Masih tentang Erik dan Angga, sebuah tanggapan

Saya senang, beberapa hari ini, kurang lebih dua minggu lamanya, sejak saya kali pertama memasukkan tulisan saya tentang Erik dan Angga dalam blog dan FB saya, email dan inbox ponsel saya penuh dengan pujian, kritik, cacian, makian, bahkan teror. Saya sih senang-senang aja, tidak ada masalah sama sekali. Meskipun saya senang, namun terdapat beberapa hal yang agak mengganggu saya. Ada beberapa hal yang, saya rasa perlu, untuk diluruskan atau dibincangkan lebih jauh.

Pertama, tulisan saya mengenai Erik dan Angga adalah realitas empiris yang ada di sekitar saya, sekitar anda, sekitar kita semua. Bagi saya, menafikan realitas tersebut adalah sama dengan kejahatan perang. Barangkali saya terlalu berlebihan, namun saya rasa, sisi kemanusiaan kita akan dapat melihat realitas tersebut jika kita memberikan sisi tersebut kesempatan. Seringkali kita melihat sesuatu sebagai taken for granted, karena dianggap sudah biasa maka kita tidak lagi memiliki kesadaran melihat fenomena yang sangat jelas di depan mata. Memang butuh usaha dan latihan untuk dapat melihat berbagai realitas empiris yang ada. Saya sendiri tidak terlalu ambil pusing dengan kata ‘empiris’ itu sendiri. Bagi saya, setiap realitas yang ada di hadapan saya adalah nyata, dan itu sudah cukup.

Saya tidak ingin terlibat dalam perdebatan paradigmatik. Saya hanya lah seorang yang suka mengamati segala hal yang ada di sekeliling saya, merenungkan hal tersebut, dan mencari posisi di mana saya berdiri atas hal tersebut. Barangkali hal ini akan sulit jika sebatas bayangan, namun pada realitasnya, hal ini sangat mudah dilakukan. Saya mengutip mantan dosen saya, yang saya harap sebentar lagi akan menduduki jabatan guru besar, mengenai jurus tong sampah. Bagi dosen saya, manakala kita terlalu sering berada di sekitar tong sampah, maka lambat laun kita akan imun dan kebal terhadap kondisi sampah dan bau dari sampah tersebut. Ketika kita bergerak menjauh dari tong sampah lah kita dapat melihat gundukan sampah dan mencium baunya. Begitu pun kita dalam memandang keseharian kita. Kita begitu sering melihat sesuatu tanpa berpikir bahwa apa yang kita lihat adalah sebuah fenomena yang unik, dalam hal ini fenomena tersebut dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Akibatnya kita tidak lagi berpikir untuk mencari lebih jauh mengenai fenomena tersebut.

Kedua, saya setuju dengan beberapa teman yang menyatakan simpati dan empati mereka terhadap Erik dan Angga. Bagi saya, saya tidak meminta untuk setuju dengan saya, penolakan untuk menjadi heteroseksual sebagai norma utama adalah pilihan. Orientasi seksual, bagi saya, adalah pilihan, yang celakanya sangat politis. Bagi saya, pilihan untuk menjadi homoseksual atau heteroseksual adalah pilihan yang harus dihormati. Pilihan tersebut terletak pada hak asasi yang dimiliki oleh setiap individu, dan setiap usaha untuk mempengaruhi, merintangi, bahkan mengintimadi atas pilihan tersebut adalah perlawanan atas hak asasi individu. Bagi mereka yang heteroseksual, coba lah untuk mengerti bahwa ada pilihan lain selain heteroseksual, dan banyak orang yang memilih untuk menolak di jalur heteroseksual. Bagi mereka yang homoseksual, coba lah untuk memahami bahwa tidak semua mereka yang mengaku heteroseksual secara langsung akan menjadi musuh alamiah anda.

