Negeri para ustaz

Sore ini (9/2) terasa sangat menyenangkan. Setelah berpusing-pusing dengan kuliah perdana, saya pulang dengan terburu-buru. Setelah tiba di kos, tidak lama kemudian saya turun ke bawah (karena kamar saya ada di lantai 2) untuk membeli minuman ringan. Di warung di sebelah kos saya, bapak kos saya, pria paruh baya yang saya tahu tidak memiliki pekerjaan (namun penghasilannya luar biasa dengan membuat rumah kos yang selalu penuh), berkata pada anaknya “kayaknya negri ini kebanyakan ustaz, ngomong mulu!!!!”. Si anak, yang tahu temperamen bapaknya kalau sedang menonton teve cuma nyengir sambil meneruskan menyapu halaman.

Saya sendiri kaget dan ternganga atas komentar bapak kos saya. Jika Adhie Massardi mengatakan negri ini sebagai negri para bedebah, maka saya, mengutip bapak kos saya, mengatakan bahwa negri ini adalah negri para ustaz. Saya kemudian teringat pada mantan Jaksa Agung Abdulrahman Saleh yang menyatakan dirinya bak ustaz di kampung maling. Rasanya dalam hal ini saya sepakat dengan dia, dan saya mulai menyadari kebenaran kata-kata bapak kos saya.

Negri ini memang aneh. Sudah tak terbilang kerusuhan terjadi, sudah tak terkira kriminalitas dilakukan. Saya bahkan merasa, kalau pemberitaan tentang tindakan kriminal yang terjadi sudah seperti orang minum obat: tiga kali sehari. Sama halnya dengan pemberitaan mengenai gosip artis-artis terkini yang bahkan lebih dahsyat ketimbang minum obat: empat kali sehari. Tiga kali sehari kita disuguhkan berita pembunuhan, pencurian, perampokan, pemerkosaan, dan lain-lain. Empat kali sehari pula kita disuguhkan kehidupan glamor dunia artis. Semua itu terjadi setiap hari, dua puluh empat jam penuh. Bagi saya, kontradiksi ini kadangkala sangat menyebalkan. Membuat televisi tidak lebih sekedar tong sampah. Tempat di mana semua informasi masuk dan diberitakan. Benar-benar menyebalkan dan membuat tidak nyaman.

Anda tahu yang paling unik? Bahkan pirsawan (penonton televisi) merasa tidak perlu ambil pusing dengan berita seperti itu. Mereka merasa bahwa apa yang diberitakan itu seakan-akan sangat jauh terjadi. Nun jauh di sana. Seakan tempat mereka tinggal tidak akan mengalami hal yang sama. Saya sendiri sempat terkaget-kaget ketika menonton berita perampokan yang lokasinya hanya berjarak tidak kurang 2km dari tempat tinggal saya. Saya bahkan pernah lebih kaget lagi, manakala berita penggerebekan tersangka teroris yang hanya sepelemparan batu dari tempat tinggal saya.

Lalu apa yang terjadi? Saya masih ingat betul para komentator yang mengaku pakar di televisi meributkan banyak hal. Berdebat dengan banyak isu. Saya menganggap mereka seperti kumpulan pemain bola yang berada dalam satu lapangan yang sama, hanya saja masing-masing mereka memainkan bolanya sendiri. Betul-betul celaka. Mereka pikir dengan mereka mengeluarkan pendapat, yang lebih banyak menggunakan bahasa dewa, maka semua masalah selesai? Benar-benar celaka. Mereka pikir dengan saling berdebat dan adu argumen semua masalah terpecahkan? Sungguh-sungguh celaka.

Saya rasa bapak kos saya benar. Saya menemukan benang merah antara para komentator celaka itu dengan para ustaz: mereka dengan ringan saja berkomentar, menjelaskan, dan sok tahu memberikan solusi tanpa pernah merasakan atau berpikir konsekuensi perkataannya (bahkan mereka tidak pernah berpikir apakah jawaban yang mereka berikan itu sesuai dengan konteks pertanyaan atau menjawab pertanyaan yang diajukan). Seakan mereka, sebagaimana ustaz, mengetahui dengan baik perihal ilmu agama, sehingga semua persoalan agama, mereka pikir, mampu mereka jawab. Sama saja kan? Para pengamat itu, mana mau mereka berkata “maaf saya tidak tahu” atau “ada yang lebih ahli soal ini jadi silahkan tanya ke orangnya”. Mereka tidak pernah dididik untuk rendah hati menyatakan ketidaktahuannya (atau barangkali mereka tidak ingin dianggap bodoh di depan para penonton televisi?)

Saya selalu meyakinkan diri saya, bahwa saya sesungguhnya sedang menonton sebuah parodi, yang bahkan Srimulat saja kalah lucu. Setiap saya menyalakan televisi, yang saya rasakan hanyalah gambaran buram negri ini. lihat saja para analis. Sedikit sekali yang mampu memberikan secercah harapan. Lihat saja para tokoh agama. Sedikit sekali yang mempu memberikan gambaran bahwa kita masih memiliki masa depan. Lihat saja elite pemerintah (entah itu eksekutif, legislatif, yudikatif). Sedikit sekali yang mampu meyakinkan bahwa negri ini baik-baik saja. Bagi saya, apapun yang mereka ucapkan itu tidak masuk akal. Bak alien dari planet antah berantah yang tiba-tiba datang dan mengatakan “Wahai penduduk bumi, ketahui lah bahwa kiamat sebentar lagi.”

