Setelah pusing menonton debat antara Prabowo dan Jokowi, saya berencana meninggalkan dunia maya dan beralih ke dunia nyata: garap makalah yang sudah ditagih. Namun rencana itu gagal total. Adalah telepon dari sahabat saya, Christina Simbolon, yang mengubah rencana saya. Pertanyaan sahabat saya sederhana: apakah para penonton debat memahami apa yang diperdebatkan antara dua kandidat? Jawaban saya jelas: tidak semua memahami esensi debat – kalau tidak mau dikatakan bahwa hampir semua terlalu terpaku pada si kandidat bukan pada apa yang disampaikan oleh si kandidat. Rupanya sahabat itu juga setuju.
Maka sayapun terlibat perdebatan panjang, bukan mengenai isi debat ataupun sosok kandidat, melainkan pada para penonton debat. Bagi saya dan sahabat saya, hal ini bisa dilihat dari lini masa twitter ataupun status facebook para pendukung dua pasangan ini. Kami sepakat membagi tiga kategori penonton: (1) pengagum, (2) pendengar, dan (3) pengkritik. Masing-masing kategori untuk setiap pendukung kandidat, baik mas Bowo maupun mas Joko.
Nah, untuk mempermudah, izinkan saya menjelaskan definisi masing-masing. Pengagum adalah sosok penonton yang menelan mentah-mentah apa yang disampaikan kandidat terlepas dari substansi isi yang disampaikan, pendengar adalah sosok penonton yang mendengar dan mengkritisi apa yang disampaikan oleh kandidat yang ia dukung, sedangkan pengkritik adalah penonton yang mengkritik pihak lawan terlepas dari konten yang disampaikan oleh kandidat lawan. Pengagum sangat mungkin menjadi pengkritik di saat yang bersamaan, namun banyak pula yang hanya menjadi pengagum tanpa menjadi pengkritik. Kita mungkin saya berdebat panjang soal ini, namun saya tetap bertahan pada tiga kategori tersebut.
Saya akhirnya kembali membuka akun facebook dan twitter saya, dan mulailah saya menyadari betapa tiga kategori yang kami buat bersama menunjukkan dirinya. Saya dapat membagi sahabat saya di facebook dan twitter dalam tiga golongan: pro Mas Bowo, pro Mas Joko, dan tidak keduanya. Pembagian ketiga golongan itu nyaris sangat mudah, terutama dari status maupun kicauan mereka.
Saya mulai dari kandidat pertama. Para sahabat saya di fb yang mendukung para mas Bowo agaknya lebih banyak pada golongan pengagum. Saya tidak berkata bahwa penggolongan tersebut tidak tendensius, namun status maupun kicauan adalah fakta empiris yang tidak dapat disangkal. Para sahabat saya ini, begitu mengagumi sosok Mas Bowo, sehingga seluruh statusnya didedikasikan untuk sosok yang satu ini, bukan pada konten yang ia sampaikan. Ada sahabat saya yang bilang “berlian tetaplah berlian walau di kubangan lumpur”, ada pula yang bilang “emas jelas berbeda dengan perak”, dan kalimat-kalimat penuh bunga lainnya. Apa maksudnya? Jelas saya tidak mungkin salah, bahwa bagi mereka, Mas Bowo lah berlian dan emas tersebut. Persoalannya bagi saya, saya tidak menemukan satupun cela dari status tersebut. Mereka menjadi pengagum berat sosok mas Bowo, yang sangat saya sayangkan, kecintaan mereka membuat mereka enggan mengkritik sosok tersebut (beberapa bahkan marah ketika saya iseng berkomentar mengkritik idola mereka). Rupanya bukan cuma saya, Christina pun mengamini hal yang sama, dibully hanya karena mengkritik.
Saya misalnya, dikritik habis-habisan ketika saya berkomentar soal kebocoran 1000T (luar biasa), yang menurut Mas Bowo karena kesalahan pemerintah yang ada – kritik yang sama juga saya lontarkan ketika Mas Bowo mengatakan bahwa ekonomi kita salah urus. Saya berkomentar, bukankah wakil Mas Bowo adalah mantan Menko Perekonomian? Tidak kah Oom Hatta juga bertanggungjawab atas kebocoran itu sendiri? Bukannya jawaban yang saya dapat, yang ada justru kritik, yang menurut sahabat saya, kritik saya tidak relevan dengan materi debat, dan sayapun terdiam. Bahkan saya dihujat sebagai pendukung kroni kaum neolib, bahkan adapula yang mempertanyakan keislaman saya. Lho ko? Ya sudahlah. Saya yang salah, orang jatuh cinta ko ditanya.