Bagi saya hal ini terletak pada persoalan konstruksi dan stigma. Mereka yang homoseksual, karena terus menerus menerima stigma, pada akhirnya akan memperkuat identitas diri dengan melakukan perlawanan terhadap mereka yang heteroseksual. Ini pengalaman pribadi. Entah mengapa, beberapa sahabat yang homoseksual cenderung memiliki kecurigaan terhadap mereka yang heteroseksual yang berusaha mendekati mereka. Hal ini memang tidak berlaku universal, namun lebih bersifat kasuistik. Beberapa teman, yang secara terang benderang mengakui diri sebagai homoseksual saya lihat tenang-tenang saja. Barangkali saya boleh berhipotesis, bahwa terdapat hubungan antara rasa curiga dengan coming out. Dalam artian, bahwa saya melihat bahwa mereka yang belum mantap menyatakan diri sebagai homoseksual lebih mudah curiga ketimbang mereka yang sudah mantap mengatakan bahwa mereka homoseksual, namun ini masih membutuhkan penelitian lebih jauh.

Persoalan konstruksi bukan lah hal yang mudah untuk dilewati. Anda tidak mungkin berbicara dengan santai mengenai seksualitas tanpa berbicara mengenai konstruksi. Lagi-lagi saya tidak mau terlibat dalam perdebatan paradigmatik. Bagi mereka yang konstruktivis, akan senang melihat bahwa jejaring konstruksi yang dijalin telah begitu efektif bekerja, sehingga mempengaruhi pikiran mereka-mereka yang terjerat atau menjeratkan diri. Persoalan ini memang pelik, sebab persoalan seksualitas acapkali dikonstruksikan sebagai persoalan yang “sebaiknya” tidak di buka di depan umum. Saya sendiri menyadari, banyak email dan pesan singkat yang mencaci pilihan saya untuk berbicara mengenai Erik dan Angga tidak lama setelah mereka membaca tulisan saya.

Ketiga, saya merasa perlu untuk mengambil posisi, bahwa perbincangan mengenai seksualitas harus di buka di depan publik. Bagi saya, penutupan di gatra publik justru akan menyeret perbincangan yang penting ini menjadi semakin kabur dan tidak jelas. Konsekuensinya logis: manakala kita menolak untuk membicarakan masalah ini di ruang publik, kita akan semakin terjebak pada kebodohan dan akan terjerat semakin erat dalam jaring konstruksi. Bayangkan begini, apa jadinya jika kita menolak berbicara mengenai seksualitas, dan anak-anak yang ada di sekeliling kita ingin bertanya mengenai hal tersebut. Siapa yang akan mengajari mereka? hello, jaman semakin maju, kalau kita tidak mau membicarakannya secara terbuka, mereka akan mendapatkan informasi dari tempat lain yang celakanya tidak kita ketahui sumbernya.

Persoalan mengenai seksualitas menjadi sangat krusial, karena disukai atau tidak, pondasi kehidupan kita didasarkan pada persoalan seksualitas. Betapa pentingnya masalah ini, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah membuang mitos dan tabu mengenai pembicaraan seksualitas di ruang publik. Semua persoalan mengenai hal ini harus di buka secara jelas dan gamblang. Jika kita sudah menolak untuk membicarakan mengenai seksualitas secara terbuka, saya rasa sangat tidak bermanfaat dan produktif untuk melanjutkan perdebatan mengenai heteroseksual dan homoseksual.

Bagi teman-teman saya, yang saya hormati karena posisi akademik mereka, yang menolak untuk membicarakan mengenai heteroseksual, homoseksual, atau topik yang paling umum: seksualitas. Saya hanya berpikir, bahwa saya menyayangkan kemampuan akademik yang mereka miliki jika mereka masih berkutat pada persoalan klasik yang mereka tahu betul tidak akan membawa perbincangan ini ke arah manapun. Penolakan mereka, bagi saya, adalah pengabaian intelektual atas kemampuan intelektual yang telah dianugerahkan Tuhan bagi mereka.

Keempat, saya sangat tidak setuju dengan sikap penentangan homoseksualitas dengan landasan norma agama. Bagi saya, sangat tidak fair manakala kita melihat persoalan tersebut melalui kacamata agama. Agama bagi saya adalah sesuatu yang saya imani, sesuatu yang saya yakini. Akan sangat sulit bagi kita untuk dapat melihat sebuah persoalan secara terang dan berimbang manakala kita selalu melihat segala persoalan melalui kacamata agama. Tolong jangan salah paham. Saya tidak mengatakan bahwa kacamata agama itu tidak penting, namun kacamata agama harus dipergunakan secara proporsional. Proporsionalitas menjadi salah satu katakunci penting, bagi saya, untuk melihat kehidupan sehari-hari. Saya percaya bahwa agama itu penting, setidaknya dalam hidup saya. Namun saya sangat tidak setuju manakala agama justru digunakan untuk menekan pihak-pihak, yang bahkan tanpa ditekan pun mereka sudah minoritas.

