Sebelumnya saya ucapkan terimakasih kepada seluruh saudara, kerabat, kolega dan sahabat, yang dengan senang hati (agaknya saya terlalu geer) meluangkan waktunya yang begitu berharga untuk mengucapkan selamat kepada saya. Baik lisan, surat elektronik, pesan singkat, via FB, dan lain sebagainya. Dirgahayu. Semoga Tuhan memberikan imbalan yang maha besar kepada anda semua.
Tahun ini adalah tahun yang spesial bagi saya. Bukan berarti tahun-tahun lalu tidak spesial sama sekali, namun anda hanya memiliki kesempatan satu kali untuk dapat menikmati usia 25 tahun. Sungguh bukan perjalanan yang singkat, pun bukan perjalanan yang lambat. Bagi saya, waktu adalah relatif. Relativitas waktu hanya dapat diukur berdasarkan apa yang saya lakukan, bukan apa yang saya inginkan. Saya sadari sepenuhnya, sebagai makhluk lemah, saya bukan lah siapa-siapa tanpa bantuan Allah dan orang-orang di sekitar saya.
Saya tidak pernah berpikir, sekecil apapun, bahwa apa terjadi pada diri saya semata adalah karena diri saya. Walaupun saya tidak pernah mengaku sebagai hamba yang kelewat taat, namun saya menyadari, bahwa begitu besar pengaruh Allah dalam kehidupan saya (bahkan kehidupan itu sendiri tidak lebih dari pinjaman yang kelak harus saya kembalikan).
Saya menyadari pula, bahwa saya tidak lain adalah makhluk sosial. Tidak pernah terbayang, bahkan dalam pikiran yang paling liar sekalipun, bahwa saya menjadi makhluk yang tidak memiliki hutang sosial. Saya bukan lah tarzan yang dapat hidup hanya ditemani gorila dan orangutan. Saya adalah manusia sosial. Manusia biasa yang dalam habitat hidupnya selalu bergantung pada orang lain. Saya adalah manusia yang keberadaannya dipengaruhi oleh keberadaan orang lain. Berdasarkan asumsi tersebut, maka sangat wajar kiranya jika saya berhutang pada semua orang yang pernah, masih, dan akan singgah dalam kehidupan saya. Akan sangat celaka jika saya menafikan keberadaan mereka. Saya toh tidak dapat mengklaim bahwa saya saat ini adalah karena saya pribadi. Oleh karena itu, maafkan kesombongan yang pernah saya lakukan, dan yakin lah bahwa saya akan selalu mengingat hutang sosial saya.
Sudah dua puluh lima tahun, dan mereka yang di sekeliling saya….
Banyak hal terjadi, terlalu banyak malah. Saya merasa bahwa hidup sesungguhnya adalah sebuah proses yang tidak pernah selesai, setidaknya hingga saat ini. Saya mengamati diri saya, sambil membiarkan pikiran saya mengalir kemana-mana, mengizinkan jari tangan saya bermain pada Toshiba saya (yang baru saya sadari telah menjadi teman terbaik saya selama empat tahun ini), dan membiarkan keriuhan tetangga kos yang ributnya minta ampun. Saya membiarkan semuanya mengalir, membuka selubung gelap, dan membiarkan riak masa lalu perlahan hadir dalam diri saya.
Saya berpikir, bahwa saya telah mengalami serangkaian peristiwa yang begitu luar biasa. Dua puluh lima tahun yang lalu, tidak ada satu pun yang berpikir bahwa saya akan menjadi saya saat ini. Tidak saya, atau bahkan orangtua saya sendiri. Boleh lah saya katakan bahwa semuanya mengalir seperti aliran Bengawan Solo atau kali Bekasi. Namun riak adalah sebuah keniscayaan. Allah sendiri tidak lah menentukan nasib kita sepenuhnya. Saya menyadari riak-riak tersebut. Saya menyadari bahwa sejak awal, saya memiliki peran untuk menentukan akan jadi apa diri saya. Namun saya tersadar, barangkali ini delusi, bahwa saya seakan memiliki kontrol sepenuhnya akan hidup saya. Saya sadar bahwa kontrol tersebut tidak pernah saya miliki, atau setidaknya secara penuh.
Saya sadar bahwa saya tidak memiliki diri saya sepenuhnya. Anggap lah diri saya sebagai perseroan terbatas, maka saya sebagai entitas diri tidak memiliki saham penuh. Ada orang-orang yang memiliki saham atas diri saya. Saya sadar betul betapa orangtua saya memiliki saham utama dalam kehidupan saya. Saya sadar sepenunya, bahwa apa yang saya miliki saat ini terbentuk karena pengaruh orangtua saya. Beberapa hari yang lalu saya membaca liputan mengenai Tiger Mother. Ibu yang galak yang mampu melecut anak-anaknya untuk berusaha sekeras mungkin. Ibu saya barangkali dapat digolongkan dalam tipe tersebut (walaupun saya lebih senang membayangkan ibu saya seperti Jenderal Jawa, yang senang membunuh dengan bibir tersenyum). Ibu saya adalah orang yang tidak memberikan banyak toleransi atas ketidakdisiplinan. Tolong jangan salah paham. Bukan berarti saya membenci ibu saya. Bagi saya, ibu saya adalah segalanya. Anda boleh menghina saya semampu anda dan paling saya senyum-senyum, namun jangan harap anda dapat hidup jika menghina ibu saya (sebetulnya ini berlaku bagi ayah saya dan dua orang kakak saya, namun saya pikir saya tidak akan terlalu gelap mata dalam kasus mereka, ya setidaknya anda tidak akan saya bunuh, paling hanya masuk rumah sakit). Ayah saya adalah tipe yang dalam banyak hal berbeda dengan ibu saya. Beliau adalah orang yang humoris, santai, dan setengah gaib. Ayah saya suka pergi tanpa memberitahu, dan tiba-tiba ada di hadapan saya. Bagi saya, hutang terbesar saya adalah pada orangtua saya.
