Hanya di media sosial “kami” merasa aman

Catatan: tulisan ini adalah perbaikan dari tulisan saya “in social media we trust: LGBT and social media network in Indonesia” yang dipresentasikan dalam ICMCC yang diselenggarakan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia. Sejumlah penambahan dan revisi sudah dilakukan.

Siapa yang tidak memiliki akun media jejaring sosial? Terdapat 43,6 juta akun facebook yang dimiliki penduduk Indonesia, atau lebih dari 70% pengguna internet di Indonesia (Pikiran Rakyat 2012). Dengan begitu banyaknya pemilik akun jejaring sosial, tidak mengherankan jika berbagai komunitas terbentuk dan informasi berseliweran dengan bebas dalam jejaring sosial tersebut, termasuk di dalamnya komunitas LGBT. Tulisan ini mencoba mengkaji salah satu grup di facebook yang bernama “Forum Mengenal, Memahami & Bersahabat Dengan Homoseksualitas” dengan dua pertanyaan dasar: bagaimana mereka memanfaatkan media jejaring sosial dan mengapa mereka memanfaatkan media tersebut. Dengan memahami latar belakang penggunaan jejaring sosial oleh komunitas LGBT, kita dapat memahami mengapa jejaring sosial menjadi sangat berperan dalam penyebaran informasi bagi komunitas ini, dan terutama apa peran dasarnya dalam konteks masyarakat multikultural Indonesia.

Dalam masyarakat multikultural, media memainkan peran yang yang signifikan karena melalui media lah arus informasi diletakkan. Begitu pentingnya media, sehingga menjadi tidak masuk akal, manakala kita berbicara mengenai masyarakat multikultural, atau multikulturalisme secara konseptual, kita melewatkan media. Persoalannya adalah, media tidak pernah bermain adil. Bahkan dalam fungsi dasar media sebagai saluran informasi, media lah yang menentukan informasi apa yang disampaikan, dan tentu saja hal ini berkaitan erat dengan kebijakan redaksi maupun aturan perundang-undangan (Cunningham 2005, Harvey 2005).

Media semakin berkembang, dari teknologi analog ke teknologi digital, dari telegraf ke internet, dan terus meningkat peran dan penggunaannya (Winston 1998). Salah satu yang paling berkembang pesat adalah internet. Sejak dikembangkan oleh Tim Berners-Lee dan Robert Cailliau di CERN pada 1990, internet telah media yang paling banyak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari (Bakardjieva 2005, Bell 2009, Marshall 2004). Di antara perkembangan world wide web yang paling mengagumkan, saat ini, adalah kemunculan media jejaring sosial.

Media jejaring sosial seperti facebook dan twitter, dalam pengertian luas, memainkan peran signifikan, tidak hanya sekedar perkembangan teknologi, namun juga telah menjadi penanda identitas dalam konstelasi sosial dan kultural. Lebih jauh, media jejaring sosial juga menjadi area utama dalam menyuarakan identitas itu sendiri. Di sisi berbeda, keberadaan media jejaring sosial membuka topik diskusi baru: mungkinkah computer mediated communication dapat menjalankan fungsi interaksi sosial, di mana interaksi sosial menjadi salah satu aspek fundamen dari masyarakat multikultural?.

Stevenson (2002) dan Thurlow, Lengel dan Tomic (2004) telah dengan sangat baik menjelaskan bahwa computer mediated communication dapat menjembatani persoalan fisik dalam interaksi sosial. Namun satu hal yang terlewat: bahwa media jejaring sosial sesungguhnya tidak lah membutuhkan pertemuan mata untuk memulai suatu interaksi. Media jejaring sosial dapat menjadi arena publik, di mana setiap orang dapat saling menyapa melampaui batasan ruang dan waktu.

Tidak hanya menghilangkan batasan ruang dan waktu, media jejaring sosial juga menghilangkan batasan utama media: tekanan dari pemerintah. Berbeda dengan televisi, surat kabar maupun radio, internet, dalam hal ini media jejaring sosial, adalah area terbuka bagi semua orang (van Dijk 2006, Hartley 1999, Mayo 2009), termasuk kelompok minoritas. Argumen bahwa media jejaring sosial sebagai wadah bagi semua orang membawa kita pada satu diskusi mendasar: bagaimana pemanfaatan media jejaring sosial oleh komunitas atau kelompok minoritas dalam konteks media dan masyarakat multikultural?

