Catatan ini adalah tinjauan saya atas buku Engseng Ho, The Graves of Tarim. Selamat menikmati.
I
“Read! In the name of your Lord Who has created; He has created man from a cloat; Read! And your Lord is the Most Generous; Who has taught (the writing) by the pen; He has taught man that which he knew not (The Creation [Al ‘Alaq]: 1-5)
Membaca buku ini seperti berada di dalam kereta ekspress menuju masa lalu, menyusuri lorong-lorong gelap, dan terlempar kembali ke masa kini. Harus saya akui, membaca Engseng Ho adalah sebuah tantangan, terutama dengan cara Engseng Ho menggambarkan masa lalu dengan kilatan cepat, membuat siapapun yang ketinggalan kereta akan kesulitan melihat kilatan tersebut.
Buku ini bercerita mengenai mobilitas dan tradisi diaspora orang-orang Hadrami. Diaspora yang mereka lakukan, menembus setiap ruang di bumi, yang disediakan Allah bagi setiap ummatnya, melewati lautan, dan bertahan di suatu wilayah hingga ajal menjemput mereka. Buku ini tidak lah bercerita melalui sosok-sosok hidup yang dengannya menceritakan diri mereka, namun melalui serangkaian teks, makam, dan tradisi lisan di kalangan Hadrami yang dengannya mereka mengkonstruksikan siapa diri mereka.
Saya setuju dengan Engseng Ho, bahwa Hadrami memiliki kesukaan yang sangat menguntungkan: mereka menulis. Mereka menuliskan apa saja yang penting bagi diri mereka, dalam hal ini adalah silsilah, genealogis, dan wilayah yang mereka datangi. Para Hadrami ini genealogi sebagai dasar bagi kehidupan mereka, sebab melalui catatan genealogis lah mereka dapat mempertahankan ‘rumah’ mereka di sana sambil mengimajikan ‘rumah’ mereka di tempat yang baru. Narasi genealogis menceritakan banyak hal, dan Engseng Ho menceritakan narasi tersebut yang layak mendapat perhatian lebhih dari kita, yang merasa perlu melihat kembali para Hadrami.
Buku ini, sebagaimana tergambar dalam kalimat pertama, menceritakan mengenai masyarakat migran yang melakukan diaspora, di mana tempat dikuburkan jauh lebih penting ketimbang tempat dilahirkan. Makam-makam yang tersebar memberikan gambaran mengenai diaspora itu sendiri. Sebelum saya berbicara terlalu jauh, ada baiknya saya memperingatkan, bahwa sebagaimana Engseng Ho melakukan penuturan yang cepat, saya akan melakukan penuturan yang penuh kilas balik.
Selama berabad-abad, buku ini sendiri menggambarkan diaspora selama lima ratus tahun terakhir, orang-orang Hadhrami terpaksa meninggalkan tanah air mereka yang miskin dan gersang untuk mencari keberuntungan mereka di kawasan Samudera Hindia yang lebih luas. Dengan jaringan yang perdagangan dan migrasi membentang dari pantai Afrika Timur ke kepulauan Indonesia, para Hadrami ini datang dan menetap di wilayah-wilayah baru, yang kemudian menjadi wilayah diasporik mereka. para emigran biasanya bepergian ke wilayah baru tanpa istri dan seringkali menikahi perempuan pribumi. Keturunan mereka dikenal sebagai muwalladin (istilah dalam bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari walada atau lahir, kalimat ini memiliki bentuk pelaku walad yang artinya anak sedangkan bentuknya jamaknya adalah awlad atau anak-anak), istilah yang juga diterapkan pada setiap Hadhrami lahir di luar negeri. Emigran Hadhrami termasuk sayyid, keturunan Nabi, yang menikmati tingkat prestise keagamaan dalam masyarakat Muslim di mana pun mereka menetap, banyak yang menjadi pedagang; beberapa guru agama dan ahli hukum; lain menjadi tentara bayaran; beberapa bahkan mendirikan dinasti lokal melalui perkawinan.
