Entah kenapa saya selalu memiliki masa lalu dengan hal yang satu ini: gay. Jangan salah paham, saya tidak mencela atau pun memuji gay, sebagaimana saya tidak mendukung atau pun melarang seseorang untuk menjadi gay. Bagi saya itu adalah pilihan yang dipilih secara sadar, dan tidak ada urusannya dengan takdir dari langit atau sebab-sebab traumatis.
Ini adalah kali kedua saya ditanya hal tersebut. Menarik, bahwa kedua pertanyaan tersebut diajukan di muka umum, meskipun dengan nada suara setengah berbisik. Jika pertanyaan pertama saya dapatkan ketika berada di suatu pusat perbelanjaan di Surabaya, maka pertanyaan kedua saya dapatkan dalam sebuah perjalanan menuju Depok. Suatu hari saya naik Patas AC 84, dari Pulo Gadung tujuan Depok. Di depan Arion Rawamangun, dua orang anak muda masuk dan kebetulan duduk di sebelah saya. Pada awalnya saya tidak terlalu peduli dengan kehadiran mereka, sampai pada akhirnya saya tersadar bahwa mereka memperhatikan saya.
Pada awalnya saya bingung, kenapa malah saya yang menjadi perhatian mereka. Namun segera saya sadari ketika ketika salah seorangnya menanyakan hal tersebut. Tanpa basa-basi, bahkan tanpa salam, Erik (begitu dia mengaku namanya) menanyakan hal tersebut, dan saya hanya bertanya balik “memang kenapa?”, dan temannya yang mengaku bernama Angga cuma memberikan kode untuk melihat orang-orang di sekitar kami. Saat itu lah kesadaran itu muncul. Hanya saya satu-satunya orang di bagian belakang bus itu yang tidak menghiraukan kehadiran mereka.
Bayangkan seperti ini. Apa reaksi anda ketika dua anak muda, laki-laki, naik bis sambil bergandengan tangan, dan kemudian duduk sambil saling memandang dan meremas tangan masing-masing. Bagi anda yang pernah jatuh cinta dan mengklaim bahwa dunia serasa milik berdua, begitu lah yang terjadi pada Erik dan Angga. Saya sadari, bahwa mereka sadar bahwa saya tidak memperhatikan mereka. Entah kenapa, ketidakperhatian saya dianggap sebagai sebuah tanda bahwa saya adalah termasuk dalam mereka.
Di satu sisi hal ini absurd. Bagaimana mungkin ketidakacuhan dianggap sebagai tanda pengenal kelompok? Di sisi lain, saya menyadari hal ini (sebagaimana ditanyakan oleh Erik) sepenuhnya. Saya memiliki beberapa teman yang secara terang benderang mengatakan bahwa mereka gay, dan saya tidak memiliki masalah dengan hal tersebut. Barangkali karena hal itu lah saya tidak memberikan perhatian kepada mereka, sebab saya sendiri sudah terbiasa melihat hal itu. Rupanya hal ini tidak berlaku umum. Sebagian besar orang masih sangat perhatian melihat sepasang gay yang saling jatuh cinta di hadapan publik. Buat saya sih sederhana, selama mereka masih batas wajar, tidak sampai berciuman, saya sih cuek aja. Agaknya sikap saya disikapi berbeda oleh Erik dan Angga. Mereka heran bahwa saya bereaksi diam saja melihat kemesraan mereka berbedua.
Kembali Erik bertanya kepada saya, menegaskan pertanyaan sebelumnya. Saya hanya menjawab “hingga saat ini bukan, namun saya pernah lihat yang lebih vulgar dari sekedar itu”, dan di sini lah kisah perbincangan ini dimulai. Barangkali karena bakat saya dan bidang akademik saya, saya mendengarkan ocehan Erik dan Angga, mulai dari Rawamangun hingga masuk wilayah Margonda, Depok. Mereka bahkan dengan senang hati membayarkan ongkos saya. Barangkali mereka berpikir, tidak banyak spesies seperti saya, yang cuek dengan kehadiran mereka dan mau mendengarkan ocehan mereka. Barangkali ongkos tersebut dianggap sebagai biaya konsultasi ^^.