Adalah kegagalan besar dalam menjalankan perintah agama manakala kita menjustifikasi agama sebagai alat dominasi dan diskriminasi. Bahkan Tuhan, dalam semua agama saya yakin, sendiri tidak lah memerintahkan kita untuk mendominasi atau melakukan diskriminasi terhadap semua manusia. Sebab manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling hakiki, maka setiap dominasi dan diskriminasi atas nama golongan atau faksi tertentu adalah pengabaian atas ciptaan Tuhan. Sebagaimana telah saya katakan dalam tulisan saya sebelumnya, bahwa hak untuk menghakimi adalah hak kodrati Tuhan. Sebagai manusia, saya pikir, akan sangat picik manakala kita mengambil hak kodrati tersebut.

Kelima, saya tidak memiliki pretensi apapun dalam tulisan saya, kecuali saya menginginkan agar setiap orang menyadari jaring konstruksi mengenai seksualitas, lebih spesifik homoseksualitas, dan menjauhi jaring tersebut sedapat mungkin, atau mengenai modus operandi dari jaring tersebut. Keinginan saya sederhana, saya ingin agar kita memiliki empati dalam memandang berbagai realitas kehidupan yang ada di sekitar kita. Saya ingin agar kita memberikan mereka hak mereka sepenuhnya.

Saya menolak anggapan teman yang menuduh saya sodomis, istilah ini merujuk pada teman saya yang merujuk pada kaum sodom yang kemudian dihancurkan oleh tangan Tuhan, dengan memerintahkan orang untuk menjadi homoseksual. Sama sekali tidak. Saya tidak pernah menganjurkan homoseksualitas sama besarnya dengan saya tidak menganjurkan heteroseksualitas. Saya tidak membenci homoseksual sama besarnya dengan saya tidak membenci heteroseksual.

Beberapa teman yang mengenal saya dengan baik paham betul mengenai hal ini. Hingga saat ini saya adalah orang yang belum percaya pada komitmen untuk membentuk sebuah jaringan hubungan yang serius. Bagaimana mungkin saya mengambil posisi untuk memerintah atau melarang jika saya sendiri belum memilih posisi berdiri? Adalah sangat menggelikan memikirkan hal tersebut. Saya merasa, bahwa saya belum siap untuk memilih, setidaknya untuk saat ini. Saya percaya, bahkan jika saya sudah memilih, saya akan tetap berada pada pendirian saya, yakni tidak akan memerintahkan seseorang untuk menjadi homoseksual sebagaimana saya tidak akan melarang seseorang untuk menjadi homoseksual. Saya percaya, bahwa Allah memberikan potensi pada diri saya untuk memilih, dan hanya saya yang akan mempertanggungjawabkan pilihan saya tersebut. Hanya pada Allah lah saya akan mempertanggungjawabkan pilihan saya. Oleh karena itu, saya berharap orang-orang di sekitar saya tidak ribut, sebab Allah sendiri tidak meributkan pilihan saya. Saya percaya, bahwa mereka yang telah memilih telah sadar sepenuhnya konsekuensi atas pilihan mereka, nun jauh di sana. Mengingat Tuhan sendiri tidak terlalu ambil pusing dengan pilihan yang diambil ummatnya, mengapa pula kita harus ribut dan memusingkan hal tersebut? Biar lah hidup berjalan apa adanya. Rasanya tidak pantas jika kita, manusia biasa, meributkan hal-hal yang tidak perlu diributkan. Lagi pula saya sering heran dengan teman-teman yang selalu ribut ketika berbicara mengenai seksualitas, apa mereka ga punya kerjaan lain selain ribut? Belum cukup kah keruwetan dunia ini sehingga harus ditambah dengan persoalan yang sesungguhnya sederhana: mereka yang heteroseks dan homoseks telah memilih dan menggunakan haknya, maka selama mereka menjalankan kewajiban mereka sepenuh hati, sangat tidak pantas jika kita mengutak-atik hak yang mereka miliki. Bukan kah anda akan