Para pelaku diaspora ini tetap mempertahankan afinitas mereka dengan wilayah di mana mereka berasal. Tarim menjadi tempat kembali bagi mereka yang telah jauh berjalan. Tarim adalah satu wilayah di Yaman, tempat di mana para keturunan Nabi Muhammad SAW, yang dikenal dengan nama sayyid melakukan migrasi ke sana pada abad ke-12. Beratus tahun kemudian, mereka melakukan migrasi ke luar Tarim. Namun tidak berarti bahwa mereka yang keluar dari Hadramawt, di mana Tarim terletak, melepaskan wilayah tersebut sepenuhnya dalam imaji kehidupan mereka. Secara fisik mereka memang meninggalkan wilayah tersebut, namun mereka tetap berkunjung (ziarah, kata dalam bahasa Arab yang berarti mengunjungi atau mendatagi) dan mendatangkan sejumlah barang ke wilayah tersebut. Uang, barang kerajinan, para anak-anak yang dilahirkan di luar, saudara-saudara, kerabat dan lain sebagainya, tetap datang ke wilayah asal mereka.
Kedatangan para keturunan yang dilahirkan di luar pada dasarnya memiliki dua tujuan utama: mengajarkan mereka tempat di mana mereka sesungguhnya berasal, dan mengajarkan kepada mereka bagaimana kehidupan lokal di tempat mereka berasal. Dalam hal ini, mereka yang datang ke Tarim mentransformasikan diri mereka, dari luar ke dalam, sebagaimana mereka mentransformasikan wilayah yang mereka tinggali, dari daerah tujuan ke daerah asal. Tarim tidak lagi dilihat sebagai wilayah tujuan, sebagaimana dilakukan oleh para sayyid pada abad dua belas, namun sebagai wilayah asal.
Sebagai asal dari semua diaspora, Tarim menjadi wilayah tujuan imaji dilabuhkan. Tarim menjadi wilayah geografi moral, di mana segala hal yang di luar harus diikat dengan kuat ke dalam, dan menjadi landasan sekaligus filosofi moral dan nilai bagi mereka yang berada di luar. Sebagaimana telah dilakukan oleh para pelaku diaspora lainnya, hubungan dengan wilayah asal, dalam hal ini Tarim, dilakukan dengan membangun hubungan-hubungan genealogis dari tempat mereka berasal. Hubungan-hubungan tersebut adalah jejaring hubungan keluarga yang melibatkan banyak pihak yang berasal dari wilayah yang berbeda-beda. Hubungan-hubungan ini tetap dijalin, tentu saja untuk tetap mempertahankan hubungan emosional dengan tempat di mana mereka berasal. Melalui catatan genealogis, dan seringkali pula melalui catatan atau cerita tertulis berupa hikayat, hubungan-hubungan ini dilangsungkan dan bertahan hingga hari ini.
II
“And it is He who tamed the sea, that from it you might feed on flesh tender and fresh, and pull fineries to costume yourselves with, and see the ship plying its water. That you might desire His bounty. Perchance you would give thanks (The Bee [an Nahl]: 14)”
Para Hadrami yang melakukan migrasi ke berbagai wilayah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak lah datang secara berbondong-bondong dengan seluruh keluarga mereka. Seringkali mereka datang dalam kelompok-kelompok kecil, atau individual. Sebuah fitur yang luar biasa dari diaspora Hadhrami adalah kemampuan Hadhrami ‘ekspatriat’ untuk mempertahankan rasa identitas dengan tanah air mereka, sementara beradaptasi dan berkembang di wilayah yang mereka datangi. Mereka telah mengirimkan uang untuk keluarga mereka di Hadhramawt, sering pula mengirim anak-anak mereka yang lahir di negeri asing untuk menyerap nilai-nilai intrinsik Hadhrami dan mengalami cara hidup lokal, dan lebih sering lagi bercita-cita untuk pensiun di sana.
