RUU Kebudayaan, perlukah?

Catatan: tulisan ini adalah respon saya terhadap RUU Kebudayaan yang digodok Pemerintah dan DPR pada 2014. Saat ini RUU tersebut telah disahkan menjadi UU 5/2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Tanggapan saya atas UU tersebut dapat dibaca pada laman ini. Terima kasih.

Di tengah hingar-bingar dunia politik yang menyandera seluruh elemen bangsa saat ini, terselip satu diskusi menarik yang – sayangnya – terabaikan: Rancangan Undang-Undang Kebudayaan. Saya beruntung, meski saya bukan anggota Asosasi Antropologi Indonesia (AAI), saya berkesempatan untuk membaca naskah RUU Kebudayaan, dari seorang sahabat. Catatan ini adalah tanggapan pribadi saya atas RUU Kebudayaan, dan sebagai sebuah opini, seluruh isi dari catatan ini berada di bawah tanggungjawab saya.

Ketika saya mulai membaca RUU Kebudayaan, sejumlah pertanyaan terbersit dalam pikiran saya. Secara umum saya katakan, saya mendukung keberadaan RUU Kebudayaan ini, meski dukungan saya bukan tanpa kritik sama sekali. Catatan ini akan membahas empat hal yang menjadi kritik saya. Mungkin saya keliru dalam memahami RUU ini, namun demikian, bukan berarti kritik saya tidak bermanfaat sama sekali, bergantung pada dari sudut pandang mana kritik ini dilihat.

I

Globalisasi: proteksi atau inferior?

Salah satu hal mendasar yang segera menarik perhatian saya ada pada Menimbang hurup B, akan saya kutip lengkap:

“bahwa di tengah perubahan global yang pesat, nilai budaya dan keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh globalisasi sehingga dapat menimbulkan perubahan nilai budaya dan keanekaragaman dalam masyarakat yang mengancam identitas bangsa dan negara Indonesia”

Sepintas, tidak ada masalah signifikan dalam pertimbangan lahirnya RUU Kebudayaan, namun benarkah demikian? Saya sendiri mempermasalahkan tiga hal: Pertama, apakah kebudayaan kita sangat rentan terhadap globalisasi? Kedua, apakah kita begitu khawatirnya terjadi perubahan nilai budaya? dan Ketiga, apakah globalisasi secara nyata mengancam identitas bangsa dan negara Indonesia? Untuk menjawab tiga persoalan tersebut, ada baiknya kita merujuk pada kata kunci penting: globalisasi.

Bagi saya, amat disayangkan bahwa RUU Kebudayaan tidak menjelaskan apa yang sesungguhnya dimaksud dengan globalisasi itu sendiri. Tidak ada penjelasan apapun tentang globalisasi, baik di dalam RUU Kebudayaan maupun di dalam penjelasan atas RUU Kebudayaan. Globalisasi menjadi mantra yang diambil begitu saja, dipungut entah dari mana, dan kemudian menjadi hantu bagi kita semua. Apa sesungguhnya globalisasi? Secara sederhana saya mendefinisikan globalisasi sebagai sebuah kondisi di mana antara satu negara dengan negara lain saling terkait, di mana batas geografis meluntur, di mana ruang dan waktu dapat “dilipat” melalui perantaraan teknologi. Jika definisi globalisasi a la saya dapat disetujui, saya tidak mengerti di mana letak menakutkannya globalisasi? Tidakkah para antropolog dan sejarahwan mengerti betul, bahwa Indonesia adalah bagian dari arus globalisasi sejak masa klasik? Bukankah kedatangan bangsa Portugis, Belanda, Inggris, Cina ke Nusantara adalah globalisasi itu sendiri? Globalisasi mungkin istilah baru, tapi fakta bahwa Indonesia adalah saksi kunci dari era perdagangan, yang komoditasnya begitu dicari-cari di pasar Eropa pada masa lalu, adalah pengetahuan umum yang sudah kita ketahui bersama. Jika saat ini globalisasi menjadikan dunia maya sebagai tulang punggungnya, maka pada masa lalu kapal laut (dan bedil) adalah tulang punggung dari globalisasi. Jika masa kini yang menjadi komoditas globalisasi – sebut saja – adalah makanan siap saji, maka pada masa lalu yang menjadi komoditas globalisasi adalah rempah-rempah. Jika memang demikian, tepatkan kita khawatir pada globalisasi? Atau barangkali pembuat RUU Kebudayaan ini menafsirkan globalisasi dengan penafsiran yang lain.

