Dunia dalam sebatang ponsel

Catatan: tulisan ini dibuat untuk Konferensi Nasional Menuju Pembangunan Berkelanjutan Indonesia: Pemberdayaan Lintas Studi yang dilaksanakan oleh Universitas Paramadina. Saya berterima kasih atas seluruh masukan atas tulisan saya.

Kemajuan teknologi komunikasi mendorong penetrasi perangkat baru ke pasar Indonesia. Penetrasi ini menjadikan pangsa pasar teknologi komunikasi Indonesia sebagai tujuan pasar yang signifikan. Perangkat komunikasi yang semakin maju dapat pula dilihat sebagai sebuah perkembangan media baru yang menggejala secara global. Perkembangan media baru turut pula mendorong penetrasi teknologi komunikasi ke pangsa pasar yang semakin luas. Dalam konteks Indonesia, kemajuan teknologi komunikasi juga berpengaruh terhadap dinamika ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, penggunaan teknologi komunikasi di Indonesia terbagi berdasarkan segmentasi pasar yang hendak disasar, dan untuk tujuan itu lah teknologi komunikasi semakin diperbaiki dengan satu tujuan: menjadikan dunia mengecil ke dalam sepotong ponsel. // The rises of communication technology push a harder penetration of a new technology into Indonesian communication technologies market. This penetration made Indonesia as a potential and significant market. New technologies can also see as a new growth of a new media as a new phenomenon. In Indonesian context, new technologies also affect not only in macro-micro economy, but also in social and cultural life of Indonesian society. These products of communication technologies bring us into one goal: how to make a world smaller so it can fit just into a bar of a cell phone.

Kata kunci: telepon seluler, komunikasi, media baru

Teknologi komunikasi dan ceruk pasar Indonesia

Sekelompok anak remaja putri berjalan menuju sebuah restoran cepat saji di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Di restoran cepat saji tersebut, mereka memesan sejumlah makanan yang mereka sukai. Setelah makanan tersaji di hadapan mereka, alih-alih mengkonsumsi makanan yang telah mereka pesan, mereka malah lebih asik bermain dengan BB yang mereka miliki. Ketika demam BlackBerry yang merupakan produk dari Research in Motion (RIM) sedang melanda Indonesia, muncul sebuah sindiran halus terhadap para pengguna BB yang lebih asik bermain dengan BB mereka ketimbang berinteraksi dengan orang lain, mereka dikatakan “terserang autis”.[1]

BlackBerry atau BB merupakan salah satu produk komunikasi yang sedang mengalami pertumbuhan paling pesat. Menyasar segmentasi menengah dan para eksekutif, pertumbuhan BB menjadi salah satu pertumbuhan paling pesat di negri ini. Pada medio 2009 saja, diperkirakan jumlah pengguna BB mencapai 300-400 ribu pengguna (lihat Mall Ponsel, t.t.). Pertumbuhan BB sebagai salah satu gadjet komunikasi paling signifikan berjalan sering dengan semakin lebarnya ceruk pangsa pasar komunikasi di Indonesia.

Indonesia merupakan pangsa pasar teknologi komunikasi yang ceruk paling lebar di antara negara lain. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) misalnya, menyebut pertumbuhan ponsel di Indonesia, baik 2G maupun 3G akan mencapai lebih dari seratus juta pengguna di tahun 2011, jauh meninggalkan pengguna telpon rumah atau jaringan telpon tetap (Public Switched Telephone Network/PSTN) yang pada tahun 2011 diprediksi mencapai 10,9 juta pelanggan (lihat depperin.go.id). Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan teknologi komunikasi paling pesat.

Sebagai negara kepulauan, terutama dengan kuantitas jumlah penduduk yang luar biasa, Indonesia menjadi salah satu pangsa pasar telekomunikasi yang signifikan. Secara kasar, hingga tahun 2011, diperkirakan baru 100 juta penduduk Indonesia yang menggunakan telekomunikasi nirkabel, atau hanya setengah dari populasi rakyat Indonesia. Dengan konsekuensi demikian, sangat rasional jika berbagai produsen menjadikan ceruk pasar Indonesia sebagai ceruk pasar yang sangat signifikan. Tidak mengherankan jika pasar teknologi komunikasi di Indonesia dianggap sebagai pangsa pasar yang layak dibanjiri produk telekomunikasi dari seluruh produsen.

Berbagai produsen nampaknya berlomba untuk memberikan perubahan dalam setiap ponsel yang mereka keluarkan. Tidak hanya dari sisi desain, perubahan yang dilakukan oleh para produsen pun menyangkut teknologi yang dibawa oleh produk yang mereka hasilkan. Berbagai kualitas konten dari ponsel terus mengalami peningkatan, mulai dengan diperkenalkan 1G (generasi pertama), 2G (generasi kedua), 3G (generasi ketiga), hingga 4G (generasi keempat).

Peningkatan kualitas konten dan layanan menjadi andalan utama, selain perbaikan desain, dari para pabrikan ponsel. Meskipun belum pernah dilakukan survei yang akurat, nampaknya kecenderungan pihak pabrikan untuk meletakkan teknologi tercanggih mereka ke dalam sebuah ponsel yang digolongkan ­high-end dikaitkan dengan pangsa pasar yang mereka tuju. Konsekuensi dari kebijakan pabrikan tersebut adalah munculnya segmentasi pasar yang dikaitkan dengan kualitas teknologi yang mereka benamkan ke dalam ponsel yang mereka hasilkan. Dengan demikian, sebuah ponsel tidak hanya menjadi sebuah media komunikasi nirkabel atau media pencari informasi, lebih jauh, ponsel telah menjadi penanda identitas seseorang.