Saya pun memandang foto keluarga saya. Keluarga saya hanya terdiri dari sepasang orang tua, dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan (plus satu orang supir dan pekerja rumah tangga). Sepanjang dua puluh dua tahun hidup saya, mereka lah anggota keluarga saya. Namun jumlahnya bertambah: kakak laki-laki saya telah menikah dan memiliki satu anak, kakak perempuan saya pun sudah menikah dan memiliki satu anak. Praktis hanya tinggal saya yang belum menikah. Barangkali nanti saya akan berpikir untuk menikah, namun setidaknya bukan saat ini, lagi pula yang tidak terlalu terburu-buru untuk memiliki keluarga. Saya pun banyak berhutang pada dua orang kakak saya, yang kepada mereka saya senasib-sepenanggungan. Kami adalah anak-anak yang dibesarkan dalam cara-cara khas orangtua kami, namun kami tidak pernah sama sepenuhnya. Masing-masing adalah individu yang unik.
Selain keluarga inti, saya pun masih dikelilingi oleh banyak orang, utamanya perempuan. Saya dibesarkan dalam lingkungan pendidikan bagi perempuan. Tidak mengherankan jika saya pun dibesarkan dalam lingkungan tersebut, yang menyebabkan saya, dalam derajat tertentu, berhutang pada mereka. Mereka adalah perpanjangantangan dari orangtua saya dalam mendidik saya. Segala pandangan hidup saya saat ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan mereka.
Saya pun berhutang banyak pada mereka yang telah memberikan waktunya dalam membentuk intelektualitas saya. Tanpa guru, saya bukan lah apa-apa. Saya tidak akan memiliki kartu tanda mahasiswa tanpa guru di tingkat kanak-kanak, dasar, menengah, atas, dan sarjana. Saya berhutang banyak hal pada mereka. Saya berhutang atas ilmu pengetahuan yang mereka berikan. Saya tidak akan menjadi seperti saya saat ini tanpa bimbingan mereka.
Satu hal yang tidak mungkin saya lepaskan dari kehidupan saya adalah teman-teman saya. Walaupun saya kadang jengkel setengah mati pada teman-teman saya, namun saya toh adalah makhluk yang sama menjengkelkannya dengan mereka. Agaknya terlalu naif jika saya marah terhadap mereka, sebab saya yakin bahwa saya pun sering membuat mereka marah pada saya. Anggap lah kita sudah mencapai titik impas.
Saya menyadari sepenuhnya, dalam dua puluh lima tahun hidup saya, saya selalu bergantung pada mereka yang ada di sekeliling saya. Saya mensyukuri hal tersebut tanpa ada sedikit pun niat untuk meminta yang lebih dari itu. Satu hal yang saya minta. Bahwa mereka tetap berada di sekitar saya, dan saya yakin sepenuhnya bahwa saya akan baik-baik saja dengan mereka di sekitar saya.
Dua puluh lima tahun, dan apa yang telah terjadi….
Banyak hal terjadi pada diri saya selama dua puluh lima tahun ini. Dekade terakhir adalah masa yang paling menegangkan bagi saya. Saya menyelesaikan pendidikan dasar saya, berlabuh di daerah asing, berkenalan dengan orang baru, memperluas cakrawala, dan mendedah hasrat saya akan jalan-jalan dan makanan. Sungguh sebuah nikmat yang tidak dapat saya ingkari.
Perlahan saya menyadari, bahwa seiring dengan bertambahnya usia (ada pula yang bilang jatah hidup berkurang, tapi kok kesannya kurang optimis ya??? Sungguh terlalu menganalogikan hidup seperti ponsel pra-bayar dengan masa berlaku), saya menjadi semakin matang. Namun ini pun cuma mimpi di siang bolong. Memang ada rasa (atau mimpi?) dalam diri saya, bahwa saya akan beranjak dewasa dan matang. Namun maturitas manusia bukan lah seperti buah yang dapat diukur berdasarkan warna kulit atau daging buah. Masa iya saya membayangkan bahwa diri saya akan matang jika saya dikarbit?? (ada teman yang bilang kalau saya harus dikarbit biar cepat matang, dan saya hanya tertawa, sebab saya bukan mangga). Saya rasa saya bukan tipe orang yang terlalu terburu-buru ingin dikatakan matang. Biar lah semua berjalan sebagaimana adanya. Saya tidak berkeinginan berpura-pura menjadi orang yang bukan diri saya.
