“the body now serves as an instrument or intermediary: if one intervenes upon it to imprison it, or to make it work, it is in order to deprive the individual of a liberty that is regarded both as a right and as prosperty”
I
Tidak mudah membaca Foucault, tidak hanya karena persoalan kerumitan bahasa yang ia pergunakan, namun juga pada kisah yang coba ia tuturkan. Buku ini, “disiplin dan hukuman: kelahiran penjara” merupakan buku yang diterjemahkan dari bahasa Perancis dengan judul “Surveiller et punir: naissance de la prison” yang terbit pada tahun 1975. Dalam buku ini Foucault mencoba mengkaji mengenai mekanisme sosial, dan teoritik, di balik perubahan besar yang terjadi dalam sistem pidana barat pada abad modern. Meskipun berfokus pada dokumen sejarah dari Perancis, tapi apa yang dilakukan oleh Foucault dapat diaplikasikan hingga masa kini.
Secara umum Foucault menantang gagasan umum bahwa penjara tidak lain adalah bentuk konsisten dari hukuman yang muncul dikarenakan keprihatinan atas kemanusiaan yang diawali oleh kaum reformis. Foucault memulai dengan secara rinci menjelaskan mengenai kontras dua bentuk hukuman: kekerasan dan kekacauan dari ‘public torture’ (penyiksaan di muka publik) terhadap Robert-Francois Damiens di akhir abad ke-18, dan jadwal harian yang sangat ketat untuk narapidana pada awal abad 19. Foucault ingin menjelaskan, dalam contoh-contoh ini, betapa mendasarnya perubahan dalam sistem pidana barat sepanjang kurun waktu satu abad. Foucault pada dasarnya melihat bahwa penyiksaan di muka publik adalah sebuah forum teatrikal yang melayani tujuan yang seharusnya dan hal-hal lain yang tidak diinginkan bagi masyarakat. Beberapa tujuan yang seharusnya dari penyiksaan di muka publik antara lain: (1) mencerminkan kekerasan kejahatan ke tubuh terpidana untuk dilihat oleh semua orang, dan (2) balas dendam atas tubuh terpidana yang dijatuhkan oleh penguasa sebagai akibat atas luka yang muncul dari kejahatan yang ia lakukan. Dalam hal ini hukum adalah perpanjangantangan dari penguasa, dan balas dendam harus dilakukan dengan menjadikan tubuh terpidana sebagai objek utama. Di sisi yang berbeda, penyiksaan di muka publik memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan. Antara lain: (1) tersedianya forum bagi tubuh terpidana untuk menerima simpati dan kekaguman dari penonton, dan (2) menjadi situs konflik antara massa dan penguasa pada tubuh terpidana. Dalam hal ini, Foucault melihat bahwa penyiksaan di muka publik lebih sering terjadi konflik sebagai akibat dari adanya dukungan dan simpati publik terhadap terpidana.
Sebelum saya melangkah terlalu jauh, ada baiknya saya jelaskan posisi saya. Foucault secara tidak spesifik membagi tulisannya dalam empat poin utama: penyiksaan, hukuman, disiplin, dan penjara. Saya hanya akan memfokuskan pada hukuman dan disiplin, meskipun saya sedikit akan membahas mengenai penyiksaan dan penjara.
II
“today, criminal justice functions and justifies itself only by this perpetual reference to something other than itself, by this unceasing reinscription in non-juridical systems. Its fate is to be redefined by knowledge”
Foucault melihat adanya korelasi antara penyiksaan, hukuman, disiplin, dan penjara. Korelasi tersebut muncul sebagai akibat dari perkembangan dari sistem pidana yang ada, atau dalam hal ini era baru untuk keadilan pidana yang muncul sebagai akibat dari perubahan dalam: (a) ekonomi hukuman (economy of punishment), (b) berbagai proyek untuk kepentingan reformasi, (c) teori mutakhir mengenai hukum dan kejahatan, (d) pembenaran moral dan politik dalam hak untuk menghukum, dan (e) hilangnya hukum lama dan adat istiadat. Foucault sendiri menyatakan bahwa sepanjang beberapa decade, sejak akhir abad 18 hingga awal abad 19, bentuk penyiksanaan di muka publik menghilang, sebagaimana hilangnya tubuh sebagai sasaran utama represi pidana. Sekurangnya terdapat dua proses dalam transformasi ini, yaitu: (1) penghilangan hukuman terhadap terpidana sebagai tontonan publik, dan (2) berkurangnya penekanan terhadap posisi tubuh sebagai subjek pembalasan dendam.
