Ketika saya diminta untuk menulis sebuah catatan untuk Jurnal NurAttaqwa beberapa waktu yang lalu, saya termangu, apa yang bisa saya tuliskan untuk turut merayakan ulang tahun emas Ikatan Keluarga Abituren Attaqwa (IKAA)? Namun sebelumnya izinkan saya mengucapkan dirgahayu IKAA ke lima puluh. Sungguh saya tidak menyangka, bahwa IKAA sudah berusia lima puluh tahun. Sebab usia lima puluh tahun, dalam ukuran apapun, bukanlah usia yang muda. Meski kita bisa katakan bahwa untuk ukuran organisasi, lima puluh tahun bukanlah usia lanjut, namun masih dalam usia matang, namun jelas kita harus terbuka mengakui, bahwa diusianya yang ke lima puluh, IKAA masih galau mencari format idealnya. Lalu pertanyaannya, sampai kapan kegalauan ini berlangsung?
Pertanyaan ini sejatinya telah banyak ditanyakan sejak bertahun-tahun lampau, dan agaknya hingga saat ini belum ditemukan formulasi jawabannya. Beberapa orang yang pernah memimpin IKAA pun acapkali menyiratkan hal yang sama, bahwa sepanjang usianya, IKAA belum berubah secara signifikan: IKAA tetap menjadi organisasi yang hanya berdenyut sekali dalam setahun untuk kemudian tertidur kembali. Oke, lupakan sejenak soal pertanyaan saya di atas, saya akan mengajukan pertanyaan yang lebih substantif: mau kemana IKAA? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, izinkan saya mempergunakan contoh organisasi alumni yang saya menjadi bagiannya: IKA Unair (Ikatan Alumni Universitas Airlangga) dan Kerabat Antropologi.
Ada persamaan mendasar antara IKAA, IKA Unair, dan Kerabat Antropologi Unair: ketiganya mempersyaratkan adanya pengalaman belajar yang sama di mana sekolah dan/atau universitas dan/atau jurusan menjadi batu pijakannya. IKA Unair jelas adalah wadah di mana seluruh alumni dari Universitas Airlangga berasal, sedangkan Kerabat Antropologi adalah wadah di mana seluruh alumni antropologi dari Universitas Airlangga. Di titik inilah terdapat perbedaan mendasar antara IKA Unair dan Kerabat Antropologi dengan IKAA: masalah keanggotaan dan kemanfaatan.
Dalam tulisan ini, saya mengajukan dua persoalan: Pertama, siapa yang berhak menjadi anggota IKAA? Kedua,apa manfaat yang diberikan IKAA kepada anggotanya dan masyarakat luas? Kedua hal ini, bagi saya, adalah kunci untuk memberikan jalan bagi IKAA, apakah IKAA akan bergerak maju atau mundur bergantung pada jawaban yang kita pilih. Sebelum saya berjalan terlalu jauh, ada hal lain yang ingin saya klarifikasi, bahwa istilah “abituren” yang selama ini kita gadang-gadang tidak tepat secara bahasa. Dalam KBBI Edisi Keempat (2013) halaman dua, istilah yang baku adalah “abiturien” yang berarti lulusan sekolah (terutama sekolah menengah tingkat atas), sehingga kata “abituren” yang kita pergunakan keliru.
Nah, kita kembali ke persoalan semula: siapa yang berhak menjadi anggota? Saya akan coba jelaskan dari sudut pandang IKA Unair dan Kerabat Antropologi. Jika saya merujuk pada AD/ART IKA Unair, jelas termaktub bahwa yang menjadi anggota IKA Unair adalah seluruh mahasiswa yang dinyatakan lulus dari Universitas Airlangga, sedangkan Kerabat Antropologi mendefinisikan keanggotaan pada semua orang yang tercatat sebagai mahasiswa antropologi. Secara sepintas, baik IKA Unair maupun Kerabat Antropologi sama-sama mengambil mahasiswa sebagai bagian inheren, namun ada perbedaan mendasar: IKA Unair HANYA diperuntukkan bagi mereka yang lulus dan menerima ijazah, dengan demikian mahasiswa yang mengundurkan diri dan/atau dikeluarkan (dropout/DO) tidak akan menjadi bagian dari IKA Unair; sedangkan Kerabat Antropologi lebih terbuka, persyaratannya hanyalah bahwa si mahasiswa pernah terdaftar, maka jika di mahasiswa mengundurkan diri atau dikeluarkan, dirinya tetap menjadi bagian dari Kerabat Antropologi.
