Siang ini (8/2), saya ditelpon oleh teman saya, Jeng Anti, yang dengan senang hati mengaku aktivis (saya sampai sekarang enggan mengaku aktivitis, anggap saja saya kebalikan aktivis: pasivis), yang bercerita mengenai video tentang kerusuhan antaragama, barangkali yang terjadi pada JAI beberapa waktu yang lalu. Setelah Anti menelpon, tidak lama, ponsel saya kembali berdering, kali ini teman saya, Wawan, yang saya secara pribadi kategorikan sebagai pro-kelompok Islam. Dia bercerita tentang video yang sama, namun dalam perspektif yang sama sekali berbeda. Tidak lama setelah Wawan, seorang teman, yang sama pragmatis dan pasivisnya dengan saya menelpon, sebut saja Heru (bukan nama sebenarnya ^^), dia pun bercerita hal yang sama, namun lokusnya kali ini Temanggung.
Agak aneh sebetulnya. Saya, Anti, Wawan, dan Heru memiliki persamaan mendasar sekaligus perbedaan mendasar. Kita berempat hingga saat ini mengaku beragama Islam. Buktinya sederhana, lihat saja KTP masing-masing, masih dengan setia mencantumkan Islam didalamnya. Terlepas dari persoalan ibadah yang merupakan urusan personal, namun saya rasa, kami berempat akan sama-sama marah ketika Islam dilecehkan. Saya rasa, kami berempat dengan senang hati akan melakukan sumpah serapah (barangkali Wawan dengan senang hati turut melempar batu) jika agama (dan kepercayaan) kami diinjak-injak.
Sebagai catatan, anda tidak perlu setuju dengan saya, saya membedakan antara agama dan kepercayaan. Bagi saya, agama adalah sesuatu yang sifatnya transenden, turun dari langit bagi setiap makhluk yang ada di bumi. Namun agama tidak pernah bersifat tunggal, sebab agama tidak pernah termanifestasi dengan dirinya sendiri. Agama apapun, saya percaya, harus mewujud dalam kehidupan. Bahkan agama Islam, tidak serta-merta turun dan mewujud dalam kehidupan dengan sendirinya. Islam harus diserap berdasarkan kultur wilayah masing-masing pemeluknya. Hal ini menyebabkan mengapa kultur Islam di Indonesia begitu berbeda dengan kultur Islam di Timur Tengah. Akan sangat menggelikan, dalam pikiran awam saya, jika kita mengatakan bahwa kultur Islam yang berkembang di Indonesia bukan lah Islam.
Anggap lah begini. Jika dikatakan bahwa Islam yang ada di Indonesia bukan lah Islam, lalu apa yang ada di Indonesia? Islam macam apa yang berkembang di sini? Lalu mengapa kita mengklaim diri sebagai negara dengan pemeluk Islam terbesar di Indonesia? Teman saya, Wawan, yang dengan berani mengatakan bahwa Islam di Indonesia sudah terkontaminasi, bahkan tergagap manakala saya tanyakan, Islam yang bagaimana yang belum terkontaminasi? Apakah Islam khas Arab Saudi? Tahukah dia, bahwa Islam di Arab Saudi pun terkontaminasi dengan Wahabi, bahkan Arab Saudi pun dibangun dengan kontaminasi darah dalam pertempuran yang dimenangkan oleh klan Saud? Apakah Islam khas negara-negara teluk? Tahukah dia bahwa Islam di negara teluk sama kontaminasinya dengan Islam di Indonesia yang begitu erat hubungangelapnya dengan modernitas? Saya sendiri akhirnya bertengkar dengan dengan teman saya itu, si Wawan, yang akhirnya saya katakan “kalo lo mau tinggal di negri yang Islamnya belum terkontaminasi, pergi sana!!! Toh Indonesia tidak akan rugi kehilangan satu orang penduduk”.
