Siang tadi, mengingat setiap selasa saya tidak ada jam kuliah, saya janji untuk bertemu dengan teman lama di Detos untuk makan siang dan ke toko buku. Teman saya itu bertama Lenny Agustina Mulyawan, kami sama-sama satu angkatan di Airlangga, saya di antropologi sedangkan dia di kedokteran gigi. Alkisah pertemuan berlangsung lancar, terlalu lancar malah. Saya harus akui, saya belajar mengenai ketepatan waktu dari teman saya ini, yang merupakan “warga keturunan” (untuk sementara saya akan menggunakan istilah ini). Selepas membeli buku, dia membeli buku-buku sejarah, dan saya membeli tulisan Tohari, kami pun naik untuk makan. Setelah itu, kami turun dan saya mengantarnya untuk naik angkutan umum ke Kampung Rambutan.
Ada hal yang menyakitkan hati saya ketika saya, Lenny, dan Santi (teman Lenny, saya sengaja meminta dia mengajak temannya, sebab saya ingin menghindari gosip berduaan dengan perempuan yang bukan mahram saya (meskipun saya tidak pernah mengaku sebagai pemeluk agama yang kelewat taat, namun anggap saja jaga-jaga, begitu pikir saya)turun dari Detos ke arah gerombolan angkutan umum yang mangkal di bawah jembatan penyebrangan antara Detos dan Margo City. Tiba-tiba segerombolan anak muda, laki-laki, menyuiti teman saya dan berkata “Ci, Ci, amoi… suit-suit…”, “cewek….”, dan lain-lain (saya tidak ingat persisnya, tapi kira-kira begitu lah). Lalu karena dua teman saya itu tidak menjawab apa-apa, akhirnya saya yang menjawab: “namanya bukan cewek, tapi Lenny dan Santi”, celakanya saya malah dibalas “Jangan galak-galak gitu dong bang, emang abang siapanya???”. Saya malas menanggapi mereka. Akhirnya saya saya mengantar mereka naik ke angkutan umum, dan memaksa di supir untuk segera jalan (dengan upah sepuluh ribu si supir langsung tancap gas)
Dua hal yang membuat saya jengkel setengah mati: Pertama, adalah fakta yang tidak dapat disangkal kalau kedua teman saya itu perempuan. Kedua, adalah fakta yang tidak dapat disangkal pula kalau keduanya tidak memiliki wajah khas pribumi.
Saya jengkel dengan tingkah laku-laki beberapa oknum laki-laki, yang dengan begitu rendahnya memperlakukan orang lain, dalam hal ini perempuan. Bayangkan jika saudara perempuan atau bahkan ibu anda diperlakukan demikian. Jika saya, akan saya gampar langsung dan saya berdoa biar dia langsung mampus (ya minimal kena kecelakaan lah). Bukan kah kita sebagai manusia telah diberikan akal budi oleh Tuhan? Mengapa kita menanggalkan apa yang telah diberikan dan berperilaku seperti hewan? Lupa kah kita bahwa manusia pada dasarnya sederajat? Pengalaman mengajarkan saya, betapa pelecehan terhadap orang lain pada dasarnya adalah pelecehan terhadap diri kita sendiri. ‘Yah setidaknya saya tidak melakukan itu’ begitu pikir saya, tapi saya rasa itu tidak cukup.
Hal lain yang membuat saya jengkel, setelah kejengkelan saya terhadap pelecehan mereda setelah saya tiba di kos, adalah perlakuan terhadap orang yang dianggap berasal dari ras yang berbeda. Fakta yang tidak dapat disangkal adalah mereka merupakan keturunan dari orangtua yang secara ras bukan Melayu. Namun apakah kita berhak membedakan orang berdasarkan rasnya? Ambil contoh begini, saya memiliki teman dari Papua dan Nusa Tenggara, dan yakin seyakin-yakinnya, bahwa secara ras pun mereka bukan ras dominan (Melayu). Lalu apa bedanya Lenny dengan orang dari Papua? Atau apa bedanya Lenny dengan keturunan Arab atau India? Saya menjawab tidak ada. Tapi itu adalah jawaban pribadi saya. Fakta berbicara dengan suara dan nada yang berbeda.
