Perempuan, Amnesia Sejarah, dan Ibuisme Negara

Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PHPU.D-X/2012 dan Nomor 10/PHPU.D-X/2012 membuka babak sejarah baru bagi Kabupaten Bekasi, sebab untuk kali pertama, Kabupaten Bekasi dipimpin oleh seorang perempuan. Dalam amar putusannya, majelis hakim menolak permohonan pemohon, yakni pasangan Sa’duddin-Jamal Lulail dan pasangan M Darip Mulyana-Jejen Sayuti, untuk seluruhnya (MK 2012). Dengan demikian, berdasarkan keputusan tersebut, pasangan Neneng Hasanah Yasin-Rohim Mintareja secara resmi menjadi pemenang Pemilukada Kabupaten Bekasi, sekaligus akan menggantikan posisi Sa’duddin sebagai Bupati Kabupaten Bekasi.

Saya tentu tidak dalam kapasitas mempersoalkan keputusan Mahkamah Konstitusi, namun lebih pada mempertanyakan kembali argumentasi mereka yang menolak keputusan tersebut. Tulisan ini sejatinya adalah jawaban terbuka saya atas banyaknya komentar dan pertanyaan yang mempertanyakan masalah kepemimpinan perempuan. Tulisan ini bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan dasar: benarkah perempuan tidak mampu memimpin? Dan mengapa kita begitu antipati atas kepemimpinan perempuan? Dengan demikian, secara sadar saya menempatkan tulisan ini sebagai medium kritik atas penolakan kepemimpinan perempuan yang abai terhadap sejarah, sekaligus memberikan penjelasan alternatif mengapa penolakan atas kepemimpinan perempuan masih terjadi.

Amnesia Sejarah?

Saya menyebut mereka yang menolak Neneng (baca: perempuan) karena tidak ada preseden dalam lintasan sejarah di mana perempuan bertindak sebagai pemimpin sebagai pengidap amnesia sejarah akut. Bagi mereka yang menolak, persoalan gender nampaknya masih mengikat kuat dalam memandang kemenangan pasangan ini. Terlepas dari perdebatan dalam ranah agama, sesungguhnya kepemimpinan perempuan bukan lah hal yang aneh. Jika menilik lintasan sejarah, keberadaan perempuan sebagai pemimpin sesungguhnya telah ada, bahkan sejak masa klasik (lihat Ricklefs 2005, Andaya 2006), sehingga penolakan karena dianggap tidak pernah ada preseden dalam sejarah di mana perempuan memimpin jelas ahistoris.

Tentu kita masih ingat sosok Megawati Soekarnoputri yang pernah memerintah di Indonesia pada periode 2001-2003, atau Gubernur Ratu Atut Chosiyah, atau para bupati perempuan lainnya. Bahkan jauh sebelum itu, telah ada Sultanah Safiyatuddin Tajul Alam yang memerintah Kesultanan Aceh pada 1641-1675, dan bersambung setelahnya tiga orang sultanah, yakni Sultanah Naqiyatuddin Nurul Alam (1675-1678), Sultanah Zaqiyatuddin Inayat Syah (1678-1688), dan Sultanah Zainatuddin Kamalat Syah (1688-1699) yang kemudian menjadi ibu suri bagi pemerintahan sesudahnya. Di Jawa misalnya, tercatat Sangramawijaya Tunggadewi (tercatat dalam prasasti Cane [1021] dan Turun Hyang I [1035]), putri dari Airlangga yang memerintah Kadiri, dan dua ratu dari Majapahit, yakni Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1351) dan Ratu Suhita (1426-1447).

Tentu saja terlalu jauh secara geografis jika kita berbicara kepemimpinan perempuan yang diambil dari wilayah-wilayah yang jauh. Pertanyaannya yang menggelitik adalah, apakah benar bahwa Neneng Hasanah Yasin adalah pemimpin perempuan pertama di wilayah Bekasi? Jika dalam konteks modern, ya. Ada baiknya kita membaca kembali catatan Ayatrohaedi (2005), yang mencatat berdirinya Kerajaan Salakanegara, wilayahnya sama dengan wilayah Kerajaan Tarumanegara (sebab Salakanegara kemudian runtuh dan digantikan oleh Tarumanegara), yang pernah mencatatkan dua orang ratu: Mahisa Suramardini Warmandewi (276-289) dan Sphatikarnawa Warmandewi (340-348). Dengan demikian, sesungguhnya telah ada pemimpin perempuan, meskipun tidak tepat di wilayah Bekasi, jauh sebelum Neneng.

