Hari ini saya pulang dari Depok. Seperti biasa, saya menunggu Patas 84 yang akan membawa saya ke Pulogadung. Seperti biasa pula, jalan Margonda penuh dengan lalu lalang manusia. Mulai dari mahasiswa, pegawai, pekerja, tukang ojek, penjual makanan, voucher pulsa, dan terselip di sana: dua orang anak laki-laki menenteng sebuah kecrek yang terbuat tutup botol yang dipipihkan, sebuah gelas bekas air minum, dan dengan suara parau menyanyi dari satu angkot ke angkot yang lain.
Sungguh saya lebih suka memberikan sedikit dari uang yang saya miliki ketimbang mereka yang tiba-tiba naik ke dalam bis, sambil berteriak bahwa dirinya “bukan pencuri”, dan dari pada mereka mencuri, akan lebih baik jika mereka “meminta ya seribu atau dua ribu”, yang dalam pikiran kotor mereka “toh tidak akan membuat anda jatuh miskin”. Mereka mengharap belas kasihan (barangkali begitu pikir mereka).
Kembali ke soal dua anak itu. Saya tidak kenal mereka, namun saya sering melihat mereka di jalan yang sama. Di jalan yang sama, sepanjang jalan tersebut dan jalan-jalan lain di kota-kota di Indonesia, ribuan anak mengalami nasib yang sama. Maka saya berpikir, mengapa negara melepaskan tanggungjawabnya untuk mengajarkan dan mendidik mereka? Alih-alih bertanggungjawab, negara justru mengalihkan tanggungjawab tersebut pada jalan raya dan hukum rimba di dalamnya. Bukan kah negara telah dengan sangat lantang, begitu heroik, menyatakan akan memberikan pengajaran dan pendidikan bagi semua anak-anaknya?
Ah ya, pendidikan.
Apa kabar ya pendidikan kita saat ini? Entah kenapa pikiran saya melayang pada sosok yang begitu berapi-api ketika berbicara mengenai pendidikan: bu Nini. Sosok yang dengan tegas mengatakan bahwa dirinya membenci aparatus pemerintah yang mengatur pendidikan tanpa otak dan hati. Saya mengagumi sosoknya bukan karena dia adalah orang penting di kementrian pendidikan, namun saya mengagumi dirinya sebab dia berani berteriak soal pendidikan, jauh lebih lantang ketimbang kolega-koleganya (dan jelas lebih berotak dan hati yang lebih cerdas), dan saya berharap sosoknya mampu berteriak lebih lantang di jantungnya pendidikan.
Pendidikan. Satu kata yang sulit didefinisikan. Sama sulitnya dengan pelaksanaannya. Saya menganggap pendidikan dapat dianalogkan dengan udara. Tidak jelas wujudnya namun sangat dibutuhkan. Saya menyadari sepenuhnya bahwa pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi manusia. Bukan kah Allah SWT telah menyatakan pentingnya pendidikan? Bahkan di ayat pertama Al Quran diturunkan? Bagi saya, siapa pun yang menolak untuk menganggap pendidikan penting tidak berhak sekalipun untuk mengatakan dirinya beriman, sebab dia telah melupakan pondasi dasar keimanannya.
Saya berpikir, bahwa pendidikan tidak lah urusan langit semata. Memang saya percaya, bahwa apa yang kita dapatkan dalam proses pendidikan pasti ada campur tangan langit di sana. Namun bukan kah kita yang dibumi memiliki porsi yang sama dalam proses pendidikan? Toh ilmu pengetahuan tidak pernah jatuh sepenuhnya dari langit. Toh buku teks yang kita anggap babon tidak pernah difaks dari langit. Toh kita tidak pernah berpikir bahwa sosok seperti Ibnu Khaldun, Comte, Durkheim, atau Marx sekalipun adalah nabi-nabi yang diutus langit untuk mencerahkan horizon manusia.
Maka izinkan saya menolak pendapat sebagian orang bahwa pengetahuan sepenuhnya adalah kuasa Tuhan, dan kepada siapa pengetahuan itu diberikan adalah hak prerogratif Tuhan. Bagi saya, kita manusia memiliki hak penuh untuk mendapatkan pengetahuan. Bahkan pun seluruh pengetahuan yang ada di dunia diberikan pada manusia, sesungguhnya pengetahuan tersebut tidak pernah kering. Maka dengan alasan apa kita manusia menolak untuk memperoleh pengetahuan?