Saya memperhatikan, gerombolan pemuda itu dengan jelas mengasosiasikan diri saya sebagai “pribumi” dengan segala atribut fisik yang melekat pada diri saya (saya harus akui kadangkala terjadi kekeliruan seperti saya seringkali dipanggil “koh” ketika berada di pusat elektronik), dan mengasosiasikan Lenny dan Sati sebagai “non-pri” dengan segala atribut fisik yang melekat pada diri mereka berdua. Pertanyaannya bagi saya, apa relevansi dari pembedaan “pri” dan “non-pri” pada saat ini?
Lenny yang saya tahu adalah penduduk Indonesia asli, walaupun dia belum pernah menunjukkan KTP yang dia punya pada saya. Saya rasa, sepengetahuan saya, Undang-Undang Dasar negara kita mengatur kewarganegaraan seseorang, yang dapat menjadi Warga Negara Indonesia adalah mereka yang peranakan yang mengakui Indonesia dan setia pada Indonesia. Dalam hal ini, meskipun saya enggan menggunakan istilah peranakan, adalah mengacu pada semua peranakan, baik itu Tionghoa, Arab, India dan lain-lain.
Memang dahulu pemerintah, terutama pada masa Orde Baru memberlakukan SBKRI atau Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia, yang jika cermat melihat konteks historisnya, muncul sebagai akibat posisi politik Orde Baru yang mengekang dan mengopresi para keturunan ini. Sepanjang yang saya baca dari buku sejarah, jaman Soekarno tidak pernah ada urusan yang begitu rumit mengenai mereka (orang Tionghoa), meskipun ada pula kebijakan Soekarno yang dianggap merepresi dalam ekonomi. Lalu mengapa, di masa yang diklaim sebagai era reformasi, kita masih mempersoalkan mereka?
Maka dalam hal ini, adalah penting bagi kita (atau setidaknya saya) untuk merujuk pada masa lampau. Masa di mana negara yang bernama Indonesia belum ada. Baca lah sejarah. Orang Tionghoa telah ada jauh sebelum gagasan mengenai keindonesiaan muncul. Barangkali asal masalahnya ada sejak masa Belanda. Ketika Batavia dibangun oleh JP. Coen pada 1619, telah ada orang-orang Tionghoa di sana. Namun ketika terjadi pemberontakan Cina (atau Chinese Troebelen) pada 1740, mereka akhirnya dilokalisir di area-area khusus, sebuah area yang kita kenal sebagai Pecinan. ketidaksukaan terhadap orang Tionghoa semakin menjadi, terutama di pribumi, dengan diletakkannya mereka sebagai Timur Jauh atau Timur Asing (yang secara legal dipisahkan dengan pribumi). Terlebih setelah mereka diberi hak khusus pada perdagangan candu, dan posisi mereka sebagai pedagang perantara.
Saya memahami sepenuhnya ketidaksukaan kita (orang pribumi) terhadap mereka (orang Tionghoa) manakala kita merujuk pada kondisi historis yang membentuk relasi dan interaksi kita (pada waktu itu). Namun apakah relevan jika saat ini kita masih menggolongkan orang-orang seperti Lenny sebagai ‘orang lain’ atau liyan, yang karenanya layak kita perlakukan berbeda? Jika iya, mengapa perlakuan kita berbeda dengan mereka yang secara faktual adalah keturunan Arab atau India? Tidak kah proses peliyanan tersebut pada hakikatnya adalah kebutaan kita terhadap sejarah kita sendiri?
Coba lah untuk menengok sejarah lebih dalam lagi. Tidak ada kah saham mereka, para peranakan itu, dalam membangun sebuah nasion yang kita beri nama Indonesia? Sebuah konsep besar yang dengannya kita rela berkorban? Saya ragu jika kita tidak menemukan peran mereka. Sungguh saya ragu. Bahkan keliru besar jika kita menutup mata (bukan kah sikap menutup mata adalah sikap pengecut dan menunjukkan kekerdilan diri?)
