Saya beruntung dapat mengikuti kegiatan konferensi yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Kajian Perempuan dan Komnas Perempuan tentang hukum dan penghukuman yang diselenggarakan sejak tanggal 28 Nopember-1 desember 2010 di Kampus UI Depok. Ada dua hal yang membuat saya merasa beruntung: satu, saya dapat mendapatkan berbagai data penelitian maupun kajian konseptual mengenai hukum dan penghukuman. Bayangkan kalau saya melakukan penelitian atau belajar sendiri, tentu membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memperoleh berbagai data yang dapat saya peroleh hanya dengan hadir dalam acara tersebut selama tiga hari. Kedua, saya beruntung bahwa saya bertemu dengan beberapa teman lama dan menambah teman baru.
Namun ada hal yang mengganjal dalam pikiran saya, pertanyaan yang diajukan ke saya pada hari pembukaan: “anda aktivis atau akademisi?”. Saya merenung banyak untuk menemukan di mana posisi saya ketika ditanyakan hal tersebut. Boleh lah saya katakan, bahwa sepanjang empat hari penyelenggaraan acara, saya menerima tujuh kali pertanyaan seperti itu, salah satunya dari teman saya di program Pascasarjana Antropologi. Saya bingung menjawab apa ketika ditanyakan hal tersebut, akibatnya saya hanya senyum dan bilang “i’m somewhere in between.”
Teman saya, yang merupakan aktivis, protes ke saya manakala saya menelpon dia dan bertanya mengenai posisi saya, dan tanggapannya atas jawaban yang saya berikan. Bagi teman saya itu, yang sangat saya hormati, posisi saya yang ‘somewhere in between’ adalah posisi yang pengecut. Sebab saya tidak mengambil posisi yang tegas dan jelas, dan bagi teman saya itu, keputusan saya untuk tidak mengambil posisi menggambarkan kegagalan saya dalam melihat realitas empiris. Terus terang saya terganggu dengan pernyataan teman saya itu.
Bagi saya, adalah terlalu naif manakala kita mengkotak-kotakkan antara apa yang sebut sebagai aktivis dan apa yang kita sebut sebagai akademisi. Saya bertanya ke salah seorang teman yang baru saya kenal, dia seorang peneliti di PSW salah satu Universitas Islam Negri, mengenai apa batasan aktivis dan akademisi. Bagi dia, akademisi adalah orang mengabdikan seluruh hidupnya bagi ilmu pengetahuan, sedangkan aktivis adalah orang yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk kemanusiaan.
Menarik, sangat menarik malah, apa yang disampaikan teman baru saya itu. Ada beberapa hal yang kemudian muncul dalam pikiran saya. Jika akademisi adalah orang yang membaktikan seluruh hidupnya bagi ilmu pengetahuan, boleh kan jika saya mengambil kesimpulan bahwa akademisi adalah orang memiliki prinsip ‘science for science’. Bahwa ilmu pengetahuan adalah tujuan utama dalam kehidupannya. Saya mengenal beberapa sosok yang saya rasa dapat digolongkan dalam tipe ini, salah satunya adalah mantan dosen saya di Airlangga, semoga Hyang Widhi memberikan posisi terbaik di sisiNya.
Lalu apa yang dia maksud dengan aktivis? Dia menjelaskan bahwa aktivis adalah orang yang mengabdikan seluruh hidupnya bagi kemanusiaan. Meskipun terkesan sangat general, namun setidaknya, saya rasa, saya mengerti apa yang dimaksud oleh teman saya itu. Bahwa kegiatan aktivis adalah kegiatan yang berhubungan langsung dengan dimensi kemanusiaan, termanifestasi dalam tindakan. Saya mengenal beberapa orang yang saya rasa dapat saya masukkan dalam tipe ini, salah satunya ya teman saya yang bilang kalau saya pengecut itu.
Saya kembali berpikir dan teringat pada beberapa tulisan yang saya baca dalam kuliah saya. Tulisan tersebut menggambarkan betapa kaburnya batasan-batasan antara apa yang kita sebut sebagai aktivis dan apa yang kita sebut sebagai akademisi. Saya teringat tulisan Cervone mengenai engagement dan detachment dalam penelitian. Sebuah pertanyaan mengenai posisi peneliti dalam melakukan penelitian, apakah dia melakukan engagement dengan subjek penelitian, atau apakah dia melakukan detachment terhadap subjek. Engagemen sebagai konsep dapat kita artikan sebagai hubungan antara subjek penelitian dan si peneliti, bagaimana relasi mereka, atau lebih tepatnya apakah peneliti kemudian melakukan tindakan-tindakan advokasi terhadap kebutuhan subjek. Detachment adalah kebalikannya, bahwa si peneliti hanya lah datang untuk meneliti, dia tidak merasa perlu mengetahui persoalan subjek penelitian apalagi mencari solusi atas persoalan tersebut. Saya teringat pula tulisan Madison, yang memberikan saya mimpi buruk di siang hari. Madison menulis mengenai etika dalam penelitian, yakni bagaimana hubungan yang muncul antara peneliti dengan subjek yang diteliti. Saya memahami kritik Madison terhadap penelitian yang meletakkan informan sebagai objek yang pengetahuannya tereksploitasi oleh kepentingan peneliti. Cara agar objek menjadi subjek adalah cara mengubah hubungan antara peneliti dengan informan.
