elite majelis taklim melalui partai politik membawa efek buruk: bahwa para elite agama perempuan, para ustazah, tidak lagi tersedia bagi semua orang (Noer 2009a). Mereka secara tidak sadar mengkotak-kotakkan diri dalam sekat-sekat partai politik. Label ustazah partai A, atau ustazah partai B; juga majelis taklim partai A atau majelis taklim partai B, menjadikan para elite agama dan majelis taklim cenderung untuk tidak saling menyapa karena perbedaan kepentingan maupun perbedaan partai politik. Sebagaimana diakui oleh ibu Aisyah, bahwa pemilihan umum 1999 membawa pengaruh besar dalam majelis taklim yang ia pimpin, bahwa perebutan suara majelis taklim membuat majelis taklim yang ia pimpin seringkali berhadapan dengan majelis taklim lain yang mendukung partai yang berbeda. Meskipun tidak selalu memunculkan konflik frontal, namun friksi antarmajelis taklim “membuat keadaan tidak nyaman buat kegiatan taklim”.
Namun kemesraan dengan partai Islam pada pemilihan umum 1999 tidak lah terulang pada pemilihan umum 2004. Partai Bulan Bintang, yang semula mampu mengambil suara terbanyak dari lima majelis taklim, yakni Al Insan, Al Fattah, Nurul Yaqin, Al Muminat dan An Nisa, mengalami penurunan suara signifikan di seluruh majelis taklim. Hanya Partai Persatuan Pembangunan yang mampu mempertahankan suara terbanyak di majelis taklim Nurul Zaman di dua pemilihan umum, tahun 1999 dan tahun 2004. Menarik untuk dilihat, bahwa pada pemilihan umum 2004, Golkar lah yang mengambil suara terbanyak, bahkan di area yang sebelumnya tidak pernah berhasil menang.
Menurut ibu Habibah, kekalahan Partai Bulan Bintang di majelis taklim Nurul Yaqin, lagi-lagi, karena faktor kekecewaan. Adalah kegagalan elite perempuan untuk melaju ke kursi dewan, yang walaupun berhasil menang, namun yang justru maju adalah mereka yang berada di nomor urut awal. Di sisi berbeda, kekisruhan partai tersebut berimbas pula pada berkurangnya kepercayaan dari para pemilih, termasuk di antaranya adalah anggota majelis taklim perempuan. Hal ini pun diakui oleh ibu Nurhayati, ia enggan mendukung partai tersebut karena kegagalan partai untuk melaksanakan janjinya. Lebih jauh ia berkata:
Di sisi lain, boleh jadi kekalahan partai-partai Islam pada pemilihan umum 2004 pun dikarenakan para elite agama dan elite majelis taklim, para ustazah maupu para kiai, kembali menjauhi hingar-bingar dunia politik. Meskipun mereka tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari gegar politik, namun mundurnya mereka dari pencalonan anggota legislatif, baik tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun nasional sedikit-banyak berpengaruh atas perolehan suara partai politik Islam yang selama ini diuntungkan oleh keberadaan mereka dalam daftar calon legislatif mereka. Satu hal menarik dari pemilihan umum 2004, adalah bahwa pemilihan umum tahun 2004 menjadi momentum bagi ustazah yang lebih junior untuk turut serta dalam perebutan kursi, yang telah ditinggalkan oleh para ustazah senior. Namun agaknya mereka tidak berhasil menarik simpati dari lingkungan majelis taklim perempuan sehingga, sepanjang pengamatan saya, hanya sedikit sekali yang benar-benar berhasil menduduki kursi legislatif.
Pemilihan umum 2009 memiliki sejumlah persamaan dengan pemilihan umum 2004, hanya lebih tragis. Pada pemilihan umum 2009, tidak ada satu pun calon dari majelis taklim perempuan yang benar-benar berhasil untuk duduk di kursi legislatif. Majelis taklim perempuan pun tetap memilih untuk bermain di jalur lama, tidak terlalu tertarik pada dunia politik, namun tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya. Tidak berarti tidak ada tawaran, terlebih setelah beberapa ustazah yang senior, yang paling terpandang, memutuskan untuk tidak akan mendukung siapa pun. Momentum ini merupakan titik balik dari apa yang terjadi tahun 1999, di mana majelis taklim perempuan menunjukkan ketertarikan atas dunia politik dengan tanpa ragu dan malu. Ketertarikan tersebut memudar, seiiring dengan semakin kuatnya kemampuan majelis taklim untuk mengorganisir keuangan, sehingga mereka tidak lagi membutuhkan janji dari pihak lain. Suatu kondisi yang oleh ibu Fatimah dikatakan sebagai “masa tenang” di mana majelis taklim “fokus untuk mendidik dan melupakan kegenitan masa lalu”.