Lama saya berpikir tentang Islam di Indonesia. Lalu Islam jenis apa yang berkembang di Indonesia? Bolehkah kita mengatakan bahwa Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam hibrid? Perpaduan yang sangat unik dari tiga jenis kultur: Islam, Hindu, dan Buddha. Bukan kah kita sudah sama-sama tahu, bahwa Islam di Indonesia adalah Islam yang unik. Islam dengan wajah yang berbeda ketimbang mereka yang berasal dari negara-negara lain? Saya sendiri menyaksikan, dalam pelaksanaan haji misalnya, kita tidak dapat mengklaim diri sebagai pemeluk Islam yang paling benar. Apakah jika seorang muslimah harus selalu mengenakan mukena putih? Kan tidak. Bagaimana reaksi anda melihat mukena para jemaah dari Afrika, katakan lah Nigeria, yang berwarna kuning terang dengan beragam ornamen tumbuhan dan bunga-bunga ukuran besar dan berwarna menyala? Bagaimana reaksi kita terhadap jemaah dari Pakistan yang kalau tawaf asal sruduk? Bahkan di rumah Allah yang paling mulia? Atau jemaah dari kita sendiri, Indonsia, yang penuh warna-warni? Bagaimana reaksi kita melihat para jemaah dari Timur Tengah yang ternyata menggoda para jamaah perempuan kita? Lalu Islam macam apa yang ada pada mereka? apakah mereka bukan Islam? Tentu saja sebuah kecelakaan besar manakala kita menganggap mereka bukan Islam.
Bagi saya, yang selama ini mengaku diri sebagai pemeluk Islam, saya tidak pernah membayangkan diri saya sebagai pemeluk Islam yang sempurna. Saya hanya lah orang biasa, yang seringkali merasa senang berbuat baik dan tidak merasa susah ketika berbuat tidak baik. Itu adalah kodrat saya sebagai manusia. Saya hanya orang yang mencoba berbuat sebagaimana dianjurkan dalam ajaran agama saya. Secara sederhana, saya adalah pemeluk Islam yang sedang berproses. Oleh karenanya, saya sering berada dalam satu posisi yang, saya yakin, berada di tengah-tengah.
Saya sering tertawa manakala teman saya, si Wawan, memprovokasi saya agar saya masuk dalam kelompok pembela Islam, apapun namanya. Saya katakan hal itu bid’ah. Giliran teman saya yang tertawa (walopun tertawa kecut). Saya katakan, setahu saya, pada zaman Nabi Muhammad SAW, tidak ada kelompok seperti itu. Saya menggunakan logika dia, yang menolak berbagai tradisi yang dia katakan sebagai bid’ah sebab tidak pernah dilakukan dan tidak pernah dianjurkan Nabi Muhammad SAW. Saya rasa kasusnya sama saja. Kelompok-kelompok seperti itu, apalagi yang menggunakan kekerasan, tidak pernah pada masa nabi, apalagi Nabi sendiri tidak pernah menganjurkan. Maka, dengan menggunakan logika yang sama, kelompok seperti itu bid’ah. Wa kullu bid’atin dholalah (dan setiap bid’ah adalah sesat), walau saya tidak tahu persis siapa perawi hadis tersebut (saya bahkan ragu kalau itu hadis sahih), dan akhirnya si Wawan marah dan pergi meninggalkan saya yang cuma tertawa terkikik-kikik.
Kembali ke soal teman-teman saya. Anti, sang aktivis, bertanya kepada saya, mengapa tidak banyak para aktivis yang muslim yang berteriak? Entah karena alasan apa, tiba-tiba saya berkata, sebab para aktivis sedang tiarap dulu. Saya sendiri menyadari sepenuhnya, tidak semua aktivis berada pada tingkat elite, sehingga mereka agaknya berpikir dua kali untuk mengutarakan pendapat. Salah-salah, malah dia yang kena serang oleh kelompok-kelompok liar tersebut. Tidak ada jaminan sedikit pun, bahwa mereka yang kemudian berteriak atas nama keadilan dan hak asasi manusia akan dilindungi hak asasinya. Bahkan tidak ada jaminan negara tidak turut campur dalam hal ini. Bukan kah kita sudah belajar dari pengalaman, bahwa pelaku kekerasan semacam ini hanya akan menjadi bintang sinetron baru yang masuk ke layar kaca tanpa pernah memperoleh ganjaran?