Tulisan ini, sejauh yang saya maksudkan, bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan dasar: Pertama, sejauhmana komunitas minoritas LGBT mempergunakan media jejaring sosial dalam aktivitas mereka? Mengapa jejaring sosial dipilih ketimbang media lainnya? Apa kelebihan media jejaring sosial ketimbang media mainstream?. Kedua, bagaimana pengaruh penggunaan media jejaring sosial dalam konteks masyarakat multikultural di Indonesia?. Kedua pertanyaan tersebut menjadi penting, sebab dalam masyarakat yang multikultural sekalipun, keberadaan komunitas minoritas selalu menjadi isu tersendiri yang seringkali terlupakan dalam memori kolektif masyarakat.

Ketika saya bicara komunitas minoritas, saya membatasi diri saya hanya pada komunitas homoseksual, yang secara umum merujuk pada komunitas LGBT. Lebih sempit, secara pribadi, saya hanya berbicara satu grup dalam jejaring sosial Facebook, yakni Forum Mengenal, Memahami & Bersahabat Dengan HOMOSEKSUALITAS (untuk selanjutnya hanya akan disebut Forum). Bagi saya, terdapat tiga alasan mengapa saya menganggap Forum ini penting dikaji. Pertama, dalam komunitas minoritas, komunitas homoseksual adalah komunitas yang paling minoritas dan terpinggirkan. Kedua, sepanjang pengamatan saya, sebagai sebuah wadah, Forum ini adalah satu dari sedikit forum LGBT yang paling aktif di jejaring sosial. Ketiga, Forum ini adalah forum yang paling terbuka dari sisi keanggotaan, dengan tidak membatasi diri hanya individu, yang secara orientasi seksual, homoseksual namun juga heteroseksual. Dengan memahami tiga alasan tersebut, akan menjadi jelas mengapa saya mengangkat Forum ini.

Untuk tujuan penulisan, saya melakukan analisis isi terhadap tulisan yang ada dalam Forum ini, terentang sejak Mei-Juli 2012, dan mengadakan survey dalam jaringan, menggunakan accidental sampling yang diikuti oleh 68 anggota dari Forum tersebut. Survey dalam jaringan secara khusus saya lakukan untuk menjaring pendapat dari anggota Forum mengenai keterlibatan mereka dalam Forum tersebut dan bagaimana mereka memanfaatkan Forum tersebut untuk kepentingan mereka sendiri.

Forum Mengenal, Memahami & Bersahabat dengan HOMOSEKSUALITAS

Forum Mengenal, Memahami & Bersahabat dengan HOMOSEKSUALITAS adalah salah satu dari beberapa forum yang berkaitan dengan topik homoseksual di media jejaring sosial. Di luar Forum ini, terdapat beberapa forum atau laman lain yang dimiliki oleh yang dimiliki oleh individu-individu maupun lembaga-lembaga seperti Gaya Nusantara, Ardhanari Institute, dan lain sebagainya. Forum ini terbuka bagi semua orang, meskipun untuk bisa melihat isi postingan, seseorang harus masuk ke dalam Forum tersebut. Tidak diketahui dengan pasti kapan Forum ini mulai dibentuk, namun setidaknya Forum ini telah ada pada saat saya bergabung sebagai anggota pada medio 2011 lalu. Hingga akhir Juli 2012, Forum ini memiliki 235 anggota yang terdiri dari berbagai latar belakang, mulai dari aktivis, akademisi, peneliti, jurnalis, hingga masyarakat umum.

Dari survey yang dilakukan, 64,2% anggota merupakan kolega atau dimasukkan oleh individu yang telah menjadi anggota dalam Forum tersebut, hanya 12,7% yang secara sengaja meminta bergabung dalam grup tersebut. Dengan formasi yang didominasi oleh anggota yang merupakan undangan, Forum tersebut sesungguhnya menjadi salah satu wadah pertemuan di antara penggiat dalam komunitas yang sudah saling mengenal satu sama lain di dunia nyata. Meski didominasi oleh orang-orang yang saling mengenal, namun sebagiannya adalah orang-orang baru yang memiliki ketertarikan dengan isi diskusi yang dibahas oleh anggota Forum ini.