Namun saya katakan secara terbuka, tidak berarti semua pendukung Mas Bowo adalah pengagum berat. Masih ada segelintir yang mengkritisi apa yang disampaikan oleh Mas Bowo, merekalah para pendengar. Seorang sahabat mengkritik bagaimana Mas Bowo terlalu fokus bagaimana caranya menutup kebocoran anggaran maupun sumber daya alam. Ya baguslah. Saya suka yang tipe seperti ini. Sayapun kembali iseng bertanya, mengapa Mas Bowo tidak bicara mengenai sistem untuk mencegah kebocoran dan isu hutang luar negri. Awalnya sahabat saya itu mau menjawab baik-baik, namun setelah beberapa kali melempar komentar, akhirnya sayapun kembali disalahkan. Menurutnya, isu hutang luar negeri bukan soal ekonomi kerakyatan, saya malah dicela sebagai antropolog yang sok tahu soal ekonomi (padahal sahabat saya itu lulusan pendidikan bahasa inggris). Artinya untuk urusan ekonomi sesungguhnya kita berdua sama bodohnya, namun rupanya saya dianggap lebih bodoh. Ya sudahlah.
Ada yang lebih seru lagi, soal pondasi ekonomi kerakyatan yang menurut Mas Bowo terletak pada ekonomi berlandaskan kekeluargaan. Ketika saya berkomentar bahwa Mas Bowo keliru memahami ekonomi kerakyatan, apalagi ketika justru titik beratnya pada investasi dan kebijakan ekonomi model top-down, saya malah dikritik karena tidak memahami substansi. Menurut sahabat saya, model ekonomi berlandaskan kekeluargaan dan poin-poin dari Mas Bowo itu bersumber dari hukum Islam. Nah, saya bingung. Setahu saya, sumber hukum Islam itu Al Quran dan Hadis – saya memang bukan ahli di bidang itu namun saya tidak bego-bego amat – dan penjelasan sahabat saya itu menutup pintu pertanyaan. Saya sudah mengalah tidak bertanya lebih jauh, namun komentar sahabat saya menegaskan posisinya melalui komentarnya: makanya anak pesantren harus memperdalam ilmu agama, bukan nyasar di ilmu sosial makanya keblinger. Duh, Gusti nyuwun ngapura. Lagi-lagi saya yang salah.
Ketegori ketiga agaknya jauh lebih mudah ditemukan di golongan pro Mas Bowo: para pengkritik. Saya enggan menjelaskan di sini tentang apa yang disampaikan oleh para pengkritik.
Mari berlanjut ke kandidat kedua: Mas Joko. Terus terang saja, para pengagum Mas Joko tidak kalah banyak dari pengagum Mas Bowo. Kalau urusan ini, fanatisme kedua kelompok sama dahsyatnya, meski para pengagum Mas Joko tidak sehiperbolik para pengagum Mas Bowo yang menganalogkan Mas Bowo sebagai emas dan berlian. Para sahabat saya yang menjadi pengagum Mas Joko dapat saya katakan sebagai tipe pengagum yang pendiam dan pelit sanjungan. Mereka enggan menulis kalimat berbunga-bunga soal Mas Joko, mereka hanya membagikan artikel tentang Mas Joko, paling banter komentar “tuh baca…” atau “salam dua jari.” Saya tidak mengerti kenapa begini, namun agaknya para pengagum Mas Joko tidak seagresif para pengagum Mas Bowo dalam memberikan sanjungan.
Secara pribadi saya menggolongkan diri saya pada kategori kedua: para pendengar, dan rupanya para sahabat saya pendukung Mas Joko di facebook masuk dalam katagori ini. Ada teman yang justru menyanjung tindakan Mas Bowo yang memuji Mas Joko – saya sendiri angkat topi soal ini, ada pula yang menyanjung Mas Bowo yang memberikan data lebih baik ketimbang Mas Joko. Beberapa dengan berdecak lidah menyatakan kekecewaan kepada Mas Joko yang terlalu asik bicara soal mikro, adapula yang berkomentar soal kealpaan Mas Joko bicara mengenai hutang luar negeri. Saya sendiri menyesalkan soal hutang luar negeri ini dalam komentar saya di beberapa status sahabat, dan rupanya mereka pun mengamini hal yang sama. Saya secara sederhana menggambarkan para pendengar Mas Joko adalah kelompok yang fluktuatif. Kita bisa memuji habis-habisan sekaligus mencela habis-habisan Mas Joko, dan itu dilakukan secara terbuka di media sosial.