Maka pertanyaannya, IKAA mau ikut format yang mana? Jika mengikuti format IKA Unair, maka istilah “abituren” – untuk membedakan dengan alumni – jelas tidak dapat diterima. Saya ingin perjelas, selama ini kita mempergunakan sistem tahun lulus sebagai penanda angkatan. Saya misalnya, lulus pada tahun 2003 maka saya adalah alumni tahun 2003. Implikasinya adalah, hanya mereka yang lulus pada tahun 2003 yang dapat mengatakan dirinya sebagai alumni angatan 2003. IKA Unair memperlakukan dua istilah yang berbeda: mahasiswa Unair didasarkan pada tahun masuk sedangkan alumni unair didasarkan pada tahun keluar. Saya adalah mahasiswa Unair angkatan tahun 2003, sedangkan saya adalah lulusan Unair tahun 2007. Jika merujuk pada lulusan, maka boleh jadi akan terjadi lintas angkatan karena tidak semua mahasiswa angkatan 2003 lulus bersamaan. Dalam hal ini, IKA Unair menarik garis batas lebih tegas, bahwa semua alumni adalah mereka yang lulus, dan alumni akan dikelompokkan ke dalam “lulusan” terlepas dari fakta bahwa di alumni tahun tersebut terjadi lintas jurusan dan lintas tahun angkatan.
Jika mengikuti format Kerabat Antropologi, maka penggunaan tahun yang selama ini kita pergunakan jelas keliru. Sebab jika mempertahankan pada tahun lulus, dengan cara apa kita menentukan titik awal? Dalam hal ini, ada isu krusial yang harus segera dijawab oleh IKAA: apakah IKAA secara eksklusif HANYA bagi lulusan Pondok Pesantren Attaqwa Putra dan Pondok Pesantren Attaqwa Putri? Jika iya, maka kita bisa memilih apakah akan mempergunakan tahun lulus atau mempergunakan tahun masuk. Jika kita mempergunakan tahun lulus sebagai pegangan, maka seharusnya hanya mereka yang lulus di tahun itulah yang menjadi anggota IKAA. Jika kita mempergunakan tahun masuk, maka kita akan membentur persoalan lain: bagaimana dengan mereka yang baru masuk di tingkat Madrasah Aliyah? Sebagai solusi untuk memecahkan kebuntuan ini, akhirnya IKAA memilih untuk mempergunakan standar ganda: tahun lulus untuk menjadi penanda angkatan plus kebolehan setiap angkatan untuk menarik semua orang yang pernah belajar bersama terlepas apakah dirinya lulus atau tidak.
Akibat dari standar ganda tersebut, IKAA akan memasuki satu masalah baru, yang muncul secara kasat mata dari Korikaawati: bahwa ada angkatan yang bahkan menarik garis awalnya dari Madrasah Ibtidaiyah. Jika hal tersebut diperbolehkan, maka domain IKAA tidak lagi berada hanya pada Pondok Pesantren Attaqwa Putra dan Putri, namun juga pada Madrasah Ibtidaiyah Attaqwa, sehingga keanggotaan IKAA menjadi sedemikian lebar. Disinilah titik penting utama bagaimana IKAA harus bersikap. Jika IKAA mau bergerak ke arah organisasi alumni yang tertata, maka IKAA harus memperjelas terlebih dahulu persoalan siapa yang dapat masuk sebagai anggota IKAA.