Berdasarkan keterangan yang tercantum, keberadaan Forum ini adalah sebagai area diskusi untuk membahas topik homoseksualitas dengan lebih bebas dan terbuka. Sebagai forum terbuka untuk berdiskusi, Forum ini dipenuhi banyak posting menarik. Sejak Mei-Juli 2012, terdapat 241 posting dalam Forum ini dengan perincian sebagai berikut: 166 posting agenda kegiatan yang didominasi oleh informasi kegiatan yang dilakukan oleh komunitas maupun organisasi LGBT. Informasi kegiatan yang diposting lebih banyak diposisikan sebagai liputan atas kegiatan yang telah dilakukan seperti seminar, workshop, nonton bersama, maupun penyuluhan kesehatan. Lokasi kegiatan yang dilakukan pun relatif tersebar, tidak hanya di Jakarta maupun Surabaya, namun juga di kota-kota lainnya; 32 tautan berita media terkait dengan kegiatan maupun informasi umum komunitas LGBT; 18 posting cerita pendek yang umumnya bersumber dari akun-akun pribadi anggota yang ditautkan ke dalam Forum; 21 posting bebas yang meliputi artikel, tinjauan buku, maupun esai; dan 4 posting permintaan melakukan penelitian survei dari perseorangan, termasuk di dalamnya adalah permintaan saya untuk keperluan penulisan tulisan ini.

Meskipun memiliki 235 anggota, tidak banyak yang aktif dalam Forum ini. Hanya sekitar sepertiga, atau sekitar 76 anggota, yang benar-benar aktif dalam mengirimkan dan/atau berkomentar terhadap posting yang ada dalam Forum tersebut. Sebagaian besar posting yang dikomentari adalah agenda kegiatan yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga LGBT yang memang secara rutin mengadakan kegiatan atau pun tautan berita media yang berkaitan dengan kegiatan maupun aktivitas dari komunitas LGBT.

Menolak subjektivitas media: jejaring sosial sebagai media alternatif?

Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab adalah, mengapa media jejaring sosial? Dalam survey yang diberikan, 73,7% responden menyatakan bahwa penggunaan media jejaring sosial ditujukan untuk menumpahkan kekecewaan mereka atas subjektivitas media mainstream. Benarkah media objektif dalam melakukan framing atas komunitas LGBT? 87,6% responden anggota Forum menolak anggapan objektivitas tersebut. Bagi mereka, subjektivitas media lebih mengemuka jika berhubungan langsung dengan komunitas LGBT. Dalam banyak pemberitaan media massa mainstream, merujuk pada surat kabar, radio, maupun televisi, homophobia menjadi sangat dominan ketika berbicara mengenai komunitas LGBT.

Salah satu kasus menarik terjadi ketika kedatangan Irshad Manji. Sebagai pihak yang datang, diminta, untuk berbicara di suatu forum, penghentian diskusi oleh salah satu kelompok keagamaan menjadi trending topic di media massa,[1] termasuk jejaring sosial. Jika diperhatikan pemberitaan yang disampaikan oleh media mainstream menjadi sangat tendensius, terutama ketika mengaitkan dengan orientasi seksual dari Irshad Manji itu sendiri, bukan substansi topik yang dibicarakan dalam diskusi tersebut. Sebagai komunitas yang dituduh melakukan propaganda, komunitas LGBT sangat tidak diperhatikan oleh media. Suara komunitas LGBT menjadi menjadi liyan yang tidak diperhatikan, terdakwa yang pembelaannya tidak layak didengar.

Persoalan subjektivitas media menjadi persoalan tersendiri dalam komunitas LGBT. Permasalahannya terletak pada posisi LGBT yang lebih ditempatkan sebagai common enemy oleh media. Sebagai musuh bersama, komunitas LGBT harus berupaya keras untuk menjadikan media sebagai kolega untuk menyebarkan informasi dari komunitas LGBT. Di sini lah titik krusial itu berada. Bahwa media massa bukan lah sahabat terbaik bagi komunitas LGBT, sehingga diperlukan media lain, alternatif ruang yang lebih terbuka: internet.