Meskipun mereka melakukan hubungan-hubungan dengan penduduk lokal, para Hadrami ini tetap menjalin hubungan dengan daerah asal mereka. Mereka, sedapat mungkin, mempertahankan hubungan genealogis dan gaya hidup dengan wilayah asal, pengetahuan yang di dapat melalui perjalanan, yang menjadikan mereka sebagai local cosmopolitan. Kaum kosmopolit lokal ini berbeda dan membedakan diri mereka dengan penduduk lokal. Perbedaan ini muncul sebagai akibat dari keterkaitan erat dengan wilayas asal mereka, sebagaimana terlihat dari nama-nama yang digunakan.
Nama menjadi fitur penanda penting dari para kosmopolit lokal ini. Mereka mempergunakan nama-nama yang memiliki hubungan dengan akar genealogis mereka, di mana nama-nama yang digunakan seringkali berulang dalam sebuah siklus, maupun kesamaan dengan saudara-saudara mereka di luar sana. Meskipun demikian, Engseng Ho melihat, bahwa melalui teks lah perjalanan transkultural bagi para Hadrami ini berlangsung. Melalui teks yang banyak bercerita mengenai kehidupan para sayyid, seringkali bercampur pula dengan mistisisme, hukum, bahkan sejarah. Dalam teks-teks itu lah nama-nama dipergunakan, memiliki tempat, dan dilangsungkan secara turun-temurun. Sebuah kondisi di mana muncul tipikal tersendiri terkait dengan nama-nama yang biasa digunakan oleh Hadrami.
Persoalan nama adalah persoalan yang krusial, sebagaimana persoalan mengenai afiliasi dan genealogis. Jika nama menunjukkan hubungan genealogis, mana dengan nama pula menunjukkan afiliasi religius, bahkan dengan nama pula menunjukkan posisi dirinya ketimbang masyarakat lokal. Meskipun mereka, atau ayah mereka, atau kakek mereka menikah dengan perempuan lokal, umumnya perempuan Hadrami dilarang menikah dengan laki-laki lokal, dan menurunkan nama serta beragam nilai yang terkait di dalam nama tersebut ke anak-anaknya, namun nama tetap menjadi penanda utama. Selera boleh saja berubah namun nama tetap lah sama. Nama menjadi penting karena dua hal: pertama, nama menunjukkan dengan jelas tempat di mana mereka berasal; kedua, nama menunjukkan dengan jelas siapa mereka sesungguhnya.
Imaji kosmopolitan lokal yang mereka bangun didasarkan pada perkawinan dengan penduduk lokal. Melalui pernikahan lah mereka membangun jejaring kekerabatan dengan penduduk lokal dan menjadi penduduk lokal, tentu saja ‘menjadinya’ mereka sebagai penduduk lokal tidak pernah sepenuhnya sukses. Para Hadrami ini, yang seringkali melakukan perjalanan, sesering itu pula memiliki istri lebih dari satu. Setiap anak yang lahir dari rahim perempuan lokal yang dibuahi oleh laki-laki Hadrami akan memiliki hubungan genealogis yang sama dengan yang dimiliki ayahnya. Anak-anak ini, memiliki dua tipe hubungan yang saling terpaut, mereka sebagai anak-anak lokal, karena dilahirkan oleh ibu yang lokal pula, sekaligus mereka kosmopolit karena ayah mereka.