Selain persoalan krusial mengenai siapa yang berhak menjadi anggota IKAA, persoalan lain yang menunggu tidak kalah penting: apa manfaat yang diberikan oleh IKAA kepada anggotanya dan masyarakat luas? Adalah fakta yang tidak disangkal, bahwa IKAA memiliki ribuan anggota yang tersebar di berbagai pelosok. Sebagai wadah alumni yang sudah bertahan selama lima puluh tahun, sebaran alumni Attaqwa tidak hanya secara geografis, namun juga tersebar di seluruh lapisan sosial masyarakat. Meski kita pun harus mengakui, belum ada data faktual yang menjelaskan di mana saja atau apa saja profesi dari anggota IKAA itu sendiri.
Di satu sisi, hal ini adalah berkah sebab menunjukkan bahwa anggota IKAA ada dimana-mana. Meski terkadang menjadi sangat sulit bagi IKAA untuk satu suara, kecuali jika itu menyangkut keberadaan Pondok Pesantren Attaqwa Putra dan Pondok Pesantren Attaqwa Putri yang memang menjadi basis dari IKAA itu sendiri. Adalah kondisi alamiah dari IKAA yang menyulitkan kesatuan suara, sebab IKAA sejatinya tidak pernah bersifat monolitik. Terlalu banyak suara yang berseliweran di IKAA, terlalu banyak kepentingan yang menggoda IKAA – atau mungkin karena terlalu besar maka IKAA adalah godaan yang nyaris tidak dapat diabaikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Namun tetap saja kita akan kembali pada persoalan pokok: apa manfaat yang dapat diberikan oleh IKAA?
Saya kembali menyuarakan apa yang telah lama digaungkan: perlunya dibentuk Yayasan IKAA. Tujuan utama terbentuknya Yayasan IKAA sejatinya adalah untuk kepentingan IKAA itu sendiri, dan bagaimana IKAA dapat memberikan asas manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh anggota IKAA dan masyarakat luas. Ketika saya bicara soal asas manfaat, ini bukan urusan pragmatis apalagi materialistis, ini soal bagaimana IKAA bertransformasi dari organisasi paguyuban – tempat di mana orang bisa saling silaturahmi bicara ngalor-ngidul sambil menyeruput kopi – menjadi organisasi yang lebih modern, dari kelompok informal menjadi kelompok formal, dari kelompok referens menjadi kelompok keanggotaan.
Argumen dasarnya sederhana: jika IKAA masih bertahan dalam format yang ada saat ini, sebagai organisasi informal berbasis paguyuban, maka akan sulit bagi IKAA sendiri untuk berubah. Kita sudah sering mendengar kritik bahwa IKAA tidak pernah benar-benar hidup selain pada acara temu kangen alumni. Sebagian dari kita berlindung pada argumen bahwa itu adalah kondisi alamiah IKAA yang memang didirikan sebagai wadah silaturahmi, sebagian lainnya cenderung apatis untuk mendorong IKAA ke arah perubahan. Saya sendiri berpikir, hanya melalui pendirian Yayasan IKAA lah kita bisa berharap bahwa IKAA akan keluar dari zona nyamannya. Terkait dengan hal itu, saya akan memberikan sejumlah poin mengapa saya bertahan pada argumen tersebut.
Pertama, kehadiran Yayasan IKAA akan memecah kebekuan IKAA dan seluruh program-programnya. Maafkan jika saya dianggap nyinyir, bahwa selama ini tidak terdapat pola pertanggungjawaban yang jelas oleh pengurus IKAA. Persoalannya bagi saya bukan pada tidak adanya laporan pertanggungjawaban, melainkan tidak adanya mekanisme yang mengatur hal itu. Jika Yayasan IKAA dapat berdiri, kita bisa membentuk Badan Pembina Yayasan IKAA yang dapat diisi oleh Pimpinan Perguruan Attaqwa, Pimpinan Pondok Pesantren Attaqwa Putra dan Putri, dan satu orang perwakilan dari seluruh angkatan.