Kesimpulan
Sejauh ini saya telah mencoba menjelaskan mengenai kehidupan majelis taklim perempuan. Jauh dari bayangan orang mengenai majelis taklim yang relatif tenang, majelis taklim perempuan adalah area peperangan yang membahayakan. Instrumentasi negara atas majelis taklim perempuan, berupa pelanggenangan ideologi gender, ibuisme negara, adalah fakta yang tidak dapat dihapus dalam sejarah majelis taklim perempuan. Penguasaan negara atas Dewan Kemakmuran Masjid, merupakan pintu masuk penguasaan negara atas majelis taklim perempuan. Maka majelis taklim pun memainkan peran ganda: mendidik perempuan sekaligus menjadi instrumen negara dalam menciptakan sosok perempuan berbudi, taat pada suami dan negara, ibu rumah tangga yang cermat dan cekatan, serta warga negara teladan.
Penolakan instrumentasi negara tersebut terjadi ketika negara kehilangan kendali atas semua area yang pernah dikuasainya. Runtuhnya beringin tua memberikan angin kencang bagi semua yang pernah ditutupinya, tak terkecuali majelis taklim perempuan. Selesainya era Orde Baru, digantikan era reformasi, membawa euforia tersendiri bagi majelis taklim perempuan: kebebasan. Kebebasan dari kukungkungan kuasa Dewan Kemakmuran Masjid, terlebih setelah mereka mampu mengatur keuangannya sendiri. Kebebasan dari dari negara yang bahkan mengatur apa yang akan mereka pelajari, terutama dengan penggantian besar-besaran materi yang diajarkan, dari adab dalam rumah tangga ke arah etika pergaulan dan hukum (fikih) dengan mengambil dari dua sumber utama: Al Quran dan hadis. Kebebasan untuk menentukan afiliasi politik maupun panyaluran aspirasi politik.
Tidak terduga sebelumnya, bahwa reformasi mengubah fasad majelis taklim perempuan. Kedekatan dengan dunia politik membawa majelis taklim perempuan dalam hingar-bingar dunia politik, menyeretnya ke dalam arus deras. Pada awalnya nampak bahwa majelis taklim perempuan menyukai arus deras tersebut, namun titik balik pun terjadi. Arus balik terjadi dan membawa kesadaran bagi majelis taklim perempuan, bahwa mereka telah terlalu jauh berjalan. Sinar rembulan menuntun majelis taklim perempuan untuk kembali, ke arah di mana mereka berasal. Mendidik setiap perempuan untuk dapat mengerti dirinya dan agamanya, dengan tetap memanfaatkan kebebasan yang telah mereka miliki. Maka majelis taklim pun kembali melantunkan zikir, menggema dari balik tembok pengajian, menembus ruang, merembes gatra, bersinar di bawah bulan.
Referensi
Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Terawang Press
Alexander, Jennifer. 1999. “Wanita Pengusaha di Pasar-Pasar Jawa: Etnisitas, Gender, dan Semangat Kewirausahaan” dalam Robert W. Hefner (ed.) Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru. Jakarta: LP3ES. Hlm. 285-314
Alrasyid, M. Harun. 2006. Kabupaten Bekasi dari Masa ke Masa. Bekasi: Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi
Anwar, Ali. 2006. Ulama Pejuang, Biografi KH. Noer Alie. Bekasi: Yayasan Attaqwa
Arimbi, Diah Ariani. 2004. “When Private Becomes Public: The Case of Islamic Prayer Groups in Indonesia”, Mozaik 2(2):33-42
Bennett, Linda Rae. 2005. “Indonesian Women, Reproductive Rights and Islam”, Antropologi Indonesia 29(1):28-37
Blackburn, Susan. 2004. Women and the State in Modern Indonesia. Cambridge, UK: Cambridge University Press
Budianta, Melani. 2004. “Tragedi yang Menuai Berkah: Munculnya Aktivisme Perempuan dalam Masa Reformasi”, dalam Ariel Heryanto dan Sumit K. Mandal (eds.) Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan antara Indonesia dan Malaysia. Jakarta: KPG. Hlm. 285-349
Dzuhayatin, Siti Ruhaini. 2007. “Gender dan Pluralisme di Indonesia”, dalam Robert W. Hefner (ed.) Politik Multikulturalisme, Menggugat Realitas Kebangsaan. Yogyakarta: Impulse-Kanisius. Hlm. 411-433
Ensiklopedi Islam. 1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.