Media baru dan perkembangan teknologi komunikasi

Media baru, menurut laman ensiklopedia digital Wikipedia, dapat dilihat sebagai gejala kebangkitan dalam bidang teknologi komunikasi yang semakin digital, terkomputerisasi, dan terintegrasi sebagai jaringan global. Lebih jauh, istilah ini lebih merujuk pada situasi di mana segala sesuatu dikatakan sebagai digital (lihat wikipedia – new media, t.t.b). Jika merujuk pada istilah ini, maka media baru secara signifikan menghapus batasan-batasan ruang dan waktu, di mana setiap orang dapat berinteraksi dengan orang lain tanpa memperhatikan batasan jarak geografis maupun batasan perbedaan waktu.

Media baru dapat dilihat sebagai sebuah produk ‘mediated communication technologies’ yang muncul secara linier dengan digital komputer. Sebelum era 1980an, sebagian besar media komunikasi berada dalam domain analog atau cetak, seperti surat kabar, televisi, sinema, maupun radio. Era media baru mendorong produk-produk ke arah digital, dibuktikan dengan munculnya produk televisi digital, radio digital, surat kabar digital, dan lain sebagainya. Creeber dan Martin (2009) mengasosiasikan media baru dengan sejumlah produk teknologi komunikasi seperti internet (world wide web [www]), televisi dan radio digital, komputer personal (PC) dan notebook, CD (compact disc) dan DVD (digital video disc atau digital versatile disc), telepon selular atau nirkabel, musik digital dan portabel (dengan berbagai format), dan lain sebagainya.

Sebagai sebuah bagian dari media baru, perkembangan telepon seluler sangat pesat, baik dari sisi desain maupun teknologi yang dibenamkan.[2] Generasi pertama (1G) dari telepon seluler misalnya, masih mempergunakan sistem analog sebagai basis utama penerimaan sinyal. Kondisi ini menyebabkan telepon generasi pertama sangat sulit untuk dioperasikan secara maksimal. Pada gerenasi kedua (2G), telah ada perbaikan, terutama dengan dijadikannya jalur digital sebagai kanal utama penerimaan sinyal. Generasi kedua (2G) masih digunakan hingga saat ini, yakni layanan paling standar yang dipakai di hampir sebagian besar negara di dunia: GSM.

GSM atau Global System for Mobile Communication adalah standar operasional telepon nirkabel di sebagian besar negara. Dengan diadopsinya GSM sebagai portal utama, seluruh pengguna GSM dapat berkomunikasi dengan pengguna GSM lain yang berbeda operator dari seluruh dunia. Penggunaan generasi kedua (2G) juga ditandai dengan adanya portal data yang termasuk dalam kanal ditigal yang digunakan. Portal data seperti GPRS (General Packet Radio Service) merupakan kanal pengiriman data yang paling awal digunakan. Pada generasi selanjutnya, muncul EDGE (Enhanced Data rates for GSM Evolutions) yang merupakan pengembangan dari GPRS. EDGE memungkinkan pengguna ponsel untuk melakukan koneksi data dengan lebih cepat ketimbang GRPS biasa.

Setelah era generasi kedua (2G), muncul generasi ketiga (3G) yang menyempurnakan generasi selanjutnya. Perkembangan yang muncul pada generasi ketiga lebih menitikberatkan pada peningkatan kemampuan ponsel dalam komunikasi data, sehingga portal data yang disediakan mampu untuk melakukan fungsi pengunduhan maupun pengiriman data dengan lebih cepat dan efisien. Penyempurnaan EDGE menjadi UMTS (Universal Mobile Telecommunication Systems) memungkinkan peningkatan kapasitas pengiriman data mencapai 1.1 Mbps (Mega Byte per Second), meskipun kualitas ini agak sulit dilakukan oleh operator GSM di Indonesia yang hanya mencapai 384 Kbps (Kilo Byte per Second).

Generasi ketiga (3G) pun terus mengalami peningkatan kualitas yang lagi-lagi difokuskan pada teknologi komunikasi, baik layanan suara maupun data. Hal ini ditandai dengan munculnya 3.5G yang ditandai dengan adanya layanan HSDPA (High-Speed Downlink Packet Access) yang mampu mencapai 1.8 Mbps hingga 3.6 Mbps. Lebih jauh, kini telah muncul generasi 3.75G yang ditandai dengan adanya layanan HSUPA (High-Speed Uplink Packet Access) yang mampu melayani koneksi mencapai 7.2 Mbps. Baik HSDPA maupun HSUPA merupakan layanan data digital yang paling banyak mendapat perhatian, sebab layanan ini mampu mengirimkan maupun menerima data digital dengan lebih cepat. HSDPA dan HSUPA memungkinkan setiap pengguna ponsel yang telah mendukung teknologi ini untuk dapat melakukan video streaming, koneksi internet yang jauh lebih cepat, dan melakukan pengunduhan maupun pengiriman data menjadi lebih singkat.

Generasi selanjutnya yang siap melaju adalah hasil evolusi dari GSM, yakni LTE (Long Term Evolution). Evolusi teknologi GSM ini memungkinkan pengguna telepon seluler yang telah mendukung teknologi LTE untuk mengunduh sebuah file sebesar 700 MB dalam waktu kurang dari satu menit, sebab teknologi LTE memungkinkan adanya kapasitas kanal data sebesar 100 Mbps. Meskipun tidak hanya evolusi GSM, sebab LTE merupakan kelanjutan dari megaproyek 3.5G, LTE juga diadaptasi oleh CDMA (lihat Republika 2010b). Hanya saja bagi CDMA diperlukan evolusi kanal, dari sekedar CDMA 2000-1x, menjadi EV-DO (Evolution Data Only) Rev-A, yang kemudian meningkat menjadi EV-DO Rev-B, dan berakhir pada LTE.

Peningkatan kualitas layanan teknologi komunikasi menjadi salah satu ciri utama dari perkembangan media baru di Indonesia. Kondisi ini menjadikan teknologi komunikasi yang semakin maju sebagai bentuk dasar dari berkembangnya media baru di Indonesia, yakni menjadikan layanan dunia maya sebagai dasar dari kualitas layanan di bidang komunikasi. Hal ini mendorong banyak pihak, baik pabrikan untuk terus meningkatkan kualitas ponsel yang dihasilkan, maupun pihak provider telekomunikasi untuk meningkatkan kualitas layanan suara dan data.

Media baru dan implikasi ekonomi

Sebagai sebuah produk budaya, perangkat telekomunikasi, yang juga merupakan media baru, harus dapat diserap oleh pasar. Kondisi ini mempersyarat-kan adanya invasi pasar yang bersifat massif (lihat Varian, Farrell, dan Shapiro 2004). Hal ini pula yang nampaknya disadari betul oleh pabrikan, di mana mereka secara total dan serius menggarap pangsa pasar telekomunikasi di Indonesia. Di sisi yang berbeda, pabrikan menyadari sepenuhnya bahwa pangsa pasar yang paling potensial adalah ponsel dalam kategori low-end (lihat X-Phones, t.t.), hal ini boleh jadi didorong adanya realitas bahwa sebagian besar pengguna ponsel adalah kelas menengah bawah.

Secara umum dapat dikatakan bahwa ponsel dengan kategori high-end merupakan ponsel berkategori ponsel pintar. Ponsel dengan kategori high-end lebih banyak menyasar pasar menengah atas, dengan demikian pihak pabrikan jauh lebih mudah dalam mengaplikasi teknologi terbaru, termasuk dengan membenamkan teknologi berselancar di dunia maya yang lebih cepat dan stabil. Meskipun pasar ponsel high-end lebih didominasi ponsel pintar dengan kisaran harga relatif tinggi, namun pangsa pasar ini memiliki jumlah konsumen yang loyal yang selalu menyerap berbagai produk ponsel terbaru yang dikeluarkan. Kondisi ini memungkinkan setiap pabrikan untuk mengeluarkan berbagai ponsel tanpa terlalu memusingkan apakah ponsel yang mereka keluarkan akan diterima pasar dengan baik atau tidak.

Berbeda dengan pangsa pasar menengah yang lebih loyal, konsumen kelas menengah bawah lebih mudah beralih ke berbagai merek ponsel tanpa terlalu memusingkan merek dari pabrikan tertentu. Celah ini lah yang nampaknya dilihat secara cermat oleh para pabrikan untuk menghasilkan berbagai ponsel bagi kelas menengah atau low-end. Berbagai pabrikan nampaknya secara pasti membagi ponsel-ponsel yang mereka keluarkan dengan menyasar tiga segmen yang berbeda, entah itu high-end, middle-end, atau low-end.

Meskipun lebih banyak teknologi terbaru dibenamkan di dalam ponsel high-end, namun tidak berarti tidak ada ponsel low-end yang minim teknologi. Beberapa pabrikan secara sengaja membenamkan teknologi 3G di beberapa ponsel low-end, beberapa bahkan lebih berani dengan membenamkan teknologi HSDPA dalam ponsel low-end yang mereka keluarkan. Para pabrikan yang agak nekad ini tidak hanya dari pabrikan negri Tirai Bambu atau pabrikan lokal, bahkan pabrikan yang selama ini mengusung secara khusus ponsel-ponsel tipe high-end.

Munculnya ponsel high-end maupun low-end dengan kategori teknologi terbaru membawa implikasi ekonomi yang substansial. Setidaknya terdapat tiga implikasi penting dari tindakan para pabrikan untuk mengaplikasi teknologi terbaru dalam ponsel buatan mereka. Pertama, kondisi ini mengisyaratkan adanya demand dari pangsa pasar teknologi komunikasi di Indonesia yang membutuhkan ponsel dengan teknologi terbaru, baik dari kategori high-end maupun low-end. Terlepas dari apakah pihak pabrikan akan mengeluarkannya dalam seri high-end maupun low-end, kondisi ini memaksa pabrikan untuk masuk dalam pangsa pasar teknologi komunikasi di Indonesia secara langsung dan menginfiltrasi pasar dengan kondisi siaga I.

Kedua, berkaitan dengan poin sebelumnya, adalah keputusan para pabrikan untuk masuk masuk dalam pasar teknologi di Indonesia yang memaksa mereka untuk secara intensif mengembangkan teknologi terbaru yang murah meriah. Secara ekonomi, kondisi ini mengharuskan setiap pabrikan untuk lebih memperhatikan divisi teknologi mereka dengan mengucurkan lebih banyak dana untuk keperluan riset. Jika hal ini dilakukan, maka dibutuhkan lebih besar dana dari pihak pabrikan dan lebih banyak margin keuntungan yang akan tergerus. Meksipun demikian, adalah terlalu naif jika berpikir bahwa dengan berkurangnya margin keuntungan, maka setiap pabrikan akan mengalami kerugian besar atau mengalami kebangkrutan total. Kondisi ini tidak pernah terjadi sebab para pabrikan pun memahami sepenuhnya bahwa uang yang mereka gelontorkan dalam divisi pengembangan teknologi akan membawa keuntungan bagi mereka karena berfungsi sebagai investasi (lihat Lucas 1999). Dalam hal ini, implikasi ekonomi yang terjadi hanya berada di sektor internal perusahaan.

Ketiga, dengan teknologi komunikasi yang semakin canggih dan terjangkau, di dukung pula dengan pangsa pasar yang luar biasa besar, maka pilihan yang paling menggiurkan pihak pabrikan adalah membuka pabrik mereka di Indonesia. Tentu saja kondisi ini sangat ditentukan oleh iklim ekonomi, politik dan keamanan di Indonesia. Jika kondisi ini yang terjadi, maka hal ini akan lebih banyak menyerap pasar kerja di Indonesia, dengan demikian terjadi sinergi ekonomis antara permintaan pasar dengan peningkatan penyerapan pasar kerja di bidang teknologi komunikasi.