Internet menjadi jalur alternatif yang dipergunakan oleh komunitas LGBT, ketimbang media massa mainstream, dalam penyebaran informasi dan agenda LGBT. Pada surat kabar misalnya, nyaris tidak dijumpai informasi agenda LGBT kecuali kegiatan-kegiatan yang dilakukan komunitas LGBT yang terkemuka, itu pun hanya di wilayah-wilayah tertentu, seperti kegiatan Gaya Nusantara maupun Ardhanary Institute yang diliput oleh media lokal dan nasional. Sebagaimana surat kabar, media televisi pun sangat jarang menjadi medium informasi bagi LGBT. Demikian pula radio, yang meskipun mempunyai segmentasi yang berbeda, namun menempati posisi yang nyaris sama: menjadikan kegiatan komunitas LGBT hanya sebagai feature, informasi selingan yang ringan dan remeh.

Secara ideal, media merupakan area terbuka yang aksesnya dapat dinikmati oleh siapa saja, tanpa terkecuali (Stevenson 2002). Dalam praksisnya, media tidak luput dari sudut pandang media dan pengaturan pemerintah (Harvey 2005). Informasi mengenai komunitas LGBT misalnya, nyaris hanya berkutat pada satu sisi: bagaimana penolakan atas komunitas LGBT. Sangat sedikit kegiatan komunitas LGBT yang mendapatkan liputan positif dari media.

Di tengah ketidakacuhan media mainstream, penggunaan internet sebagai media informasi perlahan menjadi arus utama. Hampir semua komunitas LGBT mempergunakan media internet sebagai corong suara mereka, terutama dengan semakin mudahnya akses internet dan semakin terjangkaunya pembuatan laman resmi bagi masing-masing organisasi. Di luar laman-laman resmi tersebut, lebih banyak lagi blog maupun akun jejaring sosial yang dimiliki oleh individu-individu yang menyuarakan hal sama. Keberadaan laman-laman resmi dari berbagai organisasi maupun blog yang dimiliki oleh individu tetap memiliki sejumlah keterbatasan mendasar: laman-laman tersebut boleh jadi minim pengunjung.

Di satu sisi, keberadaan laman maupun blog menjadi solusi bagi keterbatasan ruang gerak yang dibatasi dalam media mainstream. Namun di sisi lain, terdapat dua masalah krusial: Pertama, terkait erat dengan perawatan dari blog itu sendiri, baik dari biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai hosting dan domain, dan lebih penting lagi adalah hidupnya laman dan blog sangat bergantung pada aktif atau tidaknya pengurus laman atau blog. Tidak semua laman dan blog memiliki pengurus yang aktif dalam melakukan update isi dari laman dan blog itu sendiri. Kedua, tidak semua orang memiliki ketertarikan untuk mampir ke laman atau pun blog.

Kedua masalah di atas menjadi satu batu sandungan bagi ketersediaan informasi di luar media mainstream, maka media jejaring sosial menjadi penyelamat yang mampu menyelesaikan kedua masalah tersebut: gratis dan terbuka, bahkan bagi mereka yang secara tidak sengaja menuliskan kata kunci dalam mesin pencari. Hal ini yang nampaknya menjadi pertimbangan bagi terbentuknya Forum ini, yakni satu fakta mendasar, bahwa media jejaring sosial seperti facebook dapat menjadi medium alternatif sekaligus paling ampuh dalam menyelesaikan persoalan akses informasi.

Forum ini menjadi satu dari sedikit forum diskusi bagi komunitas LGBT yang terbuka bagi semua orang. Dalam salah satu wawancara virtual dengan pengurus Forum, Forum ini bertujuan sebagai arena diskusi dan penyebaran informasi komunitas LGBT secara bebas dan terbuka. Dalam Forum ini, semua anggota adalah setara, di mana setiap orang dapat memberikan informasi kegiatan, kliping sekaligus saling bertukar pikiran mengenai informasi dalam Forum tersebut. Fungsi dasar media jejaring sosial seperti facebook mengalami perkembangan fungsi. Dari sekedar menjadi wadah pertemanan antarindividu, menjadi area bersama di mana informasi dengan bebas berseliweran, dan setiap orang memiliki hak yang sama dalam menyuarakan suara dan pendapat mereka. Kondisi yang nyaris mustahil dilakukan dalam media mainstream, terkecuali radio atau televisi komunitas tentunya.