Barangkali yang lebih tepat bukanlah globalisasi, melainkan gempuran “kebudayaan asing.” Bahkan istilah “kebudayaan asing” pun masih memiliki sejumlah kendala untuk dijelaskan. Istilah “kebudayaan asing” dapat secara serampangan kita benturkan dengan “kebudayaan lokal”, meski untuk memudahkan penjelasan hal itu dapat dilakukan, namun untuk sebuah rancangan Undang-Undang, jelas dibutuhkan definisi yang jauh lebih memadai. Okelah kita sepakat bahwa istilah globalisasi keliru, yang lebih tepat adalah kebudayaan asing, yang dapat kita definisikan sebagai kebudayaan yang berasal bukan dari Indonesia. Maka ada dua pekerjaan rumah penting: Pertama, menjelaskan terlebih dahulu mana “kebudayaan lokal” dan mana “kebudayaan asing.” Jika pekerjaan rumah pertama sudah dapat kita lakukan, maka tugas berikutnya –  yang Kedua – adalah menjelaskan, apakah kebudayaan asing tersebut serta merta menjadikan kebudayaan lokal atau kebudayaan Indonesia menjadi rentan? Susah ya.

Jika kita tidak sepakat atas tawaran saya, dengan tetap mempergunakan istilah globalisasi, maka izinkan saya membalik logikanya: bisakah kita menjadikan globalisasi bukan sebagai momok yang menyebabkan kerentanan, melainkan sebagai peluang untuk meneguhkan identitas nasional. Apakah bisa? Jelas bisa. Tengoklah Korea Selatan. Saya ambil contoh, hallyu atau Korean Wave, siapa yang diantara kita yang tidak mengenal Super Junior, SNSD, atau yang lebih baheula lagi, F4. Siapa dari kita yang tidak terkena demam Meteor Garden. Atau siapa di antara kita yang tidak tergila-gila pada drama Korea Selatan “Jade in the Palace”, yang bercerita  tentang seorang perempuan bernama Djang-Geum (entah pada dinasti apa)? Atau yang lebih modern, pada PSY yang dengan goyang Gangnam Style memporakporandakan jagad hiburan. Apakah kemudian karena globalisasi kita mengatakan bahwa orang Korea Selatan kehilangan identitas nasionalnya? Bisakah kita belajar, bahwa globalisasi bukanlah sebangsa pocong yang kita usir dengan merapal doa yang bernama RUU Kebudayaan?

Bagi saya, RUU Kebudayaan keliru dalam melihat globalisasi. Aspek fundamental dari RUU ini menjadikan globalisasi sebagai lawan, sehingga RUU Kebudayaan justru membawa semangat proteksionisme kebudayaan. Apa buktinya? Lihatlah pasal-pasal dalam RUU Kebudayaan. Semangatnya jelas dan tak terbantahkan: bahwa kebudayaan harus dilindungi. Lalu apakah saya tidak setuju dengan semangat itu? Saya katakan saya setuju, bahwa kebudayaan Indonesia harus dilindungi. Namun persoalannya adalah, perlindungan seperti apa? Jangan-jangan dengan dalih melindungi kebudayaan sesungguhnya kita masih mempertahankan mental inlander, bahwa kebudayaan kita kalah bersaing dengan kebudayaan dari negara lain.