Barangkali persoalannya, pengetahuan selalu terlembagakan dalam satu struktur baku yang formal, rigid, beku, dan mematikan. Struktur kaku yang membikin borok semakin lebar, infeksi semakin mematikan, dan hanya maut satu-satunya pertolongan. Tengok lah sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan yang dengannya dipersyaratkan. Saya terkadang merasa, bahwa sistem pendidikan yang kita anut tidak berbeda dengan gereja Vatikan, maaf bagi penganut Katolik, bahwa melalui gereja lah keselamatan diberlangsungkan. Sama saja kan? Hanya melalui pendidikan formal lah transfer pengetahuan diberlangsungkan. Hanya melalui pendidikan formal lah kita akan mendapatkan pengetahuan yang sah dan legal, seakan pengetahuan di luar lembaga formal hanya lah sampah atau pun pengetahuan sampingan.
Maka entah atas justifikasi apa, domain pendidikan kemudian diambilalih penguasa. Barangkali atas dasar firman tuhan yang diwahyukan, atau pulung berwarna keemasan, penguasa kemudian meletakkan pondasi formalitas di atas pengetahuan itu sendiri. Maka pengetahuan pun berubah bentuk menjadi angka-angka, dan bertransformasi menjadi lembar-lembar kertas sampah yang kita anggap harta karun dewa. Begitu pentingnya, bahkan kita berani memperjualkan harta karun tersebut. Bertumpuk-tumpuk uang hanya untuk selembar kertas yang bahkan tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri dari bahaya kebanjiran atau kebakaran.
Dan saya pun semakin tersesat dalam kebingungan saya. Teman saya tertawa terbahak-bahak ketika mendengar cerita saya. Bagi teman saya, rupanya gelar akademik yang saya miliki tidak menjadi jaminan jika saya semakin berpengetahuan. Dan saya pun semakin tersadar. Semakin saya merasa pintar, semakin tidak pintar saya sesungguhnya. Sungguh saya merasa, bahwa saya semakin sulit mendefinisikan apa pengetahuan sesungguhnya. Bahkan pun jika saya mengklaim bahwa saya telah membaca ratusa buku, apalah artinya?
Apa yang kita maksud dengan pengetahuan? Dengan cara apa pengetahuan dibagikan? Mengapa kita menganggap bahwa pengetahuan yang dibagikan itu penting? Lebih utama lagi, apakah pengetahuan hanya dapat ditransfer ke setiap rekening melalui pendidikan? Jika iya, pendidikan semacam apa yang mampu melakukan transfer pengetahuan? Tidak usah terlalu muluk dengan berpikir bahwa setiap orang akan mendapatkan pengetahuan yang terbaik dan merata. Cukup lah bahwa setiap orang mendapat jaminan untuk mendapatkan hak yang sama atas pengetahuan.
Teman saya berkata, setiap orang pasti akan mendapatkan pengetahuan, sebab itu adalah janji Tuhan, namun bagaimana ia mendapatkan pengetahuan bergantung pada orang itu sendiri. Saya setuju. Manusia bagaimana pun memiliki kewajiban untuk mendapatkan pengetahuan melalui banyak hal, pendidikan, terutama yang formal, bagi saya, adalah salah satunya. Maka saya tidak bisa berpikir jernih, manakala negara protes, bahwa anak-anaknya tidak berperilaku sebagaimana “anak-anak baik” lainnya. Orangtua macam apa yang protes atas perilaku anak-anaknya jika ia sendiri tidak lah mengambil tugas untuk mengajarkan dan mendidikan anak-anaknya? Tidak kah orangtua turut andil dalam proses pembodohan si anak? Lalu mengapa ia mesti protes? Atau malu?
Pada titik ini saya percaya bahwa pengajaran dan pendidikan adalah hak asasi manusia. Saya tidak mungkin memisahkan antara pengajaran dengan pendidikan, sebab melalui keduanya lah tranmisi pengetahuan akan dilakukan. Namun saya menolak jika pengajaran dan pendidikan diwujudkan dalam satu pintu: pendidikan formal. Saya percaya bahwa benih pengetahuan dapat disebarkan melalui ratusan cara.