Media jejaring sosial dalam derajat tertentu, dengan sangat meyakinkan, menggantikan fungsi yang dimainkan oleh media mainstream untuk penyebaran informasi maupun ruang diskusi bagi komunitas LGBT. Dengan digunakannya computer-mediated communication dalam format media jejaring sosial, ruang dan waktu menjadi persoalan yang tidak perlu dikhawatirkan. Lebih jauh, penggunaan media jejaring sosial menghapus batasan-batasan yang selama ini menghadang komunitas LGBT ketika berhadapan dengan media. Media jejaring sosial secara langsung membuka ruang diskusi yang jauh lebih luas dan terbuka. Dengan adanya ruang ini, di mana setiap orang bebas masuk dan bebas keluar, bendungan arus informasi menjadi sulit, jika tidak mau dikatakan mustahil, untuk dilakukan. Dengan demikian, dibandingkan dengan media mainstream luar jaringan, media jejaring sosial dalam jaringan (online) menjadi godaan yang sulit untuk diabaikan.

Meninggalkan media “mainstream”? Media dalam konteks masyarakat multikultural

Satu pertanyaan mendesak, apa efek yang dimuncukan oleh media jejaring sosial dalam konteks masyarakat multikultural? Bagi saya, penting untuk diingat, meskipun internet membuka akses luas bagi semua segmen, terutama dengan semakin mudahnya akses internet hingga ke pelosok pedesaan, namun internet mempunyai keterbatasan: ia hanya bisa diakses selama koneksi dalam jaringan terjadi. Namun internet, melalui media jejaring sosial menawarkan satu pendakatan yang benar-benar baru dan radikal: ia menghapus batasan yang selama muncul dalam media mainstream (Bailey, Cammaerts, dan Carpentier 2007). Dengan adanya interaksi multiarah, antara si pemberi posting dengan orang-orang yang membaca dan berkomentar atas posting tersebut, membuka ruang diskusi yang selama ini terkunci dalam gatra media mainstream (Bakardjieva 2005, van Dijk 2006, Marshall 2004).

Media televisi misalnya, meski beberapa tayangan memperbolehkan penonton untuk turut memberikan komentar, namun apa yang ditayangkan sepenuhnya bergantung pada kebijakan redaksi dan peraturan yang mengikat (Hartley 1999, Harvey 2005). Berbeda dengan media jejaring sosial, di mana setiap orang memiliki hak yang sama untuk menautkan berita atau memberikan posting nyaris tanpa sensor. Si pembaca posting pun, dengan hak yang sama, dapat berkomentar atas isi posting tersebut, pun nyaris tanpa sensor. Dengan model interaksi yang terbuka bebas, ruang diskusi atas satu topik menjadi sangat hidup sebab masing-masing pihak, si pembuat posting dan penanggap, dapat saling mengeluarkan pendapat mereka.

Dalam sudat pandang ini, media jejaring sosial sesungguhnya telah mendorong pendulum dalam dunia media: berayun dari media satu arah menjadi media yang multiarah, dan menjadi ruang publik di mana setiap orang bebas untuk masuk dan mengekspresikan diri (Lim 2003, Moyo 2009). Konsekuensi logis dari semakin meningkatnya penggunaan media jejaring sosial adalah semakin tergesernya fungsi informatif yang selama ini dikuasai oleh media mainstream. Jika selama ini masyarakat hanya mendapat informasi dari apa yang tersaji di surat kabar, televisi maupun radio, kini mereka memiliki saluran lain yang dapat mereka pilih (Winston 1998).

Meskipun saya sepenuhnya percaya bahwa posisi media mainstream akan sulit digantikan sepenuhnya oleh internet, namun harus diakui, bahwa fungsi dasar informatif tidak lagi dikuasai oleh media mainstream. Hal ini lah yang secara sadar diketahui oleh para anggota Forum. Mereka menyadari sepenuhnya, bahwa ketidakberpihakan media mainstream atas agenda maupun kegiatan komunitas LGBT tidak berarti akan membuat langkah mereka terhenti. Media jejaring sosial menjadi pilihan yang diambil oleh para anggota Forum, baik secara individu maupun untuk kepentingan Forum itu sendiri.