Sungguh saya tidak paham mengapa sebagian orang masih merasa perlu untuk membedakan antara pribumi dan non-pribumi. Barangkali untuk kasus Tionghoa ini agak lebih spesifik, sebab peliyanan atas diri mereka tidak berlaku bagi keturunan yang lain. Anggap saja begini. Jika kita meliyankan orang Tionghoa, mengapa kita tidak meliyankan orang Arab, orang India, orang Afrika, orang Portugis, atau orang mana pun? Mengapa mereka dibedakan.
Sepengetahuan saya, Indonesia menganut asas ius sanguin, atau kewarganegaraan didasarkan pada darah dari orangtua. Artinya jika orangtua anda WNI, maka anda pasti WNI. Namun bagaimana dengan peranakan? Barangkali pada masa lalu kita masih berdebat mengenai SBKRI, namun pantas kah kita berdebat soal itu saat ini? Bukan kah kita telah memiliki UU Kewarganegaraan? (saya akan bertanya dulu pada teman yang belajar hukum, sebab saya khawatir keliru dalam masalah legal formal ini).
Saya akan melupakan sejenak soal legal tersebut, sebab bagi saya hal itu bersifat elitis. Kembali ke soal Lenny. Sepengetahuan saya ayah dan ibunya adalah WNI, sebab saya tahu dari cerita Lenny, bahkan kakek dan nenek dari ayahnya adalah keturunan Tionghoa, yang ketika kebijakan pemerintah mengizinkan mereka menjadi WNI, mereka berikrar menjadi WNI. Dengan demikian, dalam kasus Lenny, sama sekali keliru menganggap dia sebagai ‘orang lain’, sebab dia adalah sama sebagai Warga Negara Indonesia. Namun saya berpikir, hal ini sama sekali tidak akan ada dalam pikiran gerombolan tersebut, bahkan saya ragu jika mereka mau merepotkan diri bertanya KTP, sebab yang ada dalam otak (itu pun jika mereka punya) mereka adalah kesenangan melecehkan dan gairah meliyankan.
Maka saya berpikir, apa yang terjadi pada teman saya itu murni adalah prasangka rasial berdasarkan anggapan bahwa dirinya berbeda dengan mereka, yang celakanya hanya berlandaskan atribut fisik. Berdasarkan asumsi superioritas dan keperkasaan semu “pribumi” yang merasa berhak melecehkan orang dari etnis atau ras lain. Adalah sebuah kegilaan jika menganggap bahwa seseorang dapat memilih dari rahim siapa dia dilahirkan. Atribut fisik adalah atribut bawaan yang tidak dapat ditolak. Saya tidak akan menyarankan teman saya itu untuk menghitamkan kulit agar dibilang sebagai “pribumi”, sebab pada dasarnya dia adalah “pribumi”, itu pun jika kita masih beriman pada konsep “pri” dan “non-pri”. Saya sendiri sudah lama mengingkari konsep “pri” dan “non-pri”, toh tidak ada manfaatnya juga mempertahankan keimana pada konsep ini. Saya berpikir harus ada upaya untuk menghentikan pembedaan dan peliyanan terhadap seseorang. Terlepas dari persoalan gender, etnisitas, rasial, agama, atau apapun, semua manusia adalah sama. Persoalannya adalah, bagaimana menggaungkan persamaan tersebut? Alih-alih berbicara persamaan, kita terlalu sibuk, atau terlalu asik?, berbicara mengenai perbedaan, hal mana yang saya pikir tidak akan membawa kita kemana pun. Harus ada jalan dan upaya ke arah sana. Setidaknya saya sudah memulai dengan menganggap semua orang sama. Sebab saya berkeyakinan hanya Tuhan yang berhak membedakan antarindividu, itu pun hanya pada soal keimanan (bahkan Tuhan sendiri tidak