Dan tiba lah saya pada pertanyaan mendesak teman saya: apakah saya masih percaya terhadap pendidikan formal? Saya katakan ya, saya percaya. Saya percaya bahwa kita membutuhkan satu standardidasi yang mengatur mengenai pengajaran dan pendidikan. Namun saya pun percaya, bahwa bergantung hanya pada hal tersebut sebagai satu-satunya akses adalah dosa besar. Adalah sebuah kesalahan manakala kita menganggap bahwa pengetahuan hanya dapat ditransmisikan melalui jalur-jalur formal.
Namun bagi sebagian besar orang rupanya masih terlalu silau dengan formalitas. Seakan bahwa Tuhan sendiri telah berfirman untuk memformalisasikan segala hal. Bahwa semua yang tidak formal adalah penganut doktrin luciferian. Mereka lah yang dengan berbangga hati turut serta dalam perayaan tanpa arti. Maafkan kebodohan saya. Saya tidak mengerti, entah atas dasar apa, pendidikan menjadi begitu penting untuk dirayakan.
Saya tidak pernah melarang perayaan pendidikan. Sekedar untuk merefleksikan sejauhmana pengajaran dan pendidikan dilaksanakan saya setuju. Namun jika hanya sekedar upacara bendera, mendengar sambutan yang isinya sampah menjijikkan, atau sekedar berpanas-panas ria di tengah cahaya mentari pagi hari? Harusnya mereka malu dengan para anak jalanan. Mereka adalah anak-anak yang ditelantarkan negara. Mereka lah yang paling tahu betapa teriknya matahari atau pun lembabnya angin malam hari.
Bagi saya, lupakan lah retorika pejabat yang hanya berani berteriak mengenai pengajaran dan pendidikan di balik podium, di atas panggung megah, dengan lampu kandelabra berkilauan dan pendingin ruangan yang menyala terus-terusan. Apa jadinya negri ini jika semua berlindung di balik lengan setan yang terus membuka pintu kegelapan? Maka saya pun termenung, mendengar perkataan ibu saya, bahwa pengetahuan hakikatnya bukan lah setinggi apa prestasi seseorang atau bagaimana orang dididik dan diajarkan, pengetahuan hakikatnya adalah elevator yang membuat orang menyadari kemanusiaannya dan dengannya menjadikan dirinya sebagai manusia seutuhnya. Dan saya pun tertawa. Salahkah saya jika berpikir bahwa mereka yang selama ini mengatur wahyu tuhan tentang pendidikan pada dasarnya tidak berpengetahuan? Karena mereka lupa bahwa mereka manusia. Lebih celaka lagi, mereka lupa bahwa yang mereka hadapi adalah manusia pula.
Meskipun demikian, saya mencoba menentramkan hati kecil saya, bahwa setidaknya saya punya sosok yang dengannya saya dapat melampirkan harapan saya. Saya berdoa pada Tuhan, bahwa Indonesia akan lebih banyak memiliki sosok-sosok yang berani berteriak lantang mengenai pentingnya pengetahuan di jantung administrasi pendidikan. Sosok Ibu Nini lah yang membuat saya tersadar, bahwa tidak semua orang kementrian pendidikan tidak memiliki otak atau hati yang cerdas. Sosok dirinya lah yang membuat saya berpikir optimis tentang masa depan. Tentang suatu masa, di mana negara tidak lagi lalai dan abai dalam mengurus setiap anaknya. Tentang suatu masa, di mana setiap individu dapat memanusiakan dirinya sendiri, menjadi manusia seutuhnya.
Hanya kepada sosok-sosok seperti itu lah, saya dengan senang hati menyatakan selamat hari pendidikan. Sebab saya tahu, dalam hati kecil saya, bahwa sosok-sosok seperti ibu Nini tidak akan terlena dalam peringatan palsu dan kosong itu, bahwa bagi mereka, setiap hari adalah perjuangan, untuk menurunkan pengetahuan dari langit dan mentransmisikannya ke setiap jiwa yang membutuhkan. Bagi sosok-sosok tersebut, saya berjanji pada Allah, bahkan dalam kondisi terburuk sekalipun, saya akan mendukung mereka mewujudkan mimpi bersama, Indonesia yang lebih baik tentunya.