Lalu apa pengaruhnya dalam konstelasi masyarakat multikultural? Bagi saya, pengaruh utama keberadaan media jejaring sosial adalah pemecah kebekuan dalam kondisi masyarakat yang rigid. Sebagai suatu bangsa, konsep masyarakat multikultural tidak lah sebatas imaji atau pun harapan, sebab Indonesia sejatinya telah mengenal konsep itu jauh sebelum founding fathers kita merayakan keberagaman tersebut. Dalam praksisnya, apa yang kita anggap sebagai masyarakat multikultural tidak lebih dari retorika di atas kertas. Media mencerminkan hal tersebut.

Media tidak lah membuka diri bagi semua orang dengan semua agenda dan kepentingan. Media secara sadar melakukan kotak-kotak, dan memasukkan informasi ke dalam kotak-kotak tersebut. Persoalannya adalah, mereka menempatkan komunitas LGBT dalam kotak yang tidak pernah dikeluarkan. Sangat sedikit, jika tidak mau dikatakan tidak ada, berita mengenai komunitas LGBT dalam pemberitaan media. Jika pun ada pemberitaan, lebih banyak pada pemberitaan negatif yang menyudutkan komunitas LGBT. Tanpa kesempatan untuk melakukan pembelaan, media mainstream nyaris menutup semua pintu akses atas pemberitaan.

Dalam konteks multikulturalisme, media telah gagal dalam menyajikan informasi bagi semua orang. Bahkan lebih jauh, bagi saya, media telah mengabaikan semangat perbedaan yang digaungkan. Dengan menekan kelompok minoritas, dalam hal ini komunitas LGBT, media telah membungkam hak bersuara satu kelompok dan secara langsung mengalahkan suara dan kepentingan masyarakat luas. Dengan hanya menyajikan apa telah diputuskan oleh redaksi atau penanggungjawab program, media mainstream menutup ruang diskusi sekaligus interaksi.

Media jejaring sosial, dengan sangat luar biasa aneh, justru menjadi solusi atas masalah ini. Alih-alih terjebak dalam satu pandangan baku sebagian pihak bahwa interaksi dalam masyarakat harus diwujudkan dalam tatap muka, media jejaring sosial menjungkirbalikan anggapan bahwa computer mediated communication justru menjadi juru selamat. Interaksi justru dilakukan melalui layar monitor atau pun panel telepon genggam (Thurlow, Lengel dan Tomic 2004). Melalui media jejaring sosial lah interaksi yang jauh lebih intens terjadi.

Forum ini menjadi saksi bisu bagaimana komunitas LGBT, dengan segala keterbatasan yang ada ketika berhadapan dengan media mainstream, berjuang dalam mempertahankan hak mereka dalam konteks multikulturalisme dan masyarakat multikultural. Media jejaring sosial dengan sangat baik telah dimanfaatkan sebagai ruang publik yang membongkar seluruh keterbatasan dan membuang jauh semua rintangan (Lim 2003), menjadi digital democracy di mana setiap orang memiliki hak bicara penuh tanpa takut intimidasi (Moyo 2009). Keterbatasan bukan menjadi alasan bagi mereka untuk terus berbagi cerita, informasi, maupun menyebarkan agenda. Penyebaran gagasan menggunakan media jejaring sosial akan terus berjalan nyaris tanpa sensor dan tekanan.

Penutup

Sejauh ini saya telah mencoba menjelaskan satu hal: ketidakberpihakan media mainstream atas komunitas LGBT bukan lah akhir dari segalanya. Alih-alih berteriak memaki dan menyalahkan media mainstream, komunitas LGBT justru memanfaatkan internet sebagai alternatif pilihan. Media jejaring sosial menjadi pilihan yang mereka ambil, bukan karena begitu terbatasnya pilihan media yang tersedia bagi mereka, karena mereka toh bisa mempergunakan jaringan internal mereka, namun karena mereka mengetahui betul potensi yang dimiliki oleh media jejaring sosial.

Media jejaring sosial menjadi media yang membuka ruang seluas-luasnya bagi komunitas LGBT. Jika laman resmi maupun blog dapat membuka ruang komunikasi antara pemilik laman dan blog dengan pengunjung, maka media jejaring sosial melangkah lebih jauh. Ia membuka ruang diskusi atas beragam topik tanpa sensor dan tanpa tekanan. Media jejaring sosial menumbuhkan kesempatan baru bagi semua pihak untuk berpartisipasi dan berdialog, suatu tawaran yang tidak pernah ditawarkan oleh media mainstream.