Lalu apa hubungannya dengan persoalan aktivis dan akademisi? Jika kita membenarkan bahwa akademisi hanya lah yang membaktikan hidupnya untuk mendapatkan pengetahuan, maka secara tidak sadar kita membayangkan ilmuan sebagai sekelompok orang yang tinggal di menara gading. Bak dewa kahyangan yang enggan turun ke dunia fana. Jika kita sepakat mengenai hal itu, bagaimana dengan para ilmuan yang, seperti digambarkan Cervone, terlibat langsung dengan subjek penelitian dengan melakukan sejumlah langkah advokasi? Bukan kah mereka akademisi yang melakukan kegiatan aktivis? Lalu berdasarkan kriteria apa kita memasukkan orang-orang ini?
Barangkali persoalannya justru terletak pada kriteria itu. Saya membayangkan asal muasal munculnya kriteria itu sendiri dengan mulai bertanya: mengapa kita merasa perlu untuk membedakan antara aktivis dan akademisi. Teman saya bahkan mengajukan pertanyaan yang lebih provokatif: mengapa orang merasa perlu untuk mengasosiasikan dirinya sebagai aktivis atau akademisi? Terus terang saya belum menemukan jawaban yang memuaskan saya. Satu-satunya jawaban yang muncul adalah jawaban yang disampaikan teman saya yang aktivis itu, bahwa mereka yang memiliki naluri aktivis adalah mereka yang sejak awal terlibat dalam kegiatan-kegiatan di luar akademik.
Saya secara pribadi mencela jawaban tersebut. Bagi saya, sebutan aktivis atau akademisi adalah gelar yang disematkan oleh orang lain kepada diri kita, bukan klaim kita atas kedirian pribadi. Saya sendiri, ketika berbicara dengan teman saya yang bergerak di dunia akademik (saya enggan menyebut mereka akademisi) mengatakan kalau pemikiran terlalu progresif dan kegiatan yang saya lakukan adalah aktivis. Anehnya, ketika saya berbicara dengan teman yang aktif di berbagai lembaga swadaya masyarakat (saya enggan menyebut mereka aktivis) mengatakan bahwa saya adalah akademisi tulen sebab gagasan saya dianggap tidak operasional.
Saya semakin tenggelam dalam kebingungan saya. Apakah seorang aktivis harus selalu memiliki pandangan dan pemikiran yang opersional? Kok aneh ya membayangkan aktivis sebagai orang yang selalu memiliki gagasan yang selalu operasional. Lebih aneh lagi ketika saya membayangkan akademisi sebagai orang yang kutu buku, nerd, dengan kacamata tebal berbingkai dan duduk di balik tumpukan buku yang berdebu. Adalah sangat mustahil untuk membayangkan, bagi saya, bahwa mereka yang dianggap memiliki pemikiran progresif dianggap sebagai bukan akademisi. Jika iya memang begitu, lalu apa yang kita maksud dengan akademisi itu sendiri? Apa perannya? Apa iya peran mereka hanya sebatas berpikir untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru.
Tidak kah pengetahuan pada hakikatnya ditujukan bagi kepentingan kemanusiaan? Dengan demikian, sangat absurd rasanya memikirkan ada orang yang begitu egois, mencari pengetahuan untuk kepentingan diri dan pengetahuan itu sendiri. Mereka yang mementingkan pengetahuan dengan sengaja memperlebar jarak antara pengetahuan dengan kemanusiaan. Saya berpikir, jika memang demikian adanya, barangkali benar bahwa kita perlu membedakan antara akademisi dan aktivis, sebab mereka yang mengaku akademisi lebih mementingkan produksi pengetahuan ketimbang aplikasi pengetahuan dalam konteks realitas empiris.
Namun saya pun berpikir, apa yang kita maksud dengan aktivis? Benarkah bahwa aktivis hanya mereka yang bergerak di lapangan, turun ke jalan, melakukan advokasi terhadap mereka yang termarjinalkan, apakah hanya sebatas itu? Jika pengetahuan asalinya memiliki tujuan untuk kepentingan kemanusiaan, bukan kah akan sangat egois pula jika kemanusiaan berjalan sendiri tanpa pengetahuan? Beberapa teman yang mengaku aktivis mengatakan ke saya, bahwa produksi pengetahuan memang penting, namun jauh lebih penting aksi itu sendiri. Saya membayangkan, jika kita menganggap bahwa aplikasi jauh lebih penting, apa yang kita aplikasikan jika produksi pengetahuan mandeg? Ko rasanya lucu membayangkan kita ribut mengenai kegunaan pengetahuan di dunia nyata tanpa melihat bahwa pengetahuan itu sendiri terus tumbuh dan berkembang.