Kosmopolitan lokal yang dibangun oleh para Hadrami tergambar dengan jelas dalam setiap catatan yang mereka buat, namun di sisi lain mereka memiliki dimensi historis yang berbeda-beda. Adalah sebuah kesalahan besar dengan menganggap para Hadrami ini memiliki kesejarahan yang sama, terutama dalam konteks lokal. Banyak Hadrami yang melakukan diaspora menjadi sangat terpandang di wilayah yang mereka datangi, beberapa bahkan menjadi raja, seperti Tuanku Syed Sirajudin Jamal Al-Layl yang menjadi Raja Perlis, Malaysia. Beberapa lainnya menikmati hak prerogratif khusus yang muncul karena hubungan afinitas dan genealogis mereka dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, hubungan kekerabatan dengan Nabi Muhammad SAW dapat dikatakan memberikan banyak keuntungan bagi para Hadrami.
III
Engseng Ho lagi-lagi kembali ke soal makam. Makam menjadi simbol sekaligus penanda penting hubungan genealogis bagi orang-orang yang berada di luar Tarim. Melalui diaspora yang dilakukan terbentuk lah komunitas-komunitas Hadrami di berbagai wilayah. Melalui diaspora, yang tergambar dengan sangat baik dalam catatan-catatan yang ada, memberikan informasi mengenai pelaku-pelaku diaspora dan bagaimana kehidupan mereka.
Cerita mengenai para Hadrami ini, dimulai dengan pembentukan kabinet di Yaman, yang dipenuhi oleh para sayyid, membuka sebuah fakta, bahwa mobilitas dan diaspora yang dilakukan oleh para Hadrami ini telah lama dilakukan, dan memberikan keuntungan yang tidak sedikit bagi mereka. Diaspora para Hadrami ini menggambarkan kehidupan mereka, bagaimana mereka beradaptasi, menurunkan kebudayaan Hadrami kepada muwalladin, dan pengaruh yang mereka miliki di wilayah baru yang mereka tinggali.
Melalui makam di Tarim lah semua cerita ini bermuara. Bagaimana makam tersebut menjadi situs utama perziarahan bagi para Hadrami dan muwalladin, dan bagaimana hubungan-hubungan genealogis dibangun di atas pondasi makam sebagai penanda mereka. Melalui makam, hubungan genealogis, nama-nama yang digunakan, dan wilayah tujuan yang ditransformasikan sebagai wilayah asal, mereka membentuk identitas mereka: sebagai sayyid dari Hadramawt. Dengan identitas ini mereka diidentifikasi sebagai sosok individu, keturunan sayyid, dan masuk ke dalam marga-marga yang telah tersebar luas.
Hubungan-hubungan genealogis menjadi sangat penting, terutama ketika melakukan diaspora. Para non-sayyid Hadrami misalnya, akan lebih cepat kehilangan identitas historis mereka ketimbang para sayyid Hadrami, disebabkan retaknya hubungan yang mereka bangun. Pada Hadrami yang juga sayyid ini, membangun hubungan-hubungan khusus dengan mempertahankan eksistensi diri mereka melalui mekanisme genealogis. Meskipun demikian, mekanisme genealogis saja tidak lah cukup, sebab jika hanya bertahan pada mekanisme ini, yang muncul hanya lah para muwallad yang kehilangan rumah mereka. Makam dan keterikatan pada makan menjadi hal penting lainnya yang harus dilakukan untuk mempertahankan hubungan genealogis dalam diaspora yang dilakukan.
Di sisi yang berbeda, sebagaimana Engseng Ho mengingatkan kita, bahwa ke-sayyid-an seseorang di masa kini dapat pula dimunculkan dalam penanda identitas yang diakui secara internasional : passport. Melalui passport lah diaspora abad modern dilakukan. Melalui passport lah ke-sayyid-an seseorang dipertahankan. Barangkali agak mirip dengan Surat Kekancingan yang dibuat oleh Keraton Jawa, yang mengakui seseorang sebagai bagian dari trah darah biru. Maka melalui surat-surat dan dokumen lah trah keluarga sayyid Hadrami dipertahankan dengan membuktikan seseorang sebagai bagian dari keluarga besar sayyid.