Ah tidak terasa. Sesungguhnya saya masih gamang menghadapi usia saya. Apa ya yang sudah saya lakukan? Rasanya masih sedikit sekali, kalau tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali. Saya mengamati orang-orang di sekitar saya. Sungguh kadangkala saya iri. Saya merasa, di tengah usia saya, saya belum berhasil mewujudkan cita-cita saya, keinginan orangtua saya (saya bahkan terlalu takut bertanya apakah mereka bangga terhadap saya). Namun saya tidak pernah menyesal atas apa yang telah terjadi. Saya berpikir bahwa hidup harus didedikasikan atas apa yang akan kita lakukan, bukan apa yang telah dilakukan. Berdasarkan hal itu saya pun meniatkan dalam diri saya untuk lebih bersungguh-sungguh menikmati hidup saya.
Jangan anda berpikir bahwa saya tidak menikmati hidup. Anda pasti setuju jika saya katakan bahwa saya adalah orang yang sangat menikmati hidup saya. Namun ada masanya ketika saya tidak menikmati hidup saya. Saya bosan dengan kegiatan akademik, saya bosan dengan aktivitas saya, saya bosan dengan diri saya. Sesungguhnya ini biasa. Teman-teman saya tentu sudah maklum dengan perubahan temperamen dan suasana batin saya. Beberapa bahkan sudah maklum dengan perubahan gaya saya yang drastis (saya pernah dicaci gara-gara mengubah penampilan, tapi biar lah, anggap saja cari pahala). Saya adalah orang yang menyukai proses. Ya memang saya akui, kadang dalam proses tersebut saya kehilangan arah (sesuatu yang sering saya sebut sebagai temporary madness, cuma kegilaan sementara).
Saya berjanji untuk bersungguh-sungguh menghadapi setiap konsekuensi atas pilihan saya. Saya sadar bahwa segala sesuatu ada biayanya. Ada yang bilang there’s no free lunch, tidak ada makan siang yang gratis. Segala sesuatu ada resikonya. Saya telah memilih untuk menyelesaikan pendidikan saya setinggi yang saya bisa, semampu yang saya gapai, sekuat yang saya lalui. Saya pun sadar, saya kehilangan sebagian dari diri saya. Tenggelam di antara tugas-tugas. Dan saya berjanji, di atas janji saya pada ibu saya, sedikit pun saya tidak akan mengeluh. Tidak sedikit pun akan saya sisakan ruang bagi penyesalan atas pilihan saya. toh saya sudah memilih, maka tanggungjawab saya untuk menyelesaikan pilihan saya tersebut.
Ah… saya sudah berjanji….
Ini lah pengakuan saya. Saya hanya lah seorang laki-laki dari sebuah dusun terpencil yang mencoba keluar dari sangkarnya. Oleh karena itu, maafkan atas kekurangajaran saya, maafkan atas keluguan saya (apa iya saya lugu?), maafkan kesombongan saya. Di luar itu semua, saya adalah saya. Entitas diri yang mewujud dengan segala atribut yang melekat didalamnya. Saya adalah manusia yang sedang berproses dan belajar, maka bantu lah saya untuk menjadi diri saya. Ingatkan saya untuk selalu menjadi diri saya. Bantu lah saya dalam mengeja nama saya sendiri.
Ini lah pengakuan saya. Saya adalah laki-laki yang senang mencoba segala hal, maka izinkan lah saya mengeksplorasi dunia saya. Izinkan saya berkeliling dalam dunia saya. Memang saya akui kadangkala saya tersesat dalam perjalanan saya, namun mohon lah mengerti, bahwa itu adalah bagian dari proses yang harus saya lalui. Izinkan saya melaksanakan keinginan-keinginan saya. barangkali absurd, namun bukan kah manusia telah diberikan hak oleh Tuhan untuk melaksanakan apa yang ia inginkan? Maka biar kan lah saya mencoba banyak hal, setidaknya hal itu berguna bagi diri saya sendiri.
Ini lah pengakuan saya. Saya hanya seorang anak laki-laki yang beranjak dewasa. Dalam proses maturitas itu seringkali saya bersinggungan dengan orang-orang lain. Jika memang proses tersebut tidak berkenan, maka maafkan lah saya. Sungguh tidak ada maksud sedikit pun untuk menjadi begitu egois atau bermaksud menyakiti orang lain. Saya pun menyadari bahwa diri saya bukan lah produk jadi. Saya sedang menulis takdir saya sendiri.
Dua puluh lima tahun pertama, banyak hal luar biasa terjadi pada diri saya. Banyak doa tentu saya panjatnya, hal-hal yang saya inginkan. Namun semuanya saya kembalikan padaMu. Biar lah jalan ini terlalui berdasar ridhaMu. Ajarkan saya untuk menjadi hambaMu yang mudah bersyukur kepadaMu….
Ini lah pengakuan saya. Ini lah hidup saya. Tidak kurang. Tidak lebih.