Apa kabar museum kita?

Saya senang berkunjung dan berkeliling museum, bagaimana dengan anda? Sabtu lalu (22/2), setelah mandi dan sarapan, alih-alih membaca sebagaimana rencana awal, saya secara impulsif, tanpa pikir panjang, tiba-tiba keluar dari kos saya pagi hari, naik KRL, dan turun di Gondangdia, kemudian naik ojek ke Museum Nasional. Ternyata tidak lama, hanya satu jam perjalanan dari Stasiun Pondok Cina.

Lama saya berpikir, apa yang membuat saya tiba-tiba ingin ke Museum Nasional? Hingga saat ini saya belum menemukan jawabannya. Anggap saja jalan-jalan, begitu pikir saya. Kunjungan ke museum adalah kunjungan yang spesial bagi saya. Setidaknya saya dapat memberikan tiga alasan. Pertama, saya senang ke museum, karena di museum lah saya dapat belajar mengenai masa lalu. Kedua, saya senang ke museum, karena di museum saya dapat mengenal dan melihat langsung koleksi yang luar biasa. Ketiga, saya senang ke museum, karena di museum lah saya dapat memperoleh pengetahuan dengan harga murah, ada yang gratis malah.

Namun satu hal yang saya pelajari ketika ke museum: sikap kita terhadap koleksi museum. Kebetulan saya datang di hari kerja. Awalnya hanya sedikit orang yang berada di museum. Selain saya, ada sekelompok mahasiswa (saya berasumsi mereka mahasiswa), sekelompok turis asing dari Jepang (setelah saya tanya petugas), sekelompok turis asing dari Amerika (lagi-lagi ini asumsi saya), dan beberapa orangtua yang membawa anak-anaknya. Saya senang, sebab museum begitu tenang dan lengang. Namun ketenangan saya rupanya hanya bertahan sebentar. Tiba-tiba tiga bus penuh anak-anak SD datang dan menginvasi museum.

Entah ada apa dengan bangsa ini. Barangkali kita tidak pernah dididik untuk lebih menghormati peninggalan masa lalu. Segerombolan anak SD itu misalnya, barangkali saya yang berlebihan dalam menanggapi mereka, terlihat berlarian kesana-kemari, membuat pemandu kerepotan dan guru-guru yang ikut kelelahan. Gaduhnya luar biasa. Bak pasar di pagi hari. Saya bahkan tersenyum ketika seorang bapak, yang sedang menggendong anaknya, berkomentar “setan aja kabur ngiat mereka”, dan saya pun mengamini “mereka lebih setan ketimbang setan beneran”, dan kami berdua hanya senyum kecut. Saya ngeri betul ketika mereka, dengan tertawa-tawa, memegang koleksi arca dan stupa Buddha (setahu saya koleksi tersebut tidak boleh dipegang sebab tangan mengandung keringat yang mengandung garam yang mampu mempercepat pengeroposan batu).

Saya terus memperhatikan orang-orang yang datang. Terus terang saya mengagumi para turis itu, yang dengan serius mendengarkan pemaparan dari pemandu, di banding sekelompok mahasiswa (mereka yang saya asumsikan mahasiswa) yang hanya ngobrol dan tertawa-tawa sambil foto-foto. Saya rasa, saya harus banyak belajar dari mereka. Saya senang ketika mereka bertanya mengenai koleksi arca, terutama koleksi arca Siwa dan Durga dari masa Singosari. Walau sepengetahuan saya arca tersebut hanya replika, sebab yang asli masih di Belanda sana (setahu saya arca Prajna Paramita atau Ken Dedes sudah dikembalikan ke Indonesia, tapi saya tidak tahu apakah disimpan di Museum Nasional atau tidak, sebab saya tidak menemukannya). Saya senang mendengarkan penjelasan dari pemandu, yang dengan bahasa Inggris yang tidak terlalu lancar, namun dapat menggambarkan dengan baik cerita di balik arca-arca tersebut.

Saya senang melihat masa lalu dalam perspektif yang bebeda. Saya yang selama ini hanya melihat gambar-gambar dari buku atau majalah, berkesempatan langsung untuk melihat melalui mata saya. Dalam hal ini saya senang, bahwa museum tetap mempertahankan ide utamanya: menggambarkan sebuah masa tanpa tenggelam dalam romantisme yang berlebihan. Khususnya Museum Nasional. Saya senang dengan museum ini tidak hanya karena ia mampu bercerita tentang masa lalu, namun bangunannya itu sendiri pun adalah bagian dari masa lalu dan mampu bercerita secara mandiri. Meskipun begitu, adalah keterlaluan jika kita selalu berpikir bahwa museum adalah tempat di mana masa lalu dipajang hanya untuk konsumsi belaka. Museum bagi saya adalah media yang paling baik dalam menarasikan sebuah masa yang seringkali kita lupakan.