Erik bertutur, bahwa dia berasal dari katolik taat, sedangkan Angga adalah protestan. Sejak awal saya sudah membayangkan, keputusan Erik adalah keputusan yang berat, sebab sepengetahuan saya, Katolik tidak mengizinkan ‘penyimpangan’ semacam itu. Dugaan saya benar jika mendengar cerita Erik. Berbeda dengan Erik yang bahkan harus bertengkar hebat dengan orangtuanya, Angga lebih mudah. Barangkali karena pondasi keimanan, baik Katolik maupun Protestan, walaupun memiliki pondasi yang sama, namun bangunan yang berdiri di atas pondasi tersebut sangat berbeda. Saya tidak akan berbicara soal landasan dan bangunan keimanan, sebab tidak adil jika seorang muslim bicara soal keimanan Kristen. Biarlah pemeluk Kristen yang berdebat panjang mengenai keimanan mereka.
Di sisi yang berbeda, baik Erik maupun Angga adalah sosok yang, mengutip teman saya yang sudah lama eksis sebagai gay, “fresh from the oven”. Ibaratnya roti, mereka adalah roti yang hangat. Saya tidak mau berspekulasi apakah pilihan yang mereka ambil lebih pada kondisi psikologis atau bukan, tapi cukup lah saya katakan, berdasarkan pengakuan Angga, bahwa mereka baru. Saya tidak mempermasalahkan apakah mereka orang baru atau sudah lama eksis. Cukup lah bagi saya bahwa mereka saling mencintai. Mereka sendiri lebih asik bercerita soal romantisme dan stigma di sekeliling mereka.
Harus saya akui, agak sulit membayangkan bagaimana sebuah romantisme di kalangan gay dibangun. Jangan salah paham, bukan berarti saya menyangsikan bahwa mereka tidak bisa romantis, namun saya sangat jarang melihat pasangan gay di hadapan publik. Berbeda halnya dengan mereka yang heteroseks, mereka dapat menunjukkan romantisme secara bebas, dengan catatan bahwa romantisme di sini kita terjemahkan secara sempit. Katakan lah bahwa romantisme di sini kita kaitkan dengan pegangan tangan, makan malam, kencan, nonton bioskop, atau bahkan berciuman (walaupun ini pun sangat jarang ^^). Bagi kalangan heteroseks, model-model ini tentu saja tidak masalah, toh kita sering lihat, bahkan lakukan sehari-hari.
Berbeda dengan heteroseks, saya sadari sepenuhnya bahwa kaum homoseks, apapun itu, tidak secara bebas mengekspresikan diri ketika berpacaran. Mereka mengalami stigma. Stigma dalam KBBI adalah ciri negatif yang dilekatkan pada diri seseorang karena pengaruh lingkungannya. Definisi ini agak janggal, sebab stigma dilihat sebagai ciri negatif yang muncul karena pengaruh lingkungannya. Definisi stigma yang paling baik barangkali datang dari Goffman, yang melihat stigma sebagai ‘the situation of the individual who is disqualified from full social acceptance’, atau kondisi di mana seseorang dikeluarkan dari penerimaan sosial secara penuh. Secara sederhana, stigma adalah kondisi di mana seseorang mengalami pengucilan sosial. Merujuk pada definisi ini, sangat mudah melihat stigma yang dirasakan oleh Erik dan Angga.
Secara pribadi saya simpati pada mereka. Saya bukan tipe orang yang terlalu memusingkan pilihan orientasi seksual seseorang. Bagi saya, ketika seseorang sudah memilih untuk berada pada satu sisi, maka tanggungjawab dirinya lah dengan Tuhan. Saya tidak ingin mengambil hak Tuhan maupun kewenangannya, sebab saya percaya, bahwa ketika manusia secara sadar mengambil kewenangan Tuhan, maka Tuhan sendiri yang akan menjadi hakimnya di hari kemudian. Hingga saat ini saya berpendapat, hanya manusia yang picik dan angkuh yang dengan senang hati mengambil wewenang Tuhan untuk menghakimi. Cukup lah bagi saya, bahwa mereka sudah memilih dan mereka sadar atas konsekuensi atas pilihan-pilihan tersebut.