Terlepas dari bangunan argumen yang coba saya susun, tulisan ini tentu memiliki sejumlah kekurangan. Secara sadar saya menempatkan diri sebagai pihak luar yang bersimpati atas keterbatasan yang dimiliki komunitas LGBT. Saya senang sekaligus turut merayakan atas keberadaan Forum ini yang sedikit-banyak turut membantu dalam memberikan informasi mengenai LGBT. Tulisan ini memang dimulai dari keberadaan Forum, namun riaknya sengaja saya perluas. Saya berharap tulisan ini akan mampu memberikan sudut pandang tersendiri mengenai komunitas LGBT dan bagaimana mempergunakan media jejaring sosial.

Secara pribadi saya mengucapkan terimakasih pada anggota Forum yang telah berpartisipasi dalam angket yang saya berikan, dan sejumlah informan yang bersedia melakukan wawancara virtual dengan saya.

Kepustakaan

Bailey, O.G., Cammaerts, B., dan Carpentier, N. 2007. Understanding Alternative Media. Berkshire: Open University Press

Bakardjieva, M. 2005. Internet Society: The Internet in Everyday Life. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage

Bell, D. 2009. “On the Net: Navigating the World Wide Web”, dalam Creeber G., dan Martin, R. (eds.) Digital Cultures. Berkshire: Open University Press. Hlm. 30-38

Cunningham, S. 2005. “Culture, Service, Knowledge: Television between Policy Regimes”, dalam J. Wasko (ed.) A Companion to Television. Malden, MA: Blackwell. Hlm. 199-213

Dakwatuna.com. 2012. http://www.dakwatuna.com/2012/05/20397/antara-irshad-manji-indonesia-dan-kebebasan/

van Dijk, J.A.G.M. 2006. The Network Society: Social Aspect of New Media, second edition. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage

Hartley, J. 1999. Uses of Television. London and New York: Routledge

Harvey, S. 2005. “Who Rules TV? States, Markets, and the Public Interest”, dalam J. Wasko (ed.) A Companion to Television. Malden, MA: Blackwell. Hlm. 157-173

Lim, M. 2003. “From real to virtual (and back again): civil society, public sphere, and the internet in Indonesia”, dalam Ho, K.C., Kluver, R., dan Yang K.C.C. (eds.) Asia.com, Asia encounters the Internet. London: RoutledgeCurzon. Hlm. 113-128

Marshall, P.D. 2004. New Media Cultures. London: Edward Arnold

Moyo, L. 2009. “Digital Democracy: Enhancing the Public Sphere”, dalam Creeber G., dan Martin, R. (eds.) Digital Cultures. Berkshire: Open University Press. Hlm.139-150

Pikiran Rakyat. 2012. http://www.pikiran-rakyat.com/node/190996

Republika. 2012a. http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/12/ 06/16/m5prk3-promosi-lesbi-irshad-manji

Republika 2012b. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/05/07/m3naux-kiai-hasyim-diskusi-irshad-manji-upaya-legalisasi-nikah-sejenis

Stevenson, N. 2002. Understanding Media Cultures, Social Theory and Mass Communication, second edition. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage

The Jakarta Post. 2012. http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/10/irshad-manji-having-second-thoughts-indonesia.html

Thurlow, C., Lengel, L., dan Tomic, A. 2004. Computer Mediated Communication: Social Interaction and the Internet. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage

Voa-islam.com 2012. http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/05/02/18903 /umat-islam-wajib-tolak-kedatangan-lesbong-irshad-manji-ke-indonesia/

Winston, B. 1998. Media Technology and Society, A History: From the Telegraph to the Internet. London and New York: Routledge


      [1]        Sepanjang kedatangan Manji untuk kali kedua ke Indonesia pada 4-9 Mei 2012, telah terjadi penolakan di berbagai lokasi. Penolakan ini menjadi trending topic di berbagai media nasional dan media keagamaan (baca: Islam), lihat Republika (2012a), Republika (2012b), voa-islam.com (2012), dakwatuna.com (2012), The Jakarta Post (2012) dan lain-lain.