Saya setuju dengan pendapat dosen saya, yang mengatakan bahwa produksi pengetahuan dan penggunannya tidak dapat dilihat secara hitam-putih atau pun serial. Saya tidak dapat membayangkan produksi pengetahuan terlebih dahulu baru kemudian diaplikasikan, atau sebaliknya. Jika saya kembali ke tulisan Cervone misalnya, saya memahami bahwa dalam proses produksi pengetahuan sangat mungkin untuk diaplikasikan, dan dalam proses aplikasi itu sangat mungkin muncul pengetahuan yang baru. Setidaknya saya membayangkan terdapat proses dialektis antara produksi pengetahuan dan penggunaan pengetahuan itu sendiri.
Jika saya dapat membayangkan proses dialektis tersebut, bukan kah hal yang sama dapat pula dianalogkan pada persoalan akademisi dan aktivis. Bahwa dalam proses produksi pengetahuan berdasarkan prosedur akademis, dapat pula diaplikasikan langsung di lapangan secara aplikatif, dan hasil aplikasi tersebut boleh jadi akan mengubah hasil produksi pengetahuan itu. Dalam hal ini, harusnya kita tidak perlu membenturkan antara apa yang kita sebut sebagai akademisi dan aktivis, sebab dalam prosesnya, kedua pihak ini saling bersimbiosis untuk menciptakan pengetahuan yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
Saya setuju dengan Gadis Arivia, dalam salah satu kalimatnya dalam acara penutup, bahwa tidak mungkin membedakan antara aktivis dan akademisi, terutama dalam konteks Indonesia. Sebab, jika kita sepakat untuk menjadikan aktivis dan akademisi sebagai entitas yang berbeda, aktivis dan akademisi pada hakikatnya saling membutuhkan satu sama lain. Seorang yang bergerak di bidang akademik sangat mungkin setelah mengajar kemudian turun ke jalan untuk melakukan orasi, demikian pula sebaliknya. Hal ini sangat sering terjadi, dan merupakan realitas empiris yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Produksi pengetahuan tidak lah menjadi monopoli mereka yang bergerak di bidang akademik, demikian pula aplikasi pengetahuan yang bukan monopoli mereka yang bergerak di lapangan.
Saya menganggap penting untuk tidak terlalu ketat dalam urusan pembedaan ini. Sebab jika dicermati dengan seksama, tidak ada batasan jelas mengenai apa yang kita sebut sebagai aktivis dan apa yang kita sebut sebagai akademisi. Dalam dunia yang terdeteritorialisasi, batasan subjek menjadi sangat kabur. Saya rasa kita tidak dapat terus bertahan pada sikap yang memberikan batasan yang tegas dan pejal mengenai produksi pengetahuan dan penggunaan pengetahuan. Can we sustain a standpoint in deterritorialized subject?
Saya menduga, mereka yang selalu mengkotak-kotakkan antara bidang akademisi dan bidang aktivis tidak mengikuti perkembangan pengetahuan modern. Sebab pengetahuan semakin berkembang dan mengaburkan batas-batas teritorial yang ‘secara tradisional’ dianggap sebagai lahan aktivis dan lahan akademisi. Batasan-batasan menjadi kabur bukan karena ketidakmampuan pengetahuan untuk membuat garis demarkasi, namun karena pengetahuan itu sendiri berkembang dan melayani kemanusiaan. Dengan perspektif itu, maka batasan-batasan menjadi tidak lagi relevan.
Kemanusiaan menjadi kata kunci, dan melalui kemanusiaan lah hubungan yang erat antara proses produksi pengetahuan dan aplikasi pengetahuan bersinergi. Langkah awal yang saya rasa perlu adalah menghapus batasan-batasan, yang secara empiris memang sudah tidak ada. Pertanyaan mengenai apakah anda aktivis atau akademisi harus ditinggalkan, sebab keduanya (jika memang ada dan berbeda) pada dasarnya melayani tujuan yang sama: kemanusiaan. Kemanusiaan sebagai subjek akan terus berkembang dan mengembangkan pengetahuan untuk mendukung gagasan mengenai kemanusiaan itu sendiri. dalam hal ini, adalah penting untuk meletakkan kemanusiaan sebagai pondasi utama dalam proses dialektis pengetahuan.
Saya rasa penting untuk lebih intens menyelenggarakan berbagai kegiatan-kegiatan yang mempersatukan, antara proses produksi pengetahuan dengan proses penggunaan pengetahuan, dalam momen yang sama, membentuk satu entitas yang utuh. Entitas yang didalamnya kita dapat saling berbagi, bercerita, dan bersinergi. Dalam entitas tersebut, menjadi tidak lagi relevan untuk bertanya apakah saya akademisi atau aktivis sebab kita berjalan di jalur yang sama dan memiliki tujuan yang sama. Anda setuju?