Badan Pembina inilah yang akan menjadi struktur atas dari IKAA, di mana Pengurus IKAA harus memberikan laporan pertanggungjawaban kerja selama satu tahun. Memang terdengar repot, namun saya katakan bahwa keberadaan Badan Pembina sangat efektif. Saya sendiri adalah anggota Badan Pembina Kerabat Antropologi Unair perwakilan angkatan 2003 (masa bakti 2007-2011), dan selama saya menjabat sebagai anggota, kita selalu mendengarkan Laporan Pertanggungjawaban Ketua Kerabat Antropologi Unair yang dilaksanakan setiap akhir bulan Syawal. Selain Badan Pembina Yayasan IKAA, ada pula Badan Pengawas Yayasan IKAA yang bertugas sebagai auditor dan pengawas yang mengawasi kinerja Pengurus IKAA. Keberadaan Badan Pembina dan Badan Pengawas Yayasan IKAA akan memastikan bahwa IKAA sebagai organisasi akan berjalan dengan baik, sebab akan terjadi fungsi pengawasan atas kinerja Pengurus IKAA.
Kedua, kehadiran Yayasan IKAA akan menjawab mimpi yang selama ini kita harapkan: dana abadi IKAA. Sudah terlalu sering kita mendengar bahwa banyak program tidak bisa berjalan tanpa sokongan dana, dan banyak kendala bagi IKAA untuk masalah ini. Bagi saya logis ketika kita bicara mengenai uang, kita akan cenderung lebih banyak bertanya, bukan hanya ke rekening siapa uang tersebut dikumpulkan namun juga untuk apa uang tersebut dipergunakan. Maka kehadiran Yayasan IKAA akan menjawab persoalan tersebut, sebab Yayasan IKAA akan menjadi wadah satu-satunya yang mengelola dana alumni.
Yayasan IKAA dapat membuat satu rekening khusus atas nama Yayasan IKAA, bukan atas nama individu. Hal ini akan mengeliminir pertanyaan kepada siapa uang tersebut dikumpulkan. Selain itu, sepengetahuan saya, ketika uang yang tersimpan di bank atas nama yayasan, maka uang tersebut tidak dapat dipergunakan secara serampangan. Keberadaan formatur Yayasan IKAA yang terdiri atas Badan Pembina, Pengurus, dan Badan Pengawas setidaknya memberikan jaminan ketenangan kepada para donatur bahwa dana yang terkumpul akan dipergunakan sebaik-baiknya.
Jika persoalan rekening IKAA dapat terselesaikan, maka untuk menjawab untuk apa uang tersebut dipergunakan, maka IKAA dapat mengubah format acara temu kangen tahunan menjadi ajang pembacaan laporan tahunan IKAA, yang menjelaskan secara terbuka untuk apa saja uang yang dikumpulkan itu dipergunakan. Yayasan IKAA misalnya dapat mengatur dalam AD/ART, bahwa kegiatan silaturahmi alumni adalah Rapat Umum Pemegang Saham (jika kita mengandaikan bahwa setiap dari kita adalah investor di IKAA) atau sidang terbuka tahunan yang memberikan kesempatan bagi semua anggota IKAA untuk mendengarkan laporan kegiatan IKAA selama satu tahun.
Pertanyaannya, apakah itu mungkin dilakukan? Saya katakan sangat mungkin. Saya bercermin pada IKA Unair yang memiliki yayasan tersendiri. Setiap tahunnya, sumbangan dari para wisudawan dan alumni dikumpulkan dalam rekening IKA Unair dan laporan tahunan dibacakan setiap tanggal 10 November – tanggal lahir Unair – di dalam Sidang Terbuka Senat Unair yang dapat disaksikan oleh seluruh dosen dan mahasiswa. Bahkan laporan tahunan tersebut disediakan untuk diambil dan dibaca oleh seluruh sivitas akademika Unair. Rasanya kita semua dapat setuju, jika pola ini dapat diadopsi oleh IKAA. Saya pikir semua anggota IKAA akan senang hati turun tangan membantu pendanaan IKAA selama ada jaminan bahwa Yayasan IKAA dapat bersikap profesional, tranparan, dan akuntabel.