Saya menyebut tindakan mereka sebagai tindakan premanisme yang diizinkan oleh negara, dan kelompok mereka adalah anak haram dari negara. Tidak akan diakui secara formal namun jelas keberadaannya. Sebuah negara, entah karena alasan apa, membiarkan penyimpangan terjadi. Sebuah penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok, kumpulan individu dengan orientasi tujuan yang sama, yang kemudian dilegalkan oleh negara. “Apa yang salah dengan semua itu?”, tanya Heru, “semua”, jawab saya. Negara jelas salah karena membiarkan anak haramnya tumbuh subur dan berkembang. Kita pun salah karena membiarkan sekelompok orang liar berkumpul, bersyarikat, dan berjanji setia untuk mewujudkan mimpinya, yang dalam prosesnya ternyata melakukan tindakan yang berlawanan dengan norma sosial yang kita anut.
Namun saya berpikir ulang mengenai pendapat saya di atas. Benarkah kelompok-kelompok tersebut adalah preman yang dilindungi negara? Kakak saya pernah berkata, bahwa kelompok seperti itu kadangkala ada manfaatnya, manakala ummat Islam cenderung diam melihat kemunkaran. Namun apa iya, dan dibolehkan, memberangus kemunkaran dengan membuat kemunkaran yang sama? Tidak kah itu sama dengan mengepel lantai kotor dengan kain pel yang sama kotornya? Anggap lah begini. Jika mereka memberangus kemunkaran dengan membuat kemunkaran baru, siapa yang harus bertanggungjawab membersihkan kemunkaran yang mereka buat? Bagi saya yang pragmatis, itu sama saja dengan kerja dua kali. Bukan kah akan lebih baik jika setiap pihak dengan kepala dingin duduk dan berdialog? Bukan kah Allah SWT telah memberikan akal kepada kita? Lalu mengapa kita tidak menggunakannya? Bukan kah keengganan kita menandakan ketidakmampuan kita mensyukuri nikmat Allah?
Lebih jauh, di mana peran negara sebetulnya? Posisi ini bagi saya penting. Tidak ada manfaatnya sama sekali jika kita hanya debat kusir soal keberadaan kelompok-kelompok ini. Saya beranggapan, pihak yang kali pertama harus bertanggungjawab terhadap keberadaan kelompok ini adalah negara. Sebab negara memiliki wewenang utama dalam membuat aturan main. Kita semua adalah pemain dalam satu lapangan yang sama, namun celakanya memiliki aturan main yang berbeda. Saya misalnya, ketika saya membakar sarana ibadah, tentu akan dijatuhi sanksi, seperti mereka yang melakukan tindakan yang serupa. Namun apakah ada jaminan bahwa sanksi yang saya terima akan sama dengan mereka? Saya rasa tidak.
Sejujurnya saya seperti berada di dalam kungkungan tirani minoritas. Di luar bayangan orang mengenai posisi ummat Islam sebagai mayoritas di Indonesia, kami (anda boleh tidak setuju, namun anggap saja saya mewakili mereka yang dianggap mayoritas) tertindas oleh para orang-orang yang mengaku memiliki agama yang sama. Kami terlindas oleh tirani minoritas, yang celakanya, seperti anjing rewel yang terus menggonggong, merongrong kehidupan tuannya. Saya berpikir, mereka yang selama ini berada dalam payung agama yang sama, ternyata memiliki persepsi yang begitu berbeda dengan apa yang saya persepsikan.
Saya pikir, benar adanya anggapan bahwa Islam Indonesia sendiri tidak lah monolitik. Islam Indonesia sangat lah beragam, sebagaimana Islam itu sendiri sangat beragam. Hanya saya kadangkala risih melihat pemberitaan, bagaimana keragaman tersebut disalahartikan. Saya tidak pernah menafikan bahwa dalam agama lain pun pasti terdapat kelompok garis keras, hanya saja mereka tidak terekspos dengan begitu vulgar. Barangkali mereka tidak memiliki agenda kerusuhan yang luar biasa sehingga kurang terekspos, berbeda dengan kelompok yang mengaku membela Islam.
Di sini lah letak sulitnya. Bagi saya, agama bersifat universal, namun bagaimana kita mempercayai agama sangatlah partikular dan individual. Saya tidak bisa memaksakan apa yang saya percaya kepada orang lain, sebagaimana orang lain pun tidak dapat melakukan hal yang sama. Saya merasa, jika semua orang menyadari sepenuhnya betapa partikular dan individualnya kepercayaan itu, maka seharusnya kita pun menyadari, bahwa klaim tindakan atas nama agama, sama halnya kekerasan atas nama agama tidak pernah dapat dibenarkan, dalam ajaran agama manapun. Saya meyakini sepenuhnya, bahwa tindakan kita untuk melakukan kekerasan, apalagi sampai pembunuhan, adalah sama dengan mempermalukan, bahkan sama dengan memakan bangkai saudaranya sendiri. Bukan kah Islam mengajarkan, siapa yang membunuh satu orang adalah sama dengan membunuh semua orang? Lalu bagaimana mungkin tindak keji itu terjadi?
Dalam hal ini lah saya merasa terjajah oleh tirani minoritas. Saya meyakini bahwa secara kuantitas, jumlah mereka tidak lah banyak. Memang belum ada survei resmi yang menyatakan jumlah mereka secara kuantitas, namun kalangan minoritas ini seringkali sangat mengganggu dan menyebalkan. Saya seringkali merasa, bahwa mereka bertindak layaknya Satpol PP (maaf ya bagi Satpol PP). Tensi kemarahan mereka sama (adalah sebuah kecelakaan luar biasa jika kedua pihak ini bertemu seperti yang terjadi dalam kasus Mbah Priok), bahkan peralatannya pun sama. Satu hal yang saya syukuri: mereka tidak punya (dan mudah-mudahan tidak akan punya) senjata api. Namun saya ragu, sampai kapan saya dapat bersyukur atas hal itu. Bahkan tanpa senjata api, mereka lebih galak ketimbang preman pasar, dan lebih ngawur ketimbang orang kesurupan.
Barangkali jawaban saya atas pertanyaan Anti benar, bahwa mereka yang peduli pada kebenaran bukannya tidak ada, mereka hanya tiarap sejenak sambil berpikir apa yang akan dilakukan. Ada baiknya kita melindungi diri kita sendiri, terlebih manakala negara tidak mampu memberikan perlindungan. Bukan kah Allah sendiri yang menyatakan bahwa kita harus menjaga diri kita sendiri? Saya tidak ingin mati konyol dibantai di depan kos saya hanya karena saya protes, yang saya tahu benar bahwa protes saya tidak akan didengar oleh mereka maupun tuan-tuannya. Saya tidak mau keluarga saya tiba-tiba mendapat kabar bahwa saya mati terbunuh oleh orang-orang yang mengaku memiliki keimanan yang sama dengan saya. Oleh karena itu, maafkan sikap pengecut saya yang hanya dapat protes melalui media digital. Sebab saya tahu, teknologi digital dapat lebih bermanfaat, dan dapat lebih melindungi ketimbang polisi dan Brimob (yang bahkan markasnya tidak jauh dari tempat kos saya).
Saya berkeluh-kesah pada teman saya, Heru, yang dalam beberapa hal memiliki kesamaan pandang dengan saya. Agaknya apa yang dikatakan Heru masih membekas dalam pikiran saya yang kusut ini, bahwa “mereka melakukannya untuk mendapat ganjaran surga”. Lama saya berpikir. Setahu saya, surga (dan neraka) adalah hak prerogratif Allah SWT. Bahkan Nabi Muhammad SAW hanya memiliki wewenang memberikan syafaat, bantuan, bukan menentukan apakah seseorang itu berhak masuk surga atau negara. Jika kita menempatkan hak atas surga kepada Allah, maka adalah sangat menggelikan jika ada sekelompok orang meyakini dengan sepenuh hati bahwa mereka pasti akan masuk surga. Pun kita menerima ide tersebut, terutama saya pribadi, agaknya saya boleh juga mengklaim bahwa saya pun pasti akan masuk surga. Alasannya sederhana: saya adalah muslim yang sedang dalam proses menjadi muslim yang taat, plus saya tidak pernah melakukan tindakan kekerasan yang merugikan orang lain, apalagi sampai berperan sebagai wakil Izrail, si pencabut nyawa. Bagi saya, klaim saya lebih mungkin diterima Allah ketimbang klaim mereka. Setidaknya itu yang ada dalam jalan pikiran kusut saya.