Kategori ketiga adalah para pengkritik. Yah, saya tidak perlu bicara soal ini. Kampanye hitam di dunia maya sama kadarnya, baik kepada pendukung Mas Bowo maupun Mas Joko.
Nah, saya sampai di titik paling menarik dari perbincangan saya kepada sahabat saya, Christina. Pertanyaan kedua yang ia sampaikan menarik: apakah pendukung Mas Bowo “inherently immature” alias tidak matang secara inheren? Saya katakan, jika saya diizinkan mengambil komentar para sahabat saya sebagai sampel dari sebuah populasi, maka saya katakan iya. Saya berani mengatakan, bahwa para dari status maupun komentar para sahabat pro Mas Bowo menunjukkan bagaimana mereka begitu mengidolakan Mas Bowo. Dari mulai debat pukul 20.00 sampai pukul 01.00 ketika blog ini ditulis, saya sudah menghitung, setidaknya ada enam puluh tiga orang sahabat saya yang pro Mas Bowo, dan dari enam puluh tiga itu tidak ada satupun kritik kepada Mas Bowo atas isi debatnya. Hampir seluruhnya merupakan pujian – yang sama sekali tidak menyangkut substansi debat. Pujian penuh bunga bahwa sosok Mas Bowo adalah sosok yang tegas, peduli ekonomi kerakyatan (sic!), ahli dalam ekonomi makro. Beberapa bahkan tidak cukup menyanjung satu kali. Saya melihat, bahwa para sahabat saya pendukung Mas Bowo sangat fokus pada sosok Mas Bowo – yang saya harus akui – yang berkarakter. Agaknya saya harus memberikan sanjungan kepada tim Mas Bowo yang sukses membangun gambar soal sosok Mas Bowo.
Di sisi berbeda, terdapat lima puluh satu orang sahabat saya yang pro Mas Joko. Dari lima puluh satu, hanya delapan belas yang memuji penampilan Mas Joko habis-habisan, artinya ada tiga puluh tiga yang mengkritisi apa yang disampaikan oleh Mas Joko. Saya TIDAK PERNAH mengatakan bahwa debat kali ini Mas Bowo menang dari Mas Joko hanya karena sebagian besar pendukung Mas Joko justru berkomentar soal materi yang disampaikan oleh Mas Joko. Ini adalah soal bagaimana para pendukung Mas Joko memilih menjadi pendengar ketimbang pengagum. Dalam hal ini, mau tidak mau saya setuju dengan pertanyaan sahabat saya, Christina, bahwa para pendukung Mas Bowo inherently immature dalam menyikapi debat tersebut.
Tentu saja pendapat saya ini kontestatif, namun jika melihat dengan baik lini masa, baik di facebook maupun twitter, saya yakin anda akan memperoleh kesimpulan yang sama. Saya tidak mengatakan sesuatu itu salah atau benar, saya hanya mengatakan, bahwa para pendukung Mas Joko lebih terbuka terhadap komentar maupun pertanyaan. Saya sepakat dengan pendapat Anies Baswedan, bahwa lawan debat adalah sahabat berpikir. Hal ini yang sangat kurang saya rasakan ketika saya bersinggungan, bahkan lebih dari itu: bersitegang, dengan para pendukung Mas Bowo. Selama saya memilih untuk berada di sisi Mas Joko, sudah tidak terhitung berapa kali saya berdebat panjang dengan sahabat-sahabat yang menjadi tim sukses Mas Joko, namun tidak sekalipun saya dituduh antek neolib, tidak sekalipun saya dianggap bagian dari konspirasi yahudi, bahkan tidak sekalipun saya dipertanyakan soal keislaman saya. Berbeda pendapat adalah soal biasa bagi mereka yang menjadikan adu argumen yang substantif sebagai cara memperoleh kebenaran. Maka saya katakan, saya dengan senang hati akan terus menjadi pendengar bukan pengagum Mas Joko, meski saya sudah memutuskan bahwa saya akan memilih Mas Joko sebagai pilihan politik saya. Saya akan terus mendengar dan mengkritik, sebab saya tahu, semua pengetahuan dan kebenaran dimulai dari mendengar. Bukankah Allah SWT selalu meletakkan kata Maha Mendengar sebelum Maha Melihat (Maha Mengetahui)? (Tuh kan keluar deh tabiat anak pesantren yang dikit-dikit menyitir [bukan menyetir] firman Tuhan).
Mari berdiskusi…