Angga bercerita, meskipun keluarga besarnya tidak terlalu mempermasalahkan pilihan dia saat ini, namun mereka masih menaruh harapan bahwa apa yang dilakukannya semata adalah dorongan naluri jiwa muda. Konsekuensinya jelas: ada harapan yang disandarkan, bahwa suatu saat Angga akan ‘kembali ke jalur yang telah ditakdirkan Tuhan bagi setiap orang’ (ini kata-kata Angga asli). Saya berpikir sepenuhnya mengenai apa yang diucapkan oleh Angga. Saya sadari sepenuhnya, bahwa Tuhan menciptakan manusia pasti memiliki maksud dan tujuan-tujuan, mengingat sangat menggelikan, bahkan jika dipikirkan secara tidak serius, bahwa Tuhan tidak memiliki tujuan ketika menciptakan manusia. Jika anda tanya ke saya apa tujuan Tuhan menciptakan manusia, maka saya akan jawab, bahwa berdasarkan ajaran agama yang saya anut, Allah sendiri menyatakan bahwa penciptaan manusia adalah untuk beribadah beribadah kepadaNya. Mau tidak mau saya berpikir. Apakah benar bahwa heteroseksualitas adalah takdir? Pertanyaan ini masih menghinggapi saya hingga saat ini. Meskipun setiap pendapat masih bersifat kontestatif, namun saya tidak ingin menjeratkan diri saya pada perdebatan yang saya tahu tidak akan ada akhirnya.
Saya merenungi kata-kata Angga dengan seksama. Sebagai individu yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga, adalah sangat sulit untuk keluar dari apa yang diinginkan oleh keluarga. Saya sendiri pernah berdebat panjang manakala saya melakukan sebuah, yang disebut lingkungan sosial saya, kebodohan. Sulit rasanya keluar dari lingkungan tersebut hanya untuk menegaskan identitas personal kita. Saya lihat kesulitan tersebut juga dirasakan oleh Erik dan Angga, meskipun saya rasa apa yang saya alami bahkan tidak seujung kuku dari apa yang dialami oleh Erik dan Angga.
Saya membayangkan stigma yang mereka terima, apakah itu Erik atau Angga. Dalam kondisi apapun, stigma adalah satu ketakutan terbesar kita sebagai makhluk sosial. Bayangkan jika anda, atau saya, dikucilkan dalam sebuah pergaulan sosial. Adalah sebuah derita luar biasa manakala kita menerima stigma. Bagi Erik, yang notabene dibesarkan dalam keluarga konservatif, stigma terhadap dirinya adalah sebuah tekanan tersendiri. Saya menyadari, jika pun saya dalam posisi mereka, akan sangat sulit keluar dari stigma yang diberikan oleh lingkungan sosial saya. Oleh karena itu, saya simpati atas kehidupan mereka. Saya sadar bahwa saya tidak akan sekuat mereka manakala saya melakukan pilihan sebagaimana yang mereka lakukan. Saya rasa stigma tersebut akan menjadi akhir hidup saya. Namun mereka berbeda.
Erik dan Angga menerima stigma yang melekat pada diri mereka, bukan dengan perlawanan frontal, namun dengan bersikap cuek dan masa bodoh. Saya pun tersadar, bahwa sikap tersebut boleh jadi adalah satu-satunya pilihan yang tersedia bagi mereka. Dengan sikap tersebut mereka lebih mudah melihat stigma yang dilekatkan pada diri mereka. Barangkali sikap tersebut adalah senjata mereka, senjata dari orang-orang yang lemah. Marjinalisasi sosial yang mereka terima boleh jadi mengucilkan dunia sosial mereka, namun, mengutup Erik, bahwa Tuhan menciptakan dunia “ga cuma Jakarta dan sekitarnya”. Erik betul, alangkah naif kita manakala kita hanya terkungkung pada satu lingkungan sosial yang begtu kecil dan kita begiutu hyaman dalam lingkungan sosial tersebut. Sebagai manusia, saya rasa, adalah kodrat kita untuk melepas dunia kita dan beralih ke dunia yang lebih besar.
Saya terenyuh melihat mereka berdua. Saya simpati melihat mereka berdua. Banyak perasaan yang saya alami manakala mendengarkan ocehan mereka. Saya lihat betul, walaupun saya belum pernah betul-betul jatuh cinta sampai benar-benar jatuh, namun saya lihat mereka saling memperhatikan satu sama lain. Bukan dengan perhatian biasa. Bukan dengan perhatian ibu terhadap anaknya, bukan pula teman terhadap sahabatnya. Perhatian itu begitu spesial. Saya merasakan aroma pemujaan dalam setiap nama yang dihembuskan. Anda tau? Agak sulit menjelaskan apa yang saya lihat. Erik terlihat sangat protektif terhadap Angga, dan Angga terlihat sangat mengidolakan Erik. Saya tidak ambil pusing sejauhmana hubungan mereka. Saya tidak bertanya apakah mereka serius atau tidak. Saya bahkan tidak bertanya, ketika saya cerita ke teman kos saya dia bertanya, apakah mereka sudah tidur bersama atau tidak. Itu bukan urusan saya. Saya membatasi diri hanya melihat persoalan mereka, bukan diri mereka.