Sebagai konsekuensi lanjutan dari kekhawatiran kita, maka kita memutuskan untuk “menghentikan perubahan”. RUU ini secara nyata telah menegaskan bahwa globalisasi harus ditahan agar tidak terjadi perubahan nilai budaya dan keanekaragaman dalam masyarakat. Pertanyaannya, bagaimana menghentikan globalisasi? Bagaimana menjaga kemurnian nilai budaya sehingga tidak berubah di tengah lalu lintas orang dan gagasan yang berseliweran tak terkendali? Bagaimana kita membekukan waktu di tengah ruang yang semakin mencair? Jika persoalan di atas tidak membuat anda pusing, bagaimana dengan persoalan yang juga krusial: apakah globalisasi secara nyata mengancam identitas bangsa dan negara Indonesia (padahal saya sengaja tidak mempermasalahkan konsep identitas bangsa dan negara)?

Di satu sisi, saya harus mengakui bahwa RUU Kebudayaan setidaknya menyelesaikan sebagian masalah, utamanya menyangkut bagaimana kebudayaan bangsa harus dihormati dan dijunjung tinggi. Terlepas dari masalah perlindungan kebudayaan dari globalisasi, RUU Kebudayaan setidaknya memberikan jaminan bahwa kebudayaan Indonesia akan menjadi tuan di rumahnya sendiri. Namun di sisi lain, RUU Kebudayaan berpotensi membuat satu masalah baru: Hak Kekayaan Intelektual.

II

Menyoal HAKI dan Industri Budaya

Persoalan hak kekayaan intelektual atau HAKI muncul di Paragraf 6 tentang Industri Budaya. Dalam hal ini diatur dalam Pasal 51 huruf f, Pasal 52 huruf g, Pasal 53 huruf g, Pasal 54 huruf g, Pasal 55 huruf g, dan Pasal 55A huruf g. Seluruhnya bicara dengan semangat yang sama: perlindungan hak kekayaan intelektual dalam bidang seni (Pasal 51), kerajinan (Pasal 52), permainan rakyat (Pasal 53), rancang bangun (Pasal 54), kuliner (Pasal 55), dan pengobatan tradisional (Pasal 55A).

Sebelum saya bicara soal HAKI, satu hal yang harus diperjelas terlebih dahulu dalam RUU Kebudayaan, apakah HAKI dalam RUU Kebudayaan itu adalah Hak Cipta (copyrights) ataukah Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights) yang meliputi paten, desain industri, merek, dll? Hal ini penting, sebab terdapat perbedaan mendasar antara hak cipta dengan hak kekayaan industri.

Hak cipta pada dasarnya adalah hak eksklusif untuk menyalin sebuah ciptaan. Misalnya buku yang ditulis oleh seseorang, maka orang tersebut adalah pemilik hak cipta, dialah yang memiliki hak untuk membatasi penggandaan suatu ciptaan, sehingga jika hasil karyanya digandakan di luar yang ditentukan maka itu dianggap melanggar hak cipta. Namun mesti diingat, bahwa hak cipta bukan hak kekayaan industri seperti paten yang memberikan hak monopoli atas penggunaan produk. Hak cipta tidak memiliki elemen monopoli terhadap sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain untuk melipatgandakan ciptaannya.

Dalam hal ini, HAKI dalam RUU Kebudayaan ambigu dalam menjelaskan, apakah HAKI ini adalah hak cipta ataukah hak kekayaan properti. Jika RUU Kebudayaan tidak menjelaskan jenis HAKI apa yang dimaksud, lebih kusut lagi, RUU ini tidak mengatur siapa pihak yang memiliki HAKI tersebut, apakah pemerintah (baik pusat maupun daerah) ataukah masyarakat dan/atau individu? Kedua hal ini penting, terutama untuk mencegah terjadinya saling klaim atas produk kebudayaan. Persoalan ini penting, terlebih RUU ini tidak mengatur apakah suatu produk kebudayaan dapat dipatenkan oleh individu ke dalam merek dagang.