Bagi saya, penolakan perempuan sebagai pemimpin tidak lain dari amnesia sejarah. Amnesia akut yang menjalar sejak awal Orde Baru. Kita selalu membayangkan sosok perempuan yang terdomestikasi, katakan lah Kartini. Tentu kita mengenal betul sosok perempuan itu. Selain Kartini, kita pun akrab dengan tokoh seperti Dewi Sartika, HR Rasuna Said, Tjut Nyak Dhien maupun Malahayati. Kartini dan Dewi Sartika dikenal melalui jalur pendidikan, sedangkan Tjut Nyak Dhien dan Malahayati terkenal dengan sepak terjangnya dalam perjuangan. Sepintas tidak ada yang aneh dengan nama-nama tersebut, terkecuali semuanya memiliki benang merah yang sama: seluruhnya tidak bergerak dalam politik praktis. Bagaimana dengan Gerwani? Organisasi yang terbentuk pada tahun 1950 awalnya bernama Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), yang pada tahun 1954 membuka diri bagi semua perempuan dari berbagai kalangan, dan kemudian berubah nama menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Tidak kah imaji kita melayang pada kudeta gagal Partai Komunis Indonesia? Pada tarian harum bunga dan lagu genjer-genjer?

Sesungguhnya amnesia sejarah itu tidak lah terjadi dengan sendirinya. Terdapat satu konstruksi ideal mengenai sosok perempuan yang baik dan benar menurut negara, dan konstruksi tersebut diinternalisasikan secara rapih dan berkesinambungan dalam setiap kebijakan Orde Baru, bahkan hingga saat ini. Meminjam istilah Madelon Djajadiningat-Nieuwenhuis (Rinaldo 2002) menyebutnya sebagai state ibuism. Ibuisme negara, mengacu pada konsep bagaimana negara meletakkan perempuan sebagai sosok ibu (dalam pengertian biologis), sosok yang terdomestikasi, pendamping suami, dengan segala perangkat femininitas yang dibangun: bahwa pada sosok ibu lah kehidupan dilangsungkan, pendidikan anak diletakkan, pengatur rumah tangga yang bijak dan cekatan, serta warga negara yang terpuji dan teladan (Suryakusuma 2004).

Ideologi gender tersebut, dibangun dengan sangat baik pada masa Orde Baru, membawa pengaruh luas mulai dari tingkat nasional hingga ke tingkat supradesa dan desa. Dalam hal ini, state ibuism merasuk ke dalam berbagai level organisasi, utamanya organisasi perempuan (lihat Blackburn 2005). Konstruksi ibuisme negara secara sadar menempatkan perempuan tidak hanya dalam gatra sempit rumah tangga, sekaligus juga menjauhkan perempuan dalam gerakan agitasi politik praktis. Tiwon (1996) menyebutnya sebagai model and maniac, sebuah konstruksi idiologis yang mengartikulasikan perempuan dalam dua bentuk utama: yang baik dan yang buruk, yang terpuji dan yang tercela. Perempuan yang baik adalah perempuan lemah lembut, setia (baca: taat), pemaaf, berpendidikan (baca: mampu mendidik anak), dan rajin (baca: mampu mengurus rumah tangga). Maniac adalah kebalikan sempurna dari model, yakni sosok perempuan yang egoistik, tidak penurut, brutal, tidak berpendidikan, malas dan fatalistik.

Konstruksi ibuisme negara bergerak lebih lembut pada tataran kebijakan. Negara bahkan memiliki solusi paling sederhana dari masalah pelik: bagaimana satu kebijakan dapat mencapai masyarakat luas? Maka negara menciptakan organisasi ‘khas’ perempuan: Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (Suryakusuma 2004). Kebijakan kerja organisasi-organisasi yang disponsori oleh negara tentu saja membawa seluruh perangkat ideologi gender negara, diartikulasikan dengan sangat baik melalui berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi-organisasi tersebut. Berdirinya Dharma Wanita dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) bertujuan menyusupkan ideologi gender yang disponsori negara. Para perempuan anggota Dharma Wanita tidak lain adalah istri-istri dari pegawai negeri, yang dipimpin oleh istri dari camat, dan terus secara hierarkis ke atas hingga ke istri Menteri Dalam Negeri. Melalui sosok model ini lah gambaran mengenai perempuan dikonstruksikan hingga ke tingkat akar rumput, yakni bagaimana gambaran sosok istri yang setia mendampingi tugas-tugas kenegaraan suami, istri yang mampu duduk manis di rumah, mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, mendidik anak, dan menjadi tauladan bagi masyarakat sekitar.

