Dalam Lokakarya Nasional terkait dengan RUU Kebudayaan yang diselenggarakan oleh Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI) di FISIP UI beberapa hari yang lalu (22/9), terdapat satu perdebatan penting: perlukah kebudayaan diakui? Perdebatan ini muncul karena Rancangan Undang-Undang Kebudayaan yang sedang digodok oleh DPR mengabaikan masalah “pengakuan” ini.
Terkait dengan itu, muncul satu pertanyaan: siapa yang memiliki otoritas untuk melakukan pengakuan atas kebudayaan? Jika merujuk pada RUU Kebudayaan, maka yang memiliki otoritas untuk itu jelas Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Lalu pertanyaan apa saja yang berhak memperoleh pengakuan? RUU Kebudayaan secara gamblang menyebut tiga hal: pengakuan atas sejarah dan/atau warisan budaya, pengakuan atas masyarakat hukum adat, dan pengakuan atas Pranata Kebudayaan dan SDM Kebudayaan yang telah distandardisasi.
Disinilah letak penting kritik AAI atas masalah pengakuan dalam RUU Kebudayaan, bahwa RUU ini jelas menyempitkan persoalan kebudayaan hanya pada sejarah dan/atau warisan budaya, masyarakat hukum adat, dan pranata kebudayaan dan SDM kebudayaan. Sehingga di luar tiga hal itu, jelas tidak membutuhkan pengakuan. Pertanyaannya, di mana letak kekeliruan dari RUU Kebudayaan terkait dengan “pengakuan”?
Kekeliruan pertama jelas pada ruang lingkupnya, bahwa pengakuan atas kebudayaan hanya pada persoalan sejarah dan/atau warisan budaya. Dalam hal ini, pengakuan hanya terbatas pada bahasa, tradisi lisan, kepercayaan lokal, sejarah, naskah kuna, cagar budaya, upacara tradisional, kesenian, kuliner, pengobatan, dan busana. Di luar itu bukan merupakan kebudayaan dan jelas tidak membutuhkan pengakuan. Kekeliruan kedua terletak pada cara bagaimana pengakuan itu dilakukan. Dalam hal ini, pengakuan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengisyaratkan adanya bentuk pengakuan tertulis, yang mengakui bahwa kebudayaan tersebut adalah kebudayaan asli di daerah tersebut.
Bagi saya yang menarik justru yang poin kedua. Persoalannya terletak pada kegagalan RUU Kebudayaan untuk melihat fakta bahwa mustahil untuk melokasir kebudayaan. Bagaimana mungkin kita bisa mengklaim bahwa kebudayaan menjadi milik eksklusif suatu daerah di tengah lalu-lintas manusia dan mencairnya batas-batas teritorial kebudayaan? RUU Kebudayaan jelas membayangkan bahwa kebudayaan bersifat terirotorial dan ajeg untuk waktu yang tak terbatas, dan setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda dan dapat dibedakan dengan tegas dengan daerah lain.
Bahkan RUU ini mengisyaratkan agar pengakuan tersebut dilegalisasi melalui keluarnya peraturan daerah. Bahwa pembuat RUU Kebudayaan lupa apa yang terjadi dalam era otonomi daerah, ketika masing-masing daerah mengalami kegalauan tingkat tinggi untuk menentukan apa sesungguhnya kebudayaan mereka. Apa yang kemudian terjadi adalah pengakuan atas kebudayaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, alih-alih melakukan dokumentasi maupun penelitian, justru menoleh pada sudut pandang si kepala daerah. Akibatnya muncul berbagai peraturan daerah yang diskriminatif yang disandarkan pada asumsi bahwa perda tersebut bersumber dari “kebudayaan asli” daerah tersebut. Konsekuensi logisnya, tidak mustahil perda-perda yang diskriminatif dan tanpa nalar itu akan semakin menjamur.
Sehubungan dengan sesat pikir soal pengakuan dalam RUU Kebudayaan, maka draft yang dibuat oleh AAI perlu diperhatikan dengan seksama. AAI sendiri lebih memilih untuk mempergunakan istilah RUU Perlindungan Kebudayaan, di mana salah satu aspek dari perlindungan adalah pengakuan. Masalah “pengakuan” dalam draft AAI buat saya lebih logis ketimbang RUU Kebudayaan yang ada. Meskipun masih meletakkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai pihak yang bertanggungjawab atas pengakuan kebudayaan, namun pengakuan itu muncul setelah dilakukan pendokumentasian dan penelitian yang mendalam.
Di sisi lain, draft AAI meletakkan apa yang tidak dipertimbangkan dalam RUU Kebudayaan, bahwa pengakuan atas kebudayaan mempersyaratkan adanya jaminan bagi seseorang, kelompok, dan komunitas untuk dapat melaksanakan hak berkebudayaannya secara penuh. Bahkan draft ini bertindak lebih jauh, bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus melindungi hak berkebudayaan dengan mengancam siapapun yang berani untuk melanggar hak berkebudayaan seseorang, kelompok, atau komunitas dengan ancaman pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Jadi apakah kebudayaan perlu pengakuan? Ya, namun bukan pada kebudayaan, melainkan pada kebhinekaan kebudayaan dan hak berkebudayaan. Hal inilah yang menjadi salah satu kritik dasar AAI, bahwa RUU Kebudayaan yang dibuat terburu-buru tidak akan berfaedah banyak bagi kebudayaan itu sendiri. RUU Kebudayaan jelas gagal memahami bahwa pengakuan tidak terbatas hanya pada persoalan sejarah dan/atau warisan budaya, bahwa pengakuan atas kebudayaan justru membuat kebudayaan tersandera oleh kepentingan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dan lebih penting lagi, bahwa pengakuan seharusnya juga memberikan garansi, bahwa tidak akan ada pelanggaran atas hak berkebudayaan. Sebab apa gunanya pengakuan jika hak berkebudayaan seseorang, kelompok, atau komunitas diserang oleh orang, kelompok, atau komunitas lain atas nama kebudayaan yang diakui dan dilegitimasi oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah?