Anda tahu, dari dulu saya selalu menghormati profesi guru. Bukan berarti saya tidak menghormati profesi lainnya, namun profesi guru memiliki kelebihan tersendiri. Katakan lah profesi tukang becak, walaupun terkesan sepele, namun ia banyak membantu dalam kemudahan transportasi, and that’s it. Contoh lain, misalnya penjual nasi uduk. Penjual nasi uduk bertugas menyiapkan bahan dagangan sejak subuh (jika ia buka pagi) atau sore hari (jika ia buka malam), dan kemudian berjualan di jam yang biasa, terjadi transaksi, and that’s it. Ambil contoh lagi rentenir, meskipun banyak dikritik karena berperan sebagai lintah darat, namun profesi ini begitu dipuja oleh mereka yang berhubungan dekat dengannya, and that’s it.
Saya berpikir, bahwa profesi-profesi tersebut bukannya tidak bermanfaat, namun asas dan efek kemanfaatannya hanya lah bersifat parsial, temporer, dan sewaktu. Jika anda lapar pagi hari, anda cukup datang ke penjual nasi uduk, membeli nasi uduk (terjadi transaksi jual-beli), anda makan nasi uduk, dan ketika perut kenyang, maka hati pun senang. Sesederhana itu. Bayangkan dengan profesi sebagai guru. Guru bukan lah profesi yang mirip departemen store. Anda datang, anda ambil apa yang anda butuh, anda bayar, dan selesai. Bukan itu. Sama sekali bukan itu.
Bagi saya, guru lebih tepat dianalogkan seperti kamus atau ensiklopedi. Tempat di mana terdapat segudang pengetahuan, dan yang kita butuhkan hanya lah kata kunci untuk mendapatkan pengetahuan tersebut. Saya selalu memiliki hubungan yang akrab dengan guru-guru saya. Sebab saya berpikir, bahwa saya akan dapat pengetahuan lebih banyak di luar kelas ketimbang di dalam kelas. Dalam hal ini, saya rasa guru adalah sosok yang seakan mengetahui rahasia-rahasia langit.
Saya dulu membayangkan, bahwa guru adalah satu jenis profesi yang tidak banyak menuntut. Ternyata saya salah. Sudah dua tahun ini, menjelang pelaksanaan UN tingkat Madrasah Aliyah, saya selalu diminta mengisi salah satu materi UN: Sosiologi. Menyebalkan sebenarnya. Saya tidak dididik dalam tradisi sosiologi, melainkan antropologi. Meskipun pelaksana kurikulum selalu bilang, kalau sosiologi dan antropologi adalah saudara satu bapak beda ibu. Entah siapa ibu sosiologi dan entah siapa pula ibu antropologi, dan lebih penting lagi, entah siapa bapak sosiologi dan antropologi. Sudah lah, saya toh cukup senang berbagi pengetahuan dengan anak-anak didik saya ^^.
Alkisah, setiap hari jumat siang, selepas salat jumat dan makan siang, saya harus menghadapi gerombolan peserta bimbingan belajar. Tahun lalu saya hanya harus menghadapi 98 orang (3 kelas), tahun ini saya harus menghadapi 122 orang (4 kelas). Luar biasa. Dengan jumlah anak bimbingan begitu besar, saya menyadari besarnya energi yang harus saya habiskan hanya untuk berbincang, berdiskusi, atau sekedar tanya jawab. Waktu yang disediakan pun luar biasa: hanya sembilan puluh menit tatap muka (boleh lah ditambah tiga puluh menit). Tugas saya pun luar biasa: mengajarkan berbagai aspek pembahasan sosiologi sejak kelas X-XII. Tugas ini menjadi semakin luar biasa, sebab sosiologi tidak pernah menjadi mataajaran favorit di lingkungan madrasah tempat saya diminta mengajar. Katakan lah begini. Di pondok pesantren, yang penekanan utama materinya adalah pada rumpun ilmu agama, maka rumpun ilmu sosial nyaris terbengkalai. Bak taman yang harus selalu diurus, rumpun ilmu sosial tidak lain dari taman yang penuh alang-alang. Jangan tanya soal rumpun ilmu alam. Sama kondisinya.
Saya semakin menghormati profesi guru manakala saya, secara langsung dan mendadak, tiba-tiba turut pula menyandang status sebagai guru. Di satu sisi, saya menikmati proses belajar yang saya lakukan. Saya menikmati antusiasme manakala saya membahas topik-topik seperti kenakalan remaja (dalam konteks perilaku menyimpang) maupun kemiskinan (dalam konteks stratifikasi sosial). Di sisi lain, terdapat kesulitan yang harus saya hadapi, tidak hanya pada kesulitan konseptual, namun juga pada tingkat abstraksi fenomena. Terus terang saja, tidak mudah mengajarkan, apa yang saya sebut sebagai, ilmu dewa. Anda boleh jadi bertengkar terus-terusan dengan teman anda, namun bagaimana anda menjelaskannya dalam perspektif konflik? Sama halnya ketika saya harus menjelaskan mengenai kelompok sosial dan norma sosial. Terlihat sederhana (setidaknya bagi saya), namun mengabstraksikan kelompok sosial dan norma sosial menjadi makhluk yang berwujud konkret bukan lah perkara gampang.
Saya semakin tersadar bahwa guru sebagai profesi tidak lah semudah yang saya imajikan. Bayangan saya tentang mudahnya mengajar perlahan memudar dan menghilang, padahal saya bertugas membimbing belajar, itu pun hanya satu mataajaran: sosiologi. Saya mengerti sepenuhnya, mengapa profesi guru begitu mulia. Apa yang semula saya anggap hanya sekedar kegiatan iseng, perlahan mulai mendapat perhatian yang serius dari saya. Saya berterimakasih kepada ibu Nini (Nursamsiah Asharini), yang dengan tegasnya menyatakan bahwa kualitas hasil didik sangat bergantung pada pabriknya. Saya lah pabrik itu. Saya lah yang dengan bodohnya mengambil keputusan untuk membimbing mereka belajar dan dengan idiotnya mengambil peran sebagai pabrik yang mendistribusikan pengetahuan (sambil berharap saya dapat berperan sebagai pabrik yang baik).
Saya menyadari sepenuhnya, bahwa apa yang saya lakukan jauh lebih mudah ketimbang guru aslinya. Saya belum pernah menjadi guru dalam pengertian formal. Saya belum pernah diuber-uber kurikulum karena belum menyerahkan segala tetek-bengek pembelajaran. Berbagai formulir yang harus diisi. Berbagai satuan pelajaran, KTSP, entah apa lagi namanya. Saya hanya lah seorang yang diminta membimbing belajar. Sesederhana itu. Tidak ada tuntutan berlebih yang dibebankan kepada saya. Saya pun berkata pada mereka yang saya ajarkan, bahwa saya bukan lah guru mereka. Saya adalah orang yang diminta membimbing mereka belajar. Sesederhana itu.
Saya pun menyadari, bahwa sebagai seseorang yang diminta mengajar secara temporer, saya tidak memiliki kesempatan berinteraksi dengan seluruh peserta didik dengan intensitas tinggi. Berbeda dengan guru sebenarnya, yang bertatap muka secara reguler dalam waktu lama. Saya tidak perlu dipusingkan dengan anak didik yang memiliki kebutuhan khusus (awalnya saya tidak percaya hingga akhirnya saya menemukan sosok seperti ini dalam gerombolan yang saya bimbing belajar). Namun kondisi ini justru yang membuat saya semakin kagum pada profesi guru. Bagaimana mereka bertanggungjawab untuk mendidik dan mengajarkan (termasuk mendistribusikan pengetahuan secara merata) kepada semua peserta didik (termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus tersebut). Cukup lah yang saya merasakan ‘rasa’ sebagai guru ketika saya membimbing mereka belajar.
Saya tidak pernah menyesali keputusan saya. Meskipun setiap selesai bertugas radang tenggorokan saya selalu kambuh (sebab ruangannya besar sekali dan jumlah peserta bimbingan pun banyak sekali), dan saya harus puasa berbicara beberapa jam setelah bimbingan belajar. Meskipun saya harus menghadapi pertanyaan yang aneh-aneh, bahkan lebih sering keluar dari topik masalah. Meskipun saya harus menghadapi tingkah laku yang telatnya luar biasa. Namun saya menikmatinya (ya anggap saja saya menikmatinya).
Di sisi yang berbeda, saya pun kembali belajar banyak hal tentang sosiologi (akan sangat memalukan dalam bayangan saya, jika saya yang dengan pedenya bicara sosiologi ternyata tidak mengetahui spesies seperti apa sosiologi itu). Saya yang selama ini berkutat pada kajian-kajian antropologi perlahan menyadari, bahwa saya sendiri abai terhadap rumpun keilmuan yang membesarkan saya. Maka saya dengan senang hati (walaupun awalnya terpaksa) kembali membuka buku-buku tentang sosiologi. Apa saja. Mulai dari teori hingga kajian-kajian aplikatif (yang kemudian saya senyum-senyum sendiri sebab ada perlintasan yang sangat dekat dengan antropologi). Saya pun mulai membuka kembali pintu lemari perpustakaan saya, tempat di mana kajian sosiologi dan politik saya letakkan, sambil dalam hati meminta maaf, sebab saya terlalu bernafsu membeli tanpa pernah saya sadari bahwa saya belum pernah membaca buku tersebut.
Semakin saya membaca, semakin saya tersadar, bahwa topik ilmu sosial terlalu luas. Saya sendiri tidak pernah sedikit pun menyatakan bahwa menguasai rumpun ilmu sosial. Sebagaimana mereka, saya pun masih belajar. Namun kondisi ini justru memotivasi saya. Saya pun semakin terprovokasi untuk mendorong mereka yang saya bimbing belajar untuk membuka horizon mereka. Perlahan saya menyadari, betapa kurangnya orang-orang yang mengambil kajian sosial dalam lingkungan sosial saya. Maka saya pun perlahan meninggalkan tugas saya untuk membimbing belajar sesuai dengan materi yang ada dalam Lembar Kerja Siswa. Saya mulai membahas topik-topik yang bersinggungan dan mulai bereksperimen.
Memang tahun lalu saya “gagal” memprovokasi anak-anak bimbingan saya untuk mengambil ilmu sosial. Mudah-mudahan di tahun ini, setidaknya cukup satu orang, yang kemudian berminat untuk mengambil kajian ilmu dalam bidang ilmu sosial. Namun sebagai tenaga dadakan yang diminta untuk mengisi bimbingan belajar, boleh lah saya bersenang hati bahwa setidaknya saya sudah berusaha. Maklum lah. Guru kapiran.