Saya ambil contoh dodol betawi. Secara kultural, kita bisa menemukan dodol betawi di Jakarta, Bekasi, dan Depok. Sekarang misalnya, ada seorang pembuat dodol betawi di Kabupaten Bekasi, kemudian mempatenkan dodol betawi tersebut ke dalam sebuah merek dagang yang bernama “Dodol Betawi”. Bukankah para pembuat dodol betawi di Jakarta, Depok, dan Kota Bekasi harus membayar royalti karena dodol betawi sebagai makanan dan Dodol Betawi sebagai merek sudah dipatenkan, dan karenanya dianggap bukan lagi hak cipta melainkan hak kekayaan industri, terlebih karena hak kekayaan industri maka di pemilik merek dagang Dodol Betawi berhak atas monopoli nama?

Benang kusut HAKI belum selesai, karena RUU Kebudayaan tidak secara terang menyatakan HAKI apa yang dimaksud, maka RUU ini sejatinya membuka peluang sengketa merek dan sengketa HAKI. RUU ini memungkinkan semua orang, baik itu pemerintah daerah, kelompok, atau individu untuk membuat klaim paten atas produk kebudayaan demi kepentingannya sendiri. Meski saya harus mengakui, rasanya agak sulit membuat paten atas produk kebudayaan, sepanjang bahwa produk kebudayaan tersebut belum memiliki standardisasi.

Saya bicara soal standar baku atas satu produk kebudayaan. Songket misalnya, harus memiliki standar, mulai dari benang, warna, teknik pembuatan, ukuran, ketebalan kain, dan kualitas kain. Seni ukir pun demikian, harus memiliki standar kualitas kayu, kehalusan pahatan, pewarnaan, dan lain-lain. Seni tari pun demikian, harus ada aturan yang jelas soal pakaian, gerak, dan musik pengiring. Tari Gandrung misalnya, memiliki seperangkat aturan yang mengatur soal pakaian, gerak tari, raut wajah, musik, dan lain-lain untuk disebut sebagai tari Gandrung, sehingga jika satu saja persyaratannya tidak ada, maka itu bukan tari Gandrung. Ini juga menjadi persoalan, bahwa RUU hanya mengamanatkan standardisasi pranata kebudayaan (Pasal 59 ayat 2, Pasal 60 ayat 1, dan Pasal 61 ayat 2), bukan pada produk dari kebudayaan itu sendiri. Maka terus terang saja soal HAKI dalam RUU ini agak membingungkan saya. Di satu sisi, jelas semangat bahwa kebudayaan harus dilindungi, bahkan sampai ke tingkat HAKI segala. Namun di sisi lain, tidak diatur HAKI jenis apa, siapa pemilik HAKI, bahkan tidak diatur bagaimana standardisasi yang menjadi acuan bagi sertifikasi HAKI.

Terlepas dari sejumlah benang kusut, ada satu pertanyaan yang lebih fundamental tentang HAKI dan kaitannya dengan industri budaya: apa yang sesungguhnya dipikirkan ketika kita bicara mengenai industri budaya dalam RUU Kebudayaan? Dalam Pasal 49 ayat 1, Industri budaya diarahkan pada tiga hal: (1) pembangunan ekonomi kreatif, (2) keseimbangan nilai pelestarian dan nilai ekonomi, dan (3) menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat.