Saya senang memperhatikan koleksi-koleksi museum,sebab koleksi tersebut mampu menggambarkan mengenai kehidupan dengan sangat baik. Tentu saja hal ini berlaku untuk semua museum. Bagi saya, setiap museum adalah unik. Setiap museum memiliki koleksinya sendiri-sendiri. Rasanya berlebihan jika kita menuntut sebuah museum yang memajang semua koleksi dari berbagai ‘genre’, dan itu lah keunikan museum. Kita dapat membayangkan akan menemukan satu jenis koleksi di satu museum, dan koleksi lain di museum yang lain. Meskipun Museum Nasional memajang wayang, misalnya, namun tetap saja, untuk memperoleh informasi yang jauh lebih detail kita harus datang ke Museum Wayang. Sama halnya dengan kita tidak bisa berharap menemukan stupa pada Museum Bank Indonesia (agak gila rasanya jika kita berpikir demikian). Sama halnya pula dengan kita tidak bisa berharap melihat koleksi keramik di Museum Taman Prasasti (ini pun sama gilanya).

Di sisi lain, saya senang ke museum sebab museum-museum di Indonesia dapat dikunjungi dengan harga murah meriah. Anda boleh cek sendiri. Museum di Indonesia tidak pernah mematok harga yang membuat anda berpikir dua kali atau yang membuat anda jatuh miskin, barangkali terkecuali museum-museum yang ada di Taman Mini Indonesia Indah, yang saya rasa harganya di atas rata-rata, tapi masih rasional lah. Bahkan ada pula museum yang gratis, segratis-gratisnya, seperti Museum Bank Indonesia. Namun sangat mengherankan, meski dengan HTM yang luar biasa murah, museum tetap menjadi lokasi “berdebu” yang dihindari.

Perlahan saya mulai menyadari mengapa kita perlu melihat lebih penting urusan museum ini. Harus saya akui, urusan kenyaman agaknya masih belum banyak dieksplorasi oleh museum-museum kita. Hanya beberapa museum saja yang saya anggap sangat nyaman untuk dikunjungi, misalnya Museum Bank Mandiri dan Museum Bank Indonesia. Kenyamanan di sini bukan hanya urusan pendingin ruangan, namun juga pencahayaan. Bahkan Museum Nasional pun tidak luput dari kesan muram. Di beberapa ruang koleksi, misalnya koleksi keramik dan tekstil, beberapa lampu mati (atau memang sengaja dipadamkan) sehingga menimbulkan kesan suram. Bahkan ruang koleksi etnografi sangat muram. Meskipun tidak berdebu, namun dengan koleksi yang luar biasa, bagi saya harusnya ruangan-ruangan tersebut mampu memberikan kenyamanan bagi pengunjung.

Kesan yang berbeda dengan Museum Fatahillah. Meskipun terang benderang dengan pencahayaan alami, namun penempatan koleksi di museum tersebut, bagi saya, tidak tertata baik. Karena bangunan lama, terutama di dominasi kayu, saya seringkali takut ketika naik ke lantai dua museum ini (karena bobot tubuh saya agak besar, saya takut lantainya tidak kuat menahan). Saya rasa sama saja dengan Museum Keramik, yang juga di dominasi kayu. Salah satu kekurangan museum dengan dominasi kayu, bagi saya, adalah kesan kotor dan berdebu yang muncul, apalagi jika tidak secara rutin dibersihkan (terus terang saya agak penasaran dengan Museum Keramik yang telah direnovasi, masih kah sesuram dulu).

Beberapa museum sangat sepi dengan berbagai alasan. Museum Taman Prasasti misalnya, setiap anda ke sana, dijamin sangat sepi, sehingga memunculkan kesan wingit dan angker. Museum ini sangat unik dan spesial sebab berawal dari taman pemakaman pada jaman Belanda. Satu-satunya koleksi di sini adalah puluhan prasasti yang merupakan penutup makam. Museum wayang pun tidak kalah sepinya. Beberapa museum lain agaknya berbagi kedukaan yang sama. Menara Syahbandar, bahkan kelompok museum yang ada di komplek Taman Mini Indonesia Indah, seperti Museum Istiqlal dan Bayt Al Quran, atau Museum Perangko, sama saja sepinya (termasuk Purna Bakti Pertiwi yang dianggap sebagai museum pribadi Almarhum Soeharto).

