Barangkali anda akan menampar orang yang berkata begitu kepada anda, apalagi jika pertanyaan tersebut dilontarkan di muka umum, tapi saya tidak. Bukan berarti saya baik hati atau saya mengakui bahwa saya gay, tapi saya mengerti bahwa adalah kesalahan saya sehingga menimbulkan kesan seperti itu.
Apa yang anda pikirkan jika anda mendengar kata gay? Ketika saya bertanya hal itu pada seorang teman, dia langsung berjengit dan memandang saya dengan pandangan yang menyiratkan rasa jijik. Pertanyaannya apa iya gay seburuk itu? Saya bukan membela Siti Musdah Mulia yang banyak dikecam orang karena mendukung gay, dengan argumentasi bahwa Tuhan merestui kaum gay, saya sendiri tidak sepakat dengan argumentasi ini, bagi saya siapa yang direstui oleh Tuhan adalah hak prerogratif Tuhan sendiri, biar Dia yang menentukan. Saya juga tidak bermaksud membela Dede Oetomo, yang dahulu merupakan salah satu staff pengajar di jurusan saya di Antropologi Unair. Bagi saya, pandangan masyarakat mengenai gay sebenarnya sangat menarik, tidak hanya ambigu, namun dalam beberapa sisi dapat dikatakan diskriminatif.
Saya pernah melihat perlakuan diskriminatif tersebut. Suatu waktu saya naik angkutan lyn C menuju ke Indrapura, ketika bemo tersebut melewati Jalan Kusumabangsa depan THR bemo tersebut berhenti, namun sejenak kemudian bemo tersebut kembali berjalan dengan menolak orang yang memberhentikan bemo tersebut. Apa yang sesungguhnya terjadi adalah, bahwa orang yang memberhentikan bemo tersebut dianggap gay oleh si supir, menurut si supir dia tidak mau ‘ketiban sial’ gara-gara ngangkut penumpang gay. Terus terang saya bertanya “Lho ko sampeyan tau kalo dia gay?”, supir tersebut menjawab “Ya iya mas, gayanya aja udah ketahuan”. Pertanyaannya: apa yang membedakan sosok gay dengan sosok laki-laki yang heteroseks?
Seorang teman yang gay pernah bilang, bahwa orang salah mengira bahwa seakan-akan semua gay itu ‘sassy’ atau ‘lembeng’, saya cuma ketawa dan bilang “oh kayak banci taman lawang ya?” dan seketika itu juga saya tersadar, ternyata pola pikir saya keliru mengenai gay. Gay tidak selalu tampil ‘sassy’ atau feminin. Saya salah mengira ketika salah seorang teman saya secara jujur mengatakan bahw dia gay, sebab penampilan dia macho banget. Kembali ke persoalan di atas, mengapa ada orang yang begitu bodohnya mengira bahwa saya gay? Dan setelah dijelaskan oleh seorang teman baru lah saya mengerti mengapa saya dipikir sebagai gay.
Kesalahan utama saya adalah keluyuran malam-malam di Plaza Surabaya dengan pakaian yang kelewat rapi. Kesalahan lainnya adalah bahwa saya tidak berjalan dengan teman perempuan, namun justru dengan teman laki-laki, yang menurut anggapan teman saya yang gay “membawa feromon seks yang tinggi”. Wah terus terang saya tidak tahu seperti apa ‘feromon seks yang tinggi’ itu. Saya memang tahu bahwa feromon berperan besar dalam mengaitkan kesukaan satu orang terhadap orang lain, bahwa orang tidak mungkin suka terhadap orang yang aroma tubuhnya tidak disukai. Persoalannya, rasanya saya kok tidak merasa turut mengeluarkan feromon tersebut, tapi justru kenapa saya yang malah di tanya, bukan teman saya yang secara proporsi badan lebih mendukung sebagai gay ketimbang saya hehehehe.
Reaksi pertama saya ketika mendapat pertanyaan seperti itu jelas bengong. Bayangkan saya dan teman sedang makan di foodcourt lantai 4 mall tersebut, tiba-tiba seorang laki-laki muda dengan tubuh yang atletis dan juga rapi duduk di hadapan saya dan bilang “Maaf, anda gay kan? Kenalkan saya Reno”. Saya lantas berkata “Maaf anda salah”, dan dia cuma tersenyum “Oh, kalau begitu maafkan saya, saya pikir anda gay, sebab anda tipe saya, saya suka yang chubby”, entah apa yang harus saya katakan. Barangkali saya harus misuh dengan berkata “Brengsek! Masa gue dibilang chubby” walaupun saya harus mengakui hal tersebut, atau saya harus marah karena orang yang secara seksual tertarik pada saya justru laki-laki, atau justru saya harus senang karena penampilan saya mendapat pujian dari orang – terlepas dari fakta bahwa dia laki-laki dan gay. Tapi satu hal yang jelas saya pelajari, barangkali anggapan yang keliru itu menunjukkan dua hal penting: Pertama, jelas bahwa kehidupan kaum gay sudah lebih terbuka di depan umum, tidak mungkin ada orang yang terang-terangan bertanya seperti itu. Kedua, jelas bahwa pandangan masyarakat terhadap kaum gay sudah lebih terbuka. Beberapa teman yang gay membenarkan dugaan pertama saya, namun sebagian besar lainnya menolak dugaan kedua saya. Lalu di mana salahnya? Seorang teman bilang bahwa letak kesalahannya terletak pada aturan main. Lha saya heran, jika aturan legal formal yang disalahkan, maka yang harus dilakukan adalah mengajukan peninjauan terhadap UU perkawinan yang hanya melegalkan perkawinan lawan jenis. Persoalannya, saya rasa tidak ada yang berani untuk mengadakan judicial review atas UU tersebut. Barangkali ketika ada yang mengusulkan langsung di demo oleh organisasi yang membawa label keagamaan.
Tanpa berpretensi untuk mendukung gay, saya secara pribadi percaya, bahwa tindakan homoseksual tidak dibenarkan, setidaknya dalam lingkungan sosial saya dan dalam ajaran agama yang saya yakini. Terlepas dari itu, saya pun meyakini bahwa gay merupakan sosok individu yang harus dilihat tanpa melihat orientasi seksualnya. Dalam hal ini saya jelas dikritik oleh beberapa teman gay, bahwa saya mendua dalam memandang persoalan kehidupan gay. Saya sendiri menyadari sikap mendua saya, namun saya juga menyadari sikap mendua mereka yang gay. Di Indonesia, berbagai persoalan – termasuk di dalamnya orientasi seksual – selalu dilihat dalam koridor agama, dan saya lihat mereka yang gay pun tidak dapat melepaskan diri dari hal ini. saya pernah menyarankan pada teman saya untuk berpindah agama dari pada selalu diobok-obok soal orientasi seksualnya, sejurus kemudian saya menyesal telah mengeluarkan ide tersebut.
Secara pribadi saya menyadari betul ruwetnya hidup ‘sebagai’ gay, mengingat semua teman yang gay mengakui hal tersebut. Tapi satu hal yang juga harus diakui oleh semua teman yang bukan gay, bahwa lingkungan tempat kita tinggal tidak memberikan tempat bagi orientasi di luar heteroseksual. Saya menyadari betul bahwa bukan hanya jender yang merupakan konstruksi, heteroseksualitas pun merupakan konstruksi. Persoalannya, seringkali saya selalu kalah suara ketika memdebatkan konstruksi sosial atas heteroseksualitas, sehingga saya sering dianggap oleh teman-teman saya yang hetero sebagai orang setuju perilaku homoseksual, tapi saya juga tidak enak hati ketika diajak berdebat oleh teman yang gay dan saya dituding mendukung hetero, jadi maafkan sikap mendua saya. Sikap tersebut tentu saja tidak muncul secara instan, namun merupakan refleksi atas kehidupan saya selama ini, barangkali pula ini merupakan gambaran hipokrit orang Indonesia ketika berbicara mengenai homoseksulitas. rasanya saya sudah siap jika suatu saat nanti saya kembali di tanya “Maaf anda gay?”, bahkan saya sudah menyiapkan jawaban jika ditanya “Mau ML dengan saya ga?” atau “Anda top, bottom atau versatile?”.
Keterangan: bagi yang ingin tahu jawaban saya silahkan tanya langsung.