Heryanto, Ariel. 2000. “Perkosaan Mei 1998: Beberapa Pertanyaan Konseptual” dalam Nur Iman Subono (ed.) Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Hlm. 57-98
Holzner, Brigitte. 2004. “Gender dan Kerja Rumahan” dalam Liza Hadiz (ed.) Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru, Pilihan Artikel Prisma. Jakarta: LP3ES. Hlm. 200-221
Ida, Rachmah. 2001. “The Construction of Gender Identity in Indonesia: Between Cultural Norms, Economic Implication, and State Formation”, Masyarakat, Kebudayaan dan Politik 14(1):21-34
Irianto, Sulistyowati. 2003. Perempuan diantara Berbagai Pilihan Hukum: Studi Mengenai Strategi Perempuan Batak Toba untuk Mendapatkan Akses kepada Harta Waris melalui Proses Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Kutanegara, Pande Made. 2003. “Perdagangan: Kosmologi dan Konstruksi ‘Dunia Wanita’” dalam Irwan Abdullah (ed.) Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 196-217
Martin, Kirsty. 2004. The State, Local Communities and Women: a Study of Women’s Organisations in Malang, East Java. Manuskrip tidak dipublikasikan. Faculty of Arts and Social Science, University of New South Wales, Australia
Martyn, Elizabeth. 2005. The Women’s Movement in Post-colonial Indonesia, Gender and Nation in a New Democracy. London: RoutledgeCurzon
Nasution, Khoiruddin. 2002. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: INIS
Noer, Khaerul Umam. 2009a. “Ijtihad Politik Perempuan: Transformasi Peran Majelis Taklim Dalam Konstelasi Politik Lokal” dalam Siti Hariti Sastriyani (ed.) Gender and Politics. Yogyakarta: Tiara Wacana. Hlm. 370-377
__________. 2009b. Majelis Taklim Perempuan dan Transformasi Otoritas Keagamaan Dalam Perspektif Feminist Antropologi. Tesis Pascasarjana tidak dipublikasikan. Surabaya: FISIP Universitas Airlangga
Oey, Mayling. 2004. “Perubahan Pola Kerja Kaum Perempuan di Indonesia Selama Dasawarsa 1970: Sebab dan Akibatnya” dalam Liza Hadiz (ed.) Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru, Pilihan Artikel Prisma. Jakarta: LP3ES. Hlm. 127-167
Rinaldo, Rachel. 2002. “”Ironic Legacy: the New Order and Indonesian Women’s Groups”. Outskirts: Feminisms Along the Edge volume 10, dalam http://www.chloe.uwa.edu.au/outskirts/archive/volume10/rinaldo, diakses tanggal 1 Juni 2011
_________. 2008. “Muslim Women, Middle Class Habitus, and Modernity in Indonesia”, Contemporary Islam 2(1):23-39
Roces, Mina. 2006. “Domesticity: East Asia, Southeast Asia and Australia” dalam Suad Joseph (general editor) Encyclopedia of Women & Islamic Culture, Volume II: Family, Laws and Politics. Leiden: Brill. Hlm. 131-134
Salman, Ismah. 2005. Keluarga Sakinah dalam ‘Aisyiyah: Diskursus Jender di Organisasi Perempuan Muhammadiyah. Jakarta: PSAP
Saptandari, Pinky. 2005. “Gerakan Perempuan dan Partisipasi Politik”, Masyarakat Kebudayaan dan Politik 18(3): 27-40
Sihite, Romany. 2007. Perempuan, Kesetaraan, dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender. Cetakan pertama. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Suryakusuma, Julia. 2004a. “Seksualitas dalam Pengaturan Negara” dalam Liza Hadiz (ed.) Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru, Pilihan Artikel Prisma. Jakarta: LP3ES. Hlm. 354-377
__________. 2004b. Sex, Power and Nation: The Anthology of Writings, 1979-2003. Jakarta: Metafor Publishing
Vrede-de Stuers, Cora. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu
Weix, G.G. 1998. “Islamic Prayer Groups in Indonesia: Local Forum and Gender Responses” Critique of Anthropology 18(4):405-420
Wieringa, Saskia E. 1998. Kuntilanak Wangi: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Sesudah 1950. Jakarta: Kalyanamitra
Wiludjeng, H (et.al).