Jika teliti, Foucault mencoba menjelaskan bahwa hilangnya hukuman sebagai tontonan muncul sebagai konsekuensi dari biaya politis yang mahal dari penyiksaan di muka publik. Foucault berpendapat bahwa eksekusi publik seringkali berakhir ricuh manakala tubuh terpidana sebagai objek pembalasan justru mendapat simpati dari penonton, di samping bahwa pelaksanaan eksekusi publik seringkali gagal memenuhi dua aspek utama: ketertiban dan generalisasi. Pelaksanaan eksekusi publik seringkali berlangsung dengan tidak tertib dan tidak seragam. Hal-hal ini lah yang menyebabkan mengapa pelaksanaan hukuman di muka publik kemudian perlahan menghilang. Konsekuensi logis dari perubahan ini adalah perubahan domain penyiksaan. Jika sebelumnya domain ini dipegang oleh para algojo, maka peralihan kea rah sekelompok orang yang memiliki otonomi untuk melakukan tindakan tersebut. Di sisi yang berbeda, pergeseran domain ini juga terkait erat dengan pergeseran publisitas, dari arena algojo ke arena persidangan. Dengan pergeseran ini, maka biaya politik yang dikeluarkan pun semakin rendah.
Hukuman di muka publik pada dasarnya adalah upaya penguasa untuk menunjukkan supremasi mereka. Eksekusi publik dalam hal ini dilihat sebagai ritual politik dengan sejumlah agenda, antara lain: (a) menunjukkan ke publik siapa yang berkuasa, (b) merupakan latihan terror untuk memberikan kesadaran mengenai kehadiran kekuatan yang memiliki kedaulatan, dan (c) membuktikan kemenangan hukum atas terpidana. Meskipun domain penghukuman bergeseran dari hadapan ke publik ke ruang-ruang yang lebih tertutup, namun dimensi-dimensi ini tidak lah berubah: hal ini menunjukkan ‘kebenaran’ dan menunjukkan operasi kekuasaan.
Secara khusus Foucault mencoba melihat hubungan antara power dan tubuh. Secara umum Foucault melihat bahwa tubuh adalah objek utama dalam kegiatan penghukuman. Adalah sebuah ilusi melihat bahwa hukuman merupakan sarana untuk mengurangi kejahatan, dan hal tersebut dapat berarti berat atau pun ringan. Tubuh, bagi Foucault, secara langsung terlibat dalam bidang politik di mana hubungan kekuasaan terus-menerus berlangsung di atas tubuh. Lebih jauh, tubuh dapat menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa dan sangat berguna hanya jika tubuh tersebut menjadi produktif dan tunduk. Di sisi yang berbeda, power adalah cara untuk menghasilkan pengetahuan. Tubuh sendiri dapat menjadi kunci bagi pengetahuan. Mungkin ada pengetahuan dari tubuh yang tidak persis berlaku seperti ilmu difungsikan, dan penguasaan atasnya adalah kemampuan untuk menaklukkan tubuh, di mana pengetahuan dan penguasaan ini merupakan apa yang dapat kita sebut sebagai teknologi politik tubuh.
Ketertundukan tubuh menjadi kata kunci penting. Ketertundukan sebagai satu bentuk hukuman menjadi dimensi tersendiri yang dieksplorasi Foucault. Jika sebelumnya eksekusi publik mengambil bentuk dan dimensi teatrikal, yang seringkali memiliki ekses yang lebih luas ke publik, maka pergeseran domain beralih ke sebuah institusi lain, meskipun dengan tujuan yang kurang-lebih sama: penjara. Penjara diawali dengan bentuk yang berbeda dari tontonan publik, di mana dalam penjara, hukuman menjadi lebih “lembut”, meskipun tidak melulu berdasarkan alasan kemanusiaan. Gagasan dari kaum reformis untuk ‘melembutkan’ bentuk hukuman sekaligus membawa domain penghukuman dan kekuasaan kehakiman, dari domain Negara ke bentuk kekuasaan publik. Dalam hal ini, pergeseran pun berimbas pada narapidana. Jika sebelumnya mereka adalah objek dari tindakan balas dendam atas dosa yang mereka lakukan, maka dengan penjara, mereka beralih menjadi objek yang terkontrol, yang dapat dipaksa untuk melakukan pekerjaan yang mencerminkan kejahatan mereka sebagai bentuk bayaran atas pelanggaran dan dosa-dosa mereka. Dalam konteks ini, barangkali saya salah membaca, para narapidana menunjukkan sebuah ontology: manusia sebagai mesin.
III
“one must punish exactly enough to prevent repetition”
Munculnya penjara sebagai bentuk hukuman bagi setiap kejahatan tumbuh dari pengembangan disiplin pada abad 18 dan 19. Dalam kondisi ideal, hukuman mengambil model dari kontrak sosial, di mana pelanggaran hukum dilihat sebagai pelanggaran di masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, hak untuk menghukum telah bergeser dari pembalasan pemilik kekuasaan untuk kepentingan masyarakat. Hukuman dilihat dari fungsi utamanya, yakni untuk mencegah terjadinya pelanggaran yang sama di masa yang akan datang. Hukuman sendiri harus dilihat dari dimensi kepentingan individu sebagai sesuatu yang terbaik dari individu tersebut, selain bahwa hukuman harus dapat memenuhi harapan efek jera bagi pelaku sekaligus menjadi peringatan bagi orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.