Tentu saja hal ini boleh jadi merupakan delusi, sebab sebagaimana telah diketahui, sebagian besar pabrikan masih menempatkan Indonesia hanya sebagai target pasar teknologi komunikasi tanpa perlu menempatkan Indonesia sebagai lokasi ideal pabrik mereka. Barangkali kita tidakperlu memusingkan apakah pihak pabrikan akan membuka pabrik mereka di Indonesia yang akan berpengaruh pada penyerapan pasar kerja atau tidak, sebab hal tersebut sebagiannya merupakan tanggungjawab pemerintah, baik sebagai regulator maupun penyedia iklim ekonomi.

Barangkali implikasi ekonomi dari adanya permintaan ponsel yang tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi teks dan suara terletak pada internal pabrikan. Meskipun pemerintah tidak lagi membebankan PPnBM bagi sebagian besar produk telekomunikasi, namun pemerintah masih dapat memperoleh nilai PPN dari produk komunikasi yang diimport. Setidaknya pemerintah masih bisa menerima pendapatan dari kehadiran produk telekomunikasi, namun tetap pihak yang paling diuntungkan adalah pihak pabrikan.

Permintaan yang tinggi terhadap produk teknologi komunikasi yang canggih dan terjangkau disadari sepenuhnya oleh para pabrikan. Tidak mengherankan jika para pabrikan mulai berani membenamkan teknologi tinggi dalam ponsel keluaran mereka yang dikategorikan ­low-end, baik itu teknologi 3G bahkan HSDPA. Terlebih dengan infiltrasi ponsel lokal dan ponsel Cina yang menyerbu secara massal bursa teknologi komunikasi di Indonesia, yang tidak hanya menawarkan harga miring, namun juga menawarkan teknologi komunikasi yang tidak kalah canggih. Sebagian besar ponsel lokal dan Cina yang beredar mengusung platform ponsel layar sentuh dengan teknologi UMTS, meskipun ada pula yang mengusung teknologi 3G yang memungkinkan terjadinya video streaming melalui ponsel. Kondisi ini setidaknya membuat para pabrikan besar harus berpikir ulang mengenai strategi yang mereka pilih untuk menghadang para pabrikan lokal dan Cina ini.

Salah satu strategi menarik yang diambil oleh para pabrikan adalah mengeluarkan ponsel murah dengan teknologi tinggi. Pabrikan besar seperti SE misalnya, pernah mengeluarkan ponsel low-end dengan spesifikasi HSDPA. Beberapa pabrikan lainnya pun mengeluarkan strategi yang sama, namun hanya pada spesifikasi 3G, itu pun dengan kemampuan koneksi data yang tidak stabil. Hanya saja pilihan para pabrikan ini nampaknya tidak lah terserap pasar secara maksimal, sebab pasar teknologi Indonesia saat ini masih terjangkit demam ‘bundling’ yang dilakukan antara operator telepon dengan pihak pabrikan.

Ponsel ‘bundling’ atau paket adalah salah satu jenis ponsel yang paling menyerap pasar telekomunikasi di Indonesia. Model ini mempersyaratkan adanya kerjasama antara operator telekomunikasi dengan produsen ponsel, dan kerjasama ini berujung pada penjualan ponsel tertentu dengan kartu operator tertentu yang telah tertanam di dalamnya atau termasuk dalam paket penjualan. Model bundling seperti ini nampaknya disadari betul sebagai strategi yang menguntungkan, baik operator maupun pabrikan. Pihak pabrikan tidak perlu terlalu khawatir bagaimana menjual ponsel mereka, sebab akan dijual di setiap wilayah penjualan operator, dan pihak operator mendapat keuntungan dengan munculnya pengguna baru.

Pada awalnya kerjasama bundling lebih banyak bergerak bagi ponsel-ponsel lokal maupun ponsel Cina, namun kini ada pula pabrikan besar yang mengikuti model ini. Adalah operator terbesar di Indonesia yang berhasil menggandeng Apple Inc. untuk turut serta meramaikan bursa bundling ini, yang kemudian diikuti oleh RIM dan beberapa pabrikan lainnya. Beberapa pabrikan lainnya nampaknya lebih percaya diri untuk tidak mengikuti jejak teman-teman pabrikannya dengan berjalan sendiri tanpa menggandengan operator telekomunikasi.

Pada satu sisi, kondisi ini memunculkan keuntungan tersendiri bagi konsumen. Adanya ponsel murah dengan spesifikasi teknologi tinggi tentu saja membawa keuntungan tersendiri bagi mereka, terlebih dengan harga terjangkau sangat memungkinkan bagi kondisi dompet mereka. Dengan demikian, keberadaan ponsel-ponsel agak cerdas (sebab tentu saja kategori ponsel cerdas masih menyasar segmen high-end) membawa teknologi baru kepada golongan low-end, yang berarti memberikan implikasi ekonomi tertentu bagi kelas menengah bawah: menjadi kelas bawah tidak berarti tidak mampu menggunakan teknologi canggih dalam sebuah ponsel atau menjadi kelas bawah tidak selalu berarti ketinggalan jaman.

Di sisi yang lainnya, dengan banyaknya pilihan bagi kelas low-end untuk memilih ponsel yang menarik bagi mereka, terutama dengan serbuan ponsel lokal dan ponsel Cina, hal ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap strategi dari para pabrikan besar. Kondisi ini barangkali akan sedikit mengungtungkan bagi konsumen low-end jika para pabrikan bersedia secara serius untuk menghadirkan ponsel berspesifikasi tinggi bagi kelas low-end, meskipun yang paling terlihat adalah keinginan pada para pabrikan menghadirkan ponsel dengan spesifikasi tinggi bagi kelas middle-end, dan terutama sekali high-end. Hal ini dapat dilihat dengan kemunculan berbagai ponsel pintar yang secara nyata menyasar kelas menengah atas. Kondisi ini secara tidak langsung membawa ponsel tidak lagi berada di ranah ekonomi per se, namun telah masuk ke ranah sosial dan budaya.

Teknologi komunikasi, media baru, dan implikasi sosial budaya

Penggunaan teknologi komunikasi, disadari atau tidak, tidak hanya menjadi persoalan di bidang teknologi, namun telah beranjak ke bidang ekonomi, sosial dan budaya. Penggunaan teknologi komunikasi tidak lagi sebatas keperluan untuk melakukan aktivitas komunikasi semata, apakah itu komunikasi lisan atau teks, namun juga telah menjadi sebuah alat untuk melakukan komunikasi data, terlebih lagi telah menjadi alat penanda seseorang.

Sebagai sebuah produk teknologi komunikasi, telepon seluler dengan beragam fungsi yang ditawarkan, telah beranjak jauh sejak awal diciptakannya. Jika Graham Bell menemukan telepon hanya sebagai alat mengirimkan kabar dari satu tempat ke tempat lainnya, fungsi yang masih dipergunakan dengan sangat baik oleh telepon tetap atau PSTN, namun hal ini tidak lah berlaku bagi telepon seluler. Portabilitas telepon seluler memungkinkan setiap orang untuk membawa ponsel tanpa memandang waktu dan tempat, sebuah persyaratan utama dari sebuah generasi baru media.

Portabilitas yang sama, didukung pula oleh kemajuan teknologi komunikasi, baik yang disediakan oleh pihak pabrikan dalam ponsel yang mereka keluarkan maupun penyedia jaringan operator komunikasi, seakan membuat dunia semakin kecil. Dunia yang semakin mengecil dalam sebatang ponsel tidak selalu berkaitan dengan teknologi yang dibenamkan dalam sebuah ponsel atau pun kemumpunian jaringan yang disediakan oleh operator, namun pada penyerapan pasar atas teknologi tersebut, dan bagaimana pasar memperlakukan produk telekomunikasi tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, bagaimana pasar menyerap teknologi komunikasi menjadi penting untuk memperlihatkan trend pasar komunikasi di Indonesia. Meskipun pihak pabrikan tidak pernah secara eksplisit mengatakan bahwa ponsel yang mereka keluarkan termasuk dalam jajaran low-end, middle-end, atau high-end, namun kategori tersebut barangkali muncul dari berbagai ulasan yang keluar mengenai ponsel tersebut. Berbagai ulasan yang muncul mengenai produk terbaru dari sebuah pabrikan, yang selalu diluncurkan dengan gegap gempita (yang umumnya lebih banyak bagi produk menengah atas), lebih banyak mengetengahkan mengenai teknologi yang dibenamkan, fitur-fitur yang diunggulkan, kemampuan layar, dan seluruhnya akan dibandingkan dengan harga yang dibandrolkan.

Meskipun terkesan simplistis, barangkali harga merupakan faktor utama yang menentukan apakah produk ponsel tersebut dikategorikan sebagai produk low-end atau high-end. Sebagai sebuah produk dari produsen yang menjadikan ekonomi sebagai margin penentu, maka masalah harga adalah masalah yang sangat krusial. Dalam logika sederhana, jika sebuah produk telekomunikasi dengan spesifikasi teknologi terbaru yang membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk melakukan riset teknologi tersebut dijual dengan harga murah, maka bagaimana perusahaan tersebut akan bertahan di tengah pasar telekomunikasi yang sangat kompetitif. Barangkali jawaban dari logika sederhana tersebut dapat dilihat dengan dipecahnya produk yang dikeluarkan berdasarkan segmentasi pasar yang dituju, dengan demikian pihak pabrikan tidak terlalu membebani diri dengan hanya bersaing di satu segmen.

Strategi pihak pabrikan untuk mengeluarkan puluhan jenis ponsel setiap tahunnya secara nyata telah membuat pabrikan memisahkan ceruk pasar dalam segmentasi yang berbeda. Perbedaan segmentasi pasar ini dapat dilihat dengan jelas pada tipe-tipe ponsel tertentu, yang secara khas mereka sebut dengan istilah ponsel pintar, yang dengan bandrol harga tinggi jelas tidak disasar untuk segmen menengah bawah. Di sisi yang berbeda, tanpa melupakan ceruk pasar yang utama, pabrikan pun lebih memfokuskan pada ponsel low-end, tentu saja dengan spesifikasi yang di bawah spesifikasi ponsel pintar tersebut. Berdasarkan pengamatan, para pabrikan nampaknya lebih aman bermain di tingkat fitur kualitas layar, pemutar musik, radio, dan kamera dengan resolusi standar megapixel (bukan lagi VGA) bagi ponsel low-end mereka; sedangkan fitur komunikasi data nampaknya belum digarap secara maksimal.

Pilihan pabrikan untuk bermain dengan teknologi komunikasi data yang lebih mumpuni pada kelas middle-end dan terutama sekali high-end boleh jadi berkaitan erat dengan tingkat konsumsi pulsa kelas tersebut. Jika menggunakan logika sederhana, seseorang yang mampu membeli ponsel terbaru dengan teknologi tercanggih dan kecepatan komunikasi data tercepat, maka dipastikan orang tersebut tidak terlalu memikirkan besaran pulsa yang ia harus keluarkan untuk menikmati seluruh fasilitas tersebut. Barangkali hal ini masih bersifat kontestatif, namun kelas menengah bawah nampaknya harus berpikir ulang, tidak hanya untuk membeli ponsel pintar dengan segudang fitur yang dibenamkan, tapi juga besarnya pulsa yang harus mereka keluarkan untuk menikmati seluruh fasilitas teknologi yang ada. Secara pasti fungsi sebuah ponsel mengalami pergeseran.

Fungsi ponsel perlahan berubah, dari sekedar alat untuk memudahkan komunikasi menjadi penanda identitas seseorang. Secara konseptual, jika mengikuti logika konstruktivis-interpretif, identitas adalah hasil konstruksi sosial, dengan demikian identitas tidak pernah bersifat given, melainkan terdapat kekuatan tarik-menarik sehingga suatu identitas tidak pernah tunggal (lihat Castells 2004). Identitas adalah suatu proses menjadi, dengan demikian identitas selalu dibentuk oleh situasi dan kondisi pembentuknya. Castells (2004) memberikan suatu gambaran yang jelas, bahwa identitas, sebagaimana dikatakan oleh Kenny (2004), adalah kondisi yang melembaga, adalah kata kunci dalam menentukan keberadaan seseorang, atau dengan kata lain, identitas memiliki kekuatan untuk menentukan bagaimana seseorang bertingkah laku.

Menggunakan logika Castells (2004), maka jelas terlihat bahwa keberadaan ponsel sebagai penentu identitas seseorang sangat dipengaruhi oleh pihak pabrikan sebagai produsen ponsel tersebut melalui berbagai “atribut sosial” yang dilekatkan pada ponsel tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan berbagai acara megah yang digelar oleh para pabrikan ketika meluncurkan produk terbaru mereka yang digolongkan dalam kategori high-end, mengingat penulis sendiri belum pernah melihat atau mengikuti kegiatan peluncuran ponsel kategori low-end yang digelar dengan sangat meriah.

Sebagai penanda yang dibentuk secara sengaja, maka sebuah ponsel menjadi penanda identitas yang dibentuk secara sengaja dan disebarkan secara massif di berbagai media. Di sisi yang berbeda, dengan dibentuknya citra sebuah ponsel, maka pihak pabrikan pun secara sengaja membentuk seperangkat atribut status yang dimiliki oleh orang-orang yang menggunakan ponsel yang mereka produksi. Terlepas dari apakah orang tersebut akan menggunakan atribut status tersebut, namun pengenaan atribut tersebut dapat dilihat dengan jelas dalam konteks dunia sosial kita. Sebagai gambaran, ketika perangkat ponsel komunikator terbaru diluncurkan, yang digambarkan sebagai gadget eksekutif, berbondong-bondong orang membeli ponsel tersebut, meskipun beberapa waktu setelah peluncuran harga ponsel tersebut melonjak, namun toh tetap mampu diserap pasar, mereka ini yang digolongkan sebagai orang ingin tampil gaya bak eksekutif muda.[3]

Sebagai sebuah penanda identitas, maka tidak mengherankan jika banyak pabrikan secara khusus meluncurkan produk-produk high-end mereka secara gegap-gempita. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan strategi pasar pabrikan yang memang membangun citra tertentu dengan ponsel yang mereka luncurkan, dan harapan utama dengan pembentukan citra tersebut dapat membantu penyerapan produk mereka oleh pasar. Kondisi ini tentu saja dapat dimengerti jika dilihat dari sisi pabrikan, bahwa ketika pabrikan meluncurkan sebuah produk yang masuk dalam kategori high-end, tidak semua dapat diserap pasar dengan sempurna, maka sebagai strategi agar produk tersebut diserap pasar, dibentuk lah sebuah citra mengenai ponsel yang mereka keluarkan.

Terlepas dari adanya praktik pencitraan yang dilakukan oleh para pabrikan terhadap produk ponsel high-end mereka, para pabrikan nampaknya sadar betul bahwa mereka tidak boleh sepenuhnya bergantung pada kelas menengah atas sebagai pangsa pasar utama mereka. Hal ini membuat para pabrikan untuk memperhitungkan pula kelas menengah bawah. Di sisi yang berbeda, kelas menengah bawah pun menuntut hal yang sama dengan ponsel yang dikeluarkan bagi menengah atas, dan ini dibuktikan dengan munculnya ponsel-ponsel low-end dengan kemampuan teknologi tinggi.

Meskipun ponsel-ponsel berteknologi dengan kategori low-end mulai banyak menyesaki pasar teknologi komunikasi di Indonesia, namun ponsel-ponsel ini masih harus menerima ujian pasar. Beberapa ponsel model ini terbukti gagal diserap pasar dengan berbagai alasan, namun beberapa mendulang sukses yang luar biasa. Para pabrikan yang bergerak di segmen ini pun masih harus bersaing dengan ponsel lokal dan ponsel Cina yang juga menawarkan sebuah ponsel berteknologi yang tidak dapat dipandang sebelah mata dengan harga murah. Ceruk pasar yang luar biasa nampaknya tidak pernah membuat pihak pabrikan jera untuk terus merangsek masuk ke dalam segmen low-end dengan mengusung platform ponsel murah berteknologi tinggi.

Media baru dan aplikasi lapangan di Indonesia

Persoalan yang kurang mendapat perhatian adalah, apakah teknologi yang demikian pesat mampu diaplikasikan di seluruh wilayah Indonesia?. Sebagaimana telah diketahui, sebagai negara kepulauan,adalah tantangan bagi setiap operator telekomunikasi untuk meluaskan wilayah jangkauan atau wilayah cakupannya. Beberapa operator bahkan dengan sangat jelas mengklaim telah menjangkau seluruh wilayah di Indonesia. Telkomsel misalnya, melalui situs resminya mengatakan bahwa akhir Maret 2009 telah mencapai 72,1 juta pelanggan dari seluruh Indonesia dan menjangkau seluruh Kabupaten/Kota atau sekitar 95% populasi Indonesia (lihat Telkomsel t.t.). Sebagaimana Telkomsel, beberapa operator lain pun mengklaim hal yang hampir senada.

Persaingan di tingkat operator dalam menyediakan layanan lalu-lintas data meningkatkan peningkatan layanan data. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada medio 2004 pernah mengeluarkan data yang menyebut 1,1 juta pelanggan terkoneksi dengan dunia maya, itu pun hanya yang terdaftar secara resmi. Lebih jauh, APJII memprediksi sekurangnya terdapat 11 juta pelanggan internet, atau sepuluh kali lipat, sebab APJII hanya mencakup para pengguna internet rumah yang mempergunakan komputer personal yang ada di berbagai warung internet (lihat Studio HP, t.t.). Lalu berapa sebenarnya lalu lintas data melalui telepon seluler? Telkomsel pada medio 2004 memprediksi jumlah pengguna internet melalui ponsel yang menggunakan jasa operator tersebut mencapai 20% dari total jumlah pelanggan mereka (lihat Telkomsel t.t.). Jika pada tahun 2004 terdapat 15 juta pelanggan, maka tidak kurang dari 3 juta orang terkoneksi melalui GPRS, dan jika diasumsikan hal yang sama, maka pada 2009 terdapat sekurangnya 15 juta orang terkoneksi dari jumlah 72 juta pelanggan Telkomsel.

Lalu lintas data melalui berbagai operator nampaknya didorong pula dengan strategi pasar dengan mengadakan paket bundling yang merupakan kerjasama antara operator dengan pihak pabrikan. Meskipun tidak terdapat yang valid mengenai data jumlah pengguna internet melalui telepon seluler, namun kita dapat mengambil sebuah perkiraan data sederhana. Jika pengguna telepon seluler mencapai 120 juta pelanggan, dan diperkirakan 20% diantaranya terkoneksi secara langsung, baik melalui kanal GPRS hingga HSDPA, maka diperkirakan tidak kurang dari 24 juta pelanggan terkoneksi melalui perangkat telepon seluler mereka.

Hal ini membawa pada implikasi lain, bahwa hipotesis penggunaan telepon seluler sekaligus fitur yang dibenamkan didalamnya bergantung pada kondisi pelanggan tersebut merupakan hal yang mutlak terjadi. Indosat misalnya, padca medio 2008 mengetengahkan data, bahwa pelanggan Indosat menghabiskan tidak kurang dari Rp. 200.000,- setiap bulannya untuk kebutuhan layanan data mereka. Meskipun Indosat tidak secara pasti menyebut segmentasi pasar yang disasar, namun rasanya segmentasi yang disebut di atas adalah kelas menengah. Hal yang harus diperhatikan adalah, lebih dari setengah dari pengguna telepon seluler adalah kelas menengah bawah, dengan demikian untuk melakukan penetrasi lalu-lintas data diperlukan sebuah upaya menurunkan harga modem dan peningkatan infrastruktur komunikasi di seluruh wilayah.

Strategi bundling yang dilakukan antara operator dan pabrikan dapat dilihat sebagai upaya untuk melakukan penetrasi layanan data ke semua segmen pasar. Dengan hadirnya telepon yang diiklankan sebagai telepon ‘online’ demikian pula dengan membanjirnya telepon seluler produksi lokal dan Cina dipastikan pula membawa pengaruh pada lalu-lintas data di tingkat operator, setidaknya pada segmen bawah. Dengan peningkatan layanan data di tingkat operator pun mendorong adanya persaingan di dalam penetapan tarif lalu lintas data, tentu saja sesuai dengan regulasi pemerintah. Di satu sisi, hal ini secara positif berarti melakukan penetrasi yang lebih keras dalam layanan komunikasi, terutama layanan data, kepada konsumen pengguna perangkat komunikasi. Di sisi yang berbeda, hal ini mendorong persaingan antaroperator seluler, yang agaknya beranjak ke arah persaingan yang semakin keras.

Persoalan lainnya tentu saja berada di tangan pihak pabrikan, yakni bagaimana pihak pabrikan mampu menghasilkan telepon seluler yang terjangkau bagi setiap kantong konsumen dengan kemampuan fitur yang mumpuni. Pihak pabrikan nampaknya mulai melakukan hal yang sama, menciptakan perangkat telepon seluler canggih dengan harga yang sama sekali tidak canggih. Meskipun beberapa pemain utama masih menjadikan pasar menengah atas sebagai ceruk utama, namun mereka pun mulai menggarap ceruk pasar menengah bawah. Terutama oleh pabrikan lokal dan Cina, dipastikan bahwa telepon seluler yang mengusung slogan ‘online’ adalah hasil karya mereka, dan hal ini nampaknya akan diikuti oleh pabrikan besar lainnya.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, antara pihak pabrikan dan oparator hingga saat ini telah secara serius menggarap pasar dengan berbagai segmen bawah secara lebih masif. Nampaknya pihak pabrikan dan operator menyadari sepenuhnya kesulitan lapangan dalam dunia komunikasi di Indonesia. Pihak operator menyadari sepenuhnya bahwa margin keuntungan akan semakin lebar jika mampu menarik seluruh pelanggan untuk tidak hanya berada pada layanan suara maupu pesan, namun juga layanan data, dan untuk mewujudkan hal tersebut penambahan infrastruktur adalah sebuah kemutlakan. Berbagai operator pun mulai menggaet pelanggan yang lebih besar, tidak hanya memfokuskan pada konsumen menengah atas, namun juga menengah bawah. Sejalan dengan operator yang mulai bersaing di tingkat menengah bawah, pihak pabrikan pun melakukan hal yang sama. Meskipun teknologi android terbaru masih menyasar segmentasi kelas atas (lihat Republika 2010c), namun tidak menutup kemungkinan akan diberlakukan untuk kelas bawah. Sebagaimana 3G pada awalnya bagi kelas menengah atas dan saat ini dapat dinikmati oleh kelas bawah, maupun fitur lainnya. Barangkali hanya persoalan waktu saja di mana setiap pelanggan dapat menikmati kualitas layanan telepon seluler yang paripurna, baik dari operator maupun pabrikan.

Sekelumit cerita tentang ponsel, penutup

Kebutuhan untuk melakukan komunikasi, baik komunikasi lisan, teks, maupun data mendorong adanya permintaan yang tinggi terhadap perangkat komunikasi yang mampu mengakomodir seluruh kebutuhan komunikasi tersebut. Berawal dari adanya permintaan atas pemenuhan kebutuhan perangkat komunikasi tersebut lah para pabrikan berupaya untuk memberikan yang terbaik bagi setiap segmen yang mereka sasar. Penciptaan perangkat teknologi tinggi, baik untuk segmen low-end maupun high-end pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar yang ada.