2005. Dampak Pembakuan Peran Gender Terhadap Perempuan Kelas Bawah di
Jakarta. Jakarta: PKPM Unika Atmajaya bekerjasama dengan LBH-APIK Jakarta
[i] Keberadaan majelis taklim diakui dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, dan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Struktur Departemen Agama Tahun 2006 (lihat Depag 2008:3)
[ii] Hal ini barangkali sulit dilakukan, mengingat sangat sedikit majelis taklim yang berbentuk satuan pendidikan. Terlebih aturan ini juga mengatur kewajiban majelis taklim untuk mengikuti aturan dan arahan yang telah ditetapkan oleh Subdit Salafiah Pendidikan Al Quran dan Majelis Taklim, yang secara formal mengikuti arahan dari Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama (lihat Depag 2008).
[iii] Secara umum, majelis taklim dapat dibedakan berdasarkan lembaga pengelola menjadi empat varian: (1) majelis taklim yang dikelola oleh masjid, musala dan/atau pondok pesantren, (2) majelis taklim yang dikelola oleh lingkup Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), (3) majelis taklim yang dikelola oleh instansi pemerintah dan/atau instansi swasta, dan (4) majelis taklim yang dikelola oleh organisasi dan/atau kelompok tertentu (lihat Departemen Agama 2008). Majelis taklim memiliki varian lain, yakni majelis taklim yang tidak dikelola oleh siapa pun, namun lebih pada kegiatan taklim yang bersifat aksidental, seperti peringatan hari raya keagamaan maupun acara pengajian yang dilaksanakan oleh individu, yang dapat dikategorikan sebagai majelis taklim. Terkait tipologi majelis taklim dapat dilihat dari kajian Noer (2009b).
[iv] Pada umumnya kegiatan majelis taklim tidak berpatokan tanggal, misalnya setiap tanggal 1 atau 3 di setiap bulannya, melainkan dengan berpatokan pada hari di setiap minggunya, misalnya senin pertama di setiap bulannya, artinya pengajian tersebut akan dilaksanakan setiap hari senin di minggu pertama, terlepas dari tanggal. Terkecuali jika pada hari tersebut terdapat peringatan hari raya Islam atau kenegaraan, maka biasanya akan diganti di hari lain atau pengajian pada bulan tersebut ditiadakan.
[v] Telah menjadi kebiasaan bagi majelis taklim untuk memiliki dua orang pengajar, jika majelis taklim tersebut dilaksanakan dua kali dalam satu bulan. Satu pertemuan akan diisi oleh seorang ustazah dengan mengajar satu topik, dan satu pertemuan lainnya akan diisi dengan topik yang lain. Ada kalanya sang pimpinan taklim lah yang mengisi di salah satu pertemuan. Adalah kebiasaan pula, seorang ustazah senior akan mengisi satu kali setiap bulannya, baik pada pertemuan pertama maupun pada pertemuan kedua setiap bulannya (lihat Noer 2009b).
[vi] Contoh paling jelas adalah masjid utama yang dimiliki oleh suatu wilayah, misalnya masjid agung kota atau kabupaten, di mana terletak di jajaran pengurusnya adalah bupati atau wali kota, dengan pengurus taklimnya dapat dipastikan terdapat nama istri bupati atau wali kota. Dengan demikian, maka lengkap lah infiltrasi negara atas masjid dan perangkat di bawahnya.
[vii] Menurut ibu Nurhayati, seringkali majelis taklim meminta iuran rutin setiap bulannya, atau setiap dua tahun sekali membuat seragam majelis taklim. Uang hasil seragam sebagiannya dipergunakan untuk kepentingan kas majelis taklim, termasuk untuk penyelenggaraan kegiatan peringatan hari besar keagamaan. Majelis taklim yang lain pun melakukan hal serupa. Bahkan mereka telah mampu menyelenggarakan kegiatan peringatan hari besar keagamaan seperti maulid maupun isra dan mikraj secara mandiri, dengan mereka sebagai panitia sekaligus pencari dana. Akibatnya jelas, mereka lah yang mengatur sepenuhnya siapa yang akan mereka undang atau tokoh atau ustazah yang mereka minta bicara.
[viii] Dewan Kemakmuran Masjid, sepanjang sejarahnya, tidak pernah dapat mengintervensi pilihan politik kepada majelis taklim perempuan. DKM Al Insan, DKM Al Fattah, maupun DKM Nurul Zaman, secara politis berafiliasi dengan Golkar, sebab ketua DKMnya adalah pengurus Golkar, namun Golkar, menurut pengakuan para pimpinan taklimnya, tidak pernah menang di wilayah mereka.