Sumber pendanaan saya pikir bisa dari mana saja, tidak mutlak hanya dari anggota IKAA – terkecuali memang diatur demikian dalam AD/ART. Jika mengikuti pola IKA Unair (dan Mahalum UI) misalnya, setiap wisudawan akan membayar sejumlah uang untuk prosesi wisuda, dan sejumlah uang yang dibayarkan akan masuk ke dalam kas IKA Unair. Ada pula usaha-usaha lain, sepanjang tidak bertentangan dengan AD/ART yang bisa dilakukan untuk mengumpulkan dana. Atau ada potensi lain yang juga tidak pernah dilirik oleh IKAA: kartu anggota. Saya pikir kita bisa belajar dari IKA Unair yang bekerjasama dengan bank dan pihak-pihak lain untuk menjadikan anggota IKA Unair sebagai sasaran pasar dengan iming-iming diskon bagi mereka yang bertransaksi dengan menunjukkan kartu tersebut. Saya pikir ini umum terjadi di beberapa organisasi alumni, dan tentu saja ada kompensasi di balik itu, bahwa para pihak yang bekerjasama memberikan sejumlah uang untuk masuk ke dalam kas. Efek lanjutannya jelas: jika dana tersedia, maka IKAA dapat dengan leluasa mengatur program kerjanya.
Ketiga, Yayasan IKAA dapat mengatur program kerjanya sehingga lebih jelas bagi anggota IKAA lainnya. Yayasan IKAA bisa mengatur dalam AD/ART mengenai agenda kegiatan IKAA selain penyelenggaraan temu kangen alumni. Saya mengakui secara terbuka, bahwa saya tidak tahu persis apa sebetulnya program-program IKAA di luar acara silaturahmi tahunan. Saya tidak berpretensi untuk menjadikan IKAA sebagai organisasi yang bekerja penuh setiap hari, sebab bagaimanapun IKAA bukanlah organisasi yang harus digarap setiap hari. Namun ada baiknya jika IKAA memiliki program tahunan yang harus dilaksanakan karena diatur dalam AD/ART.
Saya ambil contoh AAI (Asosiasi Antropologi Indonesia), sebagai sebuah yayasan, AAI memiliki tiga agenda tahunan: Kongres AAI, Koentjaraningrat Memorial Lecturer Series dan penerbitan Jurnal Antropologi Indonesia (setahun tiga kali). Selain agenda tahunan, masih ada pula agenda lain seperti simposium (dilaksanakan empat tahun sekali) dan seminar dan/atau kuliah tamu (tentatif). Kerabat Antropologi Unair memiliki tiga program tahunan: temu kangen, kuliah tamu, dan bakti sosial dan/atau pemberian beasiswa pendidikan. Apa yang ingin saya katakan sesungguhnya adalah, program kerja IKAA harus tercantum dalam AD/ART sehingga menjadi kewajiban bagi Pengurus IKAA untuk melaksanakan program kerja tersebut.