Dengan bukti tertulis, berupa hubungan-hubungan genealogis, seseorang dapat dengan mudah mempertahankan identitasnya, sekaligus menjadi acuan bagi kehidupannya. Para sayyid Hadrami ini pun, menggunakan bukti ke-sayyid-annya, memperoleh berbagai benefit dari masyarakat lokal di mana mereka meletakkan diri mereka dalam masyarakat. Benefit yang muncul sebagai akibat posisi mereka sebagai kosmopolitan lokal, dan dengannya mereka dapat memperoleh posisi yang lebih strategis dalam dinamika kehidupan di masyarakat.
Buku ini, meskipun membingungkan untuk dibaca, terutama kesukaan Engseng Ho menggunakan istilah yang aneh dan tidak biasa, misalnya kreol, yang sepengetahuan saya digunakan untuk merujuk pada orang keturunan negro atau Eropa di Hindia Barat, namun digunakan sebagai sinonim atas muwallad. Demikian pula dengan teks-teks, yang saya pribadi tidak terlalu paham atas teks-teks tersebut. Terlepas dari berbagai kesulitan, buku ini adalah buku yang sangat baik menggambarkan mengenai diaspora para Hadrami, dan dengannya memberikan gambaran bagi saya, mengapa para sayyid yang saya kenal begitu sama sekaligus begitu berbeda, walaupun saya sangat ragu, bahwa para sayyid yang saya kenal tidak lagi memiliki hubungan erat dengan tanah kelahiran mereka.
Model ini tentu saja menerima banyak kritik dan serangan, terutama kritik-kritik yang mempertanyakan mengenai posisi peneliti dan hubungan antara peneliti dengan subjek yang diteliti. Serangan yang datang, utamanya melihat bias yang muncul dalam tradisi antropologi, apakah itu bias kolonial, bias androsentris, maupun bias rasial dan politis. Berbagai pendekatan baru muncul yang berusaha mengeliminasi bias-bias tersebut, dan bagaimana meletakkan antropologi dalam suatu tradisi yang menyetarakan, antara peneliti dan subjek, dan membangun hubungan yang lebih manusiawi.
Dalam konteks perdebatan teoritik dalam antropologi, pedebatan yang muncul membawa ke arah pengembangan pendekatan baru yang menjauh dari membangun tipologi-tipologi dari masyarakat dan kebudayaan ke arah pembangunan pengetahuan yang lebih menitikberatkan pada pemahaman akan realitas masyarakat dan kebudayaan yang saling terinterkoneksi dalam jejaring hubungan antarwilayah, antarnegara, antarpopulasi, dan antarindividu.
Perdebatan mengenai ‘power’, dan kritik yang muncul atas ‘power’ itu sendiri, membawa implikasi lain: pendefinisian kembali dikotomi antropologi klasik atas konsep ‘we’ versus ‘the other’. Redefinisi ini memberikan arah pada diskusi yang lebih kritis terhadap persoalan posisionalitas peneliti terhadap masyarakat yang menjadi subjek penelitian, juga perdebatan mengenai subjektivitas dan refleksivitas. Hal-hal ini pada gilirannya akan membawa kita pada persoalan produksi pengetahuan, yang selama ini sangat bias, mengenai kebenaran dan pengetahuan ilmiah.
II
“… it is important to define what constitutes engagement and collaborative
work in anthropological practice in order to avoid presenting them as
a sort of politicized straitjacket for the researcher.”
Dalam kaitan dengan hal-hal tersebut di atas lah, Cervone menegaskan pentingnya untuk membangun hubungan erat (engagement) antara antropolog yang melakukan penelitian dengan subjek penelitian. Hubungan ini pada dasarnya adalah upaya mendekatkan antropologi dengan subjek, yang dengannya diharapkan mampu meminimalkan bias, dan membawa suara-suara yang selama ini dibungkam. Perubahan dalam praktik antropologi ini, yakni dengan membangun engagement, bukan lah tanpa persoalan sama sekali. Beberapa hal harus diperhatikan dalam membangun hubungan erat ini, antara lain adalah bahwa hubungan erat ini adalah respon atas permintaan dari subjek terhadap posisi yang jelas seorang peneliti. Hubungan ini tidak hanya berkaitan dengan persoalan etis dan teoritis semata, namun juga persoalan politis yang mempengaruhi produksi pengetahuan dalam disiplin antropologi.