Membaca tiga tujuan dari industri budaya, sulit rasanya untuk tidak sampai pada kesimpulan bahwa yang dimaksud dalam industri budaya sesungguhnya adalah komersialisasi kebudayaan. Bahwa kebudayaan di Indonesia dilestarikan untuk dijadikan komoditas yang memiliki nilai ekonomis, dan karena kebudayaan memiliki nilai ekonomis, maka kebudayaan Indonesia harus dilindungi melalui instrumen HAKI. Benarkah logika saya? Jika benar, maka RUU Kebudayaan ini berpotensi menyandera kebudayaan itu sendiri. Semangat proteksionisme dikedepankan sebagai upaya pengalih perhatian dari tujuan dasarnya: bahwa kebudayaan harus mendatangkan pundi-pundi pendapatan.

Saya tidak dalam posisi untuk mengatakan bahwa hal tersebut benar atau salah – saya mempertanyakan landasan tersebut karena poin berikutnya akan menjadi kunci, apakah RUU Kebudayaan memang diperlukan – namun izinkan saya bertanya, jika kebudayaan dilihat sebagai komoditas, apa bedanya dengan yang telah dilakukan selama ini di bidang pariwisata? Jika memang demikian, mengapa RUU ini perlu repot-repot mengusulkan dibentukan kementerian baru yang secara khusus membidangi kebudayaan?

III

Menyoal Kementerian Kebudayaan

Adalah Pasal 8 ayat 1 yang membuat kepala saya berputar-putar. Pasal 8 ayat 1 mengamanatkan (saya kutip lengkap) “dalam rangka pengelolaan kebudayaan, dapat dibentuk satu kementerian yang khusus menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebudayaan”. Bahkan sudah ada ketentuan peralihan dalam Pasal 90, bahwa “Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetap melakukan tugas dan tanggungjawabnya sampai dengan terbentuknya kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8”. Rasanya saya tidak mungkin keliru, bahwa salah satu keluaran yang paling signifikan adalah terpisahnya kebudayaan menjadi satu kementerian tersendiri, ya kita sebut saja Kementerian Kebudayaan. Pertanyaannya, apakah itu perlu? Jawaban saya tidak. Saya akan berikan empat alasan mengapa Kementerian Kebudayaan tidak perlu lahir.

Pertama, lahirnya Kementerian Kebudayaan jelas merupakan suatu pemborosan anggaran dan waktu. Soal pembentukan kementerian bukan hanya soal pelantikan seorang menteri, namun juga soal pembuatan gugus kerja di kementerian. Artinya, kementerian yang baru ini harus membangun satu gugus kerja, merekrut para eselon, membuka posisi PNS, dan lain sebagainya. Ini jelas bukan semata urusan membaca sumpah jabatan satu orang ataupun menggaji satu orang. Ini melibatkan ratusan, atau mungkin ribuan orang. Lebih jauh, berapa waktu yang diperlukan agar Kementerian Kebudayaan ini siap bekerja dengan mesin menyala penuh? Dua tahun? Tiga tahun? Lima tahun?

Kedua, lahirnya Kementerian Kebudayaan jelas membuat RUU Kebudayaan kehilangan sebagian argumen kuncinya: soal pendidikan multikultural. Dalam Paragraf 3 mengenai Jati Diri dan Karakter Bangsa, tertulis dengan jelas bahwa pendidikan adalah salah satu pondasi pembangunan jati diri dan karakter bangsa. Dalam Pasal 24 ayat 1 (saya kutip lengkap) “Peneguhan Jati Diri dan pembangunan Karakter Bangsa melalui pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf d diwujudkan dengan pembentukan dan/atau perumusan sistem pendidikan yang mengarusutamakan kebudayaan”. Hal ini semakin diperkuat dengan Pasal 32 ayat 1, yang menyatakan bahwa “Penumbuhan dan pemeliharaan Multikulturalisme melalui pendidikan yang berbasis Multikulturalisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28  huruf c, diwujudkan melalui: (a) pelaksanaan kebijakan pendidikan yang multikultural, (b) penanaman dan pengembangan nilai multikulturalisme, (c) pengembangan kurikulum yang multikultural, dan (d) pengembangan kegiatan ekstrakurikuler yang multikultural.”