Saya rasa situs yang dijadikan museum di daerah sama saja kondisinya. Museum Situs Sangiran misalnya, meskipun memajang koleksi fosil yang luar biasa, namun pengunjungnya dapat dihitung dengan jari. Demikian pula dengan museum yang ada di lingkungan Keraton di Jawa, atau museum-museum yang ada di wilayah-wilayah lain. Barangkali yang paling miris adalah situs Lawang Sewu yang terlantar sepenuhnya. Saya membayangkan jika saja Lawang Sewu mampu diubah seperti Museum Bank Indonesia, dengan kaca patri yang luar biasa indah, pasti akan luar biasa cantik.

Di sisi yang berbeda, saya melihat kondisi yang sama pun terjadi pada situs candi. Bagi saya, yang menjadi persoalan utama adalah bagaimana candi-candi yang ada tidak mampu berperan lebih baik dalam mengedukasi. Kumpulan candi tersebut dilihat tidak lain sebagai komoditas. Tumpukan batu berukir yang mampu mendatangkan penghasilan. Lihat saja Borobudur atau Prambanan. Tapi bandingkan dengan Komplek Ratu Boko, atau Komplek Candi Dieng, sepi peminat. Atau misalnya Petirtaan Watu Gede atau Jolotundo, sama sepinya. Betul-betul mengherankan.

Kembali ke soal museum. Bagi saya kondisi ini memperihatinkan dan menyesakkan dada. Bagaimana tidak. Museum harus diletakkan di garda depan dalam memelihara jutaan artefak peninggalan masa lalu, dan dalam menarasikan masa tersebut. Sungguh jumlah yang tidak dapat diganti dengan uang. Namun bagaimana museum dikelola akan berpengaruh dengan bagaimana persepsi orang mengenai museum. Akan sangat baik jika semua museum meningkatkan layanan dan mempersiapkan sarana untuk kenyamanan pengunjung. Tentu saja saya tidak ingin museum-museum tersebut kemudian menjadi sama dan seragam. Akan sangat menggelikan jika semua museum tiba-tiba seragam dalam desain dan tata letak. Setiap museum harus menjaga apa yang menjadi keunikan masing-masing dengan tetap mengedepankan aspek edukasi bagi para pengunjungnya.

Saya memberikan jempol besar pada Museum Bank Indonesia, Museum Bank Mandiri, dan Gedung Joeang 45 yang mampu memberikan edukasi tanpa melupakan kenyamanan bagi pengunjung. Tidak perlu pendingin ruangan yang membabi-buta, yang saya khawatirkan justru akan mengubah desain bangunan. Cukup lah sebuah ruang dengan display koleksi yang tersusun baik, ruangan yang bersih, di tambah dengan latar cerita di setiap koleksinya, dengan pencahayaan yang baik (tidak perlu terlalu dramatis), dengan sirkulasi udara yang lancar. Bagi saya itu sudah cukup.

Saya pun menyadari sepenuhnya, kita belum terbiasa menjadikan museum sebagai guru. Kita terbiasa menjadikan museum sebagai lokasi penyimpanan benda aneh yang dengannya kita dapat bangga berfoto-ria. Ada yang perlu, bahkan harus, diubah dengan cara pandang kita terhadap museum, dan perubahan ini tentu tidak lah serta-merta dapat dilaksanakan dengan waktu singkat. Perlu intervensi dari pemerintah dan media massa. Bagi saya ini penting. Akan kah museum kalah bersaing dengan pusat perbelanjaan? Apa yang ada dalam pikiran orang lima puluh tahun mendatang melihat gambar kita hari ini? Sebagai bangsa yang terlalu senang membangun mall dan mendorong orang belanja ketimbang membangun sarana edukasi dan mendorong orang belajar? Malu rasanya.

Kembali ke masa kini. Saya cukup senang dengan kunjungan saya ke Museum Nasional hari ini. Saya banyak belajar mengenai banyak hal, berkenalan dengan orang baru, dan menikmati masa di mana waktu seakan berhenti berdetak (walaupun jengkel juga dengan kebisingan dan kerusuhan para murid SD itu, namun saya pikir ada baiknya juga mengajak mereka, anggap saja investasi agar mereka dapat lebih menghormati museum dan menghargai koleksi-koleksinya). Di akhir kunjungan, sambil menikmati es teh dan rujak, ditemani iringan keroncong Almarhum Gesang (dari radio pedagang rujak), imaji saya melayang, ke masa di mana Museum akan jauh lebih dapat dinikmati, lebih dihargai, dan lebih penting ketimbang pusat perbelanjaan. Saya akan menunggu masa itu, entah sampai kapan.