Secara umum, hukuman diwujudkan dalam bentuk posisi tubuh yang dikondisikan, tubuh yang didisiplinkan, tubuh yang dijinakkan. Foucault melihat pada perkembangan bentuk-bentuk yang sangat halus dari disiplin, terkait dengan aspek terkecil dan paling tepat dari tubuh seseorang. Dalam pandangan Foucault, lembaga modern diperlukan, sebab tubuh harus diindividuasikan sesuai dengan tugas mereka. Tubuh harus mampu diletakkan dalam posisi yang dapat dilatih, diobservasi, dan dikontrol. Oleh karena itu, disiplin menciptakan sebuah bentuk baru individualitas bagi tubuh, yang memungkinkan mereka untuk melakukan tugas mereka dalam bentuk-bentuk baru organisasi ekonomi, politik, maupun militer, hingga saat ini.
Individualitas, di mana disiplin konstruksi berfungsi, dalam hal ini lah alasan mengapa tubuh harus dikontrol, memiliki empat karakteristik, yaitu: (a) cellular, yang menentukan distribusi spasial dari tubuh, (b) organic, yang memastikan bahwa kegiatan yang dibutuhkan tubuh adalah ‘alami’ bagi tubuh, (c) genetic, mengendalikan evolusi dari waktu ke waktu dari tubuh, dan (d) combinatory, memungkinkan untuk mengkombinasi kekuatan tubuh menjadi kekuatan tunggal yang besar. Foucault menegaskan, bahwa meskipun individualitas ini dapat diimplementasikan dalam sistem resmi yang egaliter, tetapi disiplin digunakan untuk membangun hubungan kekuasaan non-egaliter. Argument dasar Foucault mengenai tubuh yang jinak, tubuh yang ideal untuk kepentingan ekonomi dan politik, yang termanifestasi melalui perang dalam era industri modern. Tubuh memiliki kemampuan sekaligus sikap disiplin yang berfungsi di pabrik-pabrik, dalam resimen tentara, maupun ruang-ruang sekolah.
Persoalannya tidak lah semudah itu. Tubuh harus terus dijinakkan, dan untuk melakukan hal tersebut, institusi disiplin harus: (1) melakukan pengamatan secara kontinum dan merekam tubuh yang mereka control, dan (2) menjamin internalisasi individualitas disiplin dalam tubuh, dalam hal ini melalui pengontrolan yang ketat. Dalam bahasa lain, Foucault ingin menegaskan bahwa disiplin harus datang tanpa tantangan maupun kekerasan yang berlebihan melalui observasi, dan hal ini lah yang secara tepat dilakukan oleh institusi penjara.
Disiplin menghasilkan sasaran dan dipraktikkan oleh tubuh, dalam hal ini tubuh yang jinak. Disiplin meningkatkan kekuatan tubuh (dalam hal ekonomi utilitas) dan mengurangi kekuatan-kekuatan yang sana (dalam hal politik ketaatan). Singkatnya adalah memisahkan kekuasaan dari tubuh. Di satu sisi ternyata dapat meningkatkan kapasitas tubuh, dan di sisi yang lain menjadikan tubuh pada posisi ketundukan yang ketat. Kondisi ini dapat dianalogikan, jika eksploitasi ekonomi memisahkan gaya dan produk kerja, maka disiplin tubuh menetapkan konstriksi ketat antara kapasitas dan ketaatan atau ketertundukan.
Penjara, atau lebih tepatnya bangunan penjara, dilihat Foucault sebagai sarana pusat hukuman pidana, di mana penjara menjadi bagian dari sebuah “sistem carceral” yang lebih besar, yang telah menjadi lembaga yang mandiri dan memiliki otoritas tersendiri yang mencakup segala hal dalam masyarakat modern. Penjara merupakan satu jaringan yang terkoneksi dengan jaringan yang lebih luas, seperti sekolah, lembaga militer, rumah sakit, dan industri (pabrik) yang membangun sebuah “masyarakat panoptic” bagi para anggotanya. Sistem ini menciptakan sebuah “karir disipliner” bagi mereka yang berada di dalam koridor tersebut, di mana hal ini dioperasikan di bawah otoritas ilmiah kedokteran, psikologi, dan kriminologi. Selain itu, karir ini beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip yang memastikan bahwa “tidak dapat gagal untuk menghasilkan penjahat (delinquent? Saya bingung menterjemahkan ini sebagai penjahat atau kejahatan atau kenakalan)”. Penjahat secara implicit diproduksi ketika kejahatan sosial yang kecil tidak lagi ditolelir. Penjara dalam hal ini menciptakan sebuah kelas khusus ‘para penjahat’ yang bertindak sebagai wakil polisi dalam pengawasan masyarakat.
Agaknya hingga di sini saya masih bingung dengan argument dasar dari Foucault. Foucault rasanya hendak menyampaikan sebuah gagasan besar, bahwa tubuh pengetahuan sedang dikembangkan, atau dapat dikembangkan, melalui para tahanan, penciptaan kelas ‘kejahatan’, dan disiplin karir. Hal-hal ini lah yang coba dilihat oleh Foucault mengenai realitas penjara dan dimensi penghukuman yang berlangsung di Perancis pada akhir abad 18 dan awal abad 19.