Okelah kita sudah memiliki acara temu kangen dan penerbitan Jurnal NurAttaqwa sebagai agenda tahunan, namun saya pikir IKAA seharusnya bisa berbuat lebih dari itu. Inilah yang menjadi pertanyaan saya: apa manfaat yang diberikan oleh IKAA bagi anggotanya dan masyarakat luas? Saya pikir IKAA bisa melaksanakan – mengadopsi dari AAI – KH. Noer Alie Memorial Lecturer, di mana setiap tahunnya kita bisa mengundang beberapa narasumber berkompeten untuk mendiskusikan satu topik yang relevan, dan acara tersebut dibuka untuk anggota IKAA secara cuma-cuma. IKAA juga bisa menginisiasi kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti seminar, bedah buku, dan pelatihan – sebab sebagian anggota IKAA adalah guru. Atau barangkali, IKAA berani mengadakan simposium nasional – bekerjasama dengan STAI Attaqwa – dengan mengundang para akademisi dan praktisi untuk saling berbagi pengetahuan tentang masalah-masalah yang ada saat ini. Terkait dengan kegiatan ilmiah, saya pikir para anggota IKAA, termasuk saya sendiri, akan dengan senang hati akan membantu kegiatan tersebut melalui jaringan yang kami miliki.
Kemudian bagi masyarakat umum, IKAA bisa mengadakan bakti sosial rutin – tanpa perlu menunggu bencana – dan kegiatan sosial lainnya. Setahu saya memang sering dilakukan bakti sosial, namun posisinya IKAA adalah pihak yang diajak, bukan tuan rumah yang mengajak pihak lain. Yayasan IKAA juga bisa memberikan beasiswa pendidikan bagi anggota IKAA yang berprestasi namun mengalami kesulitan biaya untuk kuliah, atau mungkin beasiswa IKAA bagi murid di Pondok Pesantren Attaqwa Putra atau Putri atau di sekolah Attaqwa manapun.
Di sisi berbeda, Yayasan IKAA juga dapat membuat satu lembaga riset atau apalah bentuknya yang secara khusus menaungi Jurnal NurAttaqwa. Lembaga ini difungsikan sebagai ujung tombak publikasi IKAA. Tentu saja saya tidak memaksudkan hanya sebagai badan penerbitan, melainkan agar lembaga ini dapat menjadi lembaga yang bertanggungjawab atas peningkatan budaya literasi baik untuk Attaqwa maupun untuk IKAA. Saya pikir penting bagi IKAA untuk menjadi display bagi masyarakat luas untuk memperlihatkan bagaimana kualitas Attaqwa sesungguhnya. Peran ini boleh jadi akan bersinggungan dengan peran Perguruan Attaqwa, namun saya pikir tidak menjadi persoalan, sebab IKAA memiliki domain yang berbeda.
Ketika IKAA sudah bertransformasi menjadi Yayasan IKAA, maka fungsi utama IKAA tidak lagi hanya sebagai wadah temu kangen bagi para anggotanya. IKAA jelas memiliki potensi yang luar biasa untuk tumbuh dan mengembangkan dirinya, dan potensi itu terletak pada sumber daya manusia para anggota IKAA. Bagi saya, yang diperlukan oleh IKAA adalah memaksimalkan potensi ini untuk kepentingan IKAA dan masyarakat luas. IKAA hanya perlu meminta para alumni yang terserak di berbagai profesi untuk berbagi waktu mereka. Pandangan bahwa IKAA hanya organisasi yang hidup sekali setiap tahunnya harus diubah, dan perubahan ini harus dimulai oleh IKAA sendiri.
Bagi saya, banyak pekerjaan rumah yang menanti IKAA. Tentu saja saya tidak pernah berhenti berharap pada IKAA, dan tulisan ini pun sejatinya adalah gambaran dari harapan saya. Pertanyaan utama saya “mau kemana IKAA” adalah pertanyaan yang saya ajukan kepada semua anggota IKAA, sebab persoalan IKAA bukan hanya persoalan bagi Pengurus IKAA, ini adalah persoalan kita semua. Sebagai bagian dari IKAA, apapun pilihan IKAA akan selalu hormati dan saya dukung. Sebagai penutup, saya akan mengutip ucapan Ketua AAI dalam penutupan Koentjaraningrat Memorial Lecturer Series 2014: “bantuan akan selalu diberikan – bahkan tanpa diminta, dan yakinlah kami para alumni akan selalu siap turun tangan.”