Sama saja dengan para ustaz. Lihat lah mereka yang dengan guyonan sebakul tertawa terkekeh-kekeh di depan kamera. Demi Allah saya tidak suka. Anda boleh marah dengan saya. Saya dibesarkan dalam tradisi keilmuan agama yang agak konservatif. Tidak ada ceritanya orang tertawa ketika menjelaskan kiamat. Tidak ada dalam kamus saya orang yang membuat lelucon tentang hari akhir. Semua harus sesuai proporsinya yang pas. Saya sendiri tidak terlalu suka membicarakan mengenai kiamat dan pengadilan akhirat. Namun saya tidak pernah menutup mata bahwa itu pasti terjadi. Ada baiknya kita memang diingatkan. Namun ingat, bahwa dunia pun memiliki hak untuk memperoleh tempat tersendiri.

Apa yang anda harapkan dari orang yang selalu dicekoki tentang kiamat? Saya sendiri beranggapan, hanya ada dua tipe orang yang muncul sebagai akibat dari pemberitaan soal kiamat yang terus menerus: (1) orang yang saking putus asanya hidup sehingga memilih bunuh diri atau menjadi teroris (karena dipikirnya hidup di akhirat lebih enak ketimbang di dunia), (2) orang yang saking gemarnya memikirkan akhirat hingga akhirnya lupa tugasnya hidup di dunia. Saya bukan lah orang yang terlalu memuja kehidupan. Bagi saya, kehidupan adalah nikmat yang harus dijalani dan dinikmati. Tentu saja saya tidak berpikir bahwa Allah memberikan saya nyawa hanya untuk senang-senang. Terdapat seperangkat aturan main tersendiri yang harus saya jalani.

Saya rasa sama saja. Apa yang anda harapkan dari orang yang selalu menyaksikan keburukan negri ini? Sama saja. Hanya membuat sekumpulan orang depresi terlihat sehat dan waras. Barangkali saya perlu memeriksakan kondisi kejiwaan saya. Jangan bilang-bilang ya. Saya sedang menjalani terapi khusus: menghentikan kebiasaan saya menonton berita di televisi dan surat kabar. Betapa pun saya merindukannya. Saya bersumpah tidak akan melihat berita selama empat hari penuh. Sudah tiga hari dan rasanya efeknya mulai terasa: saya mulai merasa bahwa diri saya baik-baik saya. Anggap lah ini efek plasebo, hanya efek sementara yang muncul karena faktor sugestif. Saya rasa anda patut mencontoh apa yang saya lakukan.

Kembali ke soal ustaz, saya semakin melihat kebenaran kalimat bapak kos saya. Semakin saya menjauh dari mereka, semakin saya sadar bahwa kehidupan di sekeliling saya tetap berjalan apa adanya, bahkan lebih menyenangkan tanpa campur-tangan mereka. Saya tidak merasa perlu mendengarkan ocehan orang tentang kondisi politik di Mesir sana. Bagaimana saya merasa perlu, bahkan kondisi politik dalam negri saja sudah carut-marut. Saya tidak merasa perlu mendengarkan penjelaskan tentang harga kebutuhan pokok, sebab saya hanya perlu tahu bahwa ketika saya membeli gorengan saya mendapat cabai yang layak (secara kuantitas). Saya tidak merasa perlu mendengar ceramah tentang cobaan Allah, sebab saya tahu bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas penanggungan ummatnya. Jadi mengapa perlu kita mendengarkan mereka?

Saya pikir, toh mereka tidak pernah memberikan jalan keluar bagi masalah-masalah yang ada. Barangkali saya terlalu berlebihan mengharapkan jalan keluar dari mereka. Teman saya mengingatkan, bahwa hanya kepada Allah lah kita memohon. Saya setuju seribu persen. Lalu mengapa mereka ngoceh tidak karuan? Mengapa kita tidak melakukan apa yang kita bisa untuk membuat hidup tetap berjalan apa adanya? Mengapa kita selalu merasa perlu untuk mengundang para pakar berbicara? Para pakar yang apa-apa selalu dibuat sukar?

Ada baiknya kita mengingatkan pada semua ustaz, ustaz beneran maupun para pakar yang dianggap seperti ustaz, bahwa hidup tidak dapat direduksi menjadi sekedar unit analisis. Hidup dipecah-pecah, sehingga setiap kepingnya mampu dijelaskan dengan nalar akademis. Saya merasa, manakala kita mereduksi hidup hanya sebagai angka dan unit analisis, kita melupakan esensi kehidupan itu sendiri. Ada baiknya pula kita mengingat, bahwa hidup kita tidak pernah jauh di sana. Kita hidup dalam satu lingkungan, yang didalamnya kita menyelami kehidupan kita. Mengapa kita merasa perlu merecoki hidup orang lain? Sadarkah mereka bahwa hidup di lingkungan mereka saja sudah sedemikian rumit, mengapa mereka merasa perlu untuk membuatnya semakin rumit?

Jadi mengapa perlu kita mendengarkan mereka? Teman kos saya, ketika saya berkata demikian berkata, “emang tidak perlu, tapi kalau ga didengerin, siapa yang akan ngedengerin?”, dan saya dengan santainya bilang “biarin aja, ntar juga capek sendiri, ngoceh ga ada yang dengerin.”