Kisah Erik dan Angga boleh jadi adalah kisah klasik manusia. Sebagai manusia, mengutip Weber, kita terjerat dalam jaring yang kita pintal sendiri. Kita terjerat dalam suatu jerat konstruksi yang kita jalin sendiri. Bagi saya, orientasi seksual adalah konstruksi yang dijalin sepanjang sejarah kehidupan manusia. Barangkali betul, anggapan bahwa kontruksi atas orientasi seksual muncul sebagai sebab ketakutan kita, sebagai manusia, untuk punah. Sederhananya, jika heteroseksualitas tidak dikontsruksikan, boleh jadi manusia akan punah. Sebab hanya melalui penyatuan Adam dan Hawa lah kita lahir, dan hanya melalui penyatuan laki-laki dan perempuan lah sebuah keberlangsungan dipertaruhkan. Boleh jadi kita akan menjadi sangat pragmatis melihat hubungan heteroseksualitas melalui kacamata ini. Bahwa heteroseksualitas penting untuk keberlangsungan spesies kita sebagai manusia saya setuju sepenuhnya, namun adalah sebuah kecelakaan yang luar biasa manakala kita melihat heteroseksualitas sebagai norma satu-satunya.
Persoalan kontruksi bukanlah persoalan sederhana. Stigma tidak lain adalah bentuk kontrol sosial yang dilangsungkan guna mempertahankan konstruksi yang ada. Jika semua orang tidak tahan terhadap stigma, maka setiap orang dipastikan akan berjalan di dalam koridor konstruksi. Mengingat tidak semua orang mau dan taat untuk berada dalam koridor tersebut, maka stigma muncul sebagai sebuah mekanisme kontrol. Mekanisme ini berjalan begitu halus, begitu tenang dan menghanyutkan, yang menyebabkan kita sebagai orang awam dengan sangat mudahnya terbawa arus. Saya sadar bahwa saya pun sama seperti Erik dan Angga. Saya menolak untuk mengikuti arus konstruksi yang mewujud dalam stigma sebagai kontrol sosial. Saya tidak seperti orang kebanyakan yang merasa aneh dan janggal melihat perilaku Erik dan Angga di dalam bus. Saya tidak seperti orang kebanyakan yang merasa perlu memperhatikan dengan seksama pada Erik dan Angga, tentu saja agar Erik dan Angga merasakan sebuah kontrol sosial, bahwa perilaku mereka tidak dapat diterima secara sosial. Penolakan saya untuk ‘menonton’ mereka adalah perlawanan saya terhadap mekanisme kontrol tersebut, dan hal ini membawa saya pada perbincangan hangat dengan dua ‘devian’, Erik dan Angga.
Saya berterimakasih atas takdir bertemu dengan Erik dan Angga. Lama saya berpikir, bahkan setelah saya berpisah dengan mereka, untuk sampai pada suatu kesimpulan. Erik dan Angga adalah sosok yang telah memilih dan mereka sadar sepenuhnya konsekuensi atas pilihan mereka. Saya menyadari sepenuhnya, bahwa mereka, dalam pandangan saya, tidak lah membutuhkan belas kasihan atau simpati yang terlalu berlebihan. Mereka hanya membutuhkan penolakan kita atas mekanisme kontrol sosial melalui stigma. Mereka hanya membutuhkan ketidakacuhan kita terhadap keberadaan mereka. Mereka hanya lah manusia biasa yang telah memilih. Satu-satunya kesalahan mereka adalah mereka memilih pilihan yang tidak umum, pilihan yang tidak berada di jalur mainstream. Lagi-lagi saya berterimakasih atas takdir yang telah digariskan Tuhan. Saya semakin menyadari, bahwa pilihan-pilihan itu ada, dan saya telah bertemu dengan orang yang dengan tegas memilih atau tidak memilih, dengan ragu memilih atau tidak memilih, dan orang-orang yang belum menentukan pilihan untuk memilih atau tidak memilih. Jika anda bertanya kepada saya, apakah saya sudah memilih? Maka saya katakan bahwa saya belum memilih, dan saya menyadari bahwa kebimbangan saya adalah konsekuensi dari pilihan saya untuk belum memilih.