Hubungan yang erat adalah salah satu cara untuk mengurangi bias dan mendefinisikan ulang ‘power’ yang dimiliki peneliti, terutama adalah posisi peneliti terhadap subjek yang diteliti. Beberapa pihak, seperti Lamphere misalnya, melihat hal ini berkaitan erat dengan pengetahuan antropologis yang tersedia secara massal di wilayah publik dan memperluas pengaruh antropologi dalam arena politik dan perdebatan kebijakan. Beberapa orang melihat hal ini sebagai upaya untuk membuat sinergi, sebab interpretasi atas kompleksitas global dalam masyarakat yang diteliti hanya dapat dilakukan dengan membangun kolaborasi dengan masyarakat tersebut. Dalam hal ini, hubungan tersebut membawa implikasi metodologis, yakni mendudukkan anggota komunitas sebagai kontributor dalam mendefinisikan relevansi studi dengan pengetahuan yang mereka miliki, dan apa yang ingin mereka hasilkan. Dengan demikian, terjadi perubahan posisi, dari sekedar objek yang pasif berbicara menjadi subjek yang berbicara bagi diri mereka sendiri.
Tentu saja terdapat dilema dalam pelaksanaan engagement ini. Salah satu dilema utamanya terletak pada loyalitas yang terbagi, antara kepentingan analisis dan penemuan pengetahuan di satu sisi, dengan komitmen etis dan politis di sisi yang lain. Masalah ini tentu saja akan muncul sesuai dengan konteks yang berbeda-beda, dan berhubungan dengan tensi dan kontradiksi dalam setiap formasi sosial ketika penelitian tersebut dilangsungkan. Dilema lain yang juga muncul adalah posisi antropolog itu sendiri, terutama terkait dengan peran aktif dan publik yang dimainkan, yang menunjukkan tanggungjawab antropolog telah lebih jauh ke depan di luar tugas utama mereka sebagai antropolog untuk memproduksi pengetahuan.
Dilema tersebut bukan tidak diketahui atau dirasakan oleh Cervone, sebagaimana pengakuannya sendiri, bahwa posisinya sebagai peneliti telah bergeser, dari sekedar gringos (the other) menjadi compañera dalam masyarakat yang ia teliti. Dalam hal ini, cervone menitikberatkan pada perlunya membangun engagement untuk membangun produksi pengetahuan etnografis mengenai masyarakat asli yang kontemporer. Hal ini sejalan dengan tantangan Eric Wolf, yang bertujuan untuk membangun sebagai pengetahuan yang memiliki sisi kemanusiaan yang ‘adequate to our time’. Engagement dalam hal ini adalah bentuk yang diambil untuk menjawab tantangan tersebut, sebab melalui engagement lah antropologi dapat menjauhi bias-bias yang selama ini muncul sepanjang tradisi antropologi sebagai disiplin ilmu. Engagement adalah bentuk kritik sekaligus aksi penolakan terhadap diskriminasi, dan merupakan pandangan kritis antropologi mengenai hubungan antara antropologi dan Yang Lain. Cervone memberikan garis penegas, bahwa engagement yang dilakukan harus berjalan dengan kondisi masyarakat yang semakin global dan memiliki berbagai dimensi. Pada akhirnya, engagement tersebut menjadi langkah maju bagi antropologi untuk tidak lagi menoleh pada latar historis yang bias, namun menuju disiplin yang egaliter dan manusiawi.