Di sisi yang berbeda, negara mengatur dengan sangat ketat mengenai perempuan di ruang publik (baca: dunia politik). Pengaturan yang ketat oleh negara berdampak dengan dibubarkannya organisasi perempuan yang dianggap menyimpang dan/atau berbeda arah dengan ideologi gender negara (Blackburn 2005). Tentu saja ideologi tersebut tidak lah muncul dan mengada dengan sendirinya, namun berhubungan dengan konteks historis, utamanya terkait erat dengan keberadaan organisasi perempuan yang tidak dikuasai negara. Organisasi perempuan pada sebelum dan awal kemerdekaan memang lebih banyak berada dalam domain pendidikan yang bertujuan meningkatkan kemampuan pribadi perempuan secara intelektual (Martyn 2005, Vreede-de  Stuers 2008). Hanya sedikit yang benar-benar bergerak di bidang politik, Gerwani salah satunya. Pascadibubarkannya Gerwani, tidak ada organisasi perempuan yang bergerak di bidang agitasi politik frontal (Wieringa 1998), pun sebagian besar kembali ke asal, bergerak di bidang pendidikan.

Keberadaan Gerwani kemudian memunculkan beragam mitos, yang tentu saja dihembuskan oleh negara, bagi masyarakat luas. Sebagai gambaran paling jelas dari maniac, sebagaimana dijelaskan oleh Tiwon, Gerwani adalah contoh yang paling sempurna dari perempuan yang buruk dan tercela. Di tengah mitos tari harum bunga dan pesta seks besar-besaran sebagaimana digambarkan dalam monumen Pancasila Sakti, terdapat satu pesan kuat yang hendak disampaikan, mengenai betapa bahayanya perempuan di ruang publik (Wieringa 1998).

Bagi saya, menjadi penting untuk menggarisbawahi, bahwa Orde Baru membuka banyak ruang bagi perempuan kecuali dalam dua hal: politik dan militer. Gejala amnesia sejarah bagi perempuan dalam politik dapat dilihat dengan sensor besar-besaran dalam buku teks pelajaran. Kebijakan ini berimbas pada materi ajar sebagaimana diajarkan dalam kurikulum formal, yang secara sadar menghilangkan bab-bab dalam sejarah di mana perempuan pernah tampil sebagai pemimpin. Mana pernah kita mendengar nama Sultanah Safiyatuddin Tajul Alam yang menjadi patron dan pelindung bagi Nuruddin ar Raniri, sosok ulama besar dari Aceh yang sedang berkonflik dengan pengikut Hamzah Fansuri. Kita juga tidak pernah mendengar Gayatri Rajapatni, penguasa di balik layar, nenek dari Hayam Wuruk yang menuntut Sumpah Palapa dari Mahapatih Gajah Mada untuk menyatukan Nusantara pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi. Di babad peperangan, kita tidak pernah mendengar nama Dyah Pitaloka Citraresmi, Anak dari Prabu Linggabuwana dari Kerajaan Sunda, yang berada di garis depan pada Perang Bubat melawan Majapahit. Kita hanya mengenal Malahayati, hanya sekedar sebagai panglima perang Aceh, tanpa pernah sadar bahwa dirinya adalah cicit dari pendiri Kerajaan Aceh Darussalam, sosok Laksamana yang memimpin inong balee, pasukan para janda yang membunuh Cornelis de Houtman dalam perang tanding satu lawan satu. Demikian pula nama Nyai Ageng Pinatih, Syahbandar Gresik, penguasa armada dagang terbesar di Jawa Timur dan Bali pada masa raja Majapahit Rajasawardhana, yang menjadi ibu asuh sekaligus pelindung politik dan ekonomi bagi Sunan Giri di Gresik.