Apa yang sesungguhnya ingin saya sampaikan adalah ketidaklogisan dari RUU Kebudayaan yang ingin memisahkan antara kebudayaan dengan pendidikan. Saya gembira ketika kebudayaan berada di bawah naungan kementerian pendidikan, ketimbang sebelumnya yang berada di bawah kementerian pariwisata. Bagi saya, tidak mungkin memisahkan pendidikan dari kebudayaan, dan demikian pula sebaliknya. Ini adalah hubungan yang saling simbiotik dan komplementer, sehingga amat tidak logis jika RUU Kebudayaan justru mendorong agar kebudayaan terpisah dari pendidikan.

Pertanyaannya adalah, bagaimana kementerian ini menjalankan amanat UU Kebudayaan di bidang Jati Diri dan Karakter Bangsa maupun penguatan multikulturalisme yang terang-terangan bergerak di bidang pendidikan jika pendidikan dipisahkan dari kebudayaan? Memang masalah pendidikan tidak hanya di tangan Kementerian Pendidikan per se, namun harus diingat bahwa ketika bicara mengenai kurikulum, maka nomenklaturnya berada di bawah domain Kementerian Pendidikan. Apakah yang dipikirkan adalah, buat saja dulu Kementerian Kebudayaan, toh nanti bisa diadakan kerja sama antara Kementerian Pendidikan dengan Kementerian Kebudayaan untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis kebudayaan dan multikulturalisme untuk pembentukan jati diri bangsa. Pepesan kosong macam apa ini? Mau dibuang kemana nalar dalam membentuk RUU ini? Apakah karena alasan bahwa karena kebudayaan kurang dipikirkan ketimbang pendidikan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sehingga lebih baik kebudayaan menyatakan diri merdeka dengan membentuk Kementerian Kebudayaan? Apakah saya salah jika menganggap itu hanyalah balas dendam – yang celakanya tidak berpikir jauh ke depan?

Ketiga, mengingat RUU Kebudayaan sangat terfokus pada upaya perlindungan, pemeliharaan, dan perencanaan pengelolaan kebudayaan, maka apakah saya keliru menafsirkan bahwa semangat RUU ini lebih pada pemberian nilai ekonomis pada kebudayaan? Dalam artian bahwa RUU ini sejatinya melindungi kebudayaan agar dapat memperoleh manfaat finansial dari perlindungan itu? Jika memang demikian, tidak perlu dibuat Kementerian Kebudayaan, cukup kembali ke rumah lama di Kementerian Pariwisata, selesai masalah.

Bagi saya RUU Kebudayaan ini ambigu dalam menentukan posisinya. Di satu sisi ingin lepas dari Kementerian Pendidikan namun gagap dalam menjelaskan bagaimana RUU ini diimplementasikan terutama ketika menyangkut soal kurikulum dan pendidikan. Di sisi lain, RUU ini nampaknya malu-malu kucing untuk menyatakan ketertarikan untuk kembali ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Di satu sisi protes karena dianaktirikan, di sisi lain menyadari betul bahwa pindah rumah tidak membuat statusnya sebagai “anak tiri” akan berubah. Solusi untuk mendirikan Kementerian Kebudayaan yang jelas bersinggungan langsung dengan Kementerian Pendidikan dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif jelas naif, terkecuali RUU ini dapat menyatakan dengan jelas dan terbuka, alasan mengapa Kementerian Kebudayaan mutlak perlu hadir. Disinilah persoalannya. Saya tidak melihat alasan yang benar-benar mendesak sehingga kebudayaan perlu diatur dalam satu kementerian yang mandiri. Mengapa? Jelas terlihat, bahwa pengelolaan kebudayaan sebagaimana diatur dalam RUU Kebudayaan tidak jauh-jauh amat dari domain pariwisata dan perdagangan. 