Sebagai produsen, adanya permintaan dari ceruk pasar yang sangat besar merupakan sebuah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan, dan ini disadari betul oleh para pabrikan, baik itu pabrikan besar multinasional, pabrikan lokal, maupun pabrikan Negri Tirai Bambu. Setiap  pabrikan nampaknya jelas mempersiapkan strategi perang dan perlengkapan perang yang sungguh-sungguh ketika berniat masuk dalam bursa pasar tekonologi komunikasi di Indonesia. Kesungguhan ini dapat dilihat dengan masuknya setiap pabrikan ke dalam setiap kategori segmen pasar yang ada. Berbagai tipe ponsel, mulai dari ponsel bertatahkan berlian, ponsel pintar dengan teknologi terbaru, ponsel kamera, ponsel musik, hingga ponsel-ponsel yang memang mengusung fitur sangat standar, diluncurkan setiap kwartalnya hanya untuk memenuhi setiap permintaan pasar ponsel di Indonesia. Setiap pabrikan nampaknya paham betul, dengan membuat dunia semakin mengecil ke dalam sebatang ponsel, dengan mengusung teknologi terbar dengan harga termurah, dengan promosi luar biasa dan pelayanan servis prima, mereka dapat meraih hati para konsumen dari setiap segmen, dan membuat para konsumen tidak merasa ragu untuk membuka kantong mereka lebar-lebar.

Perkembangan teknologi komunikasi di Indonesia merupakan refleksi dari perkembangan media baru di Indonesia. Di mulai dari telepon analog dengan kanal analog khas tentara dan berakhir, setidaknya untuk saat ini, dengan ponsel berteknologi android, menggambarkan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk berkomunikasi. Berbagai kemajuan teknologi sejatinya bertujuan untuk membantu kehidupan manusia. Terlepas dari tujuan tersebut, adalah terlalu naif jika berpendapat bahwa kemajuan teknologi hanyalah berkaitan dengan teknologi per se, namun harus pula dilihat bagaimana kemajuan teknologi membawa implikasi dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Hal ini secara faktual terjadi, setidaknya di negara ini.

Rujukan

Castells, Manuel. 2004. The Power of Identity. Malden,MA: Blackwell Publishing

Creeber, Glen dan Royston Martin. 2009. Digital Cultures: Understanding New Media. UK: McGraw Hill.

Departemen Perindustrian Republik Indonesia. T.t. Dalam http://www.depperin.go.id/ind/publikasi/berita_psb/2008/2008764.HTM, diakses 13 Maret 2010.

Kenny, Michael. 2004. The Politics of Identity. Cambridge: Polity

Kudyba, Stephan dan Romesh K. Diwan. 2002. Information Technology, Corporate Productivity, and The New Economy. London: Quorum Books

Lucas, Henry C. 1999. Information Technology and The Productivity Paradox, Assessing The Value of Investing in IT. NY: Oxford University Press

Mall Ponsel. T.t.. “Indonesia akan jadi negara pengguna BlackBerry terbesar”, dalam http://www.mallponsel.com/blog/berita/indonesia-akan-jadi-negara-pengguna-blackberry-terbesar.html, diakses tanggal 13 Maret 2010.

Republika. 2010a. “Perlu Kesiapan Banyak Pihak” dalam harian Republika http://koran.republika.co.id/koran/164/109103/Perlu_Kesiapan_Banyak_Pihak, diakses tanggal 23 April 2010.

________. 2010b. “CDMA Siap Menuju LTE?” dalam harian Republika http://koran.republika.co.id/koran/164/109101/CDMA_Siap_Menuju_LTE, diakses tanggal 23 April 2010

________. 2010c. “Selamat Datang Teknologi Android” dalam harian Republika http://koran.republika.co.id/koran/164/107459/Selamat_Datang_Teknologi_Android, diakses tanggal 1 April 2010.

Studio HP. Dalam http://www.studiohp.com/news_detail.php?id=7653&sub=all, diakses tanggal 13 Maret 2010.

Telkomsel. T.t. Profil perusahaan dalam situs resmi Telkomsel di http://www.telkomsel.com/web/company_profile, diakses tanggal 20 April 2010.

Varian, Hal R., Joseph Farrell, Carl Shapiro. 2004. The Economics of Information Technology, an Introduction. Cambridge: Cambridge University Press

Wikipedia. T.t.a. “Autism” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Autism, diakses tanggal 13 Maret 2010.

________. T.t.b. “New Media” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/New_media, diakses tanggal 13 Maret 2010.

X-Phones. T.t. Dalam http://www.x-phones.com/www/hp_detail.php?id=c200, diakses tanggal 13 Maret 2010.


     [1]          Tanpa bermaksud menyinggung terhadap pengidap autis atau orangtua yang anaknya autis, istilah ini merujuk pada kondisi seorang anak yang sulit membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal, konsekuensinya anak tersebut terisolir dari dunia sekitar mereka (lihat Wikipedia – Austism, t.t.a).

     [2]          Cukup banyak tulisan, baik buku maupun media yang menulis tentang hal ini, antara lain Republika (2010a, 2010b), Kudyba dan Diwan (2002), dan Lucas (1999). Beberapa sumber lain yang dapat dibaca dari berbagai blog personal maupun taboid dan majalah yang secara spesifik membahas mengenai TI.

     [3]          Pengalaman menarik penulis alami ketika melakukan pengamatan di beberapa gerai ponsel yang menjual tipe komunikator. Meskipun stok habis dan harus masuk daftar tunggu, beberapa konsumen ikhlas mendaftarkan diri mereka dan membayar uang muka tidak kurang dari 1/2 dari total harga, dan ketika penulis bertanya alasannya, sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa ponsel tersebut adalah keinginan terbesar mereka, sebab dengan menggunakan ponsel tersebut mereka dapat meningkatkan status sosial mereka, mengutip seorang informan “kalau pake komunikator kan kesannya kayak eksekutif muda, nentengnya juga ga malu, keren banget…”