Hilangnya fakta-fakta sejarah dalam buku teks pelajaran membawa kita pada persoalan utama: kita secara sengaja didorong untuk melupakan sejarah. Amnesia sejarah bukan lah simptom yang mengada dengan sendirinya. Amnesia sejarah adalah hasil dari kebijakan pemerintah yang memang ingin membuat kita lupa, terutama lupa bahwa kepemimpinan perempuan telah ada dalam berbagai aspek, termasuk politik. Berbeda dengan gambaran yang selalu dimunculkan, bahwa perempuan selalu berkaitan dengan dunia pendidikan, bukan sebagai pemimpin, namun sebagai pemimpi bagi keterwujudan pendidikan. Kita selalu terbuai dengan gambaran perempuan yang hanya dipimpin, tertindas sebagaimana imaji para feminis, enggan menengok kembali sejarah, yang justru membuat kita semakin lupa dan menganggap fakta historis itu hanya dongeng yang tidak pernah nyata ada. Kita justru mendorong diri kita sendiri untuk membentuk imaji kosong tentang tidak adanya preseden perempuan sebagai pemimpin sebagai realitas tunggal yang tidak dapat ditawar lagi.

Efek lanjut dari amnesia sejarah akut seringkali tidak kita disadari. Di tataran praktis, kita secara tidak sadar mendorong anak-anak perempuan kita untuk tidak bercita-cita menjadi politikus handal. Terlepas dari cercaan atas dunia politik praktis, sesungguhnya kita lah yang menjauhkan diri dari dunia politik. Kita selalu mendorong anak perempuan untuk bercita-cita meraih pendidikan tertinggi dan terbaik. Dengan menghadapkan wajah pada sosok Kartini, kita mendidik anak perempuan kita untuk mendekat pada pendidikan, dan seakan melupakan pilihan lainnya, politik salah satunya. Hal ini lah, yang bagi saya meresahkan, membuat kita berpikir bahwa politik adalah bukan dunia yang tepat bagi perempuan.

Akibat dari amnesia sejarah sebagai konsekuensi logis dari kebijakan politik ibuisme negara, mendorong kita memandang lebih rendah terhadap perempuan yang bergerak di domain politik, bahkan di kalangan perempuan sendiri. Kita masih melihat kepemimpinan perempuan dalam dunia politik praktis sebagai anomali. Kita tidak merasa perlu meluruskan amnesia sejarah tersebut, bahkan tidak mempertanyakan lebih lanjut mengapa kita melupakan masa lalu, enggan bertanya pada waktu, mengapa perempuan tidak pernah memimpin.

Penutup

Argumentasi dasar dari tulisan ini singkat dan jelas: sejak awal, perempuan telah mencatatkan prestasi tersendiri dalam bingkai sejarah Indonesia. Kepemimpinan perempuan telah terlihat sejak era klasik, pada masa para kerajaan masih tegak berdiri, pemimpin perempuan telah menorehkan tinta emasnya sendiri. Apa yang kita anggap anomali bagi kepemimpinan perempuan sesungguhnya adalah hasil dari konstruksi luar biasa untuk menghilangkan jejak perempuan dalam bingkai keindonesiaan. Kita didorong untuk menafikan dan memilih untuk melupakan fakta dasar tersebut. Melalui ideologi ibuisme negara, keputusan untuk menjauhkan perempuan dalam hingar-bingar dunia politik (dan militer) dimulai. Jelujurnya pun terasa hingga ke titik terendah: rumah tangga. Hilangnya cita-cita menjadikan perempuan sebagai pemimpin adalah kesuksesan luar biasa bagi ideologi ibuisme negara, yang tetap ada meskipun pemilik kekuasaan berganti. Terus membayang sepanjang kita masih enggan menampilkan kembali gambaran samar masa lalu, pada masa di mana para perempuan hebat itu hidup dan mengubah wajah sejarah selamanya.

Kepustakaan:

Andaya, Barbara W. 2006. The Flaming Womb: Repositioning Women in Early Modern Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai’i Press

Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah “Panitia Wangsakerta”. Cirebon: Pustaka Jaya

Blackburn, Susan. 2004. Women and the State in Modern Indonesia. Cambridge, UK: Cambridge University Press

Martyn, Elizabeth. 2005. The Women’s Movement in Post-colonial Indonesia, Gender and Nation in a New Democracy. London: RoutledgeCurzon

Rinaldo, Rachel. 2002. “”Ironic Legacy: the New Order and Indonesian Women’s Groups”. Outskirts: Feminisms Along the Edge volume 10

Suryakusuma, Julia. 2004. Sex, Power and Nation: The Anthology of Writings, 1979-2003. Jakarta: Metafor Publishing

Tiwon, Sylvia. 1996. “Model and Maniac”, dalam Laurie Sears (ed.) Fantasizing the Feminine in Indonesia. Durham: Duke University Press.

Vrede-de Stuers, Cora. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu

Wieringa, Saskia E. 1998. Kuntilanak Wangi: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Sesudah 1950. Jakarta: Kalyanamitra