Keempat, Kementerian Kebudayaan tidak perlu ada karena jelas tidak membawa pemahaman atas “kebudayaan” ke arah yang lebih baik. Saya melihat bahwa semangat yang diusung oleh RUU Kebudayaan, dalam bagian Menimbang poin c, adalah “pengelolaan kebudayaan secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu”, tidak bisa tidak, hal ini dapat diartikan sebagai upaya untuk mengelola kebudayaan yang selama ini dianggap tidak terkelola dengan baik, tidak terencana, tidak terkoordinasi, dan tidak terpadu. Maka pertanyaannya, benarkah kebudayaan kita selama ini tidak terencana, tidak terkoordinasi, dan tidak terpadu?

Ada baiknya kita menimbang kembali masa di mana kebudayaan masih satu atap dengan pariwisata. Saya mengakui secara terbuka, bahwa kebudayaan pada masa itu dilihat hanya sebatas objek pariwisata. Pada masa itu kebudayaan tidak dilihat sebagai sesuatu yang bersifat abstrak, melainkan dilihat dalam wujudnya yang paling konkret: seni tari, rumah tradisional, pakaian tradisional, maupun kuliner. Persoalannya adalah, ketika kebudayaan pindah rumah ke Kementerian Pendidikan, belum nampak perubahan signifikan dalam memahami kebudayaan. Ibarat keluar dari mulut macan, kebudayaan kini masuk dalam mulut buaya. Nah di titik inilah saya mempertanyakan, apakah ketika kebudayaan menjadi satu kementerian sendiri, sudut pandang mengenai kebudayaan akan berubah? Jangan-jangan kita melepaskan kebudayaan dari mulut macan kini masuk ke mulut ular beludak? Alih-alih menyelesaikan masalah, RUU ini justru membuat masalah baru yang sama saja dengan yang sudah ada sebelumnya.

Meski dalam Pasal 1 ayat (1) RUU Kebudayaan menafsirkan kebudayaan sebagai “keseluruhan gagasan, perilaku dan hasil karya manusia dan/atau kelompok manusia yang dikembangkan melalui proses belajar dan adaptasi terhadap lingkungannya yang berfungsi sebagai pedoman untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”, namun dalam pasal-pasal berikutnya, kebudayaan lagi-lagi dilihat dalam wujud yang paling konkret: produk dari kebudayaan. Memang ada semangat mendorong multikulturalisme di sana, namun semangat itu paling mentok hanya sampai perilaku. Barangkali memang sifat dasar sebuah undang-undang sebagai produk hukum, sehingga harus bersifat konkret dan tidak multitafsir, namun bagi saya, RUU ini tidak mengubah sudut pandang negara atas kebudayaan secara fundamental.

Lihatlah bagaimana RUU ini begitu bersemangatnya membahas mengenai pengelolaan kebudayaan, mulai dari Pasal 4 hingga Pasal 82, mulai dari tahap perencanaan hingga penyelenggaraan. Lihatlah bagaimana Pasal 10 secara terang benderang menyatakan bahwa “Perencanaan Pengelolaan Kebudayaan dilakukan di tingkat pusat dan daerah”, bahkan dalam Pasal 12 ayat 1 dikatakan bahwa perencanaan diwujudkan dalam rencana induk nasional pengelolaan kebudayaan. Maka saya tidak perlu bertanya siapa yang memiliki wewenang untuk itu, jelas pemerintah pusat. Maka saya pun bertanya, bagaimana mungkin kita bisa berharap pada RUU ini jika kebijakan untuk kebudayaan saja masih bersifat top-down? Di mana peran masyarakat dalam perencanaan kebudayaan? Rupanya kita masih belum beranjak kemana-mana, masih jadi penonton di pinggir arena.

Maka maafkan saya jika saya mengatakan, bahwa keberadaan RUU ini hanya sekedar melepas dahaga setelah lari jauh. Kita memang lega, tapi hanya sebentar, kemudian kita menyadari